ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

32. Titik Nadir

5.1K 1K 266
By itsfiyawn

Rentetan panggilan dari Bima diabaikan gadis itu sejak seminggu yang lalu. Lebih dari sepuluh pesan dan dua puluh panggilan dibiarkannya begitu saja, tanpa jawaban, tanpa ada niat sedikit pun menggubris. 

"Telepon lo bunyi mulu, tuh. Budek apa? Kuping gue sampe pengang, nih," gerutu Koko yang sedang membaca buku di ruang tamu. 

Army bersungut-sungut menyambar ponselnya yang tergeletak di meja, lalu menonaktifkan ponsel tersebut agar diam. Dia kembali menonton siaran televisi di channel kesukaannya di ruang tamu, sementara Koko tenggelam dalam tulisan yang ia baca. 

Baru saja tenang, bel rumah berbunyi menganggu lebih dari sekali. Army melirik Koko, adik lelakinya itu tampak tidak peduli dan terus membolak-balikkan halaman buku. 

"Bukain sana, budek apa?" tukas Army kesal meniru gaya Koko. 

"Lo aja," jawabnya datar. 

"Bukain nggak," perintah Army mutlak. "Kalau itu Bima, bilang ke dia gue nggak ada. Buruan."

Koko melirik Army sengit, sebelum akhirnya menuruti perintah kakaknya disertai decakan. Begitu pintu dibuka, Koko melihat seorang cowok berkaus navy dengan celana denim berdiri menghadapnya. 

"Nyari siapa?" tanya Koko tanpa basa-basi. 

"Army ada?" 

"Ada, tuh. Tapi dia bilang, kalau lo nyariin dia, gue harus bilang nggak ada," jawab Koko mengedikkan bahu. 

Bima menjilat bibirnya. Dugaannya tepat, Army menghindarinya lagi tanpa alasan yang jelas. Kini ia harus memutar otak untuk berbicara kepada Army. 

"Eum... boleh panggilin sebentar nggak? Gue ada urusan sama dia," jelas Bima hati-hati. 

Koko mengangguk, "Tapi lo tunggu di luar aja, ya? Soalnya kakak gue lagi sedikit... badmood. Kalau lo nekat masuk, takutnya rumah gue berubah kayak kapal pecah." 

Bima menyunggingkan senyum, mengangguk maklum. Koko masuk lagi ke dalam rumah, menghampiri Army yang masih rebahan malas di sofa ruang tamu. 

"Kata Bima, dia ada urusan sama lo," ucap Koko tenang. 

"Kan udah gue bilang kalau gue nggak ada. Belum pernah kelilipan pisau daging, lo?" balas Army dingin memicingkan matanya ke arah Koko. 

Koko menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Biarpun dia seorang lelaki dan tak jarang semena-mena terhadap sang kakak, kalau gadis itu sedang dalam mode tempramen seperti sekarang, tidak akan ada yang bisa lolos dari aura mencekram yang menguar dari sekitar tubuhnya. 

"Oke, fine." Pada akhirnya, tetap Koko yang mengalah. 

Cowok itu kembali menghampiri Bima yang berdiri menyender di daun pintu. "Army tetap nggak mau ketemu lo. Bukan maksud ngusir, mending lo temuin dia kapan-kapan aja. Kalau setannya udah pergi." 

Bima melipat bibirnya, tak bisa membantah apalagi memaksakan keinginannya sendiri. Dengan berat hati, dia mengangguk, mengikuti saran Koko. 

"Oke, thanks," katanya pasrah. 

Ketika Bima hendak melangkah pergi, Koko berkata, "Kakak gue emang suka nggak jelas, tapi dia nggak mungkin kayak gini tanpa alasan. Kalau dia sampai nggak mau nemuin lo, artinya lo yang bikin dia kayak gitu."  

Pernyataan itu menusuk dada Bima, membuatnya bertanya-tanya apa yang telah ia lakukan sampai membuat Army sebegininya. Tanpa ia temukan jawabannya, Bima mengangguk, "Kayaknya iya. Makasih." 

