ARMY (Completed)

By itsfiyawn

326K 44.6K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

21. Menghindar

6.6K 967 336
By itsfiyawn

====================

Jangan minta jatuh cinta

Luka lama kujuga belum reda

Beri dulu aku waktu 

Untuk sembuh sendirinya

====================

KYAA!!!

Bima mau nyium gue?! Demi apapun ini pasti mimpi! 

Sialnya, berkali-kali gue kedap-kedip... semua nggak berubah! Ah, malang banget nasib gue. Hampir dicium aja, badan gue malah demam nggak turun-turun. 

Malam itu, ketika kami nyaris berciuman, gue langsung lari ke kamar mandi. Lebih tepatnya melarikan diri. 

Gila.

Rasanya mau pingsan! Gue pengin teriak tapi di rumah orang. Jantung gue beneran copot, otak gue mendadak nggak berfungsi(oke, itu dari dulu, sih), dan perut gue mulas banget. 

Suasananya mendukung banget, kan? Hujan disertai angin, mengirim hawa dingin yang menusuk, di dalam kamar yang hanya ada kami berdua, timbul rasa untuk saling menciptakan kehangatan. 

Belum lagi, memandangi wajah Bima dari dekat itu... kayak... kayak apa, ya? Kalau kata Taylor Swift : He's so tall, he handsome as hell, he's so bad, but he does it so well. 

Oke, gue merasa lebay banget. Tapi...

Bukan masalah ciumannya. Ada sesuatu yang menahan tubuh gue untuk tetap mempertahankan kerasionalan otak yang menyatakan semua terlalu cepat. Hati gue belum siap jatuh lagi. Gue takut membangun harapan kalau pada akhirnya hancur berantakan. 

Gue... butuh waktu. 

"Hidup lo kenapa, sih? Waktu itu nggak bisa jalan, nggak lama bonyok, terus sekarang demam, besok kenapa lagi, nih?" Koko menggerutu sambil menempelkan termometer di ketiak gue. 

"Kalau nggak ikhlas nggak usah, deh. Keluar, sana. Bikin makin bete." Gue menutup wajah dengan bantal. 

"Kenapa bisa demam?" Koko melepas termometer, membaca suhu tubuh gue yang tertera di sana. Tiga puluh delapan derajat. 

Kepala gue yang terasa pusing berusaha mencari jawaban paling pas. Nggak mungkin, kan, gue bilang demam gara-gara hampir ciuman? Bisa diketawain semalaman ama adik gue yang sok keren ini. 

"Kehujanan," jawab gue beberapa lama kemudian. Gue nggak bohong, dong. Kan, emang gue kehujanan pas ke rumah Bima. 

Adik gue yang rambutnya mulai gondrong itu mengangguk sekilas lalu keluar kamar tanpa sepatah kata. Eh, baru sedetik, pintu gue dibuka lagi. 

"Ada Bima di luar," katanya. 

"Hah?! Serius?! Bilang gue nggak ada!" seru gue, cepat-cepat ngumpet di bawah selimut. 

"Bohong, deng. Pede banget," sambungnya meledek 

"HEH!!!" teriak gue lebih kencang, melempar bantal ke arahnya tapi pintu udah keburu ditutup dari luar. "Kurang ajar!!"

*****

Hari ini demam gue berangsur turun. Namun sayangnya, kepala masih pusing dan mulut gue rasanya pahit, belum lagi keringat dingin nggak berhenti keluar dari semalam. 

"Kamu jangan kuliah dulu hari ini," imbau Ayah sebelum bekerja. Gue mengangguk patuh. Jatah bolos gue pasti udah abis, nih. 

Ponsel berdering, satu panggilan masuk dari Bima. Refleks gue lempar ponsel ke sofa. Gue nggak mau angkat. 

Titik. 

Pesan dari Bima aja sengaja nggak gue baca, apalagi telepon. Gue menggigit kuku telunjuk dengan gelisah. Sial, kalau nggak diladenin, Bima pasti nekat ke rumah gue.

Tiga kali dia menelpon dan nggak gue angkat, akhirnya dia menyerah. Ponsel gue berhenti mengoceh. Gue pun mengirimkan pesan singkat ke Bima. 

Army S.A:
Sorry, nggak gue angkat. Kepala gue pusing banget. 

Bima:
Lo sakit? Gara-gara kehujanan, ya?

Gara-gara elo, woy!

Army S.A: 
Enggak apa-apa, kok.

Bima:
Gue bawain bubur ke rumah, ya?

Tuh kan! Gue jawab apa, nih? Detak jantung gue makin nggak keruan bikin susah mikir.

Army:
Nggak perlu, Bim. Bunda udah bikinin bubur. 

Bima:
Ya udah, gue bawain buah, gue titipin ke nyokap, lo.

Army:
Jangan. Udah, nggak usah ke sini dulu. Gue mau istirahat. 

Di-read doang. Huh, emang pesan gue koran. Eh, tapi lebih baik, deng, dibanding dibalas. Gue nggak mau terlalu banyak komunikasi sama si nyebelin satu itu. Semenjak kejadian di rumahnya... setiap kali ingat dia, jantung gue mau meledak. 

****

Setelah keadaan gue cukup baik, gue putuskan pergi ke kampus. Biarpun di kampus gue belum tentu belajar, tapi di rumah terlalu lama bikin gue mati kebosanan. Seenggaknya di kampus ada Nanang yang bisa gue bully.

Ketika langkah gue hampir sampai  di depan Gedung Fasilkom, gue melihat Bima berjalan santai dengan tangan yang dimasukkan ke saku. 

Sensor otak gue memerintahkan tubuh untuk segera menghindar sebelum Bima melihat. Gue balik arah, setengah berlari ke Gedung Pascasarjana. Gue menyembunyikan diri di pendopo yang letaknya di bawah pohon rindang. Begitu memastikan Bima menghilang ke arah yang berlawanan dari tempat gue, baru deh gue keluar. 

Huft! 

Bukan berarti gue pengecut, ya. Gue cuma nggak mau salah tingkah di depan Bima. Kenapa juga gue harus salah tingkah, ya? Harusnya gue biasa aja, kan? Argh! Nggak tahu! Gue harus ke kelas secepatnya sebelum bertemu Bima. 

"Lo udah sembuh? Tapi muka lo masih pucat gitu," Nanang menegur ketika gue duduk di sampingnya, gue ngos-ngosan. 

Kepala gue mengangguk, "Udah. Meriang doang kemarin."

Nanang memerhatikan gue, ragu-ragu dia mengangguk. "Kalau lo nggak kuat, ke Poliklinik aja."

"Tenang. Gue nggak apa-apa." 

*****

Gue berhasil menghindari Bima beberapa hari ini. Biasanya, kalau nggak ada mata kuliah, gue sempatkan ke kampus buat ngerjain tugas, walau ujung-ujungnya nge-game bareng Nanang, sih. Tapi, akhir-akhir ini, kalau dosen nggak masuk, gue lebih pilih di rumah. Jangan tanya alasannya. 

Pesan-pesan dari Bima gue jawab seperlunya. Kadang gue abaikan. Telepon dari dia nggak pernah gue angkat. Gue nggak paham kenapa gue jadi kayak gini. Dan gue makin nggak paham kenapa Bima gencar banget ngehubungin gue. Setiap kali gue berusaha biasa aja, jantung gue malah semakin meronta. 

Nggak mungkin gue 'jatuh cinta.'

Cinta nggak akan jatuh secepat itu. Cinta nggak akan tumbuh di hati yang lukanya belum terlalu sembuh. 

Kalau sebatas 'suka', eum... mungkin iya. Bisa jadi gue suka. Tapi kalau lebih dalam lagi, mustahil. Sekali lagi, m-u-s-t-a-h-i-l.

Gue, Nanang, dan Gege keluar kantin setelah kami menandaskan soto ayam. Jam makan siang, kantin semakin ramai dengan para mahasiswa dan karyawan. Area kantin yang cukup besar tetap terasa sesak kalau semua bersamaan masuk sini untuk hal yang sama. 

Lagi asik-asiknya berjalan sambil mengobrol dengan mereka, tiba-tiba Gege mencolek bahu gue. 

"Kak, itu pacar Kakak, kan?" Telunjuk Gege mengarah ke seorang lelaki berjaket denim yang berjalan dari arah berlawanan bersama gerombolannya.  

Mampus! Bima!

Gue menghentikan langkah. Sial! Gue harus kabur sekarang!

Gue berlari meninggalkan Nanang dan Gege yang kebingungan. Nggak ada waktu buat jelasin ke mereka. 

Kaki gue bergerak cepat ke arah Gedung Utama. Saking kelabakannya, gue menekan tombol lift, memencet tombol angka sepuluh. Ini sih rasanya kayak dikejar rentenir di saat nggak punya duit sama sekali. Yang ada di otak gue, cuma tempat paling sepi dan mustahil terlintas di kepala orang lain kalau gue ada di sana. 

Sesuai dugaan. Lantai 10 sepi dan beberapa ruang kelasnya dikunci. Gedung Utama paling atas jarang dipakai untuk ruang kelas. Kebanyakan Mata Kuliah Umum ada di Gedung Kembar. Mata kuliah wajib terjadwal di gedung fakultas masing-masing. Gedung Utama dipakai untuk kebutuhan tambahan, itu juga ada di lantai bawah. 

Dada gue naik turun, ngos-ngosan. Gue menggelosor di salah satu ruang kelas yang nggak dikunci. Gue lihat pemandangan pusat kampus yang kecil dari atas sini. 

Fix, gue harus diam di sini sampai jam istirahat berakhir. Bima nggak mungkin nemuin gue di sini. Lagi pula, gue yakin tadi dia nggak lihat gue. Kalaupun lihat, dia nggak mungkin kan ngejar gue, mau ngapain coba? Kurang kerjaan banget dia kalo....

"Oh, jadi lo di sini." 

Tubuh gue langsung berhenti bekerja. Bulu kuduk gue meremang. 

"Ngapain lo lari-lari pas lihat gue?" Suaranya terdengar dalam. 

Gue susah payah menelan ludah. Kepala gue nggak berani menoleh, namun auranya yang mendekat benar-benar bikin gue mati kutu. 

"Lo ngehindarin gue?" Tubuhnya kini menjulang di hadapan gue. 

Gue berdiri, mendongak, memberanikan diri menatapnya. "Ka--Kalau ya kenapa?"

"Harusnya gue yang tanya, kenapa lo ngehindar?" Langkahnya menyudutkan gue. 

Gue mundur hingga bahu gue menyentuh dinding. A--aw... mentok...

Dia menyunggingkan senyum, mengunci gue dengan satu tangannya menyangga tembok. 

Gue putus asa, "Apa bedanya sih gue ngehindar atau enggak? Apa masalahnya buat lo?"

Dia menunduk, memangkas jarak kami, "Nggak ada masalah buat gue. Tapi, bukannya lo harus pegang janji lo untuk tetap di samping gue sampai waktu perjanjian habis?"

Gue menahan bahunya agar dia nggak semakin mendekat. Karbondioksida kami bertubrukan di udara yang sempit. Gue menggingit bibir, bingung mau balas apa, "I--Iya, sih! Tapi kalau perlakuan lo ke gue kayak gini. Gue cuma ngerasa lo mainin gue doang." Teriak gue frustasi. "Gu--Gue takut perasaan gue malah--" 

Jiwa gue terlempar ke alam antah berantah saat merasakan bibir Bima menempel di bibir gue secara tiba-tiba. Harusnya gue berontak. Harusnya gue menendangnya karena ini berlebihan. Akan tetapi, ciumannya yang lembut dan nggak menuntut justru melunturkan segala pertanyaan yang mengakar di otak gue. 

Bukannya menolak, tubuh gue malah berekasi sebaliknya. Mata gue terpejam, jemari gue meremas kemejanya. Ciumannya semakin dalam dan tegas, dia menarik tubuh gue, meniadakan ruang kosong di antara kami. 

Telinga gue seketika tuli, pikiran gue nge-blank, apa-apa yang di sekitar kami lenyap begitu saja seakan hanya ada kami berdua di semesta ini. Ketika gue membuka mata, ciuman kami berakhir. Kening dan hidung kami saling menempel. 

"Jangan tolak apa yang ada di hati lo." Bima memeluk gue lebih erat. "Jangan menghindari gue. Gue butuh lo." 

Kenapa semua jadi kayak gini? Apa iya kalau inti dari cerita gue bukanlah tentang Langit, tapi tentang Bima...? Dan kenapa rasanya justru gue lebih takut? 

******

Duh, gue emang gak bakat banget nyiptain suasana romantis. Maap kalau kurang ngefeel. 

Yok lanjut lagi kalau vote di chapter ini udah 350 vote ya ^^~ 

Di chapter selanjutnya akan kuberikan kejutan! Boom! Siap-siap hati kalian, duhai readers ku yang budiman.

Continue Reading

You'll Also Like

134K 15.2K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...
8.1K 1K 37
Budayakan: FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA [Sequel BESIDE ME] Katanya kalau sudah hancur, masih bisa diperbaiki. By the way, ini hati, bukan perabotan...
1.4K 286 8
ใ€ŒBoboiboy x Readerใ€ Seseorang menaruh kardus berisi kaset vidio game di depan pintu rumahku. Setelah kulihat, kasetnya cuma kaset jadul yang tulisan...
378K 73.8K 63
(repost) TERSEDIA EBOOK DI PLAYBOOK, DAN BAB SATUAN SERTA PAKET DI KARYAKARSA. Odetta memang memiliki nama yang serupa dengan tokoh Barbie kesukaanny...