TELUK ALASKA 2

ekaaryani

3.8M 333K 237K

[SEQUEL TELUK ALASKA] Alistasia Reygan, semua orang menganggapnya sempurna dan bisa mendapatkan segalanya den... Еще

PROLOG
PROLOG II | JANJI MASA KECIL
1. HILANGNYA DIARY
VOTE COVER
2. MENGEMBALIKAN DIARY
3. KECEWA
5. PARAHYANGAN VS SINGGASANA
6. MENCOBA PERGI
7. MENJAUH
8. SEBUAH BALASAN
9. JANGAN PERGI
10. PERMINTAAN MAAF
LOGO PEGASUS & PHOENIX
11. SEORANG MANTAN?
12. TAWANAN
13. BERADA DI SISIMU
14. SALAH PAHAM 1
15. First Kiss?
16. ARABELLA
17. NEGARA TUJUAN SIA
18. MELINDUNGINYA 1
DANDELION
Malem
19. BUKAN TEMAN KECIL!

4. SEBUAH TUDUHAN

161K 14.2K 3.1K
ekaaryani

Ada yang kangen?

Kalo ada typo kasih tahu ya🙏🙏

Happy reading...

Tiba-tiba saja saat Sia menangis guyuran hujan itu berhenti. Seolah ada sesuatu yang melindungi kepalanya, Sia pun menengok dan menatap sosok cowok yang tengah mengorbankan jaketnya untuk melindungi Sia.

"Bara..." ucap Sia parau.

"Udah dua kali gue lihat lo nangis, Sia," ucapnya membuat Sia mengangkat wajahnya, bagaimana bisa? Apakah Bara mengingat Sia sekarang? Apakah identitasnya terbongkar?

"Kenapa? Setiap kali gue lihat lo—air mata lo terus jatuh?" tanya Bara lagi membuat Sia gemetar hebat.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Sepulang sekolah, Bara langsung mengganti bajunya lalu mencuci muka seadanya. Dia keluar kamar lalu menatap suasana perkotaan yang amat sangat berkilau. Ya, Bara saat ini tidak serumah dengan Ibu ataupun Ayahnya. Dia tinggal di apartemen yang berada di pusat kota dan tak jauh dari SMA Singgasana.

Kamarnya sekarang berantakan, dia duduk sejenak lalu mengambil buku gambar yang selalu dia gunakan. Dia perlahan-lahan membuat gambar wajah dari sosok yang terus mengganggu pikirannya.

"Anastasia? Or Alistasia?" tanya Bara pada dirinya sendiri lalu memperhatikan gambar itu dengan lekat. Dia pun menempelkan gambar tersebut di atas tempat tidurnya.

"Who are you?"

Bara tidak bisa yakin pada dirinya sendiri. Dia terus menyebut nama Alistasia dalam hatinya. Walaupun pada kenyataannya cewek tersebut adalah Anastasia.

Tak lama setelah dia selesai menggambar, ponselnya berbunyi. Dia Fabian, sahabat Bara sejak masuk SMA Singgasana. Ada beberapa teman lainnya, seperti Orlando dan Jeremy. Tapi diantara mereka semua, Fabian lah yang paling cerewet.

Bara mengembuskan napas panjang lalu mengangkat teleponnya.

"Ya?" tanya Bara dengan malas.

"Gila—gila! Anak baru Parahyangan udah cari masalah aja."

Bara mulai mnegernyit saat mendengar nama Parahyangan di sebutkan.

"Ada apa?"

"Gue dapet kabar, adiknya si Lando di bully abis-abisan karena dia punya Kakak yang sekolah di Singgasana. Kurang ajar banget tuh bocah!"

"Lagian, ngapain juga dia sekolah di Parahyangan?" tanya Bara kesal, sudah jelas Parahyangan dan Singgasana bermusuhan. Lalu untuk apa Orlando mengizinkan adiknya sekolah di sana.

"Nah itu dia, malem ini kita minum di tempat biasa. Kita cari siapa aja yang ganggu dia!"

Dalam hatinya Bara ingin berkata tidak penting, sungguh. Karena Bara tahu adik Orlando adalah perempuan. Jadi... dia akan berurusan dengan perempuan lagi. Mana ada kan cowok yang membully cewek?

Tapi demi sahabatnya, dan demi nama baik Singgasana. Dia harus memperbaiki keadaan agar tidak semakin keruh.

"Nanti malem kan?"

"Dari sore juga nggak papa."

"Gue nggak bisa."

"Oke, malem."

Bara pun langsung menutup telepon, dia pun bergegas memakai bajunya dan bergegas menuju perempatan lampu merah di mana dia bertemu dengan Sia. Jujur, dia sangat penasaran dengan cewek itu.

Tidak mungkin anak Parahyangan tidak mempunyai uang saku bukan? Sampai mengamen dengan anak-anak jalanan seperti itu. Ya, Bara sangat penasaran. Untuk apa dia mengamen dan—tentunya dia sangat ingin tahu siapa Sia sebenarnya.

Dia mengemudikan mobil sambil menyimpan sejuta tanya. Bara tidak bisa tenang sebelum dia memastikannya, dia Alistasia atau Anastasia. Haruskah dia mengikuti Sia sampai ke rumahnya?

Oke, sudah sampai. Bara menunggu kedatangan Sia di dalam mobilnya yang terparkir di beberapa gedung sebelum lampu merah. Dan... saat Sia sadatang bersama pria berjas, Bara langsung menaiki bis yang lewat di depannya.

Tapi yang terjadi... Sia malah menyanyi dengan suara parau. Setelah turun dari bis pun dia malah menangis.

"Sia?" ucap Bara dengan nada lebih tinggi agar bisa menyaingi suara hujan.

"Bara..." panggil Sia sambil menghapus air matanya. Sia pun melirik ke arah cowok itu. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain, jarak mereka yang terlalu dekat membuat Sia tidak tahu harus berbuat apa.

"Jangan nangis," ucap Bara—sangat pelan, seperti sedang berbisik, di tambah suara hujan pun akan sangat sulit untuk mendengarnya. Tapi tidak dengan Sia, dia dapat mendengarnya dengan baik.

"Oke," ucap Sia lalu tersenyum.

"Kalau gitu aku nggak bakal nangis lagi," ucapnya sambil tersenyum manis lalu merebut jaket yang melindungi kepalanya. Itu adalah jaket milik Bara, dan Sia akan bertanggung jawab karena membuat jaket tersebut basah.

"Aku bakal cuci ini," ucap Sia dengan wajah basah kuyup.

Sudahlah, ini tidak baik. Hujan-hujan seperti ini hanya akan membuat keduanya sakit. Bara tidak peduli lagi sekarang kalau Sia tahu dia tengah mengikutinya.

"Sia, ikutin gue," ucap Bara, Sia langsung mengikutinya—betapa kagetnya dia saat mengetahui kalau Bara membawa mobil sendiri, lalu untuk apa dia naik bis barusan?

Bara pun membukakan pintu mobilnya untuk Sia. Entah kenapa, Sia percaya begitu saja pada Bara, dia langsung menaiki mobil tersebut lalu menyimpan gitarnya di jok belakang mobil Bara.

"Kamu—ngikutin aku?"

"Ya."

"Buat apa?"

Bara terdiam sejenak, sebenarnya ada sesuatu yang harus dia pastikan, tapi dia mengelak. Sambil membawa mobilnya menembus hujan deras dia pun menjawab.

"Nggak papa, duit di dompet gue terlalu tebel, Sia. Makanya gue ikutin lo."

Sia pun mulai cemberut, dia pun mengambil tisu yang ada di depannya lalu menjawab, "Kalau kebanyakan kenapa tadi kasihnya cuma satu lembar?"

"Karena gue bukan owner Uang Kaget, Sia," ucapnya membuat Sia tertawa, dari dulu Bara memang tidak berubah, dia selalu membuatnya tertawa.

Bara pun tersenyum kecil, sudah lama dia tidak berbicara panjang lebar seperti barusan. Biasanya dia hanya mengeluarkan beberapa kata saja. Tapi pembicaraan kali ini membuat Bara sangat merindukan masa lalu.

"Mau gue anterin lo pulang?"

"Bol—" ucap Sia terpotong saat dia menyadari kalau Bara tengah menjebaknya. Kalau Bara mengetahui di mana dia tinggal, itu sama dengan bunuh diri.

"Besok aku kembaliin jaket kamu ke mana?" tanya Sia mengalihkan pembicaraan, "Tempat kemarin, aman kah?"

"Nggak usah, simpen aja jaketnya di belakang."

"Harus!" tegas Sia membuat Bara tidak bisa mengelak. Bara pun mengangguk sembari mengembuskan napas panjang.

"Sepulang sekolah, aman. Kalau masih jam pelajaran, nggak aman."

"Oke, pulang sekolah." Sia pun mengangguk mengerti, dia pun mengarahkan mobil Bara untuk mengikuti petunjuknya. Ya, saat ini Sia menuju ke rumah Abin. Tidak peduli apa yang terjadi, Bara tidak boleh tahu siapa Sia sebenarnya—setidaknya dalam waktu dekat ini.

Sepertinya memang benar, sekali kita berbohong kita akan terus menutupinya dengan kebohongan yang lain.

"Maaf," ucap Sia dalam hati.

***

Saat ini Sia tengah menatap Bulan di depan kamarnya, jendela kamar terbuka lebar—Sia duduk di atasnya sambil memeluk lututnya. Dia pun tersenyum kecil.

Sia lalu mengambil Diary yang ada di meja belajarnya dan menulis sesuatu di dalamnya. Coretan tinta ini adalah coretan pertama yang Sia buat dalam diary Ibunya di lembaran yang masih tersisa.

Sia pun tersenyum lalu menutup kembali buku tersebut. Dia menatap jaket yang kini ada di depannya, di belakang jaket tersebut tertulis nama Phoenix, entah apa itu, mungkin hanya nama merek? Atau sejenisnya, ah... sudahlah.

Dia mematikan lampu lalu tertidur lelap. Tanpa sadar seseorang masuk ke dalam kamarnya lalu membaca buku diary tersebut.

Ya, dia Anastasia. Ana sangat kaget melihat nama Bara ada di dalam diary nya. Dia menganga lalu menutup mulutnya, apakah Bara yang dimaksud anaknya adalah Bara—Bara William?

Ana pun mengusap kepala Sia lalu menciumnya, "Maaf sayang, sekarang Mama minta Diary Mama kembali," ucap Ana sambil tersenyum manis.

"Siapapun Bara yang kamu tulis, Mama akan selalu dukung itu. Tapi Mama nggak tahu, gimana reaksi Papa kamu kalau baca ini," ucap Ana dengan wajah cemas.

Dia... dia sangat takut kalau Sia mempunyai sugesti yang sama sepertinya dulu. Menulis dalam diary Teluk Alaska sangatlah—menyeramkan. Ana takut, Sia mencemaskan hubungannya seperti Ana dulu. Dia harap Sia bisa menemukan judul yang lebih baik di bandingkan Teluk Alaska.

Mencemaskan masa depan yang belum tentu terjadi. Lihat? Ana bahkan saat ini bersatu dengan Alister, walaupun banyak rintangan yang mereka hadapi.

"Mama sembunyiin diary ini dari Papa, oke?" ucap Ana lalu mencium tangan Sia. Dia pun pergi keluar sambil menutup pintunya secara perlahan-lahan.

***

Matahari masih malu-malu menjenguk setiap umat yang sudah menunggu sinarnya. Sia yang sudah berpakaian rapi pun wajahnya tetap suntuk. Dia tidak fokus, sudah satu jam dia mencari keberadaan Diary hitam milik ibunya.

Tidak ada. Kenapa harus hilang lagi? Itu membuat Sia semakin frustasi. Kali ini, Sia yakin bukan Bara yang mengambilnya. Bagaimana kalau Ayahnya?

Sia pun langsung turun dengan wajah panik, dia sudah siap-siap dengan Ayahnya yang akan mengomelinya dengan seribu satu kata yang terus berulang-ulang.

"Papa?" tanya Sia kaku membuat Alister yang sedang mengambil minum pun menengok heran.

"Hmmm?"

"Nggak ada yang mau papa omongin?" tanya Sia membuat Alister mengedikan bahunya.

"Kalo ada cowok yang bully kamu, bilang sama Papa!" Sia pun memutar bola matanya. Dia pun melanjutkan sarapannya lalu menatap Ibunya. Ana, dia hanya tersenyum seraya mengedipkan satu matanya.

Tunggu. Kalau begitu—Ibunya yang mengambil Diary? Wajah Sia kembali memerah, dia bingung harus berkata apa.

"Mama, suka ice cream kan? Mau rasa cokelat atau strawberry?" tanya Sia dengan senyum canggung.

Belum sempat Ana menjawab Sia kembali memotongnya, "Atau—pulang sekolah mau Sia traktir makan?"

Ana mengangkat mulutnya untuk menjawab, namun kembali gagal, "Oke. Nanti Sia buatin masakan Sia yang paling enak khusus buat Mama."

Merasa ada yang aneh Alister langsung berhenti mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Dia langsung menatap Ana dan Sia bergantian.

"Apa?"tanya Sia membuat Ana tertawa kecil, dia langsung menghabiskan makanan dengan cepat sebelum Ayahnya mulai bertanya-tanya.

Dia pun langsung pamit pada Ana dan Alister sambil melambaikan tangannya, "Dadah, Mama nanti Sia bawain ice cream ya!"

Sia langsung lari keluar dari rumahnya dengan napas tersenggal-senggal. Dia pun lumayan lama menunggu bis sekolah khusus siswa Parahyangan tiba. Akhirnya, dia duduk kembali di tempat Abin.

"Abin!"

"Yo?"

"Cie pake almamater cie..." ucap Sia membuat Abin membetulkan dasinya dengan wajah sok cool.

Mereka pun saling bercanda seperti biasa, Sia kemarin lupa menginjak sepatu baru Abin dan sekarang lah saatnya. Mereka pun tertawa di dalam bis, sampai tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang Parahyangan.

Sia menengok ke arah gerbang Singgasana, sangat—menyeramkan. Saat melihat ke sana seolah ada sesuatu yang amat sangat kuat sampai membuat kedua sekolah ini bertentangan.

"Sia, kalau kita udah pake almamater kita berarti udah di akui sebagai siswa Parahyangan."

"Ya, bagus dong?"

"Berarti kita udah dicatet juga sebagai musuh Singgasana," ucap Bintang sambil bergidik ngeri, Sia pun langsung tertawa mendengarnya. Baik musuh Singgasana ataupun bukan Sia tidak akan mencari musuh di sana. Jadi... tidak ada bedanya.

Mereka pun masuk ke dalam kelas dan duduk di tempat yang kemarin sudah mereka tempati. Sia menduduki bangku paling depan, sementara Abin ada di belakangnya.

Tatapan Sia langsung beralih pada cewek yang sedang berada dalam kerumunan. Ya, yang Sia tahu cewek itu bermama Crystal. Dan dia memiliki Kakak di Singgasana, lalu... kenapa dia di bully? Tidak ada hubungannya.

"Heh, lo ngadu kan sama Kakak lo?" ucap Geby membuat Sia menatap tajam ke arahnya.

Crystal pun tidak menanggapinya.

"Buat kalian semua, hati-hati. Jangan pernah ngejelekin anak Singgasana, ada penghianat di kelas kita!" teriaknya membuat Sia mengembuskan napas kesal, lalu apakah dengan Crystal diam saja semua masalah akan selesai?

Sia pun menghampiri meja Crystal lalu tersenyum di depannya, dia pun mengusap-usap pundak Crystal. Perlakuan Sia sontak membuat Abin hampir terkena serangan jantung. Ingin ikut campur tapi itu adalah ranah wanita. Serba salah memang.

"Kalau Crystal emang cuma bisa ngadu sama Kakaknya. Nggak mungkin dia berani sekolah di Parahyangan. Dia masuk ke SMA ini karena sudah tahu risikonya, dan sudah tahu apa yang akan dia hadapi," ucap Sia lalu menatap tajam Geby yang tengah menggebu.

"Contohnya ngadepin kamu," tambahnya dengan wajah dingin. Bintang langsung menepuk jidatnya saat itu juga.

Kasus saat Sia SMP pun serupa, Sia membela teman sekelasnya yang kena Bully lalu dia diserang oleh pembully tersebut. Kenapa Sia tidak pernah kapok?

"Eh lo tahu dari mana kelakuan Crystal?" tanya Geby membuat Sia tersenyum kecil.

"Iya, kamu juga tahu dari mana kelakuan Crystal? Kita baru hari kedua masuk, dan nggak mungkin kita langsung tahu sifat seseorang!"

Geby pun mengepalkan tangannya kesal semenatara Sia acuh tak acuh. Sia tidak peduli kalau dia menjdi korban bullying karena membela seseorang. Sungguh. Walupun kejadian saat SMP terulang pun Sia tidak peduli.

"Bener tuh kata Sia," ucap Bintang lalu menutup mulutnya otomatis.

Teman lelaki yang ada di samping Bintang pun langsung tersenyum membalas perkataan Bintang.
"Lo bilang Crystal penghianat kan? Ada buktinya?" ucap Troy menengahi.

"Kalau selama satu semestet dia terbukti penghianat, gue dukung lo, Geby. Tapi kalo baru dua hari lo langsung tuduh dia penghianat, tandanya lo caper!" lanjut Troy dan Bintang langsung mengangkat tangannya setuju.

Sia pun tersenyum kecil, dia langsung membawa tas Crystal untuk duduk di bangku paling depan, di sampingnya. Sia berharap dia tidak akan sendirian, Sia berharap dia bisa tersenyum sepertinya dan melewati semua ini dengan normal.

Bukankah masa SMA adalah masa yang paling membahagiakan? Maka Sia harus membuat itu kenyataan.

Bintang pun langsung mengulurkan tangannya pada Troy, "Nama gue Bintang, panggil gue Abin," ucapnya membuat Troy pun membalas uluran tangannya.

"Troy," ucapnya membuat Bintang menahan tawa dalam hati, karena namanya mengingatkan Bintang pada sebuah film peperangan.

Saat itu juga Crystal menghampiri Sia lalu tersenyum kikuk, dia amat sangat canggung melihat Sia yang dengan berani mau membelanya.

"Crystal," ucapnya kecil dan Sia membalasnya dengan senyuman hangat. Tapi saat Sia ingin mengobrol dengan Crystal lebih lanjut, dia kembali mendengar ocehan-ocehan tak menyenangkan.

"Modal tampang doang," bisik Geby membuat Viara tertawa kecil, "Lihat deh, mukanya. Kaya oprasi plastik gitu," ucapnya dan Sia langsung mengeratkan tangannya kesal. Kenapa? Kenapa harus bicara di belakang? Apa tidak bisa berbucara langsung di depannya?

Love you readers...

Maaf telat update, tiba tiba ada tugas online dadakan😭

Seperti biasa, aku update 2.000 kata lebih👌

Jangan lupa follow instagram Official:

@telukalaskaofc

Dan juga instagram Roleplayer:
@barawilliam_
@alistasia.reygan
@bintang.elano
@hutomo_
@alister_reygan
@anastasyamysha

Ada yang mau ditanyain?

Instagram: ekaaryani01

Thankyou💕

Продолжить чтение

Вам также понравится

KANAYA (REVISI) liaa0415

Подростковая литература

2.1M 126K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
He's My Boyfriend [TERBIT] ✓ thyfaa_hn

Подростковая литература

5.3M 366K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
TRANMIGRASI ZEA & NEYRA Dinda_ Lilis

Подростковая литература

2.1M 104K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
GUS ILHAM MY HUSBAND || TERBIT Aisyah

Подростковая литература

18.4M 1.3M 69
⚠️FOLLOW SEBELUM DIBACA ⚠️ [Bijak dalam berkomentar dan hargai karya penulisnya, follow sebelum di baca] _________________________________________ Ai...