"Hey, kalian tau gak cewek berkaca mata yang duduknya bertetanggaan sama Evril dan Escy itu?" tanya Andi setelah ia meneguk seteguk jus jeruk.
"Tau-tau. Emang kenapa?" tanya Evril. Ia menghentikan jemarinya yang ingin menyendok bakso yang ia pesan.
"Cewek itu cantik banget. Gue jadi naksir sama tuh cewek."
"Oalah, dasar Play Boy," ketus Escy yang mulutnya masih dipenuhi oleh beragam jenis makanan.
"Hey, lo gak ingat sama calon istri lo? Ntar, dia nangis lagi," sambung Nandra sambil menunjuk Andi menggunakan pipet minuman es yang ia baru beli.
"Maksud lo si kuntilanak rese itu?" tanya Andi.
"Iya." Nandra menyedot air minuman tersebut menggunakan pipet tuk menunjuk Andi tadi.
"Kayanya, kuntilanak itu akan terus datengin kamu sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan," kata Aliando.
"What? Yang benar saja?" Andi terbelalak kaget.
Teman-teman Andi pun menertawai cowok yang dihina sebagai Play Boy tersebut.
"Oh ya, Andi. Lo yang bayar semua ini, ya. Evril, ayo kita ke kelas," ajak Escy sembari beringsut pergi dari kantin. Evril berlari kecil mengikuti Escy yang sudah terlebih dahulu pergi.
Nandra dan Aliando pun ikut pergi meninggalkan kantin tersebut dan meninggalkan Andi sendiri. Lantas, hal tersebut membuat Andi garuk-garuk kepala. Ia tak tahu bagaimana cara membayar semua makanan dan minuman tersebut. Bahkan, tuk membayar pesanannya saja ia tak sanggup. Ia menyangka bahwa ia akan ditarktir oleh salah satu temannya, tapi nyatanya berbanding terbalik.
Andi beringsut berdiri. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tiada yang sedang melihat dia, pun juga bi Aminah---penjual di kantin sekolah tersebut.
'Ini kesempatan yang bagus untuk melarikan diri,' batin Andi.
Perlahan tapi pasti ia melangkah bagai seorang pencuri.
"Hey, itu mau ke mana? Tanya bi Aminah ke Andi. Sontