TELUK ALASKA 2

Od ekaaryani

3.8M 333K 237K

[SEQUEL TELUK ALASKA] Alistasia Reygan, semua orang menganggapnya sempurna dan bisa mendapatkan segalanya den... Více

PROLOG
PROLOG II | JANJI MASA KECIL
1. HILANGNYA DIARY
VOTE COVER
3. KECEWA
4. SEBUAH TUDUHAN
5. PARAHYANGAN VS SINGGASANA
6. MENCOBA PERGI
7. MENJAUH
8. SEBUAH BALASAN
9. JANGAN PERGI
10. PERMINTAAN MAAF
LOGO PEGASUS & PHOENIX
11. SEORANG MANTAN?
12. TAWANAN
13. BERADA DI SISIMU
14. SALAH PAHAM 1
15. First Kiss?
16. ARABELLA
17. NEGARA TUJUAN SIA
18. MELINDUNGINYA 1
DANDELION
Malem
19. BUKAN TEMAN KECIL!

2. MENGEMBALIKAN DIARY

181K 15.4K 4.7K
Od ekaaryani

Aku update malem-malem, siapa yang baca jam 12 pas?

Happy reading...

Sia kini bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Seperti biasa, Ana selalu menyiapkan sarapan yang paling enak di dunia untuk keluarga kecilnya. Dengan kemeja yang masih harum sumerbak dan putih bersinar, Sia duduk di meja makan dengan senyum sipu penuh semangat.

"Papa, hari ini Sia nggak usah dianterin lagi ya, kan udah SMA," ucapnya sambil memakan masakan Ibunya.

"Kamu juga belum boleh bawa mobil, Sia," ucap Alister, "Kalau naik Ojon nanti hujan."

"Ada bis sekolah kok."

"Nggak, nanti turun dari bis kalau kamu lupa bawa payung tetep aja basah."

"Gapapa, siapa tahu ada yang kasih aku payung. Oh, atau aku yang kasih payung kaya Mama ke Papa dulu?" ucapan Sia barusan sontak membuat Alister tersentak. Ya, karena yang dia ingat dulu perlakuannya pada Ana sangatlah buruk.

"No!" tegas Alister, "Jangan kasih payung sama siapapun, apa lagi sama cowok!"

Ana hanya tersenyum kecil di balik cangkir teh yang dia minum, entah kenapa perdebatan antara Ayah dan Anak ini selalu terjadi setiap pagi, bahkan sejak Sia kecil. Tapi perdebatan mereka sangatlah lucu, Ana selalu gagal menahan tawanya jika mereka berdebat.

Sia cemberut dan langsung melahap roti yang ada di depannya dengan buas, sambil mengunyah dengan kencang Sia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Apa?" tanya Sia pada Alister yang sedang mengunyah sarapannya dengan santai seolah tidak merasa bersalah.

"Papa pikir kamu bakal mirip Mama, ternyata wajahnya doang yang mirip, sifat kamu persis kaya Papa."

"NGGAK!" tegas Sia, "Aku nggak mau kaya Papa!"

"Aku punya otak profesor kaya Mama, lihatin aja!" tegas Sia, dan itu kembali membuat Alister tertawa kencang.

Bagaimana tidak, Ana selalu meraih peringkat pertama di kelasnya, sementara Sia? Hanya masuk lima besar, Alister sangat yakin kapasitas otak anaknya sama sepertinya.

"Oke, oke Papa ngalah," ucap Alister lalu meminum air putih yang ada di depannya.

Sia pun yang semula cemberut langsung menyunggingkan senyuman. Pertengkaran mereka selalu berakhir ketika Ayahnya mengalah, Sia pun melihat ponselnya lagi, ada dua pesan di sana. Pertama, dari Abin, kedua dari Kakeknya.

"Papa, aku mau berangkat bareng Abin, dia naik bis sekolah masa aku dianterin?"

Merasa sudah tahu jawban Alister seperti apa Ana pun langsung mejawabnya, "Sia, bisa dengerin Mama sebentar. Kali ini Mama serius."

Sia mengangguk semangat.

"Ada dua sekolah elit di sana, salah satunya SMA Parahyangan. Sekolah kamu." Sia mengangguk, dia sudah tahu tentang itu.

"Dan kamu tahu, SMA Parahyangan dengan SMA Singgasana itu musuh bebuyutan," ucap Ana membuat Sia mengerutkan keningnya bingung.

"Mama masukin kamu ke sekolah itu karena di sana SMA favorit yang paling banyak di terima jalur undangan ke Universitas. Tapi sayang, sekolah itu rawan."

"Rawan?" tanya Sia kembali dibuat bingung.

"Ya, SMA Parahyangan dan Singgasana itu terkenal suka—tawuran," ucap Ana khawatir bukan main.

Sia pun tertawa kencang, apakah Ibunya pikir Sia akan membawa samurai ke sekolahan? Begitukah? Haruskah Sia menyiapkan busur panah untuk membuat prank?

"Emang Mama percaya aku bisa berantem?" ledek Sia tidak percaya.

"Udah Papa bilang kamu itu mirip Papa! Kalau kamu mirip Mama, dia nggak bakal sekhawatir ini," ucap Alister sambil menjitak putrinya.

Sia meminum segelas air putih dengan satu tegukan, dia pun menatap Ayahnya dengan tajam. Tidak, Sia lebih mirip Ibunya, kita lihat saja. Sia akan membawa rapot dengan nilai A seluruhnya.

Sia pun langsung mencium pipi Ana, memberi rasa aman agar bisa mempercayainya untuk masuk sekolah hari ini dan seterusnya. Dia tersenyum lalu memeluknya.

"Sia janji nggak bakal ikut tawuran, atau hal apapun itu yang buat Mama sedih. Sia janji bakal banggain Mama. Jadi Mama nggak usah khawatir." Sia tersenyum manis, dia pun mencium tangan Ana dan Alister untuk pamit.

"Papa izinin aku kan?"

"Ya," ucap Alister terpaksa.

Sia langsung lari saat itu juga, dia takut Ayahnya berubah pikiran. Dia tersenyum senang saat wajahnya menyapa sinar mentari, juga saat dia dapat menghirup aroma embun di pagi hari yang menyegarkan.

Dia berjalan sedikit untuk keluar dari area perumahannya. Ya, Abin bilang bis sekolah sudah dekat. Sia harus bersiap-siap. Dan... benar saja, tak lama bis tersebut datang dan berhenti. Sia langsung masuk dan duduk di tempat duduk yang sudah Abin booking.

Sia mengembuskan napasnya, di balik senyum kebahagiaan bersama keluarganya, Sia kembali merenung, di dalam bis dia cemberut dengan hati yang gundah dan gelisah.

"Kamu kenapa?" tanya Abin.

"Hah?" Sia sangat heran saat Abin berkata 'Kamu' padanya barusan.

"Kamu?" tanya Sia bingung.

"Ya. Dulu waktu SMP kamu di bully karena ngomong aku-kamu kan?" tanya Abin membuat Sia diam sejenak, "Sekarang kalau ada yang bully kamu, dia sama dengan bully aku juga."

"Abin..." ucap Sia sambil tersenyum kecil. Ya, hanya Abin yang tahu bagaimana kerasnya dunia ini saat dia SMP. Hanya Abin temannya, tidak ada yang lain.

Sia tidak pernah menceritakan hal yang menyakitkan pada kedua orangtuanya, Sia hanya—tidak ingin membuat mereka sedih, karena yang dia lakukan selalu salah di depan semua orang.

Itu aneh, apakah Sia bisa memulai hidup baru di sekolah ini? Ya, harus bisa.

"Makasih," ucap Sia lalu mengulas senyumnya.

"Sekarang cerita, ada masalah apa?" tanya Abin membuat Sia kembali cemberut.

"Diary Mama—ilang."

Abin langsung melotot kaget, tentu saja, dia sangat tahu kalau diary itu bagaikan benda pusaka bagi Sia dan keluarganya. Abin mengembuskan napas, bisa-bisa Sia cemberut sepanjang hari.

"Jangan cemberut, oke? Sekarang hari pertama kita sekolah," ucap Abin dan Sia kembali tersenyum. Semudah itu? Ya, Abin tahu kalau Sia selalu menyembunyikan sakitnya di balik senyum, dan itu sangat menyebalkan.

Bagaimana perasaannya, bagaimana keadaannya Abin tidak tahu kalau Sia terus-menerus tersenyum. Dia mengalihkan pandangan untuk memutar otak dan menemukan jawaban, bagaimana dia bisa menemukan Diary itu?

"Sia, nanti aku traktir ice cream."

"Yang banyak ya?"

Mereka pun kembali tertawa membagi cerita, terutama Sia, bagaimana perkelahian dengan Ayahnya yang terus berlangsung dan bagaimana diary nya bisa sampai hilang.

Sampai saatnya Sia melihat sekolah Parahyangan dan Singgasana bersebelahan. Sungguh, Sia tidak tahu kalau sekolah yang Ibunya katakan itu sangat dekat.

Saat penerimaan pun, Ayahnya yang datang langsung ke sekolah. Sia baru pertama kali melihat sekolah ini. Abin yang mengerti isi pikiran Sia pun langsung menatap sekolah Singgasana.

"Gue juga baru pertama kali lihat sekolah ini."

"Gue?" tanya Sia meledek.

"Oke—aku," ralat Abin.

"Kita—harus jadi anak pendiem, karena kalo kita bar-bar sedikit, kita bisa berurusan sama anak Singgasana."

Sia pun mengangguk mengerti, dia lantas turun di depan pintu gerbang SMA Parahyangan. Sekolah ini berbanding terbalik dengan sekolahnya dulu saat SMP.

Jaraknya memang agak jauh, ada di pusat kota. Tapi demi pendidikan yang bagus Sia rela menempuh perjalanan jauh asalkan dengan Abin.

Sekolahnya terlihat tua dan kokoh dengan halaman yang luas. Ya, wajar saja. Sekolah ini ada di pusat kota dan sudah berdiri saat penjajahan berlangsung. Wajar saja, sekolah ini bernuansa luar negeri yang sangat kuat.

Dinding berwarna merah menjadi ciri khas SMA Parahyangan, di mana setelah masa orientasi berlangsung seluruh siswa dan siswi akan diberika. Jas berwarna merah, berbeda dengan Singgasana.

Berbeda dengan SMA Singgasana yang ada disebelah sekolahnya, beberapa bangunan sudah di renovasi. Meskipun begitu nuansa luar negeri pun tak luput dari sekolahan itu.

Benarkah SMA Singgasana adalah musuh dari sekolahnya? Padahal bersebelahan, apa yang menyebabkan perkelahian turun-temurun itu terjadi?

Sia mengembuskan napasnya lalu memasuki kelasnya. Sia duduk di samping Abin, tentu saja. Semenjak kejadin di SMP yang membuatnya trauma dia tidak bisa jauh dengan Abin.

Tapi saat itu juga Sia melihat pemandangan yang tak asing baginya. Entah siapa, yang jelas cewek itu tertekan dengan tekanan orang-orang disekitar. Dia hampir menangis, saat Sia ingin membantunya Abin langsung mencegahnya.

"Ini baru hari pertama masuk, kenapa ada bullying?" bisik Sia.

"Justru itu, ini baru hari pertama masuk. Kita harus tahu situasi. Sebentar lagi Ospek di mulai."

Sia memperhatikan cewek itu dengan napas menggebu. Cukup dia yang merasakan bullying, orang lain tidak boleh. Rasa sakitnya seperti hidup ini sangat tidak berarti, Sia tidak mau dia merasakannya.

"Bro, dia ada masalah apa?" tanya Abin pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.

"Denger-denger Kakaknya sekolah di SMA Singgasana, makanya dia nggak diterima di sini."

Apa? Separah itukah SMA Singgasana bagi Parahyangan? Padahal dia tidak bersalah, kenapa orang-orang selalu membully orang yang tidak bersalah? Sia sangat muak.

Saat Sia ingin membantu perempuan itu tiba-tiba saja Kakak Pembina masuk untuk mengajak semua siswa-siswi berkeliling sekolah dan menceritakan sejarah SMA Parahyangan.

Benar, Ospek di SMA mereka hanya berlangsung satu hari. Dan itu hanya perkenalan sekolah juga ekstrakulikuler. Tidak ada membawa makanan atau pertanyaan menjebak lainnya.

Tahan, Sia. Tahan. Abin langsung mengalihkan perhatian Sia dan mengajaknya untuk segera keluar dari kelas untuk mengikuti para panitia.

"Abin, kamu janji kan bakal bantuin aku tolongin perempuan tadi?"

"Maaf, Sia. Aku nggak bakal biarin kejadian di SMP terulang lagi."

***

Sepulang sekolah, Sia tidak menemukan di mana perempuan tadi berada. Mereka berpisah, hanya Abin yang terus menempel di sampingnya. Sia pun membuka ponselnya untuk mengabari pada Hutomo kalau dia sudah selesai.

"Sia, Kakek kamu di mana?"

"Ah, sebentar lagi sampe," bohong Sia membuat Abin tersenyum tenang, karena tidak mungkin dia meninggalkan Sia sendirian.

"Kamu duluan aja, Kakek aku lagi parkir," bohongnya lagi, Abin pun langsung mengangguk mengerti.

"Kalau ada apa-apa, kabarin," balas Abin seperti biasa. Dia pergi ke gerbang utama untuk menaiki bis sekolah yang sudah siap mengantar siswanya pulang.

Ya, tentu saja Sia berbohong. Jika dia berkata jujur kalau Kakeknya baru saja dia hubungi, Abin akan menunggunya. Itu hanya—membuang-buang waktu Abin. Sudah cukup Sia merepotkannya.

Sia pun berjalan dengan perlahan di sekitar hamparan hijau yang luas, sungguh, pohon-pohon ini mengingatkan Sia pada rumahnya. Dan... saat itu juga Sia memasang wajah terkejut mendapatkan Bianca ada di sini.

Bianca adalah adik dari Ayahnya sebelum Nenek dan Kakeknya bercerai. Mereka terpaut sembilan tahun. Dari kabar yang Sia dengar, Bianca sedang menjalani semester akhir perkuliahannya. Lalu... ada urusan apa dia ke sekolah ini?

"Kak Bianca!" teriak Sia semangat, dia pun menghampirinya.

"Kakak mau pulang bareng Kakek kan?" tanya Sia, tapi sayang Bianca sama sekali tidak tersenyum ke arahnya, lebih ke—entahlah, dia seperti ingin menangis.

"Kakak kenapa? Kakek sebentar lagi ke sini, kok."

Bianca langsung menarik tangan Sia, terlalu ramai. Bianca mencari tempat yang sepi dan tidak ada orang yang dapat mendengarnya. Sementara Sia melotot kaget. Tidak, ini halaman SMA Singgasana. Tidak.

Jantungnya berpacu sangat kencang, Sia menatap dirinya yang memakai seragam Parahyangan. Bagaimana ini? Apakah akan terjadi hal yang buruk?

"Kak, maaf. Tapi halaman ini bukan halaman sekolah Sia," ucapnya gemetar tapi Bianca tidak menganggapnya.

"Kakak kenapa?" tanya Sia sambil melepaskan cengkeraman Bianca.

Sia mundur beberapa langkah, Bianca sedang marah, dia dapat merasakan itu. Tiba-tiba Bianca roboh dan menangis tepat di depan Sia.

"Kamu tahu, kamu udah rebut semua yang aku punya!" ucap Bianca membuat Sia menganga kaget.

"Mama sama Papa aku itu udah cerai, aku pengin mereka damai, aku—pengein ngerasain hidup dengan kasih sayang dari keduanya," ucap Bianca parau, air mata tak berhenti mengalir dari matanya.

Tentu saja, selama ini dia hidup bersama Ibunya, Revalina. Dan jarang sekali dia berkunjung pada Hutomo. Tapi bukan berarti dia tidak menyayanginya.

"Kenapa di kantor Papa harus foto kamu yang di panjang? Kenapa bukan aku sebagai anaknya?" Sia benar-benar tidak bermaksud untuk merebut kasih sayang Hutomo. Sia—benar-benar tidak tahu.

Pertama foto di kantor, kedua, jika Bianca mengajak Hutomo untuk pergi bersama, dia berpaling dan berkata kalau dia sudah ada janji dengan Sia.

Ketiga, saat Bianca makan tadi pagi, Hutomo sangat semangat ketika Sia memintanya untuk mengantarkannya pulang saat sekolah selesai. Kenapa bukan dirinya? Dia anaknya, bukan Sia!

"Kamu tahu, Papa lebih pilih jemput kamu di banding aku. Papa lebih pilih main sama kamu di banding aku. Dan Papa... lebih sayang kamu di banding aku!" teriaknya membuat Sia meneteskan air matanya, apakah dia sejahat itu?

"Maaf, Kak. Sia nggak bermaksud—"

"Jangan ganggu Papa lagi!" tegasnya, "Maaf, Sia. Kali ini aku kasar, kali ini aku egois. Tapi aku bener-bener pengin kamu lenyap dari muka bumi!"

Deg!

Sia melotot kaget, orang yang dekat dengannya, orang yang sangat Sia hargai, orang yang sudah Sia anggap Kakaknya kini menginginkannya...lenyap?

"I...iya, Sia nggak bakal ganggu Kakek lagi."

"Satu hal lagi, jangan pernah berharap kalau kamu bakal jadi penerus Kakek kesayangan kamu itu. Aku anaknya dan aku yang mempunyai hak."

Sia mengembuskan napas pasrah, Bianca sedang marah, tidak ada yang bisa Sia lakukan selain menuruti apa yang dia mau.

"Oke," ucap Sia lalu Bianca pergi meninggalkan Sia sendirian, tanpa pamit dan tanpa senyuman. Tanpa Bianca sadari kalau dia meninggalkan Sia di tempat yang salah.

Tapi Sia tidak peduli, halaman ini terlalu sepi. Dia lebih baik diam di sini kan? Meskipun ini tempat yang salah tapi tempat ini lebih baik. Dari pada Sia pulang ke Parahyangan, bisa saja Hutomo mencarinya.

Tidak, bagaimana pun Sia harus menjaga perasaan Bianca.

Sia diam bersembunyi di balik pohon, dia memegang dadanya yang amat sangat sakit. Benarkah itu? Sia takut kalau dia sudah menyakiti perasaan Bianca. Dia pasti sangat... terluka.

Tiba-tiba saja perasaan Sia tidak enak, dia merasa ada langkah kaki sessorang yang sedang mendekatinya. Sia yang duduk di bawah pohon tidak bisa berpaling, itu pasti anak Singgasana.

"Hmmm, anak Parahyangan berani juga nangis di sekolah ini," ucap seorang cowok, membuat Sia terperanjat kaget.

Sia terbelalak saat menyadari kalau cowok itu adalah cowok yang waktu itu melihatnya mengamen di bis. Dia adalah orang yang memberikan Sia uang seratus ribu. Bagaimana mungkin Sia bisa lupa?

Sia merunduk lalu menghapus air matanya, "Maaf, aku—"

"Aku?" tanya cowok itu lalu terawa meledek.

Ya, Sia sudah biasa mendengar orang meledeknya karena berbicara aku-kamu. Termasuk saat ini.

Sia memberanikan diri untuk menatap cowok itu, dia sudah memakai jas ciri khas SMA Singgasana yang berwarna hitam, itu berarti dia bukan murid baru.

"Kamu.... mau ngajak aku tawuran?" tanya Sia membuat cowok itu tak bisa menahan tawanya, benar-benar aneh.

"Sinting," ucapnya, dan Sia tidak sakit hati, perkataan pedas sudah biasa masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

"Ini tempat nongkrong gue, kalau gue males masuk kelas ya gue di sini. Sekarang gue tanya ngapain lo di sini?"

Dilabrak orang, tidak mungkin kan Sia berkata seperti itu?

"Nangis," jawab Sia dingin.

Cowok itu melipat kedua tangannya, terlihat jelas kalau dia sangat tidak suka jika tempatnya di ambil oleh orang lain. Terutama oleh siswi Parahyangan.

"Kali ini lo aman, jangan pernah datang ke tempat ini lagi," ucapnya lalu memberikan sebuah buku berwarna hitam, buku yang selama ini Sia cari. Ya, itu Diary Ibunya.

Ya, Tuhan. Kenapa diary itu ada ditangannya?

"Nama gue Bara, Bara William. Lo harus inget nama orang yang udah nyimpen diary lo, Anastasia." saat itu juga Sia diam seperti patung, Jantungnya berpacu kencang saat mengambil Diary yang ada ditangan cowok itu, benarkah dia Bara William?

Love you readers...

Di setiap chapter aku ga pernah berhenti buat berdoa, semoga masalah COVID-19 bisa cepet selesai, semoga bumi kembali sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa🙏🙏

Ada saran buat cast Abin?

Udah aku bilang kan masalahnya belum bikin kalian dag dig dug ser kalo di awal wkwk kalian tunggu aja, aku jamin ini lebih seru dari Teluk Alaska 1

Oh iya besok ada diskon di shopee: melvanamediastore

Novel Teluk Alaska cuma 49.000 loh, mantap ga tuh? Dan diskonnya tuh cuma buat besok aja. Jangan lupa serbuuuuu!

Dan ini dia buat cover terpilih👇👇

Hasil vote terbanyak yang ini hehe

Ada yang mau ditanyain?

Instagram: ekaaryani01

Thankyou💕

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

5.8M 273K 52
Follow sebelum membaca. Cerita sudah diterbitkan dan tersedia di Shopee. ||Sinopsis|| Menceritakan tentang kisah seorang gadis bernama Revaza Khansa...
4.9M 370K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
579K 21.3K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...