ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

36. Makna Keberadaan

5K 1K 192
By itsfiyawn

Ini partnya panjang, banyak paragraf, tapi tolong baca baik2 ya. Ini perasaan gue(Army).

===========================

I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things

===========================

Pernahkah lo merasakan sakit yang terlalu, sampai-sampai lo nggak merasakan apa pun lagi? Lo nggak sedih, juga nggak senang, nggak marah, lo nggak tahu lo sedang merasakan apa. Kayak semacam... sudah mati. 

Sorry, mungkin kalian nggak bisa menangkap arti perkataan gue barusan. Cuma, inilah yang gue rasakan sekarang. 

Di meja makan, biasanya kami sekeluarga punya banyak cerita hangat. Terutama dari Bunda, Alka, atau gue kadang, dan sesekali Koko. Ayah jadi supporter kalem dengan senyum yang sedikit. Tapi, sekarang gue merasa cerita-cerita mereka hambar. Bahkan, gue jadi bertukar posisi dengan Ayah. Gue yang lebih banyak diam, senyum secukupnya, sementara Ayah jadi lebih banyak ambil pembicaraan. 

Gue, yang biasanya meninggalkan meja makan paling terakhir sebab harus menghabiskan lauk yang masih sisa di piring Alka, sekarang jadi yang paling pertama meninggalkan meja makan. Segera pergi ke kamar dan nggak akan keluar seharian. 

Gue sadar betul perubahan diri gue. Dan gue yakin keluarga gue juga menyadari apa yang berubah dari seorang sulung bernama Army Senarya Al Fatih. Apakah mereka komentar? No. Dan gue nggak butuh komentar, motivasi, apalagi pertanyaan mereka. 

Satu-satunya yang nggak pernah gue sadari sejak perubahan ini terjadi adalah... air mata yang suka turun tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Tanpa permisi. Turun gitu aja. 

Seperti ketika gue terbangun pada jam tiga pagi beberapa hari lalu. Tanpa melepas mukena yang gue kenakan, gue pergi ke dapur mengambil minum. Melamun sebentar di sofa ruang tamu yang temaram dan sunyi. 

Tiba-tiba Koko keluar dari kamarnya, memakai sarung, rambutnya basah. 

"My, lo ngapain?" Dia mendekati gue. "Lo nangis lagi?" Koko menunduk, raut wajahnya prihatin. 

Gue memegang pipi. Shit! Pipi gue basah. 

Cobaan ini nggak berhenti sampai di situ. 

Terkadang, mata gue nggak bisa diajak kompromi. Nggak tahu tempat dan waktu. 

Pernah hal ini terjadi di tempat gue magang. 

Kami tengah membicarakan sebuah pembagian job buat gue dan Nanang yang dipimpin salah satu kepala divisi yang sekaligus menjadi pembimbing gue di kantor. Sedang serius menyimak atasan gue, beliau menghampiri gue di tengah rapat.

"Kamu nggak apa-apa? Ke toilet sana. Cuci muka." Beliau tidak marah, bahkan tersenyum. Senyum yang gue nggak tahu apa maknanya. 

Gue bingung. "Saya nggak apa-apa, Mbak. Saya nggak ngantuk, kok," sanggah gue karena nggak paham kenapa beliau nyuruh gue cuci muka. Ketika gue mengusap wajah, pipi gue terlanjur basah oleh sesuatu yang nggak gue sadari sebelumnya. Gue pun menuruti sarannya untuk pergi ke toilet. 

Semua orang khawatir sama gue. Tak terkecuali diri gue sendiri. 

Di rumah, di kantor, bahkan di tempat ramai kayak swalayan, air mata gue mengalir seenaknya. Seakan mereka nggak betah melembapkan lensa gue. Berebut keluar dari sana bak dikejar sesuatu mengerikan yang muncul dari dalam kepala gue. 

"Mata Anda baik-baik saja. Tidak terjadi kerusakan apa pun. Semuanya normal. Anda juga tidak memiliki kelainan mata seperti miopi, hipermetropi, ataupun silinder." Begitu kata dokter mata yang gue kunjungi hari ini. 

Saat matahari berwarna keemasan di ufuk barat, gue termenung di balkon kamar. Duduk di kursi malas, menikmati semilir angin dan sore yang kata orang hangat. Tapi bagi gue, sejak kepergian Ibu, semuanya terasa dingin. Sedingin tatapan Bima di pemakaman waktu itu. 

Gue mencoba mengirim pesan ke Bima, lebih dari tiga kali semenjak meninggalnya Ibu. Tidak ada satu pun yang dibalas. Bahkan ceklis satu. Kayaknya gue diblokir. 

Bibir gue melengkung, ada tawa sinis yang gue persembahkan untuk diri gue sendiri. Untuk si bodoh yang nggak bisa bangkit dari penyesalannya. 

"My, ada Langit dan Bulan." Bunda masuk ke dalam kamar. Gue hanya mengangguk sekilas. 

Bulan menghampiri gue, Langit berdiri di belakangnya. 

"Kalau kalian ke sini cuma buat ngehibur, atau kepo, atau ngajak gue ngobrol, mending pulang aja," kata gue lebih dulu. 

Bulan duduk di kursi kosong sebelah gue. Ikut memandang ke jajaran loteng rumah, atau ke burung gereja yang terbang berkawanan. Sayangnya, pandangan gue nggak ke mana pun. 

"Aku ke sini, mau kasih kamu cookies. Waktu SD, kita sering banget buat cookies."

"Itu dulu. Sebelum gue tahu cookies itu bikin gigi gue rusak." 

Gadis itu tertawa pelan. Ekor mata gue meliriknya, kondisinya jauh lebih sehat dibanding terkahir kali kami bertemu. Rambutnya sedikit lebih panjang. 

Dan, kami sama-sama terdiam. Menyaksikan bersama bagaimana cakrawala berubah warna, keindahannya sirna, berganti keungunan sebelum akhirnya gelap sempurna.

Sebelum beranjak, tangan Bulan terulur ingin menyentuh wajah gue. Refleks, gue menarik kepala ke belakang, "Ngapain?" Alis gue trangkat. 

Bulan menerbitkan sabit di bibirnya, "Nggak perlu memendam semuanya sendiri," katanya menyapu cairan bening yang turun dari mata gue. 

Shit! Kenapa lagi, sih?!

******* 

Sabtu siang, Nanang datang ke rumah gue. Samar-samar gue dengar Bunda mengobrol sebentar dengan Nanang, kayaknya perihal kondisi gue. 

Pintu kamar gue dibuka dari luar. Cowok yang berkulit sawo matang dan tahi lalat di pipi kirinya itu, menatap gue datar. Mungkin, cengiran lebar khasnya tengah ia museumkan, atau dia buang ke selokan. Entahlah. Mukanya jadi serius. 

"Kalau elo ke sini cuma buat ngehibur, atau kepo, atau ngajak gue ngobrol, mending pulang aja." Kepada siapa pun yang tampaknya mau nemenin gue, kalimat itu pasti akan gue lempar lebih dulu. 

Oh, God! Gue nggak butuh dihibur! Gue nggak butuh dikasihanin! Yang gue butuhin adalah cara mencopot mata biar cairan bening sialan ini nggak terus-menerus turun kayak air di musim hujan.

Nanang duduk di kursi meja belajar gue. "I know how you feel right now."

"Nggak mungkin lo tahu, Nang. Mustahil. Mustahil ada manusia, selain gue, yang air matanya demen banget keluar, padahal dia nggak punya penyakit mata." 

"Yang sakit bukan matanya. Hatinya." 

Gue tertegun. Ada yang menyentil ke dasar hati gue. Hati yang gue pikir udah mati karena nggak pernah merasakan hal apa pun lagi. 

"Gue putus sama Gege," ceritanya lebih dulu. 

Gue menatapnya, "Kenapa?" 

"Apa lagi kalau bukan karena orang tuanya yang nggak setuju. Dan Gege nggak bisa ngebantah. Ya udah, gue juga nggak bisa maksa." Nanang melempar-lempar bola kasti ke udara. 

"So--Sorry..." Kayaknya, yang berdua di hari ini bukan hanya gue seorang. Sahabat gue sedang ditimpa musibah, dan masih sempat menengok gue yang sekarang nyaris gila ini. 

"Lagian, tinggal cari yang lain. Yang mau ama gue banyak kali." Kali ini dia sok percaya diri. 

Gue terkekeh, "Bohong. Lo masih sayang Gege," sahut gue yang hapal banget sorot mata Nanang. 

Lelaki itu tersenyum, "Dan lo sayang banget sama Bima." 

Nama itu... 

Nama yang bikin tubuh gue menegang, ditambah mata gue perih. Gue menunduk, berusaha mengendalikan rasa sedih yang lambat laun merayap. 

"Lo paling tahu gimana gue. Begitu pun sebaliknya." Nanang menjeda. "Kita ini dua manusia yang hatinya lagi terluka. Makanya gue paham apa yang terjadi sama lo sekarang, dan lo tahu gimana isi hati gue. Karena kita ngerasain hal yang sama. Sesimpel itu, ya nggak, sih?" 

Gue mengangguk, membenarkan kata-katanya. 

"Lo tahu gimana gue sayang banget sama Gege, dan dia punya rasa yang sama ke gue. Tapi ada satu dinding bernama orang tua yang menghalangi hubungan kami. Yang pada akhirnya jadi alasan kuat kami harus berakhir." 

Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. "Tapi, itu cuma salah satu cobaan. Kita nggak tahu 'kan, masa depan akan seperti apa? Sekarang gue masih tetap perjuangin Gege, dengan cara gue. Bisa jadi, kalian juga kayak gitu."

Gue tertawa sumbang. "Nggak, Nang. Beda. Lo dan Gege masih saling sayang walaupun udah putus. Sementara gue dan Bima... enggak..." Kali ini, gue sadar, air mata itu kembali menganak sungai di pipi dan... gue biarkan. 

"Tapi lo sayang sama Bima 'kan?" 

Bukannya menjawab, gue malah terisak. Entah serbuan tangis dari mana yang bikin gue seperti ini. Lagi-lagi, sakit di dada muncul, menyesakkan. Gue pikir di dalam sana sudah mati, tidak lagi berfungsi. Ternyata, gue tertipu. Selama ini, hati gue hanyalah sebuah bongkahan rasa sakit dan penyesalan yang tertutup debu kepura-puraan.  

******* 

Gue memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang pernah gue dan Bima kunjungi. Sekadar ingin tahu, apa reaksi gue jika melihat tempat-tempat itu. Bagaimana debar jantung dan aliran darah yang mengalir ketika gue mengingat pernah ada 'kami' di sana. 

Kampus. Tempat yang ternyata setiap titiknya adalah gue dan Bima. Gedung Fasilkom jadi saksi bisu awal pertemuan kami. Gedung Utama seakan melempar gue kepada ciuman pertama yang dicuri Bima. Parkiran yang selalu ramai saat gue dan Bima pulang bersama. Dan, lapangan pusat kampus, tempat kemunafikkan gue mengenyahkan Bima. 

Stasiun dan pasar malam tak absen untuk mengingatkan bagaimana perasaan gue muncul namun selalu berhasil gue tampik.     

Taman dan Kafe yang ternyata dekat dengan rumah Bima, mengingatkan gue bagaimana rencana konyol itu dimulai. Rencana yang pada akhirnya melilitkan diri gue sendiri. Boro-boro membuat Langit menyesal. Yang ada, gue dan Bima sama-sama tersasar pada perasaan kami. Semuanya runyam. 

Terakhir, rumah Bima. Rumah Ibu. Bangunan sederhana yang menyimpan banyak kisah di dalamnya. Bangunan yang sekarang gue tatap dari kejauhan, enggan mendekat. Nyaris sebulan pasca kepergian Ibu. Kedai kembali ramai, Yura tampak sibuk di dalam sana. 

Ah, gue kangen. 

Kangen cerita Ibu, ngobrol bareng Yura, atau pun kejutan-kejutan kecil... Bima. Gue merindukan rumah, beserta orang-orang di dalamnya. 

Gue memutuskan pulang, membawa segenap perasaan yang nggak bisa lagi gue tutupi. Menghapus debu kepura-puraan agar gue bisa memeluk bongkahan sakit dan sesal sekaligus. 

Sembari mengendarai motor, gue menangis sekencang-kencangnya. Membiarkan air mata ini mengalir sederas mungkin. Teriakan, sesenggukan, semuanya gue lakuin. 

Sebab gue lelah.

Boleh, kan? Malam ini saja...

Gue mau jujur sama diri gue sendiri. Luka ini terlalu sakit untuk gue tahan. Angin dan lampu jalan bisa jadi menertawakan gue. Atau bahkan pengendara lain yang mendengar gue menangis, menengok ingin tahu apa yang terjadi. Tapi, terserah. 

Kali ini, gue paham. Kehilangan adalah guru terbaik yang mengajarkan makna keberadaan. 

Karena di saat orang itu masih ada di dekat kita, masih berseliweran di hidup kita, kita nggak akan sadar seberapa penting peran mereka, seberapa besar pengaruhnya ke hidup kita. Ketika mereka telah pergi, barulah kita sadar. Ternyata mereka membawa sebagian besar hati kita, puzzle di hidup kita yang tanpanya hidup nggak akan lengkap, bahkan tanpanya kita nggak bisa hidup. 

===========================

Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape
'Cause I'm not fine at all

===========================

Diam, 

Tunggu situ. Aku  akan segera update lanjutan part ini. Tadinya aku mau lgsung post 2 chapter tapi klean2 sudah berkoar-koar, tidak sabar. Ya sudah, ini kalian baca dulu. Jangan lupa vote dan komen. 

Sambil nunggu rame, aku nulis dulu bentar yaaaaaa...

And... ending will come. 

Continue Reading

You'll Also Like

356K 31.8K 50
Memiliki rasa cinta sepihak selama satu tahun membuat Noah dihadapkan pada dua pilihan; menyerah atau bertahan. Dan ketika dia memilih untuk bertaha...
8.8K 1.7K 37
"Kalau memang begitu, kenapa semua perempuan berlomba untuk memenuhi standar kecantikan?" * Present: Kimora Amaya Kusuma🌧️ Yohan Rahmat Wijaya☀️ S...
65.6K 6.3K 31
Dari semua hal yang ada di dunia, Biru hanya ingin mereka semua menganggap kehadirannya ... nyata. ******** Follow my ig : @fatta_melly06 @diaryy_me...
Peka By -

Romance

67K 5.6K 40
Jangan sampai jika semua usaha tanpa disertai dengan kata-kata, pada akhirnya kata yang bisa diucapkan hanyalah, "Selamat ya!" Copyright©2020