The Starlight [On Going]

By catatan_ameeraa

5.5K 843 822

Tentang kita dan kenangan Rara Halena Mahensa, gadis yang harus bertahan di atas segala luka yang ia pendam... More

PROLOG

1. Simfoni Klasik

688 405 425
By catatan_ameeraa

Yogyakarta, 2018

Gemericik hujan di pagi hari bagaikan musik pengantar tidur yang membuat kebanyakan orang menjadi malas beraktivitas. Tak terkecuali Rara Helena Mahesa yang masih tidur dengan nyenyak.

Sudah kesekian kali Helena mengerahkan segala usaha dan kemampuannya untuk membangunkan Rara. Namun, alhasil putri kesayangannya itu masih enggan beranjak dari kasur.

“Rara! Bangun Sayang … Udah jam delapan!”

Rara melihat jam di ponsel. Tanpa beban, Rara justru mengerang manja dan berkata, “Masih juga jam enem, Ma. Lima menit lagi, Ma … masih ngantuk.”

Helena berdecak pinggang melihat tingkah Rara yang tak pernah berubah. “No! Dari tadi lima menit mulu! Udah ayo bangun! Sholat subuh habis itu siap-siap. Udah ditunggu Akmal sama Fauzan dibawah.”

Mengetahui dua manusia itu sedang menunggu dirinya, Rara langsung bersiap. Setelah memakai sepatu sneakers, lalu mengambil tas sekolah, Rara sempat melihat pantulan dirinya dari cermin, dan ia segera berjalan menuruni anak tangga.

“Pagiku gerimis, matahari sembunyi. Kugendong tas berat ku di pundak! Selamat pagi semua. Rara ada di sini! Menantikan sarapan yang lezat. Mamaku tersayang, Ayah tercinta tanpamu apa jadinya aku ….” ujar Rara bernada.

Mahesa menatap tajam Rara. “Rara! Kemarin Ayah baru bilang apa? Jangan begadang buat nonton drakor sampai subuhnya te—”

“Iya Ayahku tercinta!” Bahkan sebelum Mahesa menyelesaikan ucapannya, Rara terlebih dahulu menjawab dan melanjutkan nyanyiannya. “Nyatanya diriku, kadang buatmu marah. Namun segala maaf kau berikan.”

“RARA!!!”

Begitu Mahesa berteriak, Rara hanya bisa cengar-cengir sendiri. Gadis itu duduk nyempil di antara Fauzan dan Akmal yang tengah sibuk menyantap sarapan mereka.

“Aaam!” Fauzan membuka mulut, memberikan isyarat pada Rara untuk melakukan hal yang sama.

“Berkahnya,” lanjut Fauzan sambil menyuapkan sesendok terakhir nasi goreng pada Rara.

“Tumben banget Fauzan pagi-pagi dah dateng, biasanya telat juga. Pasti mau pinjem gitar ‘kan?!” tebakan Rara tepat mengenai sasaran.

“Biasalah, Ra … ada maunya aja baru baik-baik. Beda banget sama aku yang baik hati dan tidak sombong,” ujar Akmal. Cowok itu mengeluarkan kotak makan dari dalam tas. “Nih kebetulan ibuk buat cake kesukaanmu. Tak gowo ae nggo kowe (tak bawa aja buat kamu).”

Thank you Akmal. Lain kali bawa yang lebih banyak, ya, jangan cuman tiga biji. Nggak kenyang lah.”

“Dasar kancil kecil rakus … gak tahu bersyukur!”

“Kancil kecil?” Rara mengernyitkan alis. “Siapa? Aku?” tanya Rara polos.

Akmal tersedak dan menyemburkan air tepat mengenai wajah Rara. Sepertinya Rara sedang malas bertengkar, sehingga ia hanya memasang wajah plonga-plongo. Fauzan mencengkram pundak Akmal. “Rara mirip kancil? Matamu picek?”

“Zan, udah-udah. Akmal cuman bercanda kok, sante aja.” Rara berusaha menengahi.

“Cih! Masih bagusan juga kancil! Kasihan kancil disamain sama Rara. Rara itu kebo. Kalau udah tidur, buset … gak bangun-bangun,” celetuk Fauzan.

“Kasihan kebo juga kali, disama-samain kayak Rara! Hahaha ….”

Rara menjitak kedua kepala manusia itu dengan keras. "Ma, Pa ... Rara berangkat sekolah dulu!" teriak Rara.

"Iya sayang hati-hati!"

Melihat hujannya sudah reda, Rara segera mengambil sepeda, lalu meninggalkan Fauzan dan Akmal  yang sibuk menertawai dirinya.

“Tungguin Ra!”

“Sangat-sangat tidak setia kawan sekali le.”

“Kasih bintang satu, Mal!”

Rara menoleh, lalu berteriak, “Sorry, Bro! Saya tidak berperikehewanan!”

Akmal berdecak. Ia sudah mulai bergaya aneh, ala-ala Ghost Riders yang siap menerkam Blackheart. Rara dan Fauzan sudah paham akan kode yang Akmal berikan. Mereka bertiga mensejajarkan sepeda dan pada hitungan ketiga sepeda mereka sudah meluncur bak roket NASA.

“YANG KALAH TRAKTIR SOTO BU BAMBANG!!” teriak Fauzan bersemangat.

“KALIAN SEMUA PASTI KALAH! RARA GITU LOH!”

Rara mengayuh sepedanya dengan cepat. Lalu sepersekian detik setelahnya, Rara mengerem mendadak. “Woy!! Kalau nyebrang lihat-lihat dong! Matanya dipake mbak!”

Sesampainya di parkiran, Rara menahan emosinya melihat Fauzan dan Akmal yang tengah bersantai sambil menyeruput es teh.

“Kalian berdua lewat mana sih, cepet banget!”

“Ada deh! Mau tahu banget. Apa mau tahu aja?” celetuk Akmal yang dibalas tatapan mematikan dari Rara.

Tanpa basa-basi Rara merapas es teh yang hendak Fauzan minum. “IYUH! INI AIR APA BUSET?! ASIN BANGET.”

Rara membuang jauh-jauh botol teh itu. Kebodohan Rara itu mengundang gelak tawa. Rara mencengkram kerah seragam Fauzan sambil bersungut-sungut. Jika dalam film-film cartoon, mungkin di bagian kepala Rara sekarang sudah muncul api yang siap membakar siapapun dihadapannya.

“YAA! JUGEULLAE!? (NYARI MATI, YAA!?)”

Akmal berbisik pada Fauzan, “Satu, dua, tiga ... LARI ADA KEBO!!”

“MINGGIR WOY ADA KANCIL MAU NGAMUK!”

“AWAS AJA KALIAN BERDUA! PULANG-PULANG JADI SOP IGA!”

⛦⛦⛦

“Selamat pagi anak-anak,” sapa bu Sri, wali kelas XI IPS 3.

“SELAMAT PAGI BU SRI!” Murid-murid menjawab serempak.

“Hari ini kalian kedatangan teman baru. Namanya Fiera Thea, murid pindahan dari SMA Jaya Karta di Jawa Tengah. Fiera silahkan.” Bu Sri memberikan isyarat agar murid itu segera masuk.

Rara mengerjapkan mata berulang kali. Ia sungguh tidak percaya. Bagaimana bisa orang yang hampir ia tabrak tadi justru akan menjadi teman sekelasnya?

“Aduh gimana nih?” gumam Rara panik.

“Haa? Kamu ngapain, Ra, sembunyi-sembunyi gitu?” Aqila, teman sebangku Rara menatap Rara bingung. “Kenapa sih, Ra? Gemes banget lihatnya. Pingin tak ih!”

Rara menggigit kuku ibu jarinya dan berkata, “Tadi pagi aku hampir nabrak dia.”

“Dia siapa?”

Rara menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Demi apa, Ra? Tapi dia gak papa ‘kan?” Rara hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Tetep aja aku ngerasa gak enak. Mana first impression-nya buruk banget lagi.”

Rara kelabakan saat anak baru itu duduk tepat di depannya. Fiera membalikkan tubuhnya dan menjulurkan tangan. “Nama aku Fiera Thea, nama kalian siapa?”

“Nama aku Aqila Nur Fadhila. Nomor absen 3. Ketua kelas 11 IPS 3, salken, ya,” kata Aqila sambil tersenyum kaku dan menoel-noel pundak Rara untuk segera memperkenalkan diri.

Fiera menatap Rara dan berkata, “Kamu orang yang tadi pagi mau nabrak aku ‘kan? Hahaha …. Sorry, tadi aku gak hati-hati.”

Rara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Haha,” Aqila tertawa garing. Sumpah! Rara benar-benar merasa ingin menghilang saja.

“I-iya aku juga minta maaf, Fiera. Soalnya tadi buru-buru. Nama aku Rara Helena Mahesa, salam kenal.”

Sekilas Rara memperhatikan guru yang sedang mengajar. Benar-benar hari Senin yang membosankan! Bagaimana bisa sejarah minat dijadwalkan jam pertama sehabis upacara? Dan pelajaran selanjutnya? Oh tidak! Matematika?

Kenapa dua pelajaran itu harus ada di hari senin? Rara menghela napas panjang. Bukannya lebih baik hari senin menjadi tanggal merah saja, ya?

“Oh iya, Fiera belum tahu tempat-tempat di sini ‘kan? Gimana kalau nanti pas istirahat kita keliling-keliling?” tanya Rara memberi saran.

“Boleh banget! Btw kalian ikut ekskul apa?”

“Aku sama Aqila Ikut ekskul band. Fiera mau join?”

“Belum tahu, Ra. Emang bedanya sama ekskul musik apa?”

“Kalau ekskul musik itu lebih luas sih, terus anaknya banyak. Jadi kurang fokus gitu. Oh iya kalau band,” Aqila memberi jeda, “nanti kamu juga tahu sendiri ... Udah istirahat tuh, cus kita keliling aja yuk!”

BRUK!

Baru saja Fiera berdiri, ia terhempaskan kembali ke bangkunya. “Aish! Sibal!(Fuck!)” maki Fiera membuat Rara dan Aqila saling menatap.

Fiera mendongakkan kepalanya. Sumpah demi apa? Di sini ada cowok sekeren dia?

“Ma-maaf, aku gak sengaja,” kata Fiera sambil merapikan beberapa helai rambutnya.

Fauzan tidak menggubris Fiera. Ia justru menarik tangan Rara dan membawa gadis itu keluar kelas.

Rara melepaskan pegangan tangan Fauzan. “Kenapa, sih, Zan? Aku sama Aqila mau ajak Fiera keliling dulu.”

“Oh anak baru itu namanya Fiera? Jangan main sama dia, aku gak suka!”

Rara berdecak. “Sejak kapan kamu ngelarang-ngelarang aku kayak gini?”

“Kamu sendiri yang bilang sama aku, Zan.  Don't judge a book by its cover. Terus sekarang apa?” sindir Rara. Ia masuk ke dalam kelas dan keluar sambil menggandeng tangan Fiera.

“Ra? Tadi itu siapa kamu?” bisik Fiera penasaran.

Bukan Rara yang menjawab, tapi justru Aqila yang menerangkan kasta cowok tertampan di sekolahan. “Tadi itu namanya Fauzan Irsyad Pratama. Cowok paling ganteng plus pinter di sekolahan. Cueknya minta ampun, tapi kalau sama Rara buset udah kayak Tom and Jerry."

"Nah itu, cowok di depan, namanya Akmal Santoso. Beda banget sama Fauzan, dia itu anaknya cerewet, bego, jengkelin, rasanya pingin aku geprek aja!”

Fiera dan Rara tertawa melihat Aqila yang langsung memukul pundak Akmal dari belakang. Akmal langsung berlari terbirit-birit menjauhi Aqila yang sudah siap memukulnya lagi. Sepertinya, bukan Rara dan Fauzan, tapi tepatnya Akmal dan Aqila yang seperti Tom and Jerry.

“Oh, iya, Fiera. Aku, Aqila, Fauzan, sama Akmal ikut extra band, nama bandnya The Star. Terus sekitar satu setengah tahun ini band kita udah manggung di delapan belas tempat. Mayan sih buat nambah-nambah uang jajan.”

“Seriusan, Ra? Keren banget dong! Aku jadi penasaran deh. Boleh kenalin aku sama anak-anak band yang lain? Sapa tahu aku juga bisa kayak kamu.”

Sapa tahu aku juga bisa kayak kamu. Kata-kata Fiera terngiang-iang di kepalanya. Rara terus berpikir, kenapa Fiera harus ngomong kayak gitu? Atau apa hebatnya dirinya sendiri?

Rara selalu merasa rendah diri setiap kali orang memujinya. Pasalnya sampai dirumah, ayah selalu bilang bahwa Rara masih jauh dari kata hebat dan dia harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa sampai di puncak.

“Ra? Rara, kok bengong?” tanya Aqila, menyadarkan Rara dari lamunannya.

“Nggak papa kok, La. Cuman tiba-tiba aku laper aja. Makan yuk guys!”

“Ayuk!!”

“Kalau di sini menu spesial yang paling enak apa?”

“Di sini makanannya semua endul-endul, tapi menurut aku mi ayam bakso paling enak sih, fix no debat.” Aqila berkomentar, sedangkan Rara tak terima, karena menurut Rara, “Paling enak sotonya Bu Bambang lah, lima ribu tapi ayam sama koyanya banyak. Terus kuahnya seger bat. Selesai makan dah kayak mandi sauna.”

Fiera mengangguk dan berkata, “Okey kalau gitu aku pesen mie ayam bakso dua sama sotonya tiga.”

Aqila menatap Fiera tidak percaya. “Aku gak ada niat apa-apa, ya, Er. Cuman mau nanya itu lima porsi mau kamu makan sendirian?”

Fiera tertawa renyah. Ia merangkul Aqila dan Rara untuk segera memilih tempat duduk. “Ya enggak lah, gila aja aku makan lima porsi. Yang ada pulang-pulang mukaku udah kayak bakso! Aku mau traktir kalian sama dua orang cowok aneh tadi.”

Rara termenung. Kalau gitu, pulang sekolah nanti, dia gak perlu habisin uang jajannya buat traktir Fauzan sama Akmal lagi ‘kan? Rara tersenyum picik. “Aku aja kalau gitu yang panggil mereka berdua.” Rara menawarkan diri.

Sebelum Rara berlari ke kelas 12 MIPA 1, ponselnya lebih dulu berdering. Hallo, Ra! Terdengar suara Akmal yang memenuhi indra pendengarannya.

“Hmm? Di situ ada Fauzan?”

Ada, kamu dimana? Fauzan suruh ngumpul di ruang latihan.

“Ngapain jam istirahat buat latihan, sih? Mending pas pelajaran, kelasku nanti mapel mtk, males banget sumpah. Percuma masuk kelas, orang nggak paham juga.”

Terdengar suara ejekan Fauzan dan Akmal yang sedang meremehkan Rara. “Dilarang ghibah pas ada orangnya! Udah buruan kalian berdua ke kantin! Fie–” Rara takut kalau dia bilang Fiera yang traktir, pasti Fauzan gak bakalan datang. “Aku mau bayar utang tadi pagi,” lanjutnya.

Wihh! Soto dua, ya, Ra! teriak Fauzan yang langsung menutup telepon.

Rara tersenyum lega. Ia menyusul Fiera yang sedang memesan minuman. “Hi, Er.”

“Rara mau minum apa?”

“Samain aja semuanya kayak Fiera. Beneran gak papa Era yang traktir? Kita bayar sendiri-sendiri aja, ya?”

“Nggak papa kok, Ra. Anggap aja traktiran, karna aku baru pindah.”

“Thanks, Era.”

Rara membantu Fiera dan Aqila membawakan pesanan mereka ke meja. Tak berselang lama, Fauzan dan Akmal duduk di samping Rara. Fauzan mengacak puncak kepala Rara, membuat Rara membalas menjambak rambut Fauzan. "Jangan gitu dong! Rambutku jadi berantakan tahu!"

"Mau digimanain juga, kamu tetep jelek kok, Ra," tutur Fauzan membuat lainnya terkekeh.

Perlakuan Fauzan pada Rara membuat Fiera tak habis pikir. Seberapa deket mereka berdua?

⛦⛦⛦

Sepulang sekolah, Akmal dan Fauzan memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Rara. Katanya sih, Fauzan pengen ngambil gitar, tapi Rara tahu bahwa dua manusia itu lebih tepatnya butuh makan siang gratis.

“Assalamu’alaikum, Ma. Rara pulang.” Rara menyalami Helena begitu juga dengan Akmal dan Fauzan yang mengikuti gerak-gerik Rara, bahkan sampai di depan kamar.

“Kalian ngapain ikutin aku terus? Gabut banget, sih!”

Akmal dengan nada suara yang di cempreng-cemprengkan mengikuti kata-kata Rara. “Kalian ngapain ikutin aku terus? Gabut banget, sih!”

Kali ini Fauzan menjawab dengan suara cempreng. “Kita kan anak kuker.”

“Kuker? Kue kering?” balas Akmal.

“Anak kurang kerjaan, lur,” jawab Rara malas. “Aku mau ganti–”

Sebelum Rara menyelesaikan kalimatnya, Fauzan dan Akmal lebih dulu menerobos masuk ke kamar begitu saja. “Kalian tunggu di sini, aku ke kamar mandi dulu!”

“Kok dulu, Ra? Harusnya sekarang ‘kan, Zan? Terus sekarang kamu mau ngapain, Ra? Mending sekarang ambilin kita makanan, iya gak, Zan?”

Fauzan hanya bisa menahan tawa. Jika Fauzan menambahkan bumbu sedikit saja, bisa-bisa hari senin yang melelahkan ini menjadi akhir sejarah bagi dirinya.

“Mal, kamu udah bosan hidup, ya? Mending aku bantu selesaiin, deh, biar fast!

“No, thanks.”

Tanpa aba-aba Rara memukul perut Akmal, hingga Akmal terlentang lemah di atas kasur. “Nggak usah lebay!”

Rara membuka salah satu laci meja. Tangan kanannya terulur mengambil rubik dengan susunan warna yang tak serasi. Rara melemparkan rubik itu ke arah Fauzan. Untungnya Fauzan dengan sigap menangkap rubik itu. “Sepuluh menit dari sekarang!”

Setelah sepuluh menit, Rara kembali dengan membawa nampan berisi makan siang. Matanya terasa panas melihat kamarnya yang berantakan akibat ulah dua manusia yang sekarang sedang bersembunyi.

“Aku hitung satu sampe lima, kalau kalian gak keluar. Aku laporin Mama Erlin (ibunya Fauzan) sama Pak Wahyu (kepala sekolah sekaligus ayahnya Akmal). Sa-tu, du-a, ti—”

Belum sampai hitungan kelima, Akmal sudah keluar dari bawah kolong kasur. Rara berdecak pinggang. Tapi perhatiannya teralihkan pada rubik yang tergeletak di atas nakas. “Fauzan mana?” tanya Rara panik.

“Aku kira kamu tahu, Ra.” Rara menggeleng. “Tadi Tante Erlin masuk terus Fauzan emosi and see kamarnya berantakan.”

Rara terdiam. Ia mengambil gitarnya. “Kamu makan duluan aja, Mal, aku mau nyusul Fauzan.”

“Rara ….”

Rara kenal suara itu. “Fauzan?” panggil Rara. Ia melihat sekeliling ruangan, tapi nihil.

“KELUAR!” teriak Rara memaksa Fauzan untuk segera keluar dari balik lemari.

“April mop!!” celetuk Akmal membuat Fauzan tertawa cekikikan.

“Kalian pikir lucu apa!? Lagi pula sekarang tu tanggal dua! Dasar anak kuker!”

Rara memukul tangan Akmal saat cowok itu hendak mengambil makanan. "Kalian berdua!" Rara menatap tajam kamarnya.

"Kalian kurang kerjaan 'kan?" Fauzan dan Akmal menggelemg bersamaan.

"Bodo amat! Kalian bersihin dulu kamar aku. Aku mau makan dulu, nyam, mmm ... enak banget!"

"Minum dulu ah! Ahh seger banget ... Mau?" goda Rara. "Beresin dulu. Salah sendiri berantakin kamar orang!"

⛦⛦⛦

Hai Readers 🤗

Gimana nih ceritanya?

Kalau kalian di posisi Fiera, kalian bakal ngapin nih?

Spam comment dongg!!

Udah follow authornya belum? Kalau belum, Follow dulu yukk :)

Follow Instagram kita juga ya :
@ameerazz_
@catatan_ameera
@cerita.thestarlight
@rarahelena.mahesa

Terimakasih sudah membaca cerita aku :")

Love u guys

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 120K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
8.9M 949K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
270K 11.1K 30
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
400K 49K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...