Alexander menghentikan motornya tepat di depan sebuah rumah sakit. Masih tanpa suara, ia memarkir motornya di bawah sebuah pohon besar lalu membimbingku turun.
Aku tak berkata apa-apa, hanya saja pikiranku kian kesana-kemari, apalagi dia membawaku ke sebuah rumah sakit khusus untuk rehabilitasi mental.
"Ayo...." dia meraih tanganku, berjalan dua langkah di depanku dengan jemari kami yang salingbertautan.
Aku meliriknya diam-diam. Seperti biasa, wajahnya tampak tenang. Hal itulah yangmembuatku merasa bersalah. Apakah aku terlalu berlebihan dengan memintanya untuk menjelaskan semua tentang dirinya padaku?
Alexander masih belum bersuara, sampai kami tiba di dalam rumah sakit dan masuk salah satu bangsal. Beberapa perawat tiba-tibamenyambutnya dengan ramah, berarti mereka memang sudah dekat dan Alexander sering datang kesini.
"Mas Alex kok kesini lagi?" sapa salah seorang suster muda dengan rambut tergelung. Dia melirikku sekilas, namun kembali mengacuhkanku.
Aku lihat Alexander hanya tersenyum.
"Iya. Bisa masuk sekarang?" ia menujuk sebuah pintu kamar pasien paling ujung yang tertutup rapat.
Suster itu mengangguk.
"Silakan." Jawabnya. "Baru selesai saya mandikan tadi."
Alexander hanya mengangguk, mempercepat jalannya dan akupun mengikuti langkah besar-besarnya tersebut. Semakin mendekati kamar yang dia maksud, aku merasakan jika dia semakin kuat meremas tanganku. Mungkin dia butuh sebuah kekuatan, agar aku bisa menerimanya setelah ia memperlihatkan sebuah fakta dibalik pintu tersebut.
***
Pintu yangterbuat dari papan berwarna cokelat itu berderit pelan, bau dari pewangi loundry serta pengharum ruangan menyengat hidungku saat pertama kali aku bernafas setelah Alexander membuka pintu.
Mataku nyalang mengitari sekeliling, sebuah ruangan tak terlalu lebar namun bersih dan rapi. Di atas nakas terdapat sebuket bunga mawar merah yang kelihatan masih segar. Begitu juga di sebuah meja kaca kecil di pojok ruangan. Namun bukan mawar itu yang mengalihkan perhatianku. Melainkan pada seseorang yang duduk tenang di atas kursi roda dengan memakai baju pasien. Seseorang yangternyatawanita itu sama sekali tak terpengaruh pada derit pintu yangbaru dibuka Alexander. Dia tetap menatap kosong ke arah taman dari balik jendela kamarnya. Aku tak yakin jika ia tak mendengar suara gaduh barusan, atau ia pura-pura tak mendengar?
"Ma....Alexander datang lagi." Cowok di sampingku itu melangkah perlahan mendekati wanita yangbaru saja dipanggilnya 'ma' tersebut.
Aku membeku. berdiri kaku layaknya patung. Hanya ekor mataku saja yang terus mengikuti gerak langkah kaki pacarku itu, duduk berjongkok dengan satu kaki di depan wanita setengah baya tersebut lalu tersenyum lembut.
Aku tak yakin apa maksud dari panggilan 'ma' tersebut. Namun ada satu hal yang menggelitik pikiranku. 'ma' berarti mama. Bukankah begitu?
Mungkin karena melihatku tak bergeming, akhirnya cowok itu menoleh ke arahku.
"Sha...." panggilnya. Sorot matanya teduh memandangku. Tak ada sebentuk emosi pun dari tatapan itu. Alexander justru terlihat rapuh dan tak berdaya.
"I...iya...." jawabku gagap. Aku tak bisa menyembunyikan degup di jantungku. Pertama aku gugup karena bertemu dengan keluarga pacarku, dan yang kedua aku tidak yakin jika keadaan wanita di depan Alexander itu baik-baik saja.
"Ini mamaku." Katanya lagi.
Aku menahan nafas. terkejut? Sudah pasti! Meskipun aku sudah menerka jika wanita setengah baya itu adalah mamanya, namun tetap saja pengakuan jujur dari Alexander membuatku semakin tak bisa berkata-kata.
Aku tersenyum kaku, meremas-remas jemari untuk mengusir canggung.
"Sini..." ia melambai ke arahku. Seulas senyum muncul dari bibirnya.
Aku menurut, perlahan kuayunkan langkahku mendekati Alexander dan mamanya yang berada di depan jendela yang sedikit terbuka. Angin sejuk memainkan rambutku setelah aku sampai di depan mereka.
Wanita itu cantik. Sangatcantik malah. Meskipun beberapa keriput sudah nampak di wajahnya, serta tatapn kosong yang terpancar dari matanya. Namun tak bisa menyembunyikan kecantikan aslinya.
"Mah....ini Alisha. Pacar Ale yang Ale ceritain dulu itu." Alexander melirikku, menggoyangkan jemari wanita itu perlahan.
Aku menyunggingkan senyum malu sekaligus bingung. Sejujurnya aku bahagia, ternyata dia sudah bercerita tentang aku pada mamanya. Namun bukan itu masalahnya sekarang. Yang menjadi pikiranku adalah, ada apa dengan mamanya Alexander? Kenapa dia berada di sini? Termenung sepanjang waktu dengan sikap apatis seperti itu.
"Tante....em...." aku berjongkok di samping Alexander lalu menoleh padanya.
"Risa. Mamaku namanya Risa." Dia seolah mengerti maksudku.
"Hai tante Risa. Nama saya Alisha." Aku menjabattangan dingin itu perlahan.
Kulihat tante Risa melirikku, namun tetap tanpa suara sedikitpun. Tak ada penyambutan istimewa atau pelukan hangat selamat datang. Namun aku mengerti, bahwa keadaan tante Risa tak sebaik itu.
"Sha.....mama suka sama kamu!" Alexander tersenyum lebar. "Iya kan ma? Mama suka kan sama pacar Ale?" sedangkan tante Risa hanya diam saja, membisu tak berarti.
"Benarkah?" Aku mencoba tersenyum meski terkesan canggung.
Alexander mengangguk cepat.
"Mama jarang kasih respon kayak gini Sha. Dia hanya mau kasih respon sama orangyang dia mau, dan sama orang yang disukainya." Aku melihat mata Alexander yang tak biasa. Ia tampak berbinar, dan penuh harapan.
"Tante... tante jangan khawatir ya. Alisha akan jaga Alexander dengan baik dan mencintainya dengan baik, seperti tante mencintai dia. jadi, tante fokus dengan kesehatan tante di sini." Meskipun aku tak tau alasan tante Risa bisa sampai di rumah sakit ini.
Sekali lagi aku merasa jika tangan dingin yang kupegang ini memberikan respon dengan sedikit meremas jemariku.
Sedikit.
****
"Mama depresi Sha." Kata Alexander membuak suara saatkami berada di cafetaria rumah sakit.
Aku menyesap tehku, pura-pura biasa saja. padahal batinku menjeritsejak tadi, ingin tahu penyebab tante Risa berada di sana.
"Kenapa?" tanyaku hati-hati. Takut jika dia menganggap aku terlalu ignin tahu tentang masalah keluarganya. Sebenarnya aku merasa bersalah karena sudah memaksanya untuk menceritakan masalah keluarganya.
"Karena papa selingkuh." Dia menunduk, mengaduk-aduk es teh di hadapannya dengan sedotan.
Bibirku terkatup. Cukup! Jika ia sudah merasa tidak nyaman, tak perlu dibahas lagi.
"Sudah lebih dari lima tahun mama seperti itu. papa selingkuh, dan meninggalkan mama..." desah Alexander pelan. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa dia benar-benar sedih sekarang. Alexander yang biasanya terlihat garang tiba-tiba tak kutemukan di dirinya saat ini. Yang ada hanya pria lemah dan membutuhkan sebuah bahu untuknya bersandar.
"Mama sering kambuh. Tiba-tiba saja dia bersikap impulsif. Ngamuk di rumah, memecahkan apa yang ada di depannya dan bahkan melukai dirinya." Lanjutnya. "Setiap mama kambuh, aku selalu membawanya ke rumah sakit ini dan menemaninya sampai mama bisa di bawa pulang kembali."
Aku mengulurkan tangan, meremas jemarinya yang berada di atas meja. Tak kusangka jika hidupnya serumit ini. orangtua bercerai dan mamanya sakit. Aku mulai bersyukur dengan hidupku. Tinggal dengan papa mama yang begitu menyayangiku dan kami harmonis.
"Kamu tidak perlu cerita kalau memang tidak bisa. Jangan memaksakan diri." Hiburku kemudian. Aku beralih ke kursi yang berada di sampingnya, menarik tubuhnya dan memeluknya dengan hangat. Sedetik kemudian aku mendengarnya tergugu pelan. Aku tahu dia menangis, dan aku yakin jika hari ini dia baru saja berhasil mengeluarkan apa yang selama ini disimpannya sendiri, jauh di dalam hati.
"Maafin aku ya Al." Desisku perlahan untuk.
"Buat apa?"
"Karena memaksamu untuk memberitahukan ini semua."
Dia menggeleng pelan.
"Sebenarnya aku juga ingin menceritakannya padamu suatu saat nanti." Katanya. "Hanya saja aku belum sepenuhnya siap."
Aku mengerti. Perasaan bersalah tiba-tiba membelengguku. Mungkin aku terlalu memaksanya untuk bercerita tentang hal ini.
"Aku merindukanmu Alisha." Ucap Alexander kemudian. Ia menatapku lalu menyelipkan anak rambut di belakang telingaku. "Makanya aku mencarimu. Aku tersiksa menahan rindu berhari-hari."
"Sama Al. Aku juga merindukanmu. Sangat." Sahutku, lalu kembali mendekapnya dengan erat.
****