Bima berlalu mengendarai motornya lalu hilang di balik pagar rumah, membawa segudang pertanyaan yang menggelayuti pundaknya. Tentang Army, tentang sikapnya yang tidak dapat Bima artikan, tentang isi hatinya yang tak pernah bisa Bima pahami. 

*****

Memasuki musim penghujan yang terlambat, suhu di Jakarta semakin tidak menentu. Siang panas, sore mendung dan gelap tanpa kepastian apakah hujan akan datang. Angin berembus kencang saat Bima terbangun dari tidurnya. Jendela kaca berderit-derit didorong angin dari luar, gorden kecilnya mendayu-dayu. 

Dia terbangun, menutup jedela, mengumpulkan nyawa. Begitu kesadarannya pulih, dia menuruni tangga. 

"Bim, bantuin gue ngupasin bawang, dong," sahut Yura yang muncul dari dapur membawa sebaskom bawang putih. 

Bima mengangguk, lantas duduk di salah satu kursi makan. Hari ini, kedai tutup karena kondisi Ibu yang menurun dan beberapa pegawai tengah pulang kampung. Yura memutuskan untuk mengistirahatkan kedai. Sudah sebulan lebih kedai ini beroperasi terus-menerus, tanpa libur. Dia butuh waktu untuk membereskan semuanya, seperti membersihkan dapur, mengecat ulang etalase, dan membereskan hal lain secara masif. Dan inilah waktu yang tepat. 

Bima mengupas bawang sembari melamun.

"Bim, tolong bilangin Army dong. Risol mayo yang dia pesan, lusa baru nyampe. Soalnya pesanannya ngebludak." 

Bima tidak menanggapi, seakan kulit bawang yang ia buka lebih menarik dibanding omongan Yura. 

"Oy!" Yura menggetok meja di depan Bima. 

"Ia dengar. Tapi, pesan gue aja nggak dibalas dari kapan tahu," gumam Bima yang terdengar seperti keluhan. 

Yura mengerutkan kening, "Baru semalam gue chatting sama dia," katanya.

"Kalau gitu kenapa lo nggak chat dia langsung aja?"

"Gue off. Hehehe." 

Bima mendesah berat. Kalau chat Yura saja dibalas, berarti memang Army sedang menghindarinya. Berarti kata Andaru tepat, dialah penyebab Army bersikap demikian. 

"Kalau cewek ngambek itu biar baik lagi gimana?" Bima bertanya tanpa menatap Yura. 

Yura, yang sama-sama sedang mengupas bawang, menggerakkan matanya ke kanan-kiri. "Tergantung ngambeknya gara-gara apa," jawabnya. 

Bahu Bima bergerak, "Nggak tahu, nggak paham. Dia nggak ngomong alasannya. Coba aja dia jelasin, pasti akan gue perbaiki." 

"Hmmm... Cewek tuh emang gitu. Kesannya ribet, padahal keinginannya sederhana." Yura menjeda. "Mungkin dia butuh... perhatian lebih?" 

"Kalau Army cewek biasa, menyikapinya bisa yang kayak lo bilang. Tapi, dia bukan cewek biasa, itu yang gue bingungin."

Yura terkikik, "Iya, sih." 

"Oh ya, Ra."

"Hmm?"

"Gue butuh bantuan lo." 

"Apa?" 

******* 

Area kampus yang sepi menjadi tempat paling tepat bagi Army bertemu Bima hari ini. 

Setelah nyaris dua minggu Army menghilang begitu saja, ia memutuskan untuk mengirim sebuah pesan kepada Bima yang mengatakan jika ia akan menemuinya pukul dua siang di lapangan depan Gedung Utama. 

