Forget Me

By dizappear

50.5K 5K 945

"Kamu adalah pertemuan juga perpisahan yang layak dikenang. Sedang aku adalah memori yang akan kamu tinggalka... More

Prolog; Forget Me, Cause i'm not Forget Me Not
Satu; Bertemu Kamu
Dua; Hidupku Berharga?
Empat; Mimpi yang Terlupa
Lima; Yang Pernah Pergi, Regi
Enam; Tidak Lagi Sama.
Tujuh; Tentang Kamu

Tiga; Arta

4.2K 612 119
By dizappear

2021

Kita pernah membicarakan tentang kematian, seolah semua bisa kita kendalikan, dan tak pernah sadar bahwa kehilangan jauh lebih menyakitkan.

***

2020

"Papa nggak mau kejadian waktu itu keulang. Ngerti kamu, Tera!"

Kalimat itu adalah perintah. Tera tau pasti risikonya membantah, jadi ia hanya tersenyum, membayangkan kerasnya tamparan yang ia terima malam itu.

"Iya," lirih gadis itu akhirnya.

Padahal malam itu Tera sudah ingin mengakhiri segalanya. Ia sudah membayangkan banyak hal. Tentang kematian, tentang bagaimana jika ia tidak dilahirkan samasekali. Menerka perasaan-perasaan asing yang muncul di dadanya dan mengusik pikirannya.

Apa di ketiadaan ia akan lebih bahagia?

Namun, cutter merah itu membuatnya sadar, bahwa mungkin ketiadaan lebih menakutkan dari dunia di mana ia berada.

Menghela napas, Tera menggenggam sendiri pergelangan tangannya yang memar. Menghapus bayangan kelam di kepalanya sambil melempar pandangan ke barisan pohon, lampu jalan, juga motor yang dilaluinya.

"Sekolah kamu gimana?"

Papa membuka suara, masih terlihat angkuh di kursi kemudinya. Di sisinya Mama tak acuh. Terlalu sibuk dengan lipstick dan kaca di tangannya.

"Gitu-gitu aja."

Sekolahnya baik-baik saja. Bangunan yang terus direnovasi. Dinding pucat yang tak pudar. Kaca lebar, juga standar nilai yang memuakkan. Sekolahnya belum berubah.

"Bagus, inget jangan bikin masalah, jangan bikin nama Gassani jelek cuma karena kelakuan kamu."

Senyum sinis gadis itu terbit seiring dengan beban di pundak yang tiba-tiba saja lebih berat.

Kalimat itu lagi.

Membosankan.

Memuakkan.

Padahal baru kemarin seseorang bilang padanya bahwa hidupnya berharga.

Saat itu, denting ponsel menyelamatkan Tera dari pikirannya.

***

Matahari mulai naik, suara keluh juga langkah-langkah bersahutan menggema di lapangan. Ada tawa yang tersamar oleh napas patah-patah di sana. Sedang satu orang masih sibuk berkelana dengan pikirannya, tak peduli pada kakinya yang mulai letih atau peluh yang sudah membasahi sekujur tubuh.

Catat, Tera benci olahraga dan kalau ia jadi presiden nanti, ia akan menghapus pelajaran ini selamanya!

"Lo mikirin apa?"

Tera tersentak saat mendapati seorang gadis dengan mata bulat tiba-tiba muncul di sisinya. Napas Tera yang tersengal membuatnya enggan bicara, jadi ia hanya menggelengkan kepala. Lagipula, tidak mungkin ia membagi isi kepalanya yang rumit. Tidak akan ada yang mengerti.

"Jangan-jangan lo kesambet setelah kena hukuman kemarin?"

"Emang ada setan di sekolahan?" tanya Tera, membalikkan kalimat Rea.

"Emang ada sekolah yang enggak angker?"

Keduanya terkekeh dan kemudian memelankan langkah, mencoba menyamakan ritme lari mereka. Tinggal dua putaran lagi untuk Tera dan ia tak mau mengulang dari awal hanya karena pingsan.

"Atau ... lo kepikiran Arta?"

Langkah Tera kian melambat dan gadis bermata bulat itu kini mendapat seluruh perhatian Tera. "Arta siapa?"

"Lo nggak tau?" Rea bahkan berhenti dan menahan Tera hanya untuk meyakinkan diri bahwa telinganya tidak salah dengar.

Tera menepis tangan Rea pelan. Ia membungkuk dengan tangan memegang lutut. Mengambil banyak-banyak udara yang mulai menipis di paru-paru setelah delapan putaran lapangan. "Dia bukan jawaban soal Matematika yang harus gue tahu dan ... berhenti liatin gue kayak gitu, Rea!"

Tera sudah kembali berlari saat Rea justru menertawakannya.

"Gue heran. Kemana aja, sih, lo? Arta itu si juara umum tahun kemarin. Dia anak mading yang juga aktif di club sepak bola kita. Yang dihukum sama lo kemarin."

Oh ... anak itu namanya Arta.

Tiba-tiba saja wajah cowok itu muncul. Mata marahnya, suara kasarnya, juga bagaimana semua itu berubah menjadi lembut. Nada rendah cowok itu masih Tera ingat dengan jelas. Wajah merah juga senyum hangatnya.

"Dia anak beasiswa."

Tera mengerjap. "Beasiswa, ya."

Anggukan Rea seperti bendera merah bagi Tera. Selanjutnya ayunan langkah mereka diisi dengan sepi. Rea sepertinya sibuk mengatur napas, sedang Tera sibuk dengan pertanyaan di kepala tentang Arta, si anak beasiswa yang bertemu dengannya.

Pertemuan pertama yang tidak biasa. Tangis, lebam, juga cutter merah yang sampai sekarang masih Tera bawa.

Seandainya mereka bertemu di keadaan yang lebih rasional.

"Lo ... besok jangan lupa topi." Napas Rea mulai tersengal.

"Buat apa?"

Rea membulatkan mata dan seketika jitakan mendarat di kepala Tera. "Ulang tahun yayasan ... bego! Gue bahkan udah capek mau ngumpat!"

Astaga! Tera jadi ingat sesuatu.

Gadis itu berdecak sebelum akhirnya memutar langkahnya. Ia masih bisa mendengar Rea berteriak, tapi ada hal yang lebih penting dari itu. Tera harus mengembalikan sesuatu.

***

Lorong-lorong dengan loker di kanan kiri itu terlalu sunyi, hingga langkah kaki Tera terdengar begitu nyaring di sana. Dentuman ringan terdengar begitu ia membuka lokernya, meraih dua benda yang bukan miliknya.

Besok upacara dan topi Arta masih ia bawa.

Tera mendengkus kasar. Ia tidak mau menjadi penyebab kesialan orang.

Dengan tergesa Tera menutup lokernya dan kembali berlari. Buru-buru sekali, hingga ia lupa, ia bahkan tidak tahu Arta kelas apa dan begitu sadar, Tera berhenti.

"Aish, Tera. Lo totol banget!"

Gadis itu merutuki dirinya sendiri. Semangat Tera yang membludak kini menguap. Ia hendak berbalik, masih ada opsi lain yang bisa ia pikirkan nanti.

Belum sempat gadis itu berbalik, seseorang lebih dulu menabrak punggungnya dengan keras. Dua benda yang Tera pegang seketika jatuh dan cutter-nya berbunyi nyaring di sana.

"Mata lo ke mana, sih? Badan gue segede ini nggak lihat apa gimana?" Tera berjongkok, memungut lagi dua benda itu. Kemudian ia mendongak dan mendapati orang yang ia cari sedang berdiri di depannya dengan senyum mengejek.

"Sengaja."

Cowok itu mengenakan seragam olahraga yang masih wangi dengan lengan yang ditarik sebatas siku. Handband hitam melingkar di kedua pergelangan tangannya. Rambutnya berantakan sama seperti mood Tera sekarang.

"Lo bisa di skors kalau ketahuan bawa sajam ke sekolahan, Tera."

"Lo?" Tera bangkit dan melipat tangannya di dada, menatap sengit cowok di hadapannya. "Kenapa lo tahu nama gue?"

"Siapa yang nggak kenal lo, Khatera Gassani? Anak dari penyumbang terbesar di sini. Right?" Tera diam-diam merekam bagaimana alis tebal cowok itu terangkat dan bagaimana tubuhnya bersandar sempurna di loker. Tangan cowok itu tenggelam di saku seragamnya, sedang matanya tertuju pada cutter yang Tera pegang.

"Ini, gue balikin."

Tera berusaha keras mempertahankan wajah garangnya saat memberikan kedua benda di tangannya. Sedang cowok itu masih saja tersenyum dan membuat Tera ingin menghajarnya. Tera benci nama lengkapnya disebut.

"Udah, nih? Nggak jadi mati?" Cowok itu menyimpan topi di sakunya, sedang tangannya yang lain dengan lincah memainkan cutter, seolah itu bukan benda berbahaya.

"Bukannya lo bilang mati nggak boleh ngerepotin orang? Gue nggak mau ngerepotin lo dengan cara mati pakai barang pinjeman."

Senyum cowok itu mendadak memudar dan berganti dengan tatapan tajam. Cutter yang tadi ia mainkan kini tergenggam erat dan diam-diam Tera membayangkan jika benda tajam itu tidak tertutup seperti sekarang.

"Lo pikir mati cuma buat bercandaan. Lo pikir mati itu lucu?"

Tera mendengkus pelan. "Lo pikir gue bercanda?"

"Kalau nggak, terus apa? Apa yang bikin lo berubah pikiran?"

Sakit jiwa. Cowok di hadapannya ini pasti sakit jiwa. Baru kemarin dia mengatakan hiduo Tera berharga, sekarang dia mempertanyakan lagi alasan Tera.

"Lo!" sentak gadis itu. "Puas?"

"Jadi gue yang bikin lo berubah pikiran?"

Ekspresi cowok itu tak bisa Tera baca, maka Tera membuang muka, masih dengan keangkuhannya. "Berisik lo--"

"Arta, nama gue Artanta Kasyavani."

"Gue nggak nanya."

Arta tersenyum dan memainkan cutter-nya lagi. Ada yang salah dengan wajah Tera. Gadis itu tidak tahu bagaimana semua bermula, tapi kini ia tersenyum. Samar, tapi tak bisa mengubah fakta bahwa ia mulai terbiasa dengan kehadiran seorang Arta.

Bel berbunyi nyaring, tapi keduanya masih enggan beranjak dari tempatnya. Kini Tera kembali membuka suara. Sebuah tanya yang berlari-lari di kepalanya.

"Lo ... selalu bawa cutter itu?"

Seolah ada yang salah dengan kalimat Tera, suasana di sana berubah.

"Hmm." Tera bisa melihat bagaimana Arta menarik napas dalam. Dia berdiri tegap, tak lagi bersandar pada loker. "Mungkin."

Arta masih memainkan cutternya. "Anggap aja malam itu gue juga pengin mati, tapi lo buat gue berubah pikiran. Jadi kita impas dan gue harap lo diam. Setuju?"

"Lo pinter banget mutar balik omongan gue. Cocok lo jadi jurnalis."

Arta tersenyum, hangat. "Gue udah nyebur di mading." Cowok itu mengangkat cutternya, memperlihatkan huruf T yang tertera di sana. "Inisial gue."

"Lo nulis apa?"

"Kayaknya lebih seru kalau lo cari tahu sendiri, selagi gue masih bisa nulis."

Seketika Tera merasakan sakit. Semua kalimat Arta entah bagaimana terasa seperti perpisahan dan Tera tak menyukainya.

***

2021

Andai kamu tau, hari itu adalah hari pertama aku melihat mading dan mencari tulisanmu. Aku pikir itu artikel menyebalkan tentang yayasan, mengingat kamu begitu sok tahu.
Namun aku salah.

Kamu penulis puisi yang begitu indah.

Diam-diam aku bertanya, untuk siapa itu? Siapa yang menyakitimu?

Aku ingin memutar waktu dan mengikatmu, agar tak terlalu jauh kamu berlalu. Namun ternyata waktu hidup dan tak terengkuh. Sedang jiwaku mati dan tak tersentuh.
Dan untuk pertama kalinya, aku jatuh.

Jika mereka bilang cinta itu bahagia, kenapa denganmu aku mengenal pilu yang begitu menyiksaku?

Arta, adakah sedikit saja sesal saat kamu melepasku? Karena aku hampir mati disiksa rindu.

T.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 122K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
226K 21.5K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
3.4M 277K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...