ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

19. Sisa Waktu

5.2K 937 161
By itsfiyawn

Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk readers yang udah vote dan bersabar menunggu. Biarpun nggak sampai 500 vote di chapter sebelumnya, tapi nggak apa-apa. Aku sangat bersyukur bisa tahu siapa2 aja yang beneran nunggu cerita ini. 

Part ini dipersembahkan khusus untuk kalian semua, pembaca setia Army. Aku sayang kalian :*

====================

Kuhanya menjadi cinta yang takkan terjadi

====================


"...Cukup sampai sini." 

Mereka terdiam bersama. Ruangan mendadak hampa suara, segalanya berhenti, seperti reka adegan yang dijeda oleh seseorang. 

"Ta--Tapi tenang aja, Bim. Gue tetap menjalani kesepakatan yang kita buat, kok. Satu bulan lagi, kan?" 

Bibir Bima terkatup rapat,  jakunnya naik turun, perlahan mengangguk. 

"Oke, gue temani elo satu bulan ke depan." 

"Lo yakin?" tanya Bima ragu-ragu. 

Army mengangguk cepat, "Gue emang orang yang egois, tapi gue bukan orang yang mengingkari janji." 

"Terus... lo gimana?" 

"Gue? Nggak gimana-gimana."

"Maksud gue... perasaan lo gimana?" Bima mengangkat dagu Army. 

"I'm not fine, but it's ok." Army berusaha menahan perih di matanya. Manik cokelat gelap itu mulai berkilauan, lalu mutiara cair turun dari pelupuknya. 

Ibu jari Bima mengusap pipi gadis di hadapannya, memeluknya lembut. Tangis itu bukan untuk Langit. Tangis itu untuk kebodohan dirinya yang menyangka Langit akan menyesal, nyatanya di langkah pertama, rencananya langsung patah. 

****

Empat hari kemudian, Army diperbolehkan pulang setelah lebih dulu berdebat dengan dokter. Sebenarnya ia masih harus dirawat beberapa hari lagi, namun karena ia merengek minta pulang dan meyakini dokter bahwa kondisinya baik-baik saja, permintaan Army dikabulkan. Keadaan lehernya pun semakin membaik. Yah, bukan Army namanya kalau tidak keras kepala. 

Sebelum pulang, Army menyempatkan diri menjenguk Bulan yang kamarnya tak jauh dari tempat ia dirawat. Army membuka pintu, dilihatnya Bulan tengah makan disuapi Langit. Bulan tersenyum melihat Army. 

"Hai. Kamu mau pulang?" Bulan menggerakkan tangannya, menyuruh Army mendekat. 

Army mengangguk, berdiri di samping Bulan, di seberang tempat Langit duduk. Bima menutup pintu, menghampiri Army dan Bulan. 

"Gimana kondisi, lo?" tanya Army khawatir. 

"Udah baikan, kok. Cuma kadang jahitannya masih merembes." Bulan menunjuk perutnya. 

Langit menatap Bima dingin. Bima menatap Langit datar. 

"Sorry, Lan." Ah, lagi-lagi Army berharap waktu bisa diulang. 

Bulan menggeleng, "Bukan salah kamu, Army. Aku malah mau bilang makasih, kalau nggak ada kamu, nggak tahu deh nasib aku gimana."  

"Kira-kira pulangnya kapan?" 

"Eum... Nggak tahu, sih. Kata dokter, kalau jahitannya udah sedikit mengering atau apa gitu tadi." 

Army mengangguk, "Ya udah, cepat sembuh. Gue duluan ya, Lan." Army menunduk. Bulan mengangguk. Keduanya pun keluar dari kamar inap Bulan. 

Army berjalan mendahului Bima. Sembari memperhatikan sosok Army dari belakang, Bima tersenyum. Lihat, dengan beberapa perban di lehernya, ia tampak biasa saja, seakan luka adalah temannya sejak lama. Sebenarnya ketahanan tubuhnya ini terbuat dari apa, sih? 

"Jalannya pelan dikit, kek," rutuk Bima lantas menggenggam tangan Army. 

"Lo aja yang jalannya lama," balas Army cuek. 

"Lo yang jalan gue yang nahanin tahu nggak. Ngilu gue lihatnya." 

Gadis itu tertawa. "Tubuh gue itu lebih kuat dari baja. Gue tuh mutan," bisik Army sok dramatis. 

"Masa?"

"Iya. Tubuh gue cepat menyembuhkan luka, tenaga gue lebih kuat dari..." 

"Gorila." Bima memotong. "Lo emang mutan berspesies gorila. Sebelum lo mengaku, gue udah menyangka." Bima menepuk-nepuk bahu Army, lantas melarikan diri sebelum dilempar kursi oleh perempuan yang kini berteriak-teriak memanggil namanya.

****

"Kakak!"
"Party time!"
"Oy!" 

Alka, Nanang, dan Koko datang merusuh ke kamar Army. Nanang membawa sekantung plastik belanjaan yang isinya bermacam-macam. Begitu mendengar Army pulang dari rumah sakit, kedua adiknya tak pikir panjang untuk beli tiket pulang hari itu juga. Alka dari Malang naik pesawat, Koko dari Bandung naik kereta. 

Alka melompat ke kasur, memeluk kakaknya. Koko duduk di kursi, menyalakan laptop Army entah mau apa. 

"Aw!" Army berteriak ketiak Alka memeluknya terlalu bersemangat. 

"Ups! Maaf, Kak. Masih sakit, ya?" Alka meringis. 

"Kalau kekencengan sakit, lah!" Army sewot. Ia beralih ke Nanang, "Ngapain lo ke sini? Kalau nggak bawa cemilan, keluar lo dari kamar gue!" 

"Weits, gue datang bawa cemilan kesukaan lo. Nih, liat. Jangan ngomel-ngomel mulu kayak emak gue." Diserahkannya kantung plastik itu kepada Army. Begitu dibuka, ada ciki, wafer dan biskuit aneka rasa. 

Mata Army membulat girang.  "Waahhh!!" 

"Bilang apa?" 

"Gomawo-yo, Nanang oppa!" ucap Army dan Alka bersamaan. Nanang tersenyum bangga menyaksikan 'ajaran'nya berhasil dihapal oleh dua orang itu. 

Koko berdecih, geli melihat tingkah mereka. "Buat gue mana?" todongnya. 

"Tuh, dijadiin satu." 

Mereka pun berebut makanan. Persis itik yang mengerubung saat diberi dedak oleh pemiliknya. 

Army menceritakan kronologis kejadian kepada tiga orang itu. Alka dan Nanang mendengarkan serius dengan mulut yang nggak berhenti mengunyah. Berbeda dengan Koko yang sibuk mengetikkan sesuatu. 

"Ya ampun serem banget," respon Alka setelah cerita ditutup. 

"Kalau gue jadi elo, pasti malingnya yang bonyok duluan. Dasar lemah," tukas Koko tanpa mengalihkan fokusnya dari laptop. 

"Heh!" Satu jitakan mendarat di kepala Koko. "Nggak usah banyak cingcong, lo! Mereka bawa clurit sama parang."

"Nggak masalah." Koko cuek. 

Army mencebik. Mereka kembali mengobrol. Kalau ada Nanang, mustahil nggak ramai. Apa aja diobrolin. Dari mulai rumor kampus sampai gosip selebritis. Semua dihajar.

"Kak, ada Bima, tuh." Bunda melongok ke dalam kamar.

Army setengah terkejut. Diingat-ingat, Bima tidak mengabarinya kalau ia akan ke rumah Army hari ini. Nanang melotot, Alka tersenyum, Koko menyipit. Semua ke arah Army. 

"Sumpah! Gue nggak tahu apa-apaan!" Army mengangkat dua jarinya ke atas. 

"Gue harus balik. Nggak boleh ganggu." Nanang bangkit, bersiap pergi. Alka dan Koko ikut bersiap. 

Mereka semua keluar kamar. 

Bima yang duduk di sofa ruang tamu, kaget melihat banyak orang muncul dari kamar Army. Ada Nanang pula. 

