ARMY (Completed)

By itsfiyawn

326K 44.6K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)

5.8K 976 370
By itsfiyawn

Ibu:
Mi, kamu bisa bantu Ibu bikin kue, nggak?

Lima menit berlalu, Army menimang-nimang jawaban yang tepat. Sudah tiga kali Ibu menawarkannya main ke rumah Ibu, tetapi Army menolaknya secara halus. Ia pun tidak enak kalau harus menolak lagi, sebab Yura tak pernah absen mengirimnya kue buatan Ibu.

Kalau dirinya mengiyakan, ia takut bertemu Bima. Army pun memberanikan diri bertanya lebih dulu.

Army:
Ada Bima nggak, Bu?

Ibu:
Nggak ada, kan dia kerja. Yura juga ngilang dari pagi. Ibu sendirian, nih.

Tanpa pikir panjang, Army menyambar jaketnya, meluncur ke rumah Ibu. Semangatnya meluap dan kesedihannya berangsur membaik.

Akhirnya, ia bisa bertemu Ibu tanpa khawatir kehadiran Bima yang membuatnya tidak nyaman. Army mengendarai motornya gesit, sesekali ia bersenandung ria saat lampu merah menyala.

Army sampai di rumah Ibu setengah jam kemudian. Tulisan 'Tutup' terpampang di pintu kaca yang setengah terbuka. Ibu sedang menyalakan mixer ketika Army mengetuk pintu, memberi salam.

Ibu menyambut Army, memeluknya.

"Kamu apa kabar? Udah lama nggak ke sini."

"Army baik, Bu. Ibu gimana? Sehat, kan?"

Ibu mengangguk. "Alhamdulillah. Yuk, bantu Ibu bikin kue. Ibu punya resep baru, loh."

Keduanya larut dalam aktivitas membuat kue diselingi percakapan ringan yang menyenangkan. Army bukan orang yang mudah mencari topik obrolan, tetapi bersama Ibu, ia seakan menemukan dirinya versi yang lain. Yang penuh tawa dan lepas.

Waktu berjalan cepat tanpa terasa. Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika kue-kue telah matang dengan sempurna. Eh, tidak juga. Satu kue bolu berakhir bantet setelah dikeluarkan dari oven. Namun, rasanya tetap lezat.

Army dan Ibu duduk berhadapan di kursi kedai, memotong kue di atas meja menjadi beberapa bagian sama rata.

"Kue sebanyak ini Ibu kasih ke siapa selain buat keluarga Ibu?" tanya Army yang tangannya bergerak hati-hati membelah kue bolu.

"Ke tetangga. Ke orang-orang yang kerja di sini. Ke siapa aja yang lewat."

Army mengangguk paham.

"Tunggu sini. Ibu punya sesuatu buat kamu." Ibu pergi ke atas sementara Army memotong kue yang meskipun sudah ia potong dengan penuh perhitungan, ukurannya tetap tidak sama.

Ibu kembali membawa sebuah kotak beludru berwarna merah. Wanita itu duduk di hadapan Army, senyumnya mengembang.

"Ibu mau kasih ini ke kamu." Ibu menyodorkan kotak itu kepada Army.

Gerakan Army terhenti. Ia melihat kotak pemberian Ibu dengan tatapan bingung.

"Ayo, buka." Ibu mengangguk yakin.

Ragu-ragu, Army membuka kotak itu. Sebuah cincin dengan ukiran yang sedehana berkilau diterpa cahaya lampu. Warnanya perak, sangat cantik.

"Ibu udah niatin beli ini buat Army. Harganya nggak seberapa, tapi Ibu mau anak-anak Ibu pakai ini."

"B--Bu... I--Ini..." Bibir dan jari Army bergetar.

Rasa bersalah itu menyerbu Army untuk kesekian kalinya. Mana mungkin Army bisa menerima pemberian sebesar ini dari Ibu? Dia dan Bima tidak benar-benar ada hubungan, bahkan ikatan mereka kandas sebelum dimulai.

"Ma--Maaf, Bu. Army nggak bisa terima. Bukan Army nggak mau, tapi ini... terlalu besar untuk Army..." Army menutup kembali kotak itu, mendorongnya pelan ke arah Ibu.

"Ambil saja, Army. Ini memang untuk kamu. Ibu tahu pikiran kamu pasti ke mana-mana. Jangan salah sangka, Nak. Ibu nggak ada maksud apa-apa."

Iya, Ibu emang nggak ada maksud apa-apa. Tapi aku udah bohongin Ibu. Aku bukan siapa-siapanya Bima, Bu. Aku cuma orang yang asing yang nggak sengaja dikenalkan Bima ke Ibu dan Yura. Aku nggak pantes dapat hadiah ini dari Ibu. Aku sama sekali nggak pantes, Bu.

Army menahan pedih hatinya. Ibu terlalu menganak emaskannya, padahal yang ia berikan ke Ibu hanyalah sandiwara.

"Bu, tapi..." Army tidak enak hati, kepalanya menggeleng pelan. "Aku nggak bisa terima ini, Bu. Buat Ibu aja, ya. Kalau suatu waktu butuh, bisa dijual lagi. Maaf sekali, Bu." Army saling menempelkan telapaknya di depan wajah.

Ibu tersenyum, menggenggam tangan Army, "Ibu simpan saja, ya. Nanti kalau waktunya tiba, akan Ibu kasih kamu."

Army mendengus, gelengannya kali ini lebih tegas. "Bu... sebenarnya... Army dan Bima nggak ada apa-apa, Bu. Kami..." Kata-kata Army terputus, lidahnya tiba-tiba kelu.

"Kalian putus?" tanya Ibu tenang.

Army menggeleng lagi, "Sebenarnya, aku udah bohongin Ibu..."

"Maksudnya?"

Dengan segenap keberanian yang tersisa, Army menceritakan awal mula kenapa ia bisa menjalani hubungan ini dengan Bima. Army tak ingin lagi rasa bersalah itu membebani pikirannya. Dia siap jika harus menerima amarah Ibu. Bagi Army, kemarahan Ibu lebih pantas ia dapatkan dibanding cincin seribu makna yang ada di dalam kotak beludru merah itu.

"Maafin Army, Bu. Sekarang Ibu tahu alasan kenapa Army nggak pantas dapat benda itu," kata Army dengan air mata yang menganak sungai. "Army hanya orang asing, Bu. Army bukan siapa-siapanya Ibu."

Army menutup matanya. Dia pikir Ibu akan kecewa padanya. Dia kira Ibu akan pergi meninggalkannya, tetapi Ibu justru tersenyum memegang kedua tangan Army beserta seribu kehangatan yang menjalar dari sana.

Dengan pandangan yang buram, Army menatap Ibu. "Oh jadi begitu. Terima kasih sudah jujur ke Ibu, ya."

Jika saja dia bisa menghambur ke pelukan Ibu layaknya seorang anak yang menangis karena baru saja ditinggal ibunya ke pasar. Sayangnya, Army sungkan. Dia memilih untuk menyeka pipi yang basah dan kembali menegakkan punggung.

"Tapi Ibu mau tanya satu hal sama kamu? Kali ini kamu juga harus bersikap jujur seperti tadi."

Army mengangguk sebagai jawaban.

"Apakah perasaan kamu ke Bima juga sandiwara?"

Satu pertanyaan yang Army sendiri tidak dapat menjawabnya. Pertanyaan yang selama ini menghantuinya beserta seribu kebimbangan yang menenggelamkan. Kalau saja ia cukup berani menetapkan, Army akan bilang "Aku pun menyayanginya" dengan lantang.

Army memilih diam. Kalaupun ia mengakuinya, itu tidak akan merubah keadaan yang terjadi di antara mereka.

"Tidak perlu kamu jawab kalau kamu nggak mau. Dari diam dan sorot mata kamu sekarang, ditambah keberadaan kamu di sini menemani Ibu, itu jawaban yang lebih dari cukup buat Ibu."

"Ma--Maafin Army, Bu. Army harap, Ibu tetap menerima Army walaupun sekarang Army bukan siapa-siapa lagi."

"Tentu. Hubungan Ibu dan Army nggak ada kaitannya dengan Bima."

Ya Tuhan, terbuat dari apakah hati wanita yang berada di hadapan hamba?

"Jadi kamu tetap nggak mau terima ini?" Ibu mendorong kotak beludru itu kepada Army.

Army menggeleng, "Maaf, Bu. Ini terlalu besar buat Army. Kalau Ibu kasih pilihan antara cincin ini atau dua loyang kue itu, Army dengan senang hati pilih dua loyang kue, Bu."

Ibu terkekeh. "Kamu memang Army. Ya udah ini Ibu simpan lagi, ya." Wanita itu berdiri, hendak kembali ke kamar.

Namun, baru sampai di anak tangga pertama, tubuh Ibu limbung. Bunyi benturan sontak membuat Army menengok. Ibu tergeletak memegangi dadanya.

"Ibu!" Army berlari, lalu berjongkok mengangkat tubuh kurus Ibu yang kini memucat ke dalam pelukannya.

"Ibu! Ibu kenapa, Bu?" Air mata Army mengalir lagi. Otaknya bekerja cepat mencari pertolongan pertama. Namun, dada Ibu yang tadi naik turun, sekarang melambat, sebelum akhirnya Ibu tak sadarkan diri.

"Tolong!" Teriak Army kencang-kencangnya ke arah pintu.

Siapa saja, tolong! Tolong Ibu!

"Ibu?!"

"Ibu!"

Bima dan Yura yang baru pulang, segera menghampiri Army, tergesa-gesa. Tangan Bima dengan gesit memindahkan tubuh Ibu ke dalam pelukannya, lalu menggendongnya. Keadaan genting membuatnya semuanya kalut. Army panik, Yura kaget, Bima berusaha mengendalikan dirinya. Mereka naik ke mobil yang Bima kendarai lantas pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru.

*****

Tembok-tembok bercat hijau, keramik putih yang dingin, aroma khas obat dan alkohol, udara yang menusuk dan sarat kesedihan, tempat segala macam keluhan serta wujud kabung banyak orang. Di sana, ada yang mendapat kabar baik, lebih banyak yang mendapat kabar buruk. Army berdoa, agar ia termasuk salah satu dari segelintir orang yang mendapat kabar baik.

Bima tak henti-hentinya mondar-mandir di depan ruang IGD. Yura duduk di kursi tunggu sementara Army duduk dan berdoa di sebelah Yura.

Menunggu kurang dari lima belas menit rasanya seperti bumi berhenti berputar dan waktu tidak berjalan. Bima menghembuskan napas, menenangkan diri.

"Gue mau ngomong sama lo." Bima berdiri di depan Army.

Gadis itu mengangguk, membuntuti Bima ke ujung lorong , tempat yang tidak dilalui orang.

"Gimana kejadiannya?" tanya Bima langsung.

"Gu--Gue nggak tahu, pas Ibu mau naik tangga... Dia tiba-tiba jatuh dan sesak napas," jawab Army menunduk.

"Sebelumnya Ibu ngapain?"

"Cuma bi--bikin kue dan ngobrol sama gue."

Mata Bima menyipit. "Apa yang lo omongin ke Ibu?"

Atmosfer berat menyergap sekujur tubuh Army. "Gu--Gue bilang kalau kita nggak ada hubungan apa-apa."

"Hah?!" Suara Bima naik satu oktaf.

"Gue jujur ke Ibu soal kita. Soal rencana gue, soal... semuanya." Army menggigit kuku telunjuk.

Bima mengusap wajahnya kasar. Karbon dioksida dingin berembus dari mulutnya, menusuk ke tulang-tulang di badan Army. "Kenapa lo lakuin itu?"

"Karena nyokap lo terlalu baik untuk mendapat kebohongan, Bim. Bayangin, dia sampai pengin ngasih gue cincin karena menyangka... kita... serius..." Army bingung bagaimana menjelaskan hal tersebut kepada Bima.

Tawa Bima terdengar sinis, "Dan lo pikir tindakan lo itu benar? Kalau lo nggak bisa terima, tolak aja baik-baik. Gimana kalau ternyata asmanya kambuh karena mendengar lo ngomong kayak gitu?"

Sesak di dada Army tak terhindarkan lagi. Dia memegangi dadanya, menyadari kebodohan yang baru saja dia lakukan. Kenapa dia sampai tidak tahu kondisi Ibu? Kenapa dia seceroboh itu?

"So--Sorry... Bukan maksud gue bikin Ibu--"

"Lo tahu 'kan Ibu sayang banget sama lo?" Bima mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.

"Karena Ibu sayang sama gue, makanya gue nggak bisa bohongin dia." Army menunduk, menahan perih di matanya yang berubah kemerahan.

"Lo nggak bohongin dia! Apa yang lo lakuin ke Ibu itu bukan sandiwara, kan? Jawab pertanyaan gue, apakah lo sering bantu Ibu atau Yura karena tuntutan lo sebagai variabel y?"

Army menggeleng lemah.

"Enggak, kan?! Ya udah. Berarti ini nggak ada sangkut pautnya sama perjanjian kita!" Bima mendengus kesal. "Lo tahu alasan gue ngenalin lo ke keluarga gue?"

Untuk kesekian kalinya, Army menggeleng.

"Supaya lo bisa bergabung jadi semestanya gue. Biar... Biar lo tahu siapa aja yang berharga buat gue sekarang."

Ada yang remuk di dalam tubuh Army. Antara jantung dan hatinya, atau keduanya. Tidak. Yang remuk lebih dari itu.

Bima menjambak rambutnya sendiri. Penampilannya lebih berantakan sekarang. "Tapi, mungkin gue yang salah. Mungkin... Lo merasa itu bukan apa-apa, cuma hal remeh-temeh. Harapan gue aja yang terlalu tinggi." Suara Bima semakin serak.

"Bim..." Lengan Army bergerak untuk menyentuh pundak Bima. Namun, untuk pertama kalinya, sepanjang hidup Army mengenal Bima, lelaki itu menepis tangan Army.

"Nggak masalah buat gue, kalau lo memutuskan pergi. Bahkan, seandainya lo nggak mau berhubungan lagi sama gue, atau sama keluarga gue, it's ok, itu pilihan lo."

Pipi Army merah, anak sungai kecil mengalir deras di lekuk wajahnya.

"Tapi... Tapi bukan berarti lo bisa nyakitin keluarga gue..." Bima parau.

"Gue nggak ada maksud kayak gitu, Bim. Sama sekali nggak ada..."

"Gue udah ngasih tahu lo, seberapa berharganya Ibu buat gue. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ibu..." Jakun Bima niak turun, lidahnya seketika kaku, sulit digerakkan.

"Bim!" Panggil Yura yang berdiri menyambut dokter yang baru saja keluar ruangan.

Bima berlari ke pintu IGD, meninggalkan Army yang berjalan linglung di belakangnya.

"Gimana kondisi Ibu saya, Dok?"

Dokter lelaki yang telah berusia lanjut itu, memasang ekspresi berduka, "Mohon maaf, tetapi Ibu Anda tidak bisa diselamatkan. Kami pikir beliau dapat segera dilarikan ke ruang ICU, namun detak jantungnya telah berhenti. Penyebabnya karena asmanya kambuh. Saya mohon maaf."

Bima mematung di tempatnya. Jiwanya seperti dilempar ke alam antah berantah yang meluluhlantakkan setiap inci sel syaraf yang melekat padanya. Kejadian itu kembali terulang, sakit yang mau tak mau harus ia terima akibat sesuatu yang bernama kehilangan.

Ibu.

Sosok yang sekarang menjadi inti dari poros hidupnya, terbujur kaku di ranjang besi berselimutkan kain yang nyaris menutupi seluruh tubuhnya. Poros semestanya mati, orbit hidupnya perihal masa depan kini hancur berantakan.

Yura menerobos masuk, berdiri lemas di samping ranjang Ibu sembari menangis memeluk tubuh dingin yang kaku.

"Ibu bangun, Bu... Jangan tinggalin Yura, Bu... Maafin yura sering membantah ucapan Ibu. Yura janji nggak akan ulangin lagi, Bu." Yura sesenggukan, menggerak-gerakkan lengan Ibu.

"Ibu belum lihat pernikahan Yura, kan? Ibu pengin Yura segera menikah, kan? Makanya Ibu bangun, ya." Perempuan itu berlutut di bawah kasur besi. "Kalau Ibu mau jodohin Yura, Yura ikhlas, Bu. Asal Ibu jangan tinggalin Yura... Apa pun Yura lakukan asal Ibu bisa bangun lagi... Bisa sehat lagi..."

Bima memeluk Yura, membantu kakak satu-satunya yang ia punya agar berdiri. Yura meraung-raung dalam pelukan Bima. Lelaki itu, yang kakinya gemetaran namun harus tetap berdiri agar tidak tumbang, demi menopang sang kakak yang tak lagi punya tenaga.

Kalau bukan Bima, siapa lagi? Dia yang harus paling tabah, berdiri paling tegak, menjadi penopang paling kuat. Bukankah itu arti seorang pria? Kendatipun di dalam dirinya tak kalah hancur, tak kalah melebur. Bahkan lompat dari lantai tertinggi lebih menggiurkan daripada dihujam rasa kehilangan yang mematikannya perlahan.

"Maaf, Pak, Bu, jenazahnya harus segera dipindahkan. Untuk administrasinya boleh ikut saya?" Seorang suster dibantu beberapa perawat mendorong kasur roda Ibu setelah lebih dulu wajah Ibu ditutupi selimut.

Bima mengangguk. Dibelainya rambut Yura perlahan, "Lo tunggu situ, ya. Gue urusin admin dulu."

Yura mengangguk tanpa henti tersengguk.

Army, yang dari tadi mencengkram gagang pintu, tanpa berani mendekat ke tempat Ibu terbujur kaku, berdiri termangu.

Entah sudah berapa kali tangannya menutup mulut menyembunyikan isak tangis yang hampir meledak. Bima berjalan keluar, menatap Army dingin.

Begitu sampai diambang pintu, Bima berhenti di sisi tubuh Army, "Sekarang lo puas?" Lalu melewatinya dengan menubruk pundak Army sampai nyaris terjatuh kalau saja Army tidak berpegang pada gagang pintu.

Sakit rasanya.

Bukan sakit akibat benturan pundak Bima. Bukan juga karena perilakunya yang berubah apatis. Namun karena rasa sesal paling dalam yang mesti ditelannya bulat-bulat.

Seandainya waktu bisa diputar...

Aku tidak akan membicarakan hubunganku dengan Bima kepada Ibu.

Aku tidak akan mengiyakan ajakan Ibu.

Aku tidak akan memilih Bima untuk menjadi variabel x-nya.

Aku tidak akan menyusun rencana Army on Revenge.

Aku tidak akan mengenal Bima.

Dengan begitu, Ibu tidak akan pergi. Bima dan Yura tidak akan kehilangan apapun karena kebodohanku.

Tidak akan...

*******

GEEELLLAAAAA GUE KIRA 1 PART CUKUP! TERNYATA HARUS 2 PART!

INI ADALAH PART TERNGURAS OTAK. NGURAS TENAGA, NGURAS PERASAAN GUE.

Ini nge feel gak sih? Gue merasa banyak kata yang diulang2 ya? Yaampun kalau ada yg plot hole atau typo2 bilang ya.

Mau istirahat nih, jadi tunggu 500 vote dulu baru update lagi. Happy waiting~~~ Lagi klimaks, bentar lagi tamat ;D

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 286 8
ใ€ŒBoboiboy x Readerใ€ Seseorang menaruh kardus berisi kaset vidio game di depan pintu rumahku. Setelah kulihat, kasetnya cuma kaset jadul yang tulisan...
135K 15.2K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...
8.1K 1K 37
Budayakan: FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA [Sequel BESIDE ME] Katanya kalau sudah hancur, masih bisa diperbaiki. By the way, ini hati, bukan perabotan...
53.6K 5K 41
[SELESAI] "I don't date brondong and my bestfriend's ex." Ada dua hal yang harus dipenuhi oleh pria yang ingin mendekati Agni; satu, lo bukan mantan...