ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

17. Pelukan Pertama

5.2K 903 219
By itsfiyawn

==================== 

Oke, sesuai janji, ini chapter lanjutan karena chapter sebelumnya dapet 200 vote! Seneng banget padahal baru upload semalam wkwkwk... Untuk chapter ini 200 vote lagi yuk. hepiriding.

====================

"Kita mau kemana sih?" Gue sedikit berteriak. Maklum, kalau orang ngobrol sambil naik motor, pasti rada nggak nyambung. 

"Hah? ASI?" Kepala Bima mundur. 

"Kita mau kemana? Pe'a!" Gue geplak aja helmnya. 

"Hah?" Dia masih budek, pemirsa. 

"Hah heh hoh!" Nyerah, deh. Gue memilih diam di belakang, membiarkan Bima membawa gue entah ke mana. Rute jalannya gue tahu, tapi tujuan jelasnya gue nggak paham. 

Setelah cukup lama gue duduk di belakang, motor kami berhenti di sebuah perumahan di belakang gedung kantor yang tinggi. Rumah ini berada di deretan ruko yang kebanyakan sudah tutup. Mata gue mengernyit, sebuah rumah makan? Kedai?

"Ini rumah gue, yuk." Bima menggandeng tangan gue. 

Kami masuk setelah memberi salam. Beberapa orang yang tengah beres-beres lantas menoleh ke arah kami. Sepertinya kedai ini juga akan tutup.

"Bima!" seru sebuah suara dari arah dapur. Seorang wanita yang rambutnya didominasi warna putih menghampiri kami. 

"Bu, Bima pulang." Bima mencium tangan wanita itu. Ibunya ternyata. Gue ikut mencium tangan wanita yang Bima panggil Ibu.

"Ya ampun, jadi ini calon istri kamu? Cantik sekali, Bima." Wanita itu mengelus rambut gue. 

Tunggu...

Ada yang salah...

Tunggu...

Tadi ibunya bilang apa? Gue? Calon istri?! Calon istri siapa?!

Mata gue sontak melotot ke arah Bima, meminta penjelasan. Bima, maksud lo apa?! Ini nggak ada di perjanjian kita

"Maaf, Tan... Saya buk..." 

"Ah, Ibu tahu kok. Yuk, masuk dulu. Kamu pasti lapar, kan?" 

Tubuh gue digiring paksa secara halus, membuat gue sungkan untuk menolak. Gue nggak tahu apa-apa. Dan gue nggak paham ini situasi macam apa. 

"Bu, dia bukan..." Omongan Bima dipotong juga.

"Siapa nama kamu, cantik? Ibu senang sekali bertemu kamu." Ibunya Bima menuntun gue ke salah satu kurs di dalam kedai. Mau nggak mau gue duduk, tersenyum kikuk. Rasanya bentar lagi gue pengin ngilang atau jadi tumbuhan aja. 

"Army, Tante." 

"Jangan panggil Tante, dong. Panggil Ibu aja." Dia mengibaskan tangan. 

Ya Tuhan

"I--Iya, Tan--eh--Ibu." Diam-diam, gue melotot lagi ke arah Bima yang diam berdiri kebingungan. Bima, jelasin sekarang!

Cowok itu mengangguk pasrah. Tenang, tenang.

"Bima, Army kamu ajak makan, dong! Yura! Ke sini, Nak! Ini ada calon istrinya Bima!" Baru aja gue mau meralat perkataan Ibunya, wanita itu keburu pergi ke dapur. 

Bima duduk di depan gue, menyondongkan wajah, bersiap menerima segala sumpah serapah yang akan gue semburkan ke mukanya.

"Heh! Ini nggak ada di rencana kita! Maksud lo apa sih?!" Gue bisik-bisik. Gregetan sendiri.

"Gue juga nggak tahu. Udah, jangan dengerin nyokap gue. Entaran juga dia lupa. Ikutin aja apa maunya dia sekarang," jelas Bima di kuping gue. 

"Tapi gue bukan calon istri lo, ish!" Rasanya pengin gue cakar muka cowok di depan gue ini. Eh, jangan deh, bisa-bisa gue disiram kuah rendang sama nyokapnya.  

"Iya. Iya, jelasinnya nanti kalau waktunya tepat." 

Gue mengambil salah satu garpu yang berada di atas meja, lalu menodong ke arahnya. "Awas lo, ya!" 

"Iya, iya, tenang. Garpunya, ih! Bahaya." Bima mengambil garpu dari tangan gue dengan was-was lalu menaruhnya ke tempat semula. 

Ibu datang bersama seorang perempuan dengan celemek lusuh di badannya. Tampangnya lurus,  memandang kami berdua. 

"Gue Yura, kakaknya Bima." Dia memperkenalkan diri, memberikan tangannya. 

Gue membalas, "Army, Kak." 

Mereka duduk. Ibu di samping gue, Yura di samping Bima. 

"Nggak kabur 'kan lo hari ini?" tanya Bima memandang kakaknya serius. 

Yura tersenyum kecut, menepuk-nepuk kepala Bima. "Santai aja, lo nggak liat kecantikan gue  luntur gara-gara asap kompor?"

"Yura ini kakak Bima satu-satunya. Beda tiga tahun dari Bima." Ibunya menjelaskan tanpa ditanya. 

Gue mengangguk. 

"Mbak Tia, masih ada ayam di dapur, bakarin dua, ya!" seru Ibu ke arah dapur. 

Menunggu ayam bakar, Ibu menceritakan banyak hal ke gue. Yura sesekali ikut meralat kalau ada bagian yang Ibu lupakan. Bima ikut tertawa kalau ada yang lucu, sementara gue cuma ngangguk-ngangguk sopan. Sesekali gue bergumam, "Ohhh", "Ohh, gitu.", "Ohh ya".

Dari yang gue dapat, kedai ini milik keluarganya Bima. Pegawai-pegawai yang tadi ikut beres-beres juga masih ada ikatan keluarga. Ibu memperkenalkan satu-satu pegawainya ke gue. Ya ampun, udah kayak apa aja lah gue. Tapi, di sisi lain, gue merasa nyaman berada di antara mereka. Semuanya ramah dan sangat terbuka. Gue merasa... dihargai. 

"Ya udah. Kalian makan dulu. Kamu juga kan abis sempro, Bim. Makan yang banyak. Biar kuat revisiannya." 

"Makasih, Bu." Bima tersenyum. 

"Makasih, Tan--Eh--Ibu. Army makan, ya, Bu." Gue mengangguk sopan. 

"Makan yang banyak, ya, cantik. Ibu sama Yura mau ngitung pemasukan dulu." Ibu mengelus bahu gue lantas beranjak pergi bersama Yura. 

Gue dan Bima menyantap hidangan yang telah tersaji. Oleh sebab perut gue yang udah keroncongan dari sore, seporsi ayam bakar bisa ludes dalam waktu kurang dari lima menit. Bima terkesiap, berkedip-kedip nggak percaya lihat piring gue udah bersih. 

"Eh, maap, yak. Gue laper banget..." kata gue sadar diri, nyengir.

"Mau nambah?" tawar Bima. 

"Masih ada?" 

"Masih, kok." 

"Boleh, deh."

"Pakai nasi?"

"Setengah aja."

"Ayamnya dada apa paha?"

"Dua-duanya boleh." 

Bima menelan ludah, pergi ke dapur mengambil makanan tambahan. Nggak lama, dia balik dengan dua porsi ayam bakar di tangannya. Bedanya, kali ini nasinya setengah. 

Gue makan dengan lahap. Dipandang Bima sebegitunya, gue bodo amat. Siapa suruh nawarin gue makanan, julukan gue di rumah aja 'tempat sampah', kalau ada makanan sisa, pasti gue habisin. Kecuali kalau gue lagi bete dan nggak mood makan. 

"Heran ngeliat cewek makannya sekarung?" tanya gue sambil melepaskan daging ayam dari tulangnya. Enak banget. 

Dia menggeleng santai.

"Makanya, lo bakal nyesel deh kalau jadiin gue calon istri lo beneran. Lo harus nafkahin gue dua kali lebih banyak dibanding perempuan lain. Gue makan sehari empat kali. Belum termasuk cemilan pas lagi nonton film. Banyak, kan?" bisik gue dengan nada ngomporin. Biar si Bima itu ilfeel sekalian, terus cepet-cepet bilang ke Ibu deh kalau gue bukan calon istrinya dia. 

Di luar dugaan, dia malah tertawa pelan, "Gue lebih suka lihat cewek yang banyak makan, dari pada yang nggak doyan makan." Ibu jarinya mengelus ujung bibir gue, "Gue juga seneng kalau lihat cewek makannya berantakan. Lucu." 

*****

"Makasih, Army, sudah berkunjung ke sini. Harus sering-sering, ya." Ibu tersenyum. Lagi-lagi gue nggak bisa mendeskripsikan senyum Ibu. Intinya, sangat menenangkan, penuh harapan. Hati gue ikut menghangat. 

"Makasih juga, Ibu. Makasih, Kak Yura." 

"Bima antar Army pulang dulu, ya, Bu." 

Ibu dan Yura mengangguk. Kami bersalaman, pamit, motor pun melaju. 

 Sepanjang perjalanan, gue berpikir. Hari ini, setelah Langit meluncurkan kata-katanya yang menyakitkan bak peluru, Bima memperkenalkan gue ke keluarganya yang bisa membuat gue sedikit lupa akan luka yang gue terima. Gue sakit, tapi bahagia di saat yang bersamaan. Kalau aja dalam hidup ini suka dan duka datangnya selalu di waktu yang sama, pasti nggak bakal ada orang yang menyesali apa yang menimpanya.

Pertama dalam hidup gue, gue bersyukur atas keputusan menjauh dari Langit. 

"Bim..." Gue meremas dua sisi ujung jaket Bima. 

"Hmm?" Bima memundurkan kepalanya. 

"Ibu lo baik banget, ya..." kata gue. "Makasih." 

"Iya." 

"Kalau lo lagi sibuk, kabarin ya, Bim." 

Dia mengangguk. "Lo takut kangen gue, ya?" Tiba-tiba aja Bima menarik hidung gue pelan. Lagi-lagi, gue nggak menolak, karena gue merasa... nyaman? 

"Nggak usah kepedean, lo! Gue jadi bingung nanya tugas ke siapa."

"Halah, lo aja nggak pernah, tuh, nanya tugas ke gue." 

Skakmat! Gue diam. Emang, deh, gue nggak bakal bisa ngeles kalau arahnya ke pelajaran. Malah jadi bumerang buat gue sendiri. 

Pelan-pelan tangan gue ditarik dari depan agar bisa melingkar di perut Bima. Punggung tangan tangan gue dielus-elus, bikin jantung gue melorot ke perut yang rasanya banyak kupu-kupu berterbangan. Gue diam. Bima pun nggak bersuara. Namun, malam tahu, kami sama-sama tersenyum. 

***

"Cerah banget muka lo, kayak mataharinya telletubies," celetuk Nanang sesampainya gue di kelas. 

Sejujurnya, gue nggak merasa secerah itu, tapi mendengar ocehan beruk ini, gue baru sadar kalau dari tadi gue senyum-senyum sendiri. Ya gila! Otak gue mulai korslet!

"Apaan sih, sotoy banget." Gue menabok bahu Nanang, duduk di sampingnya. 

Kelas mulai ramai, jam mata kuliah seharusnya sudah dibuka dari lima belas menit yang lalu. "Dosennya nggak ada?" tanya gue ke Nanang. 

Nanang mengedikkan bahu. "Belum ada info."

Bibir gue membulat. Paling bentar lagi dosen itu ngabarin nggak masuk. Kebiasaan. 

"Eh, eh, gue dengar-dengar lo adu bacot ya sama Langit?" Kali ini, Nanang beralih dari ponselnya ke gue.

"Enggak, sih. Cuma ribut kecil doang. Makin nggak jelas dia," tukas gue, bete kalau ingat-ingat kejadian kemarin. "Tahu dari mana lo? Kan, lo nggak ke sempronya Bima?" 

"Telinga gue di mana-mana kali." Nanang menepuk dadanya. 

"Gaya lo, beruk!" 

"Eh, tapi, lo ama Langit beneran nggak apa-apa? Soalnya, sebodo amat-bodo amatnya elo, kehilangan Langit itu berarti teman lo berkurang, loh. Udah dikit, makin dikit." 

"Nggak apa-apa, kan ada elo. Ada Bima juga." 

Nanang nyengir, "Hooo, sekarang udah akur nih ama Bima."  

Bibir gue terlipat ke dalam, "Gue pikir-pikir, dia itu... nggak terlalu buruk juga buat dijadiin teman. Tapi tetep nyebelin, sih." Tiba-tiba gue ingat sesuatu. "Eh, Nang. Si Bulan ngajak gue ketemuan." 

"Hah? Ngapain?" 

"Nggak tahu, paling mau minta penjelasan dari gue langsung." 

"Lo iyain?"

"Iya. Kenapa harus lari? Tinggal gue jawab apa yang dia tanyain." 

Kepala Nanang mengangguk setuju. "Sama Langit?" 

"Enggak, berdua doang."   

Seorang teman memberitahukan bahwa Bu Yuli tidak masuk karena ada rapat dadakan, pertemuan diganti tugas. Kelas pun langsung bubar kayak layar tancap pas diserang gerimis. Nanang ngacir ke fakultas sebelahnya, mau pacaran katanya. 

Gue memutuskan untuk langsung pulang. Hari ini Alka mau ke Malang, gue mau bantu dia packing sekalian antar dia ke bandara. Mau ketemu sama Jer... Jer... Jer siapa itulah temannya yang dia taksir. 

Ketika gue melangkah ke arah Gedung Pasca Sarjana,  gue melihat Langit berjalan bersama beberapa temannya. Mata kami bertemu, tubuh kami berpapasan, namun saling melewati tanpa ada tegur sapa. Dia mengabaikan gue seakan-akan gue nggak ada, gue pun bersikap secuek mungkin. Walaupun dalam hati, kayak gini ke orang yang udah lama di samping kita itu... nggak enak. 

Gue jadi ingat kutipan, 'Sebelum sejauh matahari, kita pernah sedekat nadi.'

***

Sepulang dari mengantar adik gue ke bandara, gue lekas meluncur ke sebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari rumah. Sesuai janji gue dengan Bulan, gue menemui dia di sini. Gue dorong pintu kayu itu, lonceng berdenting menandakan ada tamu baru. 

Seorang pelayan menghampiri gue dengan ramah, gue mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menemukan cewek berambut panjang di pojok sana tengah menatap keluar jendela, gue menunjuk ke arah itu. 

"Silakan." Dia mengantar gue ke tempat duduk lalu memberikan menu. 

"Pesan aja, Mi. Aku udah pesan tinggal nunggu," ujar Bulan di depan gue. Gue mengangguk. 

Begitu selesai memesan dan pelayan meninggalkan kami, gue menatap Bulan yang pandangannya melayu. Dia tersenyum. Gue enggak. 

"Langit udah menceritakan semuanya ke aku," katanya membuka percakapan. 

Gue mengangguk. 

Bulan menarik napas pelan, "Maafin aku, Mi..." Dia menunduk. "Aku terlambat mengerti bagaimana perasaan kamu." 

Melihat Bulan, gue jadi nggak tega. Mata gue berubah iba memandangnya. "Nggak apa-apa. Bukan salah, lo." 

"Aku... Aku sayang banget sama Langit, Mi. Bahkan setelah bertahun-tahun aku pergi, dia tetap menjadi tempatku pulang."

Gue menelan ludah susah payah. "Ya... gue tahu." 

"Kurasa, hanya itu yang mau aku sampaikan. Kita sekarang sudah punya cerita kita masing-masing. Aku paham bagaimana persahabatan kita harus berubah. Tapi, semoga waktu bisa memperbaiki itu semua." 

Gue mengangguk. "Gue... Gue juga minta maaf atas sikap gue kemarin. Sebenarnya, gue kesel aja Langit anggap perasaan gue ini bercandaan doang. Kalau gue bercanda, ngapain gue bertahan ampe bertahun-tahun..." Gue menggigit lidah, berusaha nggak memuntahkan semua unek-unek gue ke Bulan. Bagaimanapun gue sadar, di beberapa sisi, Bulan nggak salah. 

"Ya... Tapi sekarang kamu sudah sama Bima, kan? Harusnya hati kamu sudah sembuh, Mi..." 

"Kalaupun sekarang gue udah punya Bima, luka yang ditinggalin Langit masih ada bekasnya. Sebagai orang yang perasaannya terbalas, lo nggak akan tahu rasanya. Lo nggak akan paham."  

Bulan tercenung, bibirnya mendadak sulit digerakkan. 

Hening. 

Pesanan kami datang. Dua soft drink tanpa makanan. Lagian, siapa yang mood makan kalau kondisinya begini. Gue minum duluan, menandaskannya dalam beberapa kali teguk. Gue mau cepat-cepat balik. 

"Kalau udah nggak ada yang mau diomongin, gue balik," kata gue, begitu minuman gue ludes.

Bulan mengangguk. "Aku juga  mau pulang. Kamu naik motor?"

"Iya. Lo?"

"Aku naik mobil. Kalau kamu nggak bawa kendaraan, biar aku antar."

"Nggak perlu." 

Kami sama-sama berdiri meninggalkan kafe yang mulai sepi. Gue berjalan lebih dulu, Bulan di belakang mengekor diam. Nggak ada percakapan apapun hingga kami menaiki kendaraan masing-masing. Mobil Bulan keluar area lebih dulu, sementara perjalanan gue terinterupsi karena panggilan telepon dari Koko.

"Apaan sih?" tanya gue kesal. Mau pulang kok diganggu. 

"Lo udah antar Alka sampai bandara belum?" Di seberang sana, dia terdengar cemas.

"Udah, bawel. Penerbangan jam tujuh."

"Oh, syukur deh. WA gue ceklis satu soalnya. Lo di mana? Di luar ya?"

"Hmm."

"Buruan balik. Udah jam berapa ini, kebiasaan banget, sih."

"Ini gua mau balik lo nelepon gua, Bambang!" umpat gue gregetan. 

Dia terkekeh. "Ya udah. Hati-hati."

"Ya."

Telepon ditutup. Gue memakai helm, bersiap tancap gas. Pulang. 

***

====================

Yuhhhuuuuuu.... 

Chapter 18 bisa langsung aku update. Nggak ada tantangan vote.... 

tapi.... 

untuk 2 chapter setelah ini yaitu ch. 19 dan 20, akan diupdate ketika chapter 17 200 vote dan ch.18 500 vote! Nah loh, bisa nggak ya?? wkwkwk Pasti bisa... cuma ya berapa lamanya tergantung pembaca, jadi aku juga update tergantung banyak votenya! Hehehe... 

Makin lama terkumpul vote, makin lama update :p

Piwaiting! xoxo

-Fiya 

====================







Continue Reading

You'll Also Like

22.8K 1.6K 40
[ Completed ] Viona dan Zevan adalah dua orang yang sama-sama pernah merasakan sakitnya ditinggalkan. Akankah pada akhirnya mereka bisa saling menyem...
33.3K 1.4K 32
Reza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membu...
50.7K 4.5K 13
[COMPLETED] Pertemuan antara si bilioner muda dengan pemilik cafe hits gyeonggi-do. Penasaran? Selamat membaca^^ Tolong berikan banyak cinta untuk c...
3.7K 961 26
Tolong berhenti sejenak saat aku berlari agar kita sungguh-sungguh bertemu. ---- Special Story Diikutkan dalam event Author Got Talent 2022 Teenlit...