Forget Me

By dizappear

50.5K 5K 945

"Kamu adalah pertemuan juga perpisahan yang layak dikenang. Sedang aku adalah memori yang akan kamu tinggalka... More

Prolog; Forget Me, Cause i'm not Forget Me Not
Satu; Bertemu Kamu
Tiga; Arta
Empat; Mimpi yang Terlupa
Lima; Yang Pernah Pergi, Regi
Enam; Tidak Lagi Sama.
Tujuh; Tentang Kamu

Dua; Hidupku Berharga?

4.7K 662 101
By dizappear

2021

Aku ingin bercerita tentang pertemuan kita, tentang marahku di kali pertama, di mana kamu menganggap matiku adalah hal biasa.

Namun di kali kedua, kamu menjadi satu-satunya yang membuat dadaku berdegup lebih cepat dari sebelumnya ...

Katamu, hidupku berharga.

***

2020

Tidak ada yang mencoba bicara di sana. Mereka terlalu fokus, entah pada makanan di piringnya, atau pada isi kepalanya. Denting-denting sendok menjadi satu-satunya suara.

Gadis itu sengaja mempercepat makannya. Ia tidak tahan berada di sana. Maka setelah suap terakhir, ia bangkit dan meneguk segelas air putihnya dengan cepat.

"Aku berangkat–"

"Duduk!" potong pria paruh baya yang kini masih sibuk dengan suap demi suapnya.

Di sisinya, seorang wanita duduk anggun dengan setelan kantornya. Diam, seolah tak terganggu dengan ketegangan di sana.

"Duduk, Tera!"

Suara itu menggema, keras, seolah menampar telinga Tera. Hingga gadis itu duduk dengan terpaksa.

"Kamu tau kesalahan kamu?"

Tera memilih diam, memainkan kancing blazer sekolah yang ia kenakan. Menunduk, karena warna merah-hitam di roknya lebih menarik dari ekspresi marah Papa. Jemari gadis itu mengepal kuat, menahan sesuatu yang memaksa keluar dari dalam dirinya.

Memilih diam, karena ia sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jangan meledak ... jangan sekarang.

***

"Khatera Gassani lagi?"

Gadis berambut sebahu itu mengerjap polos saat Pak Soni melempar tatapan mautnya. Ada tanduk tak kasatmata di kepala Pak Soni yang sayangnya tak mampu membuat Tera ciut.

Upacara telah usai. Barisan siswa di lapangan memudar tapi Tera justru terjebak di sini karena tidak membawa topi. Padahal penyamarannya sudah keren sekali. Ia berdiri dengan setengah menekuk kaki di barisan tengah, memilih berada di antara teman-temannya yang tinggi. Namun mata Pak Soni ternyata tak bisa dikelabui.

"Itu seragam kamu siapa suruh dikeluarin begitu?"

Buru-buru gadis itu memasukkan ujung seragam ke dalam roknya. Wajahnya menunduk, menutup keluhan lirih dari bibirnya. "Ini keluar sendiri, Pak. Bandel emang."

"Iya, kayak kamu! Makanya pakai baju yang longgar! Itu kurang bahan atau gimana?" Pak Soni berjalan mengelilingi Tera yang sontak membuat jantung gadis itu terpacu. "Aturan sekolah kita lengannya harus lima centimeter di atas siku. Lah kamu?"

Tera memegang lengannya. Alasan apa lagi, ya, sekarang? Tera menghela napas panjang. "Mungkin saya tumbuh terlalu cepat, Pak, jadi gampang sempit seragamnya."

"Kamu ini, ngeles aja kerjaannya! Sekarang kamu hormat bendera sampai jam istirahat nanti! Nggak boleh ngeluh! Nggak boleh pergi sebelum bel bunyi!"

"Tapi, Pak--"

"Nggak ada tapi!"

Seketika mata gadis itu membola. Ia tidak bisa membayangkan betapa pegalnya tangannya nanti. Astaga. Tera janji pada diri sendiri, besok dia akan beli topi satu lusin untuk disimpan di laci.

"Tunggu apa lagi!"

Tera mendengkus dan menghentakkan kaki sebelum akhirnya berjalan ke tengah lapangan. Ia berdiri di depan tiang bendera dengan posisi hormat yang sempurna.

Tuhan sepertinya ingin menambah hukuman Tera dengan membuat matahari bertengger tinggi dan cerah sekali. Belum-belum Tera sudah pegal, rasanya enak kalau ada yang tiba-tiba ngasih es durian.

Di tengah lamunan Tera, rupanya Pak Soni sudah mendapat mangsa baru dan ini kesempatan Tera untuk menurunkan tangannya.

"Heh! Sini kamu!" Suara Pak Soni terdengar begitu nyaring. "Kamu nggak lihat ini jam berapa? Upacara sudah selesai dan kamu baru datang? Kamu pikir ini sekolah punya Bapak kamu?"

Diam-diam Tera menoleh ke belakang, mengamati Pak Soni yang sedang menggeledah siswa yang masih menenteng tas dengan hoodie kelabu di tangannya.

Atributnya lengkap. Sial saja cowok itu harus terlambat.

Tak ada perlawanan yang berarti dari cowok itu. Tidak seru. Bahkan cowok itu hanya sibuk menggenggam pergelangan tangannya yang tertutup handband hitam saat menerima pukulan dari penggaris kayu Pak Soni. Coba sedikit dilawan, pasti Tera tersipu melihatnya.

"Berdiri di sana, hormat bendera sampai jam istirahat!"

Buru-buru Tera kembali ke posisinya, menghapus jejak kecurangan yang baru saja ia lakukan. Samar langkah cowok tadi mulai terdengar, sampai akhirnya dia berdiri di sisi Tera.

Wah, cowok ini ternyata lumayan tinggi. Terlihat dari bagaimana dia bisa menghalau matahari untuk Tera. Beruntungnya Tera.

"Lo telat?"

Tera mengernyit dan mendongak. Terik matahari membuat wajah  cowok itu serupa siluet. Namun Tera yakin, suara itu terdengar tidak asing.

"Lo ngajak ngomong gue?"

"Siapa lagi emang yang ada di sini?"

Ketus banget, sih. Tera mendengkus, memilih menatap bendera walau matanya jadi perih.

"Gue nggak telat, cuma nggak bawa topi."

Panas sekali, kayaknya lemak-lemak Tera auto kebakar, deh, saking teriknya matahari. Mengusap peluh di pelipisnya, gadis itu menghela napas lagi.

"Lo berdiri di sini udah lama?"

Suara cowok itu sudah tidak Tera pedulikan.

"Udah lama?"

"Hah?" Tera mendongak dan seketika menyipit karena cahaya matahari.

"Lo berdiri di sini udah lama?"

Gadis itu menggeleng tanpa repot-repot menatap cowok itu. Rasanya tenaga Tera sudah terkuras habis pagi ini.

"Bagus, deh."

Mendengar jawaban itu, Tera mengernyit. Ia mendongak dan mendapati cowok itu masih menatap bendera. Awan yang menutup matahari membuat wajah cowok itu terlihat lebih jelas sekarang. Garis rahang yang tegas, juga bulu mata yang panjang. Tera iri melihatnya.

"Apanya?" tanya Tera.

"Bagus lo masih hidup."

Kening gadis itu berkerut. "Maksud lo?"

Tera masih terpaku saat cowok itu melepas topi dan tanpa permisi menyematkannya di kepala Tera. Detik membuat mata mereka berjumpa dan entah kenapa senyum cowok itu membuat Tera membisu.

"Jangan mati, Tera. Hidup lo berharga."

Cowok itu kemudian memalingkan muka, bibirnya masih menggumamkan suara yang tak mampu Tera tangkap.

"Astaga," desis Tera sambil berusaha menyembunyikan wajahnya.

Pantas saja suara itu terdengar tak asing. Salahkan saja senyum manis yang berbanding terbalik dengan amarahnya malam itu. Maka gadis itu menunduk semakin dalam, mengabaikan fakta bahwa cowok itu mengenalnya. Tera terlalu malu.

Karena jika tidak salah ingat, cowok ini adalah saksi dari kebodohan seorang Khatera Gassani.

***

Perkenalkan, gadis berambut sebahu itu Khatera Gassani ... namanya berarti memori. Hanya saja memori bisa jadi senjata yang membuat seseorang bahagia atau justru menyakiti pemiliknya.

🤍

Repost, 23 April 2021

Continue Reading

You'll Also Like

490K 53.4K 23
( On Going ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bay...
268K 25.1K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
831K 100K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.4M 101K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...