"Hai, Bang. Gue mau pulang, kok, Bang." Nanang nunduk-nunduk, berjalan cepat keluar rumah sebelum ditanya-tanya Bima, dia langsung pergi. 

Alka dan Koko kembali ke kamar masing-masing. Army dengan sikap yang canggung, menghampiri Bima. 

"Udah baikan?" Bima menggeser duduknya untuk Army. 

Gadis itu mengangguk. Degup jantungnya kumat lagi, berdentum-dentum keras. Ditambah, aroma tubuh Bima yang mulai familier di hidungnya membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan. Aromanya bukan parfum, tapi khas, seperti pewangi yang dipakai Bunda.

"Lo nggak ke kampus?" tanya Army bersikap biasa saja, menutupi bagaimana kikuknya ia kini.

Bima menggeleng, "Gue dari rumah, kok." 

"Ohh... Ibu sehat?" Apa saja yang ada di kepalanya ia lontarkan agar keheningan tidak menyelinap masuk di antara mereka. 

"Sehat. Tadi dia nanyain kondisi lo."

"Lo cerita?"

"Ya kan dia liat gue pergi, pasti nanya mau kemana. Ya gue jawab aja. Terus..."

"Terus?" Army memiringkan kepalanya. 

"Terus ibu khawatir sama lo. Nih, dia bikinin martabak telur." Bima membuka bungkusan di atas meja. Asap mengepul dari sana, terlihat mengunggah selera. 

Army memekik senang, "Ahhh, ibu lo baik banget." Lekas dicomotnya satu potong martabak telur itu. Benar saja, rasanya sangat enak. 

"Ambil laptop lo. Kita belajar." Cowok berkaus hitam itu mengeluarkan kacamata dari dalam tasnya. 

Kening Army mengerut, "Lah, lagi kayak gini belajar?!" protesnya. 

"Iya, lah. Lo pikir ngapain gue capek-capek ke sini kalau cuma nganter martabak? Biar otak lo nggak makin kosong. Udah libur berapa lama, nih." Bima tak mau tahu. 

Terpaksa, Army berdiri menggerutu, mengambil laptopnya di kamar. Dia duduk di bawah sofa, menaruh laptonya di atas meja, menuruti perintah Bima. 

"Belajar web aja, ada tugas E-Commerce, kan?"

Army mengangguk. Cemberut.

"Lo bisa ngoding pakai bahasa apa?" 

"Bahasa kalbu." Masih cemberut. 

Bima terkekeh, "Belajarnya yang ikhlas, dong." Tangannya mengacak-acak rambut Army. 

"Gue nggak mau ngoding! Pusing, Bima!" Army merengek seperti anak kecil. 

"Terus lo maunya belajar apa? Kecerdasan buatan?" 

"Enggak juga!" Kali ini ia membenturkan kepala ke lutut Bima. "Gue liatin lo lanjutin skripsi aja gimana?

"Loh? Kok gue?" Kali ini Bima yang heran. 

"Iya, siapa tahu, liat lo ngerjain tugas bikin gue ikut semangat." 

Army memohon, mimiknya melas tapi lucu. Bima mengalihkan pandangan. "Iya, iya." katanya pasrah. "Ya udah awas." 

Bima mengeluarkan flashdisk dari tas kecilnya, dihubungkan ke laptop Army, dan file skripsinya terbuka. Jemarinya mulai bekerja, wajahnya berubah serius, apalagi dengan kacamata bingkai hitam yang bertengger di hidungnya yang mancung. 

Army yang duduk di atas sofa, melingkarkan tangan di leher Bima, menopang dagunya di atas kepala laki-laki itu. Bima diam, tak terganggu atas apapun yang Army lakukan terhadap dirinya. Diacak-acak rambutnya, dikuncir-kuncir, keningnya dipijit-pijit, pipinya dicubit-cubit, Bima diam saja. 

"Bim..." Army merangkul Bima dari belakang. 

"Hmm?" Bima tetap konsentrasi.  

"Capek nggak?" 

"Capek apa?"

"Skripsian."

"Capek, lah. Lo tahu apa yang nggak capek." 

"Apa?"

"Rebahan."

"Ah, kalau ada jurusan rebahan, gue pasti cumlaude."

Pundak Bima bergetar karena tawa. "Gue gap year, Mi." Seulas senyum tercetak di wajahnya yang serius. 

Army menaruh dagunya di bahu Bima. "Gap year?"

"Ya, gue gap year dua tahun. Di ujian tahun ketiga baru gue diterima." 

"Terus, selama gap year lo ngapain? Bantuin ibu?" 

Bima mengangguk, "Ya, gue bantu Ibu sembari terus belajar. Makanya, gue nggak mau kelamaan lulus. Gue harus sesegera mungkin bantu Ibu." 

Ada yang mengganjal hati Army sejak ia berkunjung ke rumah Bima. Ia merasa tak berhak mencampuri urusannya lebih jauh. Tapi, Army juga ingin tahu. "Kalau boleh tahu, bokap lo ke mana?" 

Gerakan tangan Bima berhenti, menggantung di atas keyboard, "Udah meninggal." 

"Ah, sorry... gue..."

"Nggak apa-apa. Udah lama, kok. Pas gue SMP." 

Army berpindah posisi, duduk di samping Bima. 

"Meninggalnya juga tiba-tiba. Nggak ada tanda-tanda. Tapi kami sekeluarga tahu Bokap punya penyakit jantung." Bima terdiam, menatap kosong garis kursor yang berkedip-kedip. 

"Semenjak itu, gue, nyokap, dan kakak gue mencoba bertahan meskipun rasanya terpukul. Tempat kosong yang ditinggalin bokap nggak akan bisa diganti. Sekarang, satu-satunya yang harus gue jaga, ya... Nyokap terutama." Baru pertama kali Army melihat sisi kelam seorang Bima Prabumi. Di balik perangainya yang dipandang 'cemerlang', tersimpan beban berat di bahunya yang tampak kokoh dari luar. 

Army mengarahkan kepala Bima agar bersandar pada pundaknya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghibur orang, ia tak pandai memotivasi, apalagi menyemangati orang dengan kata-kata. Ia tak bisa. 

Akan tetapi, yang ia tahu, ketika kepalanya bersandar di pundak Bima, ia merasa tenang. Army hanya bisa melakukan sebaliknya. Meskipun pundaknya lebih kecil. 

Di waktu yang tak Army sangka, Bima memeluknya dengan erat. Merengkuh tubuh Army dari depan, bagai tak ingin kehilangan. Army membeku. Ini terlalu tiba-tiba bagi dirinya yang belum mengerti apa-apa. Ia merasakan sesak saat kedua lengan itu menguncinya. 

"Makasih, ya," bisik Bima tenggelam dalam peluknya. 

Army mengangguk kaku. 

"Mi..." 

"Y--Ya?" Panas menjalar ke seluruh tubuh Army. Bagaimana ini? Apa yang akan Bima lakukan selanjutnya? Army tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. 

"Lo belom mandi, ya?" 

"BIIMMAA!!" 

*****

LAAANNJJOTTTT, deh...

Gimana part ini??

Btw, sekali lagi makasih buat kalian yang udah tinggalin jejak dan menjadi readers yang baik. Makasih buat yang udah bantu promo cerita ini. Untuk kita semua, kupersembahkan chapter selanjutnya ^^~ 

Jangan lupa follow ig itsfiyawn, kadang aku mengumumkan sesuatu tentang Army di situ. Terus, untuk chapter selanjutnya(entah di chpater berapa) aku mau bikin video kecil-kecilan heheheheee... Sampai ketemu. 







Continue Reading

You'll Also Like

5.4K 665 37
Kata orang jarak antara benci dan cinta hanya setipis helai rambut dibelah tujuh. Luna benci Angkasa. Angkasa juga, Kata Angkasa. Apa iya? Menurut An...
S M A K S A By Miil

Teen Fiction

15.5K 3.3K 38
"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memi...
33.3K 1.4K 32
Reza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membu...
634K 49.9K 39
Bagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm...