RISET Harukaze no Sekai - The...

Por Ragen_Zhang

982 97 418

Makoto merasa dirinya mungkin dikutuk. Siapa pun lelaki yang ia cintai, semuanya akan mati. Lelaki pertamanya... Más

Yosh! Kono Tabi wo Isshouni Hajimemashou!
BTS #1: Pointing The Dots
BTS #2: Great Hanshin Earthquake!
BTS # 3: Salah Kaprah dalam Memahami Cinta
BTS #5: Gaya Hidup Minimalis Demi Kebahagiaan yang Lebih Maksimal
BTS #6: Kisetsu (Musim) - Fitur Unik yang Hanya Ada Dalam Karya Sastra Jepang #1
BTS #7: Yuugen - Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #2
BTS #8: Mono no Aware (1) Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #3
BTS #9: Mono no Aware (2) Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #3
BTS #10: Okashi - Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #4
BTS #11: Wabi-Sabi Bukan Wasabi [Fitur Unik dalam Karya Sastra Jepang #5]
BTS #12: Kotoba no Ura, Jaim Ala Jepang? [Fitur Unik Sastra Jepang #6]
Okinawa ni Mensooree #1: Hara Hachi Bu, Diet Panjang Umur Ala Okinawa
Okinawa ni Mensooree #2: Beni Imo - Cita Rasa Ubi Ungu Dari Okinawa

BTS #4: "Cinta" Para Automaton

39 6 9
Por Ragen_Zhang

Behind The Scene #4: "Cinta" Para Automaton

Bismillah....

Postingan ini adalah sambungan langsung dari artikel ketigaku: Salah Kaprah dalam Memahami Cinta. Dalam postingan itu, dengan berbekal buku The Art of Loving-nya Erich Fromm, aku mencoba menyampaikan pemahamanku tentang pola kesalahkaprahan manusia dalam memahami cinta: bahwa cinta selama ini lebih diartikan sebagai usaha untuk bisa dicintai, bukan usaha untuk mencintai.

Akibatnya, dalam praktik kebanyakan orang, usaha dalam menjalin hubungan cinta bisa jadi sangat egois. Berpusat pada keinginan untuk dibahagiakan oleh target cintanya. Berpusat pada perasaan bahwa diri ini sudah memoles berbagai aspek sebaik mungkin, mulai dari penampilan, kekayaan, status sosial, dan kepribadian. Dengan kata lain, gabungan dari kepribadian yang memiliki popularitas dan daya tarik seksual, yang karena itu berhak atau bahkan harus dicintai oleh sang target. Pribadi yang hanya ingin dikagumi, tapi tidak perlu memiliki kemampuan untuk mencintai atau membalas cinta dengan tulus.

Erich Fromm menyebut karakter sosial manusia modern seperti ini sebagai "automaton".

Dalam KBBI web.id, automaton adalah kata benda (nomina) yang memiliki 3 definisi:

1 benda yang bergerak sendiri; 

2 mesin atau peranti mekanis yang bergerak serta-merta; sosok mekanis yang bergerak seakan-akan benda hidup; 

3 manusia yang berperilaku seperti mesin.

Definisi ketiga, manusia yang berperilaku seperti mesin,  rasanya menyentak kesadaranku. Karena selama ini aku sering bermain-main dengan mengatakan, "Aku ini bio-cyborg yang tersusun dari daging dan tulang. Dengan artificial intelligence ciptaan Tuhan. Memiliki data-data program kepribadian dan kompetensi yang sudah terinstal, tapi masih bisa dibongkar pasang." Lah, ternyata memang manusia itu punya sifat mekanik. Ungkapan "bio-cyborg"-ku bisa dibilang cukup akurat, dong. Haha.... 

Mikoto lempar tatapan kosong, "...Suka-suka ngana, lah."

Pada akhirnya aku butuh lebih dari tiga dekade pengalaman terluka, melukai, dilukai, tersembuhkan, disembuhkan, dan menyembuhkan untuk mengaktifkan data program bernama "empati". Hingga akhirnya timbul keinginan untuk terus belajar demi menjadi lebih manusiawi. Seperti kata-kata penulis Oscar Wilde: Heart lives by being wounded. OUCH!

Mikoto memprotes sinis, "Apaan 'ach-ouch-ach-ouch'?! Hampir semua rasa sakitmu selama ini kan kau transfer ke aku! See my bandages here and there? Udah kayak mumi Mesir! HARGH!"

Reaksiku sebagai Author: menyeringai polos dan ngomong, "Masak, siih?"

Lanjut, ya?

Erich Fromm menuliskan tentang pola automaton ini dalam bab Cinta dan Kehancurannya Dalam Masyarakat Barat Kontemporer pada buku The Art of Loving.

Hubungan manusia pada dasarnya merupakan hubungan antarautomaton yang teralienasi, masing-masing berdasarkan rasa amannya untuk tetap dekat dengan kelompoknya, tidak berbeda dalam pikiran, perasaan atau tindakan. Meskipun berusaha untuk sedekat mungkin dengan itu semua, semua orang tetap merasa sangat sendirian, diliputi rasa tidak aman yang mendalam, kegelisahan, dan rasa bersalah yang selalu muncul ketika keterpisahan manusiawi tidak dapat diatasi (Fromm, 2014:110-111).

Demi mengatasi kesendirian itu, peradaban kita menyediakan banyak peredam sepi. 

...manusia mengatasi keputusasaan yang tidak disadarinya dengan rutinitas hiburan, konsumsi pasif terhadap suara dan tontonan  yang ditawarkan oleh industri hiburan. Selain itu mereka mengatasi rasa sepi itu dengan kepuasan membeli barang-barang baru dan segera mempertukarkannya dengan yang lain lagi (...) 

Kebahagiaan manusia dewasa ini adalah "bersenang-senang". Bersenang-senang terdapat dalam kepuasan mengonsumsi dan "mengerti" berbagai komoditas, tontonan, makanan, minuman, rokok, orang, kuliah, buku, film --semua yang dikonsumsi dan diteguk. 

Dunia adalah objek raksasa selera kita, apel besar, botol besar, payudara besar; kita adalah pengisah yang selalu dipenuhi harapan ---dan SELALU KECEWA. 

(Fromm, 2014: 111-112)

Cara berpikir dan kepribadian manusia modern disesuaikan untuk terus melakukan hubungan berdasarkan take and give, harus ada sesuatu untuk dipertukarkan.  Tak terbatas pada benda bersifat material, objek bersifat spiritual seperti siraman rohani dan religi pun bisa menjadi objek pertukaran dan konsumsi. 

Otomaton tidak dapat mencintai; ia hanya dapat mempertukarkan "paket kepribadian"nya dan mengharapkan imbalan yang sepadan. Salah satu wujud cinta yang paling penting dan utama dari perkawinan dengan struktur keterasingan ini, adalah gagasan tentang tim. (...)

Penggambaran tentang hubungan ideal dalam pernikahan bahagia yang digagas banyak artikel dikatakan Fromm tidak jauh berbeda dengan konsep tim pegawai yang berfungsi dengan langgeng. Baik suami maupun istri harus "cukup independen, kooperatif, toleran, sekaligus ambisius dan agresif. Suami perlu memahami istrinya dan suka membantu, memuji penampilan dan masakan lezat sang istri. Sebaliknya istri perlu memahami ketika suami bad-mood sepulang kerja karena lelah dan bad-office-day, berkonsentrasi penuh jika suami bercerita tentang masalah bisnisnya, dan tidak mudah marah jika suami melupakan hari ulang tahunnya. Fromm menulis:

Segala macam hubungan semacam ini menjadi hubungan yang membuai antara dua pribadi yang akan tetap menjadi dua orang asing di sepanjang hidup mereka. Pola hubungan ini tidak akan pernah sampai pada "hubungan inti". Hanya sekadar memperlakukan satu sama lain dengan sopan dan berusaha membuat yang lain merasa lebih baik.

Dalam konsep cinta dan perkawinan seperti ini, yang ditekankan adalah menemukan tempat perlindungan dari perasaan kesepian yang tak tertahankan. 

(Fromm, 2014: 112-113)

Fromm menganggap pola hubungan cinta dan pernikahan seperti sebenarnya tak lebih dari sekadar persekutuan dua orang egois untuk menghadapi dunia. Masing-masing menuntut untuk dipahami oleh pasangannya, karena ia merasa sebelumnya sudah melakukan cukup usaha untuk memahami. Egoisme inilah yang disalahpahami sebagai cinta dan keintiman. Dengan begini, kita akhirnya tidak perlu heran jika ada saja beberapa pasangan yang meskipun sudah menikah selama bertahun-tahun tetap merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Kesadarannya sudah diseting untuk selalu menjalankan fungsinya sebagai pasangan, dan menyenangkan (memberi keuntungan pada) pasangannya agar ia tidak ditinggalkan.

Mengapa konsep dan mindset ini bisa terjadi? 

Erich Fromm menulis bahwa hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup kapitalis yang berkembang di kalangan masyarakat modern (yang dibahas buku ini adalah masyarakat barat kontemporer).

Masyarakat kapitalistis didasarkan pada kebebasan politik di satu sisi, serta pasar sebagai pengatur kehidupan, dan karenanya, hubungan sosial, di sisi lain (2014:107-108). Kehidupan masyarakat kapitalis berdasarkan pada kebutuhan dan pasar. Baik benda, tenaga, dan keterampilan, semua bisa diubah menjadi barang dagangan bernilai ekonomi. Meskipun suatu barang berguna dan dibutuhkan (misalnya buku), jika tidak ada permintaan dari pasar, maka barang itu tidak bernilai ekonomi. Pemilik tenaga kerja, harus menjual tenaganya kepada pemilik modal agar ia bisa mendapat nafkah untuk bertahan hidup. 

Struktur ekonomi ini tercermin dalam hierarki nilai. Pemilik modal memerintah buruh; timbunan barang yang notabene benda mati, bisa memiliki nilai yang lebih tinggi daripada buruh, tenaga manusia yang notabene hidup (Fromm, 2014: 108). 

Perusahaan yang sangat tersentralisasi pada pembagian kerja yang radikal membuat pengorganisasian yang membuat seorang individu bisa kehilangan individualitasnya, ketika ia menjadi roda penggerak mesin yang dapat digunakan hingga aus (Fromm, 2014: 109-110). Perusahaan sudah mengeluarkan sejumlah uang dan tunjangan untuk membeli tenaga si pegawai. Jadi adalah tugas si pegawai untuk mengerahkan segenap jiwa dan raganya untuk memenuhi target pekerjaan. Walau kadang target ini bisa jadi tidak masuk akal jika sang manajer tak realistis. Meskipun suasana kerja bisa jadi menggerus kesehatan fisik dan mentalnya. Setiap orang bisa dengan mudah digantikan oleh orang lain, selama pemilik modal mampu membayar.

Kapitalisme modern membutuhkan orang-orang yang bekerja sama dengan langgeng, dalam jumlah besar; yang ingin terus mengonsumsi; dan yang cita rasanya bisa distandarisasi, bisa dipengaruhi, dan bisa diantisipasi dengan mudah. Dibutuhkan pula orang-orang yang merasa bebas dan independen, tidak tunduk pada otoritas, ajaran, atau kesadaran apa pun ---namun tetap bersedia diperintah untuk melakukan tugas sesuai yang diharapkan dari mereka. Yang mampu ambil bagian dalam mesin sosial tanpa melakukan pergesekan. Yang dapat dituntun tanpa paksaan, dipimpin tanpa pemimpin, didesak tanpa tujuan --kecuali tujuan yang menghasilkan. Yang sibuk berfungsi, maju terus (Fromm, 2014: 110)

Rutinitas kerja yang ketat, bersifat sangat birokratis dan mekanis ini membuat masyarakat modern terus merasa sendirian. Segala relasi bersifat sebatas hubungan atasan-bawahan atau antarrekan kerja yang formal. Kontak yang bersifat dangkal. Tidak perlu saling mengenal antarpersonal dengan baik, yang penting tujuan ekonomi bersama maupun individu terpenuhi. Jarang ada kesempatan untuk duduk cangkruk dan ngopi-ngopi bersama teman dan sanak saudara untuk sekadar berhaha-hihi, bertukar kabar baik dan buruk dari hati ke hati, maupun bersantai ria dan bersenang-senang mengembangkan hobi, karena yang dipikir adalah: apa untungnya semua itu? Mana nilai ekonomisnya? 

Gaya hidup seperti inilah yang kemudian memengaruhi pola pikir banyak masyarakat modern dalam menjalin hubungan cinta. Semua berdasarkan pada tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari satu sama lain. Hingga salah satu atau keduanya menjadi "aus" dan bisa digantikan begitu saja dengan objek cinta yang lain. Maka muncullah konsep-konsep seperti:

"Belilah krim kecantikan pemutih kulit alami. Biar kamu banyak ditaksir kayak merek Indomie."

"Belilah susu kalsium pembentuk otot ini. Biar cewek-cewek pada klepek karena perut roti sobek."

"Gue bisa kasih  loe rasa kebanggaan karena berhasil menggandeng wanita cantik kayak gue. Tapi apa elo sanggup menanggung biaya high-maintenance gue?"

"Loe pingin dapat cowok kaya, kan? Kalo gue bisa menuhin semua kebutuhan finansial elo dan keluarga elo, elo harus turutin semua kata-kata gue."

"Gue udah luangin waktu untuk ngedengerin semua curhatan elo, harusnya sekarang elo bisa memaklumi semua kesalahan dan kekurangan gue, dong."

Dan sebagainya....

Creepy....

Tapi meskipun kita sendiri tidak merasa berperilaku seperti contoh-contoh ekstrim di atas, kini mungkin saatnya kita menelaah kembali pola dan cara kita dalam mencintai selama ini. Sudah cukup manusiawikah kita dalam mencintai?

Sumber referensi:

Fromm, Eric. 1956. The Art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta. Terjemahan Kristiawan, Andri. 2014. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Seguir leyendo

También te gustarán

1.1M 81K 164
The most unpredictable things in this crappy world is... Boleh kau teka? Yes. Love. Cinta boleh datang pada bila-bila masa. Pada apa-apa keadaan sek...
2.9M 109K 64
@Choco_Lyn @Random @Romantic @2018 @Terkahwin dengan Sir! @Wattpads 'Hello, my name is Nurul Zafira Warda and you can call me, Warda! My erm.. 'somet...
676K 73.6K 113
ALPHABET SERIES: A for ADORE 3# Apa pendapat kau tentang surat cinta di zaman serba moden ini? [C] November2018-Mei2020
327K 22.5K 78
❌DILARANG UNTUK DITIRU SAMA SEKALI ❗CERITA INI 100% DIKERAH DARI OTAK SAYA -TOP 1 KING OF THE BEST TEEN FICTION OF NOVELIS AWARD "Kauorang nak tau ta...