Army duduk di rerumputan yang letaknya berhadapan langsung dengan lapangan. Sebuah pohon kelapa yang tak lagi berbuah dan pelepahnya telah kering menjadi sandarannya untuk berteduh dari matahari yang tidak terik. Embusan angin menerbangkan anak rambut di sekitar wajahnya. 

Bima memandang Army yang terduduk di sana, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hawa berat menyergap dadanya. Seakan ia tahu apa yang ingin Army katakan pada pertemuannya kali ini. 

Army menengok, mendapati Bima berdiri di pinggir lapangan, tengah memerhatikannya. Tidak ada senyum yang keluar dari bibir Army, tidak ada lengkungan bahagia di mata gadis itu, tidak ada lambaian tangan dan sapaan hangat khas Army. Bima mengesah, menghampiri gadis yang sukses membuat degup jantungnya meronta acap kali mereka bertemu.

Saat Bima berdiri di hadapannya, Army ikut berdiri. 

"Lo baik-baik aja?" tanya Bima, merunduk. 

Army merogoh tasnya, mengeluarkan amplop putih yang isinya cukup tebal. "Nih, bayaran lo. Urusan kita selesai. Jangan muncul lagi di hadapan gue." 

Bima mematung, alisnya menyatu, penuh kebingungan. 

"Ambil, buruan. Gue mau pulang," tukas Army tidak sabar.

"Ma--Maksud lo apa?" Bima enggan menerimanya. 

"Dari awal gue udah janji buat ngasih lo bayaran sesuai pekerjaan lo. Tenggat waktunya udah habis dari kapan tahu, loh." balas Army.  

Sorot mata Bima berubah, muncul sepercik api di dalamnya, tidak besar, tapi mematikan. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh sebuah amplop yang tersodor di hadapannya. Dia mencengkram tangan Army. "Lo pikir ini yang gue mau? Lo pikir gue sayang sama lo karena bayaran? Hah?" 

Army menyimpulkan senyum di ujung bibirnya, "Gue nggak peduli apa yang lo mau. Gue nggak peduli perasaan lo. Lo sayang sama gue atau enggak, itu urusan lo. Paham?" Army melempar amplop itu di depan dada Bima sebelum akhirnya pergi dengan langkah yang lebar. 

Buku-buku jari Bima memutih tatkala ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Segala macam bentuk emosi menyatu di seluruh syaraf tubuhnya. Dia memejamkan mata, menahan hatinya yang pilu seperti dihantam godam berkali-kali. 

Dia menatap amplop yang jatuh di kakinya. Dengan gerakan cepat ia mengambil amplop itu lantas mengejar Army. 

"Tunggu!" Bima menarik tangan Army begitu dia berhasil menyusulnya. 

"Apa lagi, sih? Uangnya kurang?" tanya Army menepis kasar tangan Bima. 

"Apa arti gue di mata lo?" 

Pertanyaan Bima membuat bibir Army kelu. Sekelu ulu hatinya yang terlanjur membeku. 

Awan hitam menggantung di atas sana, mengirim beberapa kilatan cahaya sebelum guntur meraung. 

"Jujur, My. Jujur sama diri lo sendiri, sebenarnya arti gue di mata lo apa?" Bima menggoyangkan kedua bahu Army. 

Mata Army perih, namun dia berusaha menampakkan dirinya yang lain. 

"Gue sayang sama lo, My. Gue tahu lo juga punya perasaan yang sama.  Ya, kan?" desak Bima. Ia terlihat frustasi.

Army menunduk, menyembunyikan matanya yang tidak bisa lagi diajak kompromi. "Lepasin gue." Army menggerak-gerakkan lengannya agar bisa bebas dari tangan Bima. 

"My... jangan pergi, gue butuh lo..." Bima memohon. Dipeluknya gadis itu dengan sejuta maaf dan harap yang selama ini dikumpulkan hanya untuk Army seorang. 

Army terdiam, tidak membalas pelukan Bima sebelum akhirnya dia mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari pelukan itu. Mau tak mau Bima membiarkan Army bebas dari kurungan lengannya. Ditatapnya Army dengan sorot penuh permohonan.

