KARSA DARI RASA

By nwardans

16K 1K 148

Pandu Longsadapit, Flat Boy yang sebelumnya tidak tahu apa arti kehidupan, sebelum akhirnya bertemu dengan Ge... More

-excuse me-
-Prolog-
-1-
-2-
-3-
-4-
-5-
-visual-
-6-
-7-
-8-
-9-
-10-
-12-
HALLO READERS!
-13-
-14-
-15-
-16-
-17-
-18-
-19-
-20-
-21-
-22-
-23-
-24-
New Cast!
-25-
-26-
-27-
-28-
-29-
-30-
-31-
-32-
-33-
-34-
-35-
-36-
-37-
-38-
-39-
-40-

-11-

498 41 13
By nwardans

Gebi merebahkan tubuhnya di penghujung sore hari ini, lelah sekali rasanya seharian berbelanja bersama Hanin dan Citra untuk keperluan camping besok. Kini semua sudah siap, baju-baju serta keperluan Gebi lainnya sudah dibungkus dalam satu tas ransel yang lumayan besar. Simple saja, tidak perlu terlalu banyak bawaan.

Namun nampaknya Gebi melupakan sesuatu, sweater yang semalam diberi oleh Elsa. Ia lupa menyimpannya ke dalam tas hingga hari esok tiba, hingga Gebi sudah sibuk untuk berangkat ke sekolah pagi ini. Padahal Gebi sudah niat untuk membawa sweater yang Elsa sangat berharap agar Gebi memakainya dimalam studycamp nanti, namun bukan Gebi namanya kalau tidak pelupa.

Gebi bergegas membawa tas ranselnya dan tak lupa ia memakai sling bag untuk sekedar menaruh dompetnya yang mini, powerbank, serta airpods kecintaannya.

Langkah Gebi gusar, namun tak menghalanginya untuk tetap memesan taxi online. Gebi berdiri di depan pagar rumahnya, menunggu taxi pesananya datang. Sedangkan di depan pintu sana, Gebi melihat jelas sekali; dimana Elsa yang sedang berpamitan dengan Firman dan Erica. Kedua orang paruh baya yang kini memeluk gadis kecil itu nampak memancarkan wajah kekhawatiran serta tak rela melepaskan gadisnya itu pergi.

Namun di seberang sini Gebi masih kuat berdiri dengan segala lukanya. Sebulir air mata terjatuh dari kelopak mata gadis malang itu. Namun dengan segera Gebi mengusap air mata itu lalu menarik napasnya dalam-dalam. Huh. "Lo kuat Geb, lo kuat!" gumamnya pahit, berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Tak lama kemudian taxi online pesanan Gebi datang, Gebi langsung masuk kedalamnya dan meminta si supir agar berangkat detik itu juga.

"Global Internasional School kan ya, Mbak?" tanya si driver.

"Iya, Mas." jawab Gebi tersenyum.

Di perjalanan, yang ia saksikan beberapa menit lalu masih terngiang-ngiang di otaknya yang kini memang hanya terisi dengan itu. Gebi berusaha menahan air matanya yang sudah memaksa ingin mengalir lagi, namun gadis itu juga tak menyerah untuk tetap menguatkan dirinya sendiri.

Tak lama mobil itu sampai di depan gerbang GIS, Gebi segera turun dari mobil setelah membayar ongkos. Didepan gerbang rupanya sudah ada Hanin dan Citra yang setia menunggu kedatangan Gebi. Mereka menghampiri Gebi dengan sapaan hangat mereka yang mampu membuat Gebi melupakan kejadian yang membuat hatinya begitu rapuh pagi ini.

"Udah rame aja ya," ujar Gebi saat mereka memasuki halaman sekolah rupanya sudah banyak siswa siswi serta para guru yang berkumpul disana.

"Nanti waktu bus wisata dateng, kita langsung berangkat. Kita harus gercep biar dapet tempat yang enak, soalnya kan perjalanan kita lumayan lama." ujar Hanin dengan begitu semangat.

Mereka bertiga duduk di pinggir taman, "cemilan kita gak lupa lo bawa kan, Han?" tanya Citra terlihat sangat protektif kalau sudah soal makanan.

"Tenang aja, pokoknya semua cemilan kita tuh udah tersedia dikoper gue. Kayak nggak tau koper gue aja, kan serba guna; semua masuk." ujar Hanin terkekeh.

"Lagian kok kalian pada bawa koper sih? Nggak terlalu heboh ya? Kita kan cuma sehari dua malem disana." ujar Gebi terkekeh.

"Lo nggak liat semuanya gimana?" Hanin menunjuk ke semua orang yang ada disana. Dan ya, benar, semuanya dominan membawa koper. Gebi tertawa receh. Entah Gebi yang terlalu simple atau mereka semua yang terlalu dibawa heboh hidupnya.

Di seberang sana, Gebi melihat jelas seorang lelaki paruh baya sedang mencium puncak kepala puterinya lalu memeluknya sebentar. Itu Firman dan Elsa. Ternyata Elsa diantar oleh Ayahnya kesekolah. Sekhawatir itu pada anak tirinya? Sesayang itu? Lalu, nasib Gebi sebagai anak kandungnya mengapa sangat miris?

"Geb, lo kuat Geb, lo kuat!" ujar batin Gebi begitu memaksa agar raganya tetap kuat berdiri meskipun kini hatinya sudah benar-benar rapuh.

Setelah Firman melajukan mobilnya, Elsa memasuki gerbang sekolah. Oh rupanya kedatangan Elsa sudah disambut hangat oleh—hah? Apakah Gebi tidak salah lihat? Geng Killer dengan begitu ramah dan hangat menyambut kedatangan Elsa dengan seolah sangat meratui Elsa?

"Gebi, lo liatin apasih dari ta—" Hanin dan Citra membelalakan mata mereka saat mereka lihat di seberang sana Elsa yang terlihat begitu manis dikelilingi cowok-cowok Geng Killer.

Bukan hanya tatapan Hanin, Citra maupun Gebi, tapi hampir seluruh tatapan penguni yang ada disana sangat terkejut bahkan sampai ada yang mengintimidasi gerak-gerik Elsa yang notebenenya adalah anak baru di GIS.

"Itu si Elsa kan, Geb?" tanya Hanin dengan menepuk-nepuk paha Gebi.

Bukannya menjawab pertanyaan Hanin, Gebi justru membuang pandangannya saat Elsa bersama Geng Killer berjalan menuju kearah taman.

"Berarti yang nelepon Elsa semalem itu Pandu dong bener?" Gebi mencoba berpikir keras. "Ternyata si anak es itu bisa selembut itu sama cewek?" lagi-lagi batinnya bertanya-tanya.

"Mereka kesini, ya?" tanya Citra.

Hanin dan Citra segera ikut membuang tatapan mereka, berlagak berkutat pada ponselnya agar tidak terlihat terlalu memperhatikan Elsa dan Geng Killer.

"Ratu Cantik, silakan duduk." Habib membersihkan bangku taman dengan tangannya lalu mempersilakan Elsa untuk duduk.

Memang semenjak pertemuan antara Geng Killer dengan Elsa, Habib sudah menobatkan Elsa sebagai Ratu Cantik. Semuanya pun jadi ikut-ikutan memanggil Elsa dengan sebutan itu, kecuali Pandu dan Gibran yang hanya menanggap panggilan itu hanyalah humor teman-temannya saja yang memang sangat receh.

Elsa tersenyum. "Makasih, Ciko." ujar Elsa begitu lembut namun justru dihadiahi gelak tawa teman-temannya.

"Ada apa? Aku salah ya?" tanya Elsa.

"Nggak papa Ratu, walaupun Ratu salah nyebutin nama, tapi gue tetep di tim Ratu Cantik kok." Habib tersenyum lebar sekali.

Sedangkan Gebi yang mendengar jelas percakapan mereka, justru mendelik geli dan agak sedikit jijik malah. "Katanya Killer, tapi sama cewek kok bisa selembut itu." ujar Gebi terkekeh, namun suaranya terdengar sangat kecil sehingga hanya Hanin dan Citra yang dapat mendengarnya.

"Gue heran, sumpah heran banget." Hanin berucap dengan suara kecil juga.

"Kenapa, Han?"

"Selama gue tau Geng Killer, baru kali ini kan mereka sedeket itu bahkan manjain cewek kayak gitu?" ujar Hanin lagi sambil sedikit melirik Elsa dan Geng Killer yang tepatnya di belakang mereka.

"Gue juga heran, kok bisa ya?" Citra ikutan bertanya-tanya.

"Masa iya?" Gebi mengerutkan dahinya.

Elsa terkekeh manis saat Habib dan Ciko mulai beradu gombalan. Namun pandangan Elsa tertuju pada tiga gadis yang rupanya sedari tadi berada di hadapannya, ia saja yang baru menyadari.

"Gebi," seru Elsa yang berhasil membuat Gebi terpaksa menoleh ke belakang.

"Sebentar ya, aku mau ke Gebi dulu." ujar Elsa sangat terdengar sopan.

Pandu yang sedari tadi hanya menjadi penonton setia itu masih setia memandangi Elsa dengan senyuman samar yang tentunya jarang sekali terjadi.

"Oh Pak Ketu kita ada yang sedang jatuh cinta rupanya," ujar Habib lalu bersiul menggoda.

Pandu tersadar dari lamunan asiknya memandangi Elsa, ia langsung membuang wajahnya. "Sok tau lo."

