About Zeya

By bunganafandra7

4.1K 1.6K 2.6K

Ini tentang dunia Nazeya. Tidak hanya sebatas kisah cinta anak remaja, tapi tentang bagaimana menyimpan luka... More

Cast & Character
(1) Ragu
(2) Latihan
(3) Ditinggal
(4) Penjelasan
(5) Tugas Fisika
(6) Pilih Kasih?
(7) Kak Anya
(8) Mama Pergi
(10) Quality Time
(11) Senja
(12) Stupation

(9) Luka

243 97 168
By bunganafandra7

Keputusan mama sudah bulat, pesawatnya telah lepas landas. Gue baru aja pulang nganterin mama ke bandara, dan sekarang gue lagi di kamar, merebahkan badan sambil menatap langit-langit kamar. Semuanya benar-benar berasa kayak mimpi. Jika memang ini mimpi, gue ingin lekas bangun dan mengakhiri mimpi panjang yang menakutkan ini.

Mama bilang, dia akan bekerja dengan adiknya yang merupakan seorang karyawan restoran di Malaysia.

"Kenapa semuanya kayak gini. Ayah ninggalin Zeya, sekarang mama juga. Besok siapa lagi hah?" gue berteriak sekeras mungkin di kamar. Nggak peduli dengan tetanga yang mungkin merasa terganggu.

Gue merasa seolah takdir baik tak pernah berpihak pada gue. Sekarang semesta seolah menertawakan betapa menyedihkannya gue.

Air mata di pelupuk mata tidak sedikit pun berhenti, dan gue sendiri enggan untuk mengahapusnya. Di sini mama nggak salah, dia pergi demi gue dan Riyan. Tapi gue nggak sanggup. Gue yang dari kecil udah biasa dimanja sama mama, akan ngerasa ada yang hilang jika mama tidak ada.

Ceklek

Pintu kamar gue dibuka. Terdengar suara decitan antara lantai dan ujung pintu yang bergesekan. Gue hanya diam, tak peduli siapa yang masuk ke dalam kamar.

Orang itu menghampiri gue, lalu duduk di tepi ranjang. Dia adalah Della.

Della turut merebahkan dirinya di ranjang gue, turut menatap langit-langit kamar gue. Dan sekarang, yang ada di sisi gue cuma Riyan, Della, dan mungkin Razil.

"Nazeya. Gue tau lo rapuh. Gue tau lo capek. Dan gue tau lo sakit," Della membuka suara setelah hening beberapa saat.

Gue hanya diam tak menjawab. Hanya ada isakan yang tak henti-henti.

"Sebelum pesawat yang ditumpangi mama Jeni lepas landas, dia nelpon gue. Dia nyuruh gue ke sini, nyamperin lo. Gue juga sempat kaget, dan bahkan ngira ini cuma becanda, tapi ternyata enggak,"

Iya, nama mama gue adalah Jeni Tarisha. Teman-teman terdekat gue juga ikut memanggil mama dengan sebutan mama. Della udah menganggap orang tua gue sebagai orang tuanya, begitu sebaliknya.

"Satu hal yang harus lo tahu. Disaat lo merasa dunia jahat, di saat lo merasa dunia lagi mainin lo. Lo harus yakin, akan ada satu sisi di dunia yang menerima lo dan akan ngasih kebahagian buat lo. Dan salah satu sisi itu adalah gue,"

"Gue di sini keluarga lo Ze. Gue udah anggap lo kakak gue. Lo yang selalu ada saat gue rapuh. Dan kini giliran gue untuk ada sebagai sandaran buat lo. Gue yakin, mama Jeni akan kembali. Dia pergi demi lo dan Riyan,"

"Gue nggak tau, gue akan sanggup atau nggak Dell," jawab gue lirih di sela-sela isakan yang sulit untuk ditahan.

"Gue yakin lo bisa. Gue tahu, lo cewek yang kuat," jawabnya.

Setelah itu hening, tak ada suara hingga gue terlelap dan tiba di alam bawah sadar. Gue tertidur dengan air mata yang mengering di pipi.

Jam beker berdering, membangunkan gue dari tidur panjang. Berharap semua ini adalah mimpi, tapi realitas kembali menampar.

Della ternyata tidak pulang semalam. Dia masih dengan posisinya di ranjang gue. Dia emang sahabat yang paling ngerti perasaan gue. Tanpa berniat membangunkan, gue berjalan keluar kamar dengan langkah kecil dan berharap tidak menimbulkan suara.

Gue berjalan menuju dapur, menyiapkan sarapan seadanya untuk nanti berangkat sekolah. Bagaiamanapun, gue harus belajar mandiri. Nggak ada lagi mama yang akan menyiapkan makanan, nggak ada lagi mama yang akan bangunin gue, dan nggak ada lagi mama yang akan menyambut letih gue setelah seharian penuh bersekolah. Ya meskipun mama nggak pergi untuk selamanya, tapi mama pergi untuk waktu yang gue rasa cukup panjang.

Gue masak nasi goreng dengan menggunakan bahan dapur yang ada. Mengiris bawang lalu menggorengnya. Gue menoleh ke meja makan saat mendengar suara decitan kursi yang ditarik.

Di sana ada Riyan yang udah duduk di meja makan. Ia masih mengenakan baju kaosnya. Gue rasa dia bahkan belum cuci muka.

"Mandi. Abis itu sarapan," ujar gue lalu kembali memfokuskan diri pada bawang yang sedang digoreng.

Tanpa terasa air mata gue menitik. Di satu sisi, gue merasa rapuh dengan keputusan mama yang mendadak, di satu sisi gue ingin egois untuk menyalahkan Riyan.

Gue lalu menoleh kembali ke arah Riyan setelah menghapus beberapa tetes air mata yang jatuh. Di sana, Riyan duduk dengan termenung, air matanya jatuh.

"Ngapain nangis? Lo sadar nggak, mama pergi gara-gara lo bego," gue berteriak cukup keras sambil membanting sendok yang tadi gue gunakan untuk mengaduk bawang goreng.

Gue mematikan kompor lalu menghampiri Riyan. Mood gue untuk masak udah hilang. Diri gue kini dipenuhi rasa marah.

Gue menarik satu kursi di samping Riyan, lalu mendudukkan diri di sana. Gue mangangkat dagu Riyan dengan sedikit kasar menggunakan sebelah tangan gue.

"Nggak usah nangis. Lo yang buat mama pergi. Lo egois, lo nggak pernah sadar betapa besarnya hal yang udah dilakuin mama buat lo. Tapi apa? Lo selalu merasa dipilihkasihkan. Lo egois Yan," teriak gue tepat di depan wajahnya sambil melepaskan dagunya yang tadi gue cengkeram.

Tak ada reaksi dari Riyan, hanya ada isakannya. Ia lalu meninggalkan gue dan berlari ke lantai atas menuju kamarnya. Dan perlahan air mata gue turut meluncur.

Gue menjambak rambut gue sekuat mungkin. Memukul-mukul meja makan sekuat tenaga gue. Dan gue mengambil gelas yang berisi air putih di atas meja, lalu membantingnya hingga menimbulkan suara yang memekakkan. Gelas itu pecah menjadi kepingan kaca. Gue terus berteriak, menjambak rambut gue sendiri, memukul diri gue sendiri, gue menyakiti diri gue sendiri dengan tujuan agar semuanya cepat berlalu.

Gue merasa lelah dengan semua ini. Gue nggak tau siapa yang harus disalahkan atas apa yang terjadi kemarin dan hari ini. Dengan egoisnya gue menyalahkan Riyan di sini. Hati gue menolak untuk menyalahkan Riyan, tapi logika gue berkata bahwa Riyan patut untuk disalahkan.

Gue manangis sejadi-jadinya. Seterpuruk itukah? Jawabannya jelas iya. Ini belum seberapa, ini hanya kenyataan bahwa mama ninggalin gue ke luar negeri untuk bekerja, tapi gue udah serapuh ini. Lalu apa yang akan terjadi bila mama benar-benar pergi untuk selamanya. Oh Tuhan, gue nggak akan sanggup.

Gue kambali meraih gelas yang ada di atas meja. Membantingnya lagi hingga pecah berkeping-keping. Lalu sebuah tangan, ah mungkin lebih tepatnya sebuah rangkulan menyelimuti tubuh gue yang bergetar. Dia memegang erat tangan gue yang berusaha ingin terus menjambak rambut gue sendiri.

Gue melihat ke arah orang yang merangkul gue. Ternyata Razil. Pria itu sudah mengenakan seragam sekolah lengkap dan dibalut sweater hitamnya.

"Sejak kapan lo ada di sini?" tanya gue sambil melepaskan rangkulannya secara kasar.

"Nggak perlu tau, yang jelas sekarang berhenti sakitin diri lo sendiri." jawabnya sambil kembali merangkul gue. Dan kali ini rangkulannya lebih kuat.

"Ngapain lo ke rumah gue?" gue kembali melontarkan pertanyaan dengan suara pelan dan bergetar.

"Karena gue tau, lo lagi butuh tempat untuk bersandar," jawabnya sambil menarik pelan kepala gue dan meletakkannya pada dada bidangnya.

Kali ini tak ada perlawanan, gue hanya diam. Dia benar, gue lagi butuh sandaran.

"Lo tau dari mana hm?" tanya gue dalam pelukannya. Gue masih terisak.

"Della tadi nelpon gue, dan ngasih tau semua tentang lo. Maafin gue ya, gue bahkan nggak tau kalau lo lagi ada dalam kondisi terpuruk," dia mengelus lembut surai gue.

Gue hanya mengangguk sekilas. Lalu melepaskan pelukan itu dan berlih menatap jam dinding.

"Udah jam setengah 7 Jil. Gue mau siap-siap dulu," ujar gue lalu berdiri, tapi Razil meraih sebelah tangan gue.

"Nggak usah sekolah dulu, kalau kondisi lo lagi nggak baik," jawabnya yang juga ikut berdiri.

"Iya, Ze. Nggak usah masuk dulu hari ini," Della juga ikut menyahuti setelah tiba di ruang makan.

"Oke. Lo mending sekolah aja Jil, lagian seragam lo juga udah lengkap. Lo juga Dell, jangan bolos gara-gara gue." ucap gue pada Razil dan Della. Ya gue nggak mau kalau ada pihak yang turut dirugikan karena kesedihan gue.

"Nggak, gue bakal nemenin lo hari ini," ujar Della.

"Nggak usah Dell, gue aja. Lo mending sekolah. Biar gue yang nemenin Zeya," putus Razil.

Della akhirnya menyetujui. Ia lalu pulang ke rumahnya yang letaknya cuma di seberang jalan dari rumah gue.

Gue merasa bersalah banget sama Riyan atas kejadian tadi. Gue ngerasa udah bersikap terlalu kasar ke dia. Lalu gue putuskan untuk menghampiri ke kamarnya.

Gue mengetuk pintu beberapa kali, tak ada sahutan. Gue mendengar samar-samar suara isakan di dalam sana.

Setelah mengetuk pintu dan tidak ada respon, gue kemudian memutuskan untuk masuk. Di dalam sana, Riyan sedang duduk di atas meja belajarnya dan menangkupkan kepala. Ia kini sudah siap dengan seragam putih birunya.

Gue mendekat, lalu memeluk tubuh rapuh itu. Gue benar-benar merasa bersalah atas kata-kata yang tadi gue lontarkan ke dia.

"Yan, gue minta maaf soal tadi. Gue kebawa emosi," lirih gue, dan dia masih tetap terisak dalam posisinya.

"Gue terlalu sedih. Gue kalut, sampai-sampai gue nyalahin lo. Maafin gue Yan, lo nggak salah kok, mama nggak pergi gara-gara lo," ujar gue lagi.

Riyan lalu berbalik dan memeluk gue. Gue mengeratkan pelukan itu. Menguatkan adik gue satu-satunya. Sepanjang hidup, mungkin baru kali ini gue melihat dia menangis sendu seperti ini. Dulu, waktu ayah meninggal, dia masih bayi, belum mengerti apa-apa, jadi tangisnya hanya sebatas tangis rewel anak bayi. Tapi sekarang, dalam tangisnya ada hati yang rapuh dan pilu.

.
.
.
.
.
.
.
Holaa

Aku come back again huhuu:)

Sedikit cuap-cuap dari author yang baik ini, ehehe, jaga kesehan selalu yang gengs, jangan keluar dulu, kebersihan juga dijaga, dan semoga kita semua terhindar dari virus-virus yang berbahaya itu.

Btw, gimana nih kegiatan man teman di akhir pekan? Rebahan kah? Kalo iya, kita sama^^

Dah lah, see you gengss:v

Luv luv dari author 💕💕

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 366K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
1.7M 121K 81
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

486K 23.1K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
951K 46.6K 61
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...