Mantan Rasa Pacar [END]

Por Arinann_

1.3M 85.6K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... Más

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 24: Membaik
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 27: Gramedia Date

18.1K 1.6K 18
Por Arinann_

Naura keluar dari kamarnya. Ia sudah siap dengan setelan gaun kasual selutut berwarna baby blue yang dipadukan dengan sneakers dan tas selempang sama-sama berwarna putih. Rambutnya sengaja Naura gerai dan di tangannya terdapat tali rambut untuk berjaga-jaga jika ia ingin mengikatnya.

Di ruang tamu sudah ada Arka yang tengah mengobrol dengan Mbok Inah. Suara tawa mereka terdengar nyaring dan sesekali terdengar Arka mengaduh karena tepukan Mbok Inah. Naura tersenyum.

"Lho iki, kesayangane wis teko. Ayune Mbak Naura ki wis dandan," goda Mbok Inah saat Naura mendekati Arka. Naura meringis malu. (Lho ini, kesayangannya sudah datang. Cantiknya Mbak Naura, tuh, sudah dandan).

"Bidadari dari mana ini, Mbok?" tanya Arka.

Naura yang dapat gombal, tapi Mbok Inah yang histeris. "Halah! Mas Arka, ki, jan. Gombal." Mbok Inah refleks menepuk Arka lagi. Kali ini lebih keras hingga Arka sedikit terdorong. Arka mengaduh sedangkan Mbok Inah tersenyum malu-malu.

Naura terkekeh sedangkan Arka langsung mengusap-usap lengannya. "Astaghfirullah! Enggak yang muda, enggak yang tua. Sama aja."

Naura dan Mbok Inah sering sekali menepuk lengan Arka. Membuat Arka merasa heran sendiri.

Naura melihat Arka. Laki-laki itu hari ini memakai kaos yang dilapisi hoody berwarna putih, celana berwarna navy, dan sepatu yang juga berwarna putih. Tidak ada kesepakatan di antara mereka untuk mengenakan pakaian yang sama, tetapi mereka bisa selaras.

"Ya udah sana, Mbak Naura sama Mas Arka berangkat. Mbok Inah mau nyetrika baju lagi. Silakan kalau mau ngedate."

"Mbok Inah gaya banget, kok tau istilah ngedate." Arka terkekeh geli.

"Wo iya. Mas Nara itu kalau mau ketemu Mbak Kesya pamitnya ngedate. Mbuh, ndak ngerti Mbok Inah sama bahasa anak muda jaman sekarang. Ikut-ikut, aja, si Mbok."

Arka lantas berdiri. "Pamit, ya, Mbok."

"Iya, Mas. Hati-hati!"

Arka dan Naura menyalami Mbok Inah setelah itu mereka keluar.

"Nih, kuncinya." Naura mengulurkan kunci motornya kepada Arka. Namun, Arka merogoh sakunya. "Gue bawa motor, Ra. Tadi tiba-tiba dikasih sama Papa."

Naura tertegun. "Udah enggak disita?"

Arka menggeleng. Laki-laki itu merangkul Naura. "Enggak. Papa, tuh, aneh tau, Ra. Tiba-tiba berubah. Masa waktu ngobrol, bicaranya lembut banget. Enggak marah-marah. Terus cerita tentang ayah lo. Katanya dulu teman SMA. Sama nanyain gue masih suka sama lo atau enggak. Eh, tiba-tiba diijinin pacaran. Ada apa, ya, sama Papa? Salah minum obat kali, ya, Ra?"

"Hush! Sembarangan kalau ngomong."

"Ya habisnya aneh. Tiba-tiba gitu, loh."

Naura tersenyum simpul. Entah mengapa Naura merasa senang mendengar Arka tiba-tiba curhat seperti ini. Arka jadi terlihat lucu seperti anak kecil.

Arka melihat pakaian Naura. "Lo pakai rok?" laki-laki itu baru sadar ternyata.

Naura mengangguk. "Pakai motorku aja, ya?"

Arka mengangguk. Laki-laki itu paham. Naura tidak nyaman jika naik di motor besar Arka.

"Ka, Galuh suka sama Lala, ya?" tanya Naura sembari naik ke boncengan.

Naura cukup peka soal celetukan Arka yang menegur Galuh kemarin malam. Naura penasaran dan ia ingin memastikan.

Arka menatap Naura melalui kaca spion. "Iya. Diam-diam suka juga."

Naura tersenyum. Akhirnya sahabatnya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Kenapa?"

"Aku ajak Lala sama Galuh, ya?"

Arka seketika menoleh. "Loh, kok jadi ajak mereka, Ra? Kan, gue maunya ngedate berdua. Kaya yang dimaksud Mbok Inah," protes Arka.

"Ya enggak apa-apa. Biar lebih seru, Ka."

"Enggak."

"Yah, Ka. Ajak aja. Sekalian kita bantuin mereka. Biar Galuh ngaku. Nanti, kita jalan sendiri. Pisah sama mereka. Gimana?"

Arka diam. Ia terlihat berpikir.

"Ajak, ya?" bujuk gadis itu.

Arka mendesah. "Besok kapan-kapan aja, deh. Kita kan udah lama enggak jalan berdua, Ra."

Naura menghela napasnya. "Yaudah, deh. Besok lagi aja."

"Enggak apa-apa, kan?"

Naura tersenyum. "Iya, enggak apa-apa."

***

Sesampainya di mal, Naura langsung pergi ke toko buku. Gadis itu semangat melihat-lihat jajaran buku novel yang tertata rapi di rak-rak. Arka senantiasa mengikuti Naura di belakang. Laki-laki itu sesekali ikut melihat dan membaca sinopsis yang ada di sampul belakang buku.

"Ini, Ra. Bagus." Arka lagi-lagi merekomendasikan buku kepada Naura.

Naura menoleh dan melihat buku yang dipegang Arka. "Itu horor, Ka." Naura mengalihkan pandangannya dan kembali membaca sinopsis buku yang dipegangnya.

"Bagus ini ceritanya. Covernya juga menarik. Nih, coba lo baca dulu sinopsisnya," ucap Arka sembari mendekat.

"Enggak mau."

"Bagus. Emang kenapa, sih, kalau horror? Dari tadi ditawarin yang lain juga enggak mau."

"Takut."

"Ya ampun, Ra. Ngapain takut? Orang cuma cerita juga."

"Walaupun cerita tetep aja takut, Ka. Kamu, mah, orangnya suka yang kaya gitu. Beda sama aku."

Arka mengembalikan buku tadi ke tempat semula. "Terus sukanya yang genre kaya gimana?" tanya Arka lembut.

Naura memperlihatkan bukunya. "Yang romastis. Yang genrenya, tuh, fiksi remaja gitu. Apalagi kalau ceritanya tentang anak sekolahan. Tapi, suka juga, sih, yang mahasiswa kuliah-kuliah gitu."

Arka memasukkan kedua tangannya di saku hoody. Menatap Naura yang fokus memilih buku.

"Kebanyakan baca cerita-cerita kaya gitu itu bikin orang sinting, loh, Ra. Lama-lama jadi stres, kerjaannya ngehalu terus sama tokoh yang enggak ada di dunia nyata."

Naura memicingkan matanya. "Tapi aku enggak suka halu, ya. Aneh-aneh aja kamu. Masa baca buku bikin orang jadi sinting. Ya enggak, lah. Baca buku, tuh, bikin orang jadi tambah pintar dan wawasannya luas. Baca karya fiksi kaya gini juga bikin ilmu dalam kepenulisan kita meningkat. Menambah kekreatifitas dalam menulis, kaya kosa kata, dan banyak pesan moral yang bisa diambil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari."

Arka mengangguk-anggukkan kepalanya seiring penjelasan Naura. "Ooh... begitu, ya?"

Naura mengerucutkan bibirnya mendengar tanggapan Arka. "Iya."

Naura mengembalikan bukunya pada rak. Gadis itu beralih ke sisi rak yang lain. Arka mengekor.

"Ra, serius nanya. Sekarang, di jaman teknologi yang mulai canggih, kalau mau akses apapun kan bisa lewat media digital. Setau gue ada aplikasi khusus baca-baca novel gitu di HP. Anak-anak cewek ditempat les gue suka baca-baca. Terus, kalau mau baca buku yang udah terbit, bisa download. Lo enggak perlu jauh-jauh ke toko buat beli versi cetaknya. Udah praktis, gratis lagi. Kalau kata mereka, nih, ya..."

"Novel bajakan yang kaya versi pdf gitu?" tanya Naura.

"Ya itu lah."

Naura berdecak. "Bisa aja, sih, Ka. Tapi, itu artinya kita enggak menghargai dan mengapresiasi karya penulisnya, dong. Misal, nih, kamu itu seorang penulis. Kamu udah berjuang nulis karya dan akhirnya bisa diterbitkan. Tapi, malah banyak yang menikmati karya kamu itu lewat link-link bajakan gratis dan banyak pembaca yang enggak beli versi cetaknya. Kamu sakit hati enggak?"

Arka terdiam.

"Sakit hati, kan? Iya, lah. Penulis pasti merasa kecewa. Dia udah berjuang tapi orang-orang enggak menghargai perjuangan mereka. Memang ada rasa senang karyanya dinikmati banyak orang, tapi kalau caranya kaya gitu, kan, pasti sedih. Dia juga menanggung kerugian karena karya yang dicetaknya enggak laku. Enggak banyak yang beli. Makanya, aku lebih suka beli bukunya daripada baca yang gratis-gratis."

"Oh... ngerti sekarang. Terus kalau mau beli bukunya sekarang, kan, udah ada aplikasi online shop, Ra. Bisa pesan di rumah, transfer, barang diantar. Dah, beres."

Naura menyimpan buku di rak. Kini Ia mengubah posisinya menghadap Arka. "Praktis. Tapi, aku lebih suka datang langsung ke tempatnya. Lihat langsung dan beli di tempat. Rasanya kaya ada kesan tersendiri gitu, loh, Ka. Gimana, ya, jelasinnya?" Naura berpikir. Raut wajahnya terlihat lucu di mata Arka.

Arka terkekeh. Tangannya tergerak mencubit pipi Naura. "Iya, deh, iya. Paham. Enggak usah dijelasin lagi."

Naura meringis. Ia mengusap-usap pipinya. Arka mencubit dengan penuh tenaga. "Dah, buruan pilih bukunya. Lo lama banget, Ra, kalau udah di toko buku. Di saat cewek-cewek lain lama milih baju lo lama banget milih buku."

"Hehe... Maaf. Soalnya betah banget di sini."

Arka melihat jam tangannya. Sudah pukul 14.00 WIB. Dari satu jam yang lalu, mereka berkeliling di sana. Namun, belum ada satu pun buku yang akan dibeli Naura. Arka meraba perutnya. Laki-laki itu mulai lapar. Makan siang di rumah tadi tidak ia habiskan karena terburu-buru ingin segera bertemu Naura.

Untuk menghilangkan rasa bosan, Arka berdiri di belakang Naura. Sembari menunggu gadis itu, Arka mulai bermain-main dengan rambut lurus Naura yang di ujungnya sedikit bergelombang. Arka menyurai rambut panjang gadis itu dan ditatanya menjadi satu. Membiarkan ¼ rambut bagian depan di sisi kanan dan kiri tergerai karena lebih pendek. Arka lalu mengikat rambut Naura dengan tali gelang hitamnya yang dulu pernah dipinjam. Arka takut hasilnya berantakan, jadi ia mengikatnya secara pelan-pelan hingga selesai.

Arka tersenyum puas. Ia memiringkan kepalanya dan melihat wajah Naura.

"Makin cantik."

Naura tak bisa menahan senyumnya. "Terima kasih."

"Sama-sama."

***

Seguir leyendo

También te gustarán

28.3K 1.3K 48
Warning--MATURE ⚠️ Alaric Deon Evans--Billionaire muda berwajah tampan. Anak dari pengusaha Real Estate terkaya sekaligus Pemilik Evans Airlines mask...
6.4K 1.5K 47
Katanya, kalau kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah itu juga berlaku untuk Jendra? Jendra ingin...
1.7K 371 31
"Kamu kembali, dengan memulai hal yang tak sama lagi." - Dika. ** Ini kisah Dika yang bertemu lagi dengan Melia, teman masa kecilnya. Kembalinya Mel...
438 72 29
Kisah tentang Deva yang menyembunyikan identitasnya dari Lanita karena tragedi masa lalu yang membuat mereka terpisahkan. Tragedi itu pun membuat Lan...