"Gebi, kamu—hai, Hanin, Citra." ujar Elsa saat sudah di hadapan mereka.

"Hai, Sa." Hanin dan Citra sama-sama menyahut seakan tidak ada apa-apa, padahal jiwa-jiwa kepo mereka sudah memberontak ingin bertanya kepada Elsa mengapa bisa sedekat itu dengan Geng Killer.

"Geb, kamu tadi kenapa berangkat—"

Bus wisata yang akan mengantar mereka ke puncak nampaknya sudah datang, ada 2 bus yang sudah memasuki halaman luas GIS, dan satunya lagi hanya berhenti di depan gerbang GIS.

"Han, Cit, ayuk. Kan kita harus gercep." ujar Gebi yang sengaja memotong omongan Elsa.

"Sa, duluan ya." Hanin berseru disertai dengan anggukan kepala dan senyuman Citra.

Elsa hanya menghela napasnya berat. "Ratu Cantik, ayuk, nanti kita nggak dapet tempat." Habib berkata seraya menarik pergelangan tangan Elsa. Sedangkan koper mini Elsa sudah dibawakan oleh Ciko.

Hanin dan Citra mengekori Gebi yang terlihat berjalan begitu cepat menuju bus pertama.

Ternyata bus pertama sudah hampir penuh, hanya tersisa beberapa bangku yang masih kosong. Citra dan Hanin segera duduk di bangku deretan hampir paling belakang di sebelah kanan, sedangkan Gebi terpaksa harus duduk sendiri berseberangan dengan Citra dan Hanin. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela karena menurutnya itu adalah posisi paling nyaman agar di perjalanan nanti ia bisa tertidur dengan aman.

"Geb, kalo mau cemilan bilang aja ya." ujar Citra.

"Santai."

Geng Killer dan Elsa memasuki bus, suasana bus yang kebetulan berdominan wanita ini menjadi begitu ramai sorak-sorai karena Geng Killer yang sangat mereka idolakan memasuki bus itu.

Habib yang masih terus menarik tangan Elsa itu membawa Elsa kebangku belakang, tepat di belakang bangku Gebi.

"Habib aku mau duduk sama—" ucapan Elsa dipotong oleh Habib yang lebih dulu mengatakan, "sama gue aja Ratu Cantik, dijamin aman." Habib tersenyum seraya mempersilakan Elsa untuk duduk didekat kaca.

Elsa tersenyum meski harus menghela napasnya. "Makasih, Habib." ia terpaksa harus duduk disamping Habib karena merasa tidak enak juga dengan Habib yang telah begitu baik padanya.

Gebi yang sebenarnya dari tadi mengamati Elsa dan Geng Killer itu mencari satu sosok lagi yang sepertinya belum masuk bus. Atau mungkin pisah bus? Ah tidak penting.

Gadis itu mengambil airpods di dalam sling bag nya lalu memasangkannya ke kedua telinganya. Setelah ponsel dan airpods itu terhubung, Gebi segera memutar lagu diponselnya dengan volume yang cukup besar karena ia sudah sangat jengah dengan keadaan bus yang semakin lama semakin membuat gendang telinganya ingin pecah.

Jeri dan Ciko duduk berseberangan dengan bangku Habib dan Elsa, sedangkan Gibran sudah tenang duduk bersama Aris yang terkenal sebagai juara olimpiade matematika. Memang tidak diragukan lagi kepintaran Aris yang kini nampak begitu diam dan yang pasti tidak berisik seperti teman-teman Gibran yang sudah membuatnya jengah sedari tadi.

"Pandu mana, Bib?" tanya Ciko.

"Tadi kan ke toilet dulu, dia minta sisain satu bangku." ujar Habib.

"Dia sama Gibran di belakang," Ciko menjawab dengan santai namun langsung disahuti oleh Gibran yang ada dibelakang, "gue udah sama Aris."

Habib dan Ciko menoleh kebelakang.

"Udah penuh disini." ujar Gibran.

Benar, di belakang pun sudah tidak ada bangku lagi. Hanya ada Gibran, Aris, dan 2 teman Aris yang duduk di belakang bangku Ciko dan Jeri.

Sorak-sorai bertambah heboh saat Pandu memasuki bus itu. Pandu melewati mereka dengan wajah yang datar andalannya, namun tetap saja itu dianggap sajian terindah yang pernah mereka lihat.

Pandu menghampiri ke belakang. "Gue duduk dimana?"

"Penuh Pan, sori ya." Habib berucap dengan sangat berhati-hati dan berharap agar ia tidak mengusirnya untuk dia saja yang duduk bersama Elsa.

Sedangkan Elsa sudah berusaha untuk tenang dengan memasang headset ke telinganya serta memutar lagu-lagu sendu yang akan membawanya menuju ketenangan.

"Noh," Gibran menunjuk bangku yang kosong di depan bangku Habib. Pandu menoleh ke arah kirinya, Pandu tak mau ambil pusing, ia segera duduk di bangku itu tanpa melihat ke arah sampingnya lagi.

Habib bernapas lega karena akhirnya harapannya untuk tetap duduk bersama Elsa rupanya terkabul.

Gebi yang menyadari hal janggal di sampingnya terpaksa harus membuka matanya perlahan, padahal musik yang berputar sudah hampir berhasil membawanya ke alam yang lebih tenang dari pada berada di dalam bus bising ini.

"Siapa yang ngizinin lo duduk disini?" tanya Gebi protes saat ia sadari bahwa Pandu tengah duduk di sampinya sekarang.

Sebenarnya Pandu juga sangat terkejut menyadari bahwa yang duduk bersamanya adalah cewek menyebalkan yang beberapa hari lalu hampir saja menghilangkan jaket kesayangannya, namun Pandu harus tetap stay cool.

"Emang ini bus punya nenek moyang lo?" ketus Pandu.

"Kalo iya, lo mau apa?" singut Gebi tak mau kalah.

"Bodo amat." Pandu berusaha tak acuh pada gadis di sampingnya itu.

"Pokoknya kalo satu senti aja lo lewatin batas ini," Gebi menunjuk tangan bangku itu dengan seolah menciptakan garis perbatasan disana, "denda lima pulih ribu!" ancam Gebi.

Pandu hanya memutar bola matanya jengah.

Saat bus sudah dipastikan terisi penuh dan tak ada siapapun yang tertinggal, supir bus segera mengendarai bus dengan sangat terlihat ahli.

Semuanya nampak menikmati perjalanan sebelum pada akhirnya bus berubah menjadi sunyi, hampir seluruh penghuni bus tertidur karena perjalanan ke tempat tujuan mereka yang cukup memakan waktu.

Pandu berusaha mengusir rasa bosannya dengan memakan cemilan yang ia beli di mini market kemarin malam. Sialnya ia lupa membawa headset, jadi terpaksa ia harus terus merasa bosan menunggu kantuknya yang tak kunjung datang jua.

Cowok itu menoleh kebelakang, dilihatnya teman-temannya sudah asik dengan dunia mimpi mereka masing-masing. Tidak adil sekali jika hanya Pandu sendiri yang tidak tertidur di bus ini selain si supir bus.

Menoleh kanan kiri pun ia melihat kedua gadis di seberangnya dan satu gadis disampingnya ini tertidur sambil menutupi wajahnya dengan entah apa yang mereka jadikan sebagai penutup wajah itu. Apa faedahnya pikir Pandu.

Pandu benar-benar merasa bosan. Huft.

Kini bahu Pandu terasa hangat saat ia rasa ada sesuatu yang menempel. Dan ketika Pandu menoleh, benar saja, kepala Gebi sudah pindah posisi menyender di bahu Pandu. Kain yang menutupi wajahnya pun sudah terjatuh ke pangkuan gadis itu.

Pandu mengehela napasnya jengah, "woi, bangun." ia menyentuh pipi gadis itu yang tak disangka sangat lembut dan kenyal. "Woi, apaan sih, berat nih kepala lo, pasti kebanyakan dosa." ujar Pandu malah seperti orang setengah waras karena berbicara sendiri.

"Woiii,"

Bukannya bangun, Gebi malah merubah posisinya agar lebih nyaman lagi bersandar dibahu Pandu.

Pandu sempat berdecak sebal, untuk kemudian ia pasrah karena tak tega juga membangunkan seseorang yang sedang lelap-lelapnya tertidur.

Beberapa menit kemudian, ajaibnya Pandu merasakan kantuk berat menyerang dirinya. Ia menyimpan cemilannya kembali ke dalam tas, kemudian ia mencari posisi tidur yang aman namun tanpa membuat gadis yang bersandar dibahunya itu terbangun. Dan saat sudah mentok mencari posisi ternyaman, akhirnya Pandu terpaksa harus tertidur dengan kepalanya menyandar di atas kepala gadis itu.

Selanjutnya, keduanya sama-sama terlelap bahkan kini posisi Gebi memeluk perut Pandu yang sangat atletis itu. Mungkin ia rasa itu adalah guling.

••••

A/N:

Haduh kok aku jadi ikutan baper ya, gmn kalo kalian?🤪
Btw semangat terus puasanyaaa!!

Continue Reading

You'll Also Like

56.6K 1.9K 69
I do not own any of the characters. Y/n are a supe. But not a famous one, that didn't work out. Now you are one of the sevens PAs. Maybe, briefly Th...
55.9K 576 45
Trust me you will gag *ITS FUNNY AND LAME* But pls give it a try
210K 1.1K 196
Mature content
17.4K 1.5K 35
Story of a family - strict father, loving mother and naughty kids.