About Zeya

By bunganafandra7

4.1K 1.6K 2.6K

Ini tentang dunia Nazeya. Tidak hanya sebatas kisah cinta anak remaja, tapi tentang bagaimana menyimpan luka... More

Cast & Character
(1) Ragu
(2) Latihan
(3) Ditinggal
(4) Penjelasan
(5) Tugas Fisika
(6) Pilih Kasih?
(7) Kak Anya
(9) Luka
(10) Quality Time
(11) Senja
(12) Stupation

(8) Mama Pergi

201 94 127
By bunganafandra7

"Kuy pulang," ujar gue yang membuat gerakan tangan di layar handphonenya terhenti.

"Yuk. Eh tapi, Kak Anya nebeng. Nggak papa kan?"

"Hah?" gue dibikin bengong seratus persen sama kata-kata Razil. Kenapa coba Kak Anya nebeng, tumben-tumbenan banget kan.

"Dia nggak bawa mobil. Jadi mau nebeng bareng kita. Nggak papa kan Ze?"

"Iya nggak papa," sebenarnya sih kesel, tapi ya mesti gimana. Gue mencoba untuk tetap berpositive thinking, mungkin ini emang pure Razil mau nolong Kak Anya yang lagi nggak bawa mobil.

Tak lama, Kak Anya datang menghampiri gue dan Razil. Suasananya jadi super canggung. Ah, mungkin gue aja yang ngerasa kayak gitu sih. Gue masih rada kesel sama Kak Anya, apalagi soal pertanyaan tadi siang.

"Hayuk pulang," ajaknya yang dibalas anggukan oleh Razil.

Kak Anya seolah nggak menganggap gue ada di sana. Dia bahkan nggak nyapa gue. Plis deh, gue insecure banget. Gue berasa kayak seonggok patung yang berjalan aja di sana.

Razil yang kayaknya paham perasaan gue kemudian menggenggam tangan gue. Kami bertiga pun berjalan menuju parkiran. Posisinya gini, gue berdiri di tengah-tengah, Kak Anya di samping kiri, dan Razil di samping kanan sambil menggenggam tangan kanan gue.

Sampai di parkiran, Kak Anya dengan beraninya langsung duduk di jok depan, di samping jok kemudi. Dan posisi itu adalah posisi gue biasanya. Gue yang menyaksikan itu merasa campur aduk. Antara sakit hati, kesel, dan bete. Jadi pengen jambak-jambak rambutnya Kak Anya yang panjang.

Gue mengurungkan niat untuk masuk ke mobil. Gue hanya berdiri di luar, dan Razil yang mulai menyadarinya melirik ke arah gue.

"Ayo masuk, udah jam 5 loh Ze," ucapnya sambil melirik arloji di lengan kirinya.

"Gue pulang naik angkot aja deh, nggak enak jadi nyamuk." putus gue dan berjalan menjauhi parkiran tempat di mana mobil Razil diparkirkan.

Sumpah gue sakit hati. Hm mungkin ini adalah hal yang menjijikkan dan terkesan childish, tapi beginilah gue. Apapun yang udah jadi milik gue, paling anti dipakai sama orang lain.

Razil kemudian mengejar gue dan mencekat tangan kanan gue. Gue lalu menoleh mendapati dia yang udah berdiri di belakang gue dengan jarak kurang lebih 50 cm.

"Ayo pulang, ini udah sore Ze."

"Nggak usah," gue menarik lengan gue yang dipegang oleh Razil.

Gue berjalan dengan sedikit berlari ke halte yang berada di depan sekolah, lebih tepatnya seberang jalan. Gue menyebrangi jalan dengan hati-hati dan sedikit tergesa, karena melihat di belakang masih ada Razil yang mengikuti.

"Zeya, jam segini udah nggak ada angkot," katanya sejenak setelah sampai di halte.

Gue hanya diam, tak menggubris.

"Lo nggak suka kalo Kak Anya nebeng? Oke. Lo tunggu di sini, gue ambil mobil bentar dan akan nurunin Kak Anya," ujarnya yang sama sekali nggak gue hiraukan.

Setelah itu, Razil berlari melintasi jalan raya yang penuh kendaraan. Gue melihat dia di sebrang sana, dia menurunkan Kak Anya dari mobilnya tepat di gerbang sekolah. Setelah itu dia melajukan mobilnya ke arah selatan, mencari celah yang memisahkan kedua jalur jalan supaya dapat dilintasi mobilnya.

"Eh Zeya, lo belum pulang?" ujar seorang pria yang kini berdiri tepat di depan gue sambil membuka kaca helm fullfacenya.

"Eh Bang Gilang?"

Iya, pria yang kini di depan gue adalah Gilang, pria yang tadi menemui gue sebagai sepupunya Razil. Dia udah nggak makai seragam sekolah, hanya memakai baju kaos lengan pendek berwarna navy, dan celana jeans panjang.

Sebelum sempat menjawab pertanyaan Bang Gilang, gue menoleh ke belakang, dan ternyata jarak mobil Razil dan gue kini semakin dekat. Bang Gilang yang kini masih stay duduk di motor sport warna hitamnya itu, ikut mengalihkan atensinya menuju arah pandang gue. Dia menampilkan raut kebingungan setelah mendapati mobil Razil yang tengah melaju di belakangnya.

Tanpa pikir panjang, gue langsung menaiki motor Bang Gilang dan duduk di jok belakang.

"Bang anterin gue pulang. Cepetan," ucap gue sambil memukul pelan bahu Gilang.

"Eh tapi, itu Raz.."

"Cepetan Bang,"

Tanpa membantah gue lagi, Bang Gilang bergegas menggunakan helmnya dan melajukan motor sportnya.

Setelah si kuda besi itu melaju, gue menoleh ke belakang, ke arah halte di mana gue berdiri tadi. Gue lihat di sana ada Razil yang lagi menendang mobilnya. Gue yakin dia pasti lagi kesel gara-gara gue, dan gue bikin dia kesel karena dia bikin gue sakit hati. Eh ribet ya? Ah intinya begitu. Singkatnya saja, dia kesel karena ulah dia sendiri, ngapain buat gue sakit hati.

"Lo berantem sama Razil?" tanyanya sedikit berteriak melawan kerasnya suara kendaraan di tengah jalan raya ibu kota.

"Nggak kok, masalah kecil aja," jawab gue juga sedikit berteriak.

Bang Gilang baru saja pulang. Gue lalu masuk ke rumah dan mendapati mama yang tengah duduk di ruang tamu. Mama sedikit berbeda hari ini, pakaiannya tidak seperti biasa. Dan, ada koper yang tak jauh dari tempat duduknya.

"Mama?"

"Eh Zeya, kamu udah pulang?" mama tersenyum ke arah gue sambil berdiri.

"Mama mau kemana?" gue memerhatikan penampilan mama yang sedikit berbeda dari ujung kaki sampai ujung kepala, sambil menunjuk ke arah koper yang ada di samping mama.

Mama hanya diam, nggak ngejawab pertanyaan gue.

"Kamu ke sini dulu sayang," mama meraih tangan gue dan menyuruh gue duduk di sampingnya.

Detak jantung gue berdegup cepat, ada semacam rasa gelisah dengan keadaan yang kini terjadi.

"Ze, kamu sekarang udah dewasa," ucap mama mengelus lembut rambut gue, dan mama menitikkan air matanya.

Gue bingung, dan tanpa sadar air mata gue juga jatuh.

"Ma, maksudnya apaan? Zeya nggak ngerti. Ini koper apa Ma?" gue berkata lirih diiringi air mata yang jatuh.

"Sebentar lagi kamu tamat SMA, dan kuliah. Pengeluaran makin banyak. Dana pensiun ayahmu tidak cukup untuk itu semua, Ze," mama masih mengelus rambut gue, air matanya dan air mata gue nggak berhenti untuk keluar.

Gue masih aja nggak bereaksi.

"Mama akan pergi ke Malaysia untuk bekerja dengan tantemu di restoranny..,"

Belum selesai mama menuturkan kata-katanya, gue langsung menghamburkan diri ke pelukannya.

"Maa," gue memeluk mama sambil menangis. Tanpa terasa, Riyan juga datang, dan memeluk mama serta gue. Tangis kami bertiga pecah. Gue terisak dalam pelukan mama, begitupun Riyan.

"Mama nggak boleh pergi," ucap gue di sela-sela air mata yang menitik.

"Tapi keadaan yang menuntut Ze. Mama yakin, seiring berjalannya waktu, kalian akan terbiasa tanpa Mama,"

"Zeya nggak bisa tanpa Mama. Zeya nggak mau Mama pergi. Plis jangan pergi Ma," gue dan Riyan mengeratkan pelukan kami. Riyan terus terisak, meski tak ada sepatah katapun yang dia ucapin, tapi gue yakin, dia sama terpuruknya kayak gue.

"Ma, Iyan minta maaf. Kalo Mama pergi karena Iyan minta leptop, nggak usah beliin Iyan Ma. Iyan butuh mama di sini, Mama lebih penting dari leptop itu," ujar Riyan sambil terisak dalam pelukan.

"Enggak, ini bukan gara-gara kamu kok sayang. Mama pikir, dengan pergi ke Malaysia dan bekerja dengan tante Armi, ekonomi kita bisa kembali membaik. Cari kerjaan di ibu kota bukan hal yang gampang Nak. Ini adalah satu-satunya jalan keluar, ini juga demi kalian berdua. Nanti, kalau uangnya udah cukup, Mama akan balik ke kalian." jawab Mama sambil tersenyum di tengah air matanya yang menitik. Gue tau pasti, senyuman itu hanya kamuflase untuk menutupi lukanya.

"Mama minta maaf ya. Mama belum bisa jadi Mama yang baik buat kalian. Mama belum bisa menuhin semua kebutuhan kalian," sambungnya. Tangis gue pecah sejadi-jadinya. Kenapa hari ini begitu buruk.

"Enggak, Mama nggak salah dan nggak perlu bilang maaf. Mama udah yang terbaik kok, jadi mama nggak usah pergi ya,"

Lalu hening, tak ada lagi kata-kata. Hanya ada isakan tangis dan suara dentingan jam yang terus berputar.

Tuhan, kenapa semuanya jadi kayak gini. Setelah ayah pergi, lalu apakah mama juga harus pergi. Mama yang jadi tiang penopang untuk berdiri tegak, mama yang menjadi rumah untuk pulang, dan mama yang menjadi bahu untuk bersandar, haruskah ia pergi. Kenapa dunia seolah senang membuat gue sedih Tuhan. Semesta seolah nggak ngizinin gue untuk bahagia. Orang bilang, hidup itu seperti roda yang berputar. Setiap orang akan merasakan di puncak atas kebahagian. Tapi gue? Kapan gue akan berada di atas? Gue merasa seolah roda kehidupan yang berputar itu nggak ada. Gue merasa seolah roda kehidupan itu nggak bergerak, hanya tetap di bawah dan menderita.


.
.
.
.
.
.

Haii, aku hari ini up 2 kali lho huhuhu:)

Karena di part sebelumnya udah ngebacot, jadi di sini ga usah:>

Having fun guys:)

Luv luv dari author ga boleh ketinggalan, huhu 💙💜

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 366K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

483K 23K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
614K 64.7K 39
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
394K 25.5K 50
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...