"Gue nggak mau lihat lo lagi. Kalau lo nggak mau pergi dari hidup gue, biar gue yang pergi dari hidup lo." Army mengusap pipinya dan menghembuskan napas keras-keras. 

Bibir Bima bergetar. "Gu--Gue pikir... kita..."

"Kita nggak ada apa-apa," bantah Army. 

"Tapi... ciuman kita, pelukan kita, itu berarti..." Bima tak bisa lagi meneruskan kata-katanya. 

Army memalingkan wajah, "Lo pikir hanya dengan ciuman bermakna kita memulai sesuatu? Lo salah. Banyak dari ciuman yang nggak berarti apa-apa." Army memejamkan mata. "Kayak pelukan. Lo bisa meluk siapa pun sesuka hati lo, kan? Lo peluk gue, tapi di saat yang sama lo peluk Rin? Bisa jadi banyak cewek yang udah pernah lo peluk juga. Apa lo bisa mengartikan tindakan lo itu? Nggak bisa, kan?" 

Bima menggeleng, "Gue nggak pernah ngelakuin hal kayak gitu."

"Lo pernah. Dan gue lihat pakai mata gue sendiri. Lo memeluk Rin." Army tersenyum, langkahnya perlahan mundur, menjauh. "Gue tahu apa yang terjadi di antara kalian. Sayangnya, itu bukan keluar dari mulut lo, Bim. Orang yang paling gue harapkan untuk terbuka. Supaya gue tahu perasaan mana yang harus gue rawat." 

Angin berembus menerbangkan dedaunan yang jatuh di antara mereka, "Dan pada akhirnya, gue memilih agar semua ini berakhir. Gue memilih untuk nggak sayang sama lo. Gue memilih untuk nggak peduli lagi dengan apa yang terjadi di hidup lo, antara lo dan dia." Setetes benda bening mengalir di pipi Army, "Sekarang, lo bebas berlaku sesuka hati lo. Jadi, jangan tarik gue lagi. Ayo, sama-sama kita sudahi hal yang nggak pernah kita mulai. Atau kita memang memulainya, tapi dengan cara yang salah. Yang dari awal salah dan penuh kebohongan."

Bima menunduk. 

"Lo tahu, kan? Segala sesuatu yang dari awalnya udah nggak benar, pasti akan berakhir penuh kekacauan? Dan inilah kita sekarang." Army meremas tali tas selempang yang tersampir di dadanya sementara Bima tertunduk tanpa bisa mengatakan apapun. 

*****

Aku bakal update Chapter 33 tanpa syarat vote. Kalau nggak malam ini ya besok aku post. 

Tapi untuk chapter 35 nanti, gue mau chapter 33 ini dapat 500 vote dan chapter 34 nya 500 vote. Jadi total 2 chapter yang gue update 1000 vote. Hehehe, ribet ya gue? wkwkwk bodo, ah. Ini lagi KLIMAKS. Kira-kira bentar lagi bakal tamat. Hehehehehe. :D 

Spoiler nih Chapter 34 judulnya.... Kemarahan Bima dan Penyesalan Army

Kira-kira isinya apa ya? Wkwwkwkk xD tunggu yep 

p/s: makasih atas lagu Nadir yang membuat inspirasi dalam chapter ini. Dari Bima untuk Army




Continue Reading

You'll Also Like

17.2K 2.8K 53
Semesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya d...
8.8K 1.7K 37
"Kalau memang begitu, kenapa semua perempuan berlomba untuk memenuhi standar kecantikan?" * Present: Kimora Amaya Kusuma🌧️ Yohan Rahmat Wijaya☀️ S...
138K 8.5K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
2K 326 36
🥈: Juara 2 Cakra Writing Marathon Batch 06 [Color Series #2: Spin-Off Just Wanna Live in The Place] Fuchsia, mahasiswi Ilmu Komputer yang mem-brandi...