iL Legame (tamat)

By dramahati

365K 17.3K 284

Pintu di depanku berderit perlahan, bersamaan dengan daun pintunya yang membuka sedikit demi sedikit. Menyemb... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Pengumuman Penting!!!
Tanya Dong
HALO.....

Bab 8

10.7K 602 7
By dramahati

                "Alisha bisa minta tolong." Wajah ramah itu tersenyum padaku."Tolong antarkan buku-buku ini pada Nadine. Aku tak bisa kesana sekarang karena menjadi panitia pertandingan. Dan dia membutuhkan buku-buku ini sekarang."

Itulah yang dikatakan Anet, teman sekelasku saat ia menepuk pundakku beberapa waktu yang lalu.

Kita memang bukan sahabat, namun tak ada salahnya juga bagiku untuk menolongnya mengantarkan buku-buku itu ke rumah Nadine. Lagipula aku bebas, sudah tidak ada perkuliahan hari ini.

Dan sekarang, lewat secarik kertas berisi alamat yang diberikan Anet padaku tadi. Aku berjalan menyusuri satu persatu perumahan elite di depanku. Rumah bernomor 34 dengan cat warna coklat.

Ketemu!

Tanpa menunggu lama, aku langsung memencet bel. Dan tak lama kemudian pintu pagar berbahan papan kayu itu terbuka, Nadine muncul dari dalam.

"Haiii Alisha...." dia mencium pipi kanan kiriku. "I'm so sorry...sudah ngerepotin lo."

Aku tersenyum, menyerahkan kardus berisi beberapa buku tebal itu pada Nadine.

"No problem. Gue juga lagi free kok." jawabku.

"Masuk dulu yuk?" ajak Nadine kemudian.

Aku menggeleng.

"Enggak usah. Udah sore Nad. Lagipula gue mau ngerjain tugas dari profesor Anton." Tolakku halus. Aku dan Nadine tak begitu akhrab, dan aku rasa kami akan canggung nanti jika Cuma berdua saja. Apalagi aku tipe orang yang tidak bisa basa-basi.

"Yaaah..." Nadine menghela nafas kecewa. "baiklah kalau begitu. Thanks a lot." Ia mengangkat kardusnya tinggi-tinggi.

Aku tersenyum. Menepuk lengannya pelan sebelum akhirnya meninggalkan rumah Nadine. Berjalan kaki menuju jalan besar untuk mencari taxi, angkot, bus atau angkutan umum lainnya.

Sore ini begitu tenang dan juga lumayan nyaman. Angin sore berdesir lembut, memainkan pucuk pohon palem yang berderet rapi sebagai pembatas jalan. Berderet rumah megah dengan pintu gerbang tertutup tampak berbaris saling berhadapan. Aku berjalan perlahan, selain tak ingin capek, juga kedamaian ini rasanya terlalu sayang untuk dilewati.

Aku lupa sudah berjalan sejauh mana, tapi telingaku tiba-tiba mendengar pintu gerbang berderit, seseorang sedang membukanya. Namun aku tak menoleh, berjalan santai menjauhi suara dari belakangku tersebut.

"Alisha?"

Dan kini aku menghentikan langkahku. Memastikan jika aku tak salah dengar.

"Alisha!" suara itu kembali memanggilku. Aku tak ingin mempercayai pendengarannku. Namun suara itu,....

Akh! Kenapa harus mendengar suara itu lagi sekarang?

"Lo pura-pura tuli, atau tuli beneran?!"

Dan kali ini aku menoleh, dengan tangan terkepal kuat karena kesal.

Benar seperti dugaanku, cowok berbaju hitam itu berdiri menatapku dengan senyum miring yang menyebalkan seperti biasanya.

"Dunia memang sempit, atau lo yang sengaja ngikutin gue kemari?" ia berjalan mendekatiku.

Aku tak menjawab, kepalaku justru beralih pandang pada rumah megah dengan gerbang terbuka di depanku ini. Jadi, ini rumah dia?

"Jawab gue!" dia membuyarkan lamunanku.

Aku mendengus.

"Gue ada urusan kemari." Jawabku tak sepenuhnya bohong. "lagipula apa urusan gue dengan ngikutin lo?"

"Siapa tahu, lo penasaran sama hidup gue?" Alexander bersidekap.

Aku menggeleng, lalu tersenyum sinis.

"Ngomong sama tangan gue." Jawabku sengak, lalu berbalik arah untuk meninggalkannya.

"Hei, lo mau kemana?" ia mencekal tanganku lalu menariknya sampai aku kembali berbalik berhadapan dengannya.

"Apa'an sih!" Aku berusaha melepaskan tangannya namun sia-sia. Aku kesal karena setiap kali bertemu dia selalu menarik-narik tanganku. Apa dia pikir tidak sakit?

"Tadi 'kan gue udah bilang, kalau mau ngajak lo jalan-jalan." Jawabnya.

Aku menatapnya tak mengerti. Jadi apa maksudnya dengan mengajakku jalan-jalan, saat aku tak pernah mengiyakan apapun permintaannya. Dan.....apakah aku dan dia sedekat itu? sampai harus pergi 'jalan-jalan' berdua?

"Kalau diem aja berarti jawabannya iya." Tanpa menghiraukanku, Alexander menarik tanganku membawanya masuk ke dalam pekarangan. Membuka pintu mobilnya yang ternyata terparkir di situ, memasukkanku dengan mudah, memasang sabuk pengamanku, mengitari mobilnya dan sampailah dia dibalik kemudi. Tersenyum sinis padaku, lantas menghidupkan mobilnya dan menginjak gas seenaknya.

Sedang aku?

Aku hanya berdoa semoga saja ia tak membawaku masuk ke hotel, memperkosaku lalu membunuhku dan membuang mayatku di pinggir jalan.

****

Setidaknya aku sedikit bernafas lega saat ia menghentikan mobilnya di tepi jalan raya. Tapi bukan berarti aku bisa bernafas lega sepenuhnya. Karena sekarang hal lain di luar pemikiranku sedang terjadi. Dari apa yang aku lihat sekarang, Alexander membawaku ke sebuah ajang balapan liar di pinggir jalan. Sebuah pemandangan yang belum pernah ku lihat selain dari televisi.

Aku ragu-ragu untuk menurunkan kakiku saat dia membuka pintu mobil untukku.

"Gue nggak mau turun." Tolakku tegas. Namun bukan Alexander namanya jika tak memaksa. Seperti biasanya, tanpa persetujuanku ia menarik tanganku begitu saja berjalan membelah kerumuman orang-orang yang sedang asyik dengan dunianya. Minum, becanda tawa antara laki-laki dan perempuan. Dan yang paling membuatku kesal adalah para cewek disini memakai baju yang sangat tidak sopan.

"Hai...Al....!" seseorang berbadan kekar, bertato hampir di seluruh bagian tubuhnya kecuali di muka, bertindik banyak dan berambut cepak itu mendekati kami. "Bawa cewek baru nich?" ia lantas mengalihkan tatapannya padaku, dan aku yakin seribu persen jika ia menatapku dengan pandangan penuh nafsu.

Aku bergidik, perlahan merapatkan tubuhku pada Alexander dan bersembunyi di belakang tubuh bidangnya. Entahlah, meskipun aku tak bisa menjamin bahwa dia akan melindungiku, tapi setidaknya dari ratusan manusia di sini, Alexander-lah yang ku kenal.

Aku melirik Alexander yang menoleh ke arahku. "Sorry Mark, this is my girl. Lo nggak boleh deket-deket sama dia yah...?" ia tertawa setelah kembali menatap pria bertato yang bernama Mark tersebut.Meskipun aku tak terima disebut sebagai gadisnya, namun aku tak bisa melakukan apa-apa. setidaknya dia memang melindungiku dari mata brengsek cowok-cowok di sini.

Pria yang dipanggil Mark itu tertawa, lantas menepuk pundak Alexander pelan.

"Tenang, she is not my type!" jawabnya dan sekali lagi aku merasa jika posisiku mulai sedikit aman sekarang. Lagi-lagi aku mendengar seorang pria mengatakan bahwa aku bukan tipe-nya. Terserah! Dia pasti juga sependapat dengan pria di sampingku ini. Aku tidak sexy, tak memiliki payudara besar dan terlihat.......AMATIR!

"Hai sweety...." sebuah suara lain datang dari arah berlawanan. Seorang perempuan yang kurasa tak asing bagiku.

Astaga! Bukankah itu perempuan yang beberapa waktu lalu bercinta dengan Alexander saat pertama kali aku tidur di kos?

Dibelakang perempuan itu mengikuti dua orang cowok yang beberapa kali kulihat bersama Alexander di kampus. Kalau tidak salah namanya Bagas dan Samuel. Samuel yang berambut pirang dan Bagas yang berkulit sawo matang.

Aku melihat dengan mataku sendiri, bagaimana perempuan itu dan Alexander bersikap. Bahkan mereka sama sekali tak canggung saat perempuan itu mengecup pipi Alexander perlahan.

"Siapa dia?" Perempuan itu baru menyadari bahwa sejak tadi ada seseorang yang takut-takut sedang bersembunyi di belakang tubuh Alexander.

Alexander tidak menjawab, ia menarikku untuk berdiri di sampingnya lalu tersenyum.

"Cewek gue."

Dan lagi-lagi aku hanya bisa misuh-misuh dalam hati dengan pernyataan sepihaknya itu.

"Hello....my name Natasha. Dont worry....we are just friend." Ia mengulurkan tangannya padaku dan aku menerimanya dengan ragu-ragu.

What? Just friend?Padahal mereka sudah tidur bareng? Oh tidak! Segila apa kehidupan mereka?!

"Friend?" aku mengerutkan keningku tanda tidak mengerti.

Alexander menatapku dengan sudut matanya. "Friend with benefits!"

"Dengan semua cewek yang lo bawa ke kamar?" tanyaku skeptis.

Dia mengangguk dan tak terlihat terganggu dengan pertanyaanku.

"Kenapa Alisha? Ada yang salah?" ia menyeringai padaku.

Aku memutar mataku malas. Jadi begini konsep hubungan Alexander dengan semua perempuan yang sudah dicumbunya? Benar-benar tidak bisa aku mengerti.

"Finally...lo akhirnya bisa ngajak dia juga ya Al?" Samuel menyikut lengan Bagas. "Gue udah tau nama lo Alisah kan?"

"Alisha." Aku mengoreksi Samuel yang salah menyebut namaku.

"Iyes. Alisah."

Aku mendengus.

"A-LI-SHA. ALISHA! SHA! Bukan SAH!"

Bagas tertawa, dan Samuel hanya manggut-manggut mengerti.

"Oke. Alisha." Ia mengusap dagunya. "Nama yang cantik."

Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. sumpah demi apapun, ini bukan duniaku. Aku seolah sedang diculik oleh alien dan masuk ke dalam dunia mereka. Aku tak suka ini. aku rindu Abian, dan mama juga papa.

"Dia tipe idealnya Alexander guys!" Samuel menyampirkan tangannya di bahu Mark. "By the way...lo udah tahu 'kan siapa Alexander?" cowok itu memandangku dengan senyum tipis.

Aku melongo. Harus ku jawab apa pertanyaan bodoh ini? dan Samuel mengatakan bahwa aku tipe ideal Alexander? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah dia sendiri yang bilang bahwa aku bukan tipe cewek idelanya. Karena aku tidak sexy, dan bla...bla.....bla......

"Udah...udah...lo siap buat pertandingan hari ini Al?" Mark yang sejak tadidiam angkat bicara. Menginterupsi percakapan karena di depan mereka sudah berderet dua motor sport di tengah jalan.

"Oke. Gue siap!" Jawab Alexander. "Lo tunggu di sini." Ia menatapku."Ini perintah!"

Aku memutar bola mata malas. "Ya iyalah gue disini. Emang mau kemana? Pulang? Gue nggak tau jalan!"

"Bagus!" Dia melirikku sebelum akhirnya berjalan naik ke atas motor yang berwarna merah.

Dari arah berlawanan, muncul cowok berbadan tinggi dan berperawakan hampir sama dengan Alexander. Tersenyum menyeringai tak bersahabat pada kelompok Alexander. Bahkan saat cowok itu dan Alexander saling tatap, ia meludah begitu saja dengan begitu tidak sopan.

"Namanya Edgar, musuh besarnya Alexander di jalanan." Natasha berbisik padaku. Dan aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. peduli setan dengan mereka? Aku tidak kenal dan juga tak mau tau.

Perlombaan itu di mulai. Suara dari dua motor yang digeber oleh Alexander dan Edgar terdengar menderu memenuhi telinga. Seorang gadis dengan rok mini maju ke tengah arena. Berdiri diantara Alxenader dan Edgar sambil mengacungkan sebuah sapu tangan tiggi-tinggi. Dalam hitungan ke tiga, gadis itu mengayunkan tangannya dan dalam sekejap antara Alexander dan Edgar memacu kendaraannya tak terkendali. Meliuk-liuk membelah jalanan sepi.

Sorak-sorai terdengar riuh. Aku ikut menggigit bibir bawahku karena cemas, khawatir, deg-deg'an dan entah apapun itu karena ini kali pertamaku melihat balapan di depan mata kepalaku sendiri. aku melirik Natasha yang tengah bercakap dengan samuel. Dari apa yang aku dengar, hadiah untuk pemenangnya lumayan fantastis. limabelas juta. Yah meskipun taruhannya nyawa dan razia polisi.

Kedua motor itu sudah tak terlihat, membelah jalanan dan entah sampai dimana. Kami yangberdiri di sini hanya menunggu siapa orang pertama yang akan muncul, dan dialah pemenangnya.

"So, udah berapa kali sama Alexander?!" Natasha menatapku. Suaranya tak begitu terdengar jelas karena bercampur dengan suara-suara berisik orang-orang di sekeliling kami.

"Apa?" aku memfokuskan pendengaranku.

"Lo sudah berapa kali sama Alexander?" ia menaikkan nada suaranya.

"Maksudnya?" Aku tak mengerti. Benar-benar tak mengerti dengan pertanyaan Natasha itu.

"Tidur sama dia."

Aku menggeleng.

"Tidak. Aku tidak tidur dengannya." Gelengku tegas.

Dan aku tidak akan pernah mungkin mau tidur dengannya.

Natasha tertawa.

"Really?"

Aku mengangguk bertepatan dengan deru motor dan kilatan lampu yang mengenai muka kami.

Alexander datang! Dan sorak sorai riuh memenuhi tempat ini. dia disambut bagaikan pahlawan yangbaru saja memenangkan pertarungan. Gegap gempita, seakan permainan ini adalah sebuah hal luar biasa yang akan merubah dunia. Berbeda jauh dengan tim lawan yang berada di seberang. Mereka menatap kesal dan juga benci. Tak ada senyum, ataupun ucapan selamat. Bahkan lebih parah saat Edgar datang dengan kaki luka dan dengkul yang sobek.

"Curang!" Edgar membanting helm-nya. Matanya nanar menatap Alexander yang masih dikerubuti beberapa orang. "Lo yang ngebuat gue jatuh. Sialan!"

Alexder menoleh, menatap edgar tanpa senyum sedikitpun.

"Hey....pecundang. Lo yang jatuh sendiri, kenapa harus nyalahin gue, ha?" tampaknya ia tak terima. Menerima tantangan itu dan berjalan mendekati Edgar yang masih berdiri nanar di tengah jalan.

"Bulsyhit lo!" Edgar meludah sembarangan. Aku mengiggit bibir. Atmosfirnya memanas sekarang. Tak ada lagi celoteh ataupun tawa seperti tadi. Semuanya hening. Yang ada mereka saling melempar pandang penuh kebencian.

Aku merinding. Ketakutan. Pikiran-pikiran tidak jelas berseliweran di otakku. Bagaimana jika mereka tawuran? Bagaimana nasibku?

"Orang kalah kalau mengakui kesalahannya itu namanya berjiwa besar, tapi kalau menyalahkan orang lain itu berarti ayam. Chicken! Petok...petok...." Alexander tertawa mendorong bahu Edgar sampai cowok itu mundur beberapa langkah. "Sono pinjem rok nyokap lo. Nggak pantes lo ada di arena balap kayak begini!"

"Dasar anjing lo!" tanpa menunggu lama, sebuah pukulan tepat mengenai wajah Alexander. Beberapa wanita menjerit. Termasuk aku yang tak bisa menyembunyikan ketakutanku. Melihat bagaimana Alexander dan Edgar saling pukul, saling memiting, dan berguling di aspal.

Beberapa detik aku menutup mulutku, dan merasakan tubuhku membeku seketika. Bahkan saat orang-orang dibelakangku mulai berbodnong-bondong untuk membantu Alexander, saling pukul dengan orang-orang dari kubu Edgar, aku hanya mematung dan tak melakukan apa-apa. semuanya menakutkan, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.Pikiran-pikiran yang tadi berseliweran di kepalaku kini menjadi kenyataan.

"Polisi...polisi!" Sebuah suara entah berasal dari mana menghentikan mereka dan membuat keadaan tambah panik. Tak berselang lama sebuah sirene panjang menggema.

Keadaan semakin kacau, semua yang berada di situ berlarian menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Bagaimana tidak, jika mereka tertangkap pasti masuk penjara karena melakukan tindakan ilegal. Aku melihat Natasha, Mark, Bagas dan Samuel berlari menjauh. Aku ingin berteriak memanggil mereka namun kurasa sia-sia saja. Aku pasrah. Andaikan nanti polisi menangkapku, aku akan berterus terang jika aku tak tahu apa-apa. tapi apakah polisi bakal percaya?

Dalam perasaanku yang menegang, diantara riuh para manusia yangberlarian menyelamatkan diri, sebuah tangan kekar mengait jemariku. Aku menaikkan dagu. Kulihat Alexanderberdiri di depanku dan menggengam tanganku dengan erat.

"Mari pergi dari sini." Katanya lalu menarikku untuk berlari. Menyibak kerumuman lautan manusia di sekeliling kami.

Dan untuk pertama kalinya, aku menerima ajakan untuk 'pergi' bersamanya.

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

1M 154K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
18.8K 631 56
CERITA INI ASLI MILIK SAYA. BUKAN TERJEMAHAN ATAU SADURAN, JADI JIKA TERDAPAT CERITA YANG SAMA PERSIS MAKA AKAN SAYA LAPORKAN. YANG BELUM 20 TAHUN...
1.3M 123K 45
Ayari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak...
KINANTI By BlackQrystal

General Fiction

1.1M 82.2K 51
#1 - Gilang (31 Januari 2020 - 8 Februari 2020) #1 - Kinanti (8 Februari 2020)(10 Februari 2020-) #1 - Heart (26 Februari 2020 - 5 Maret 2020) (7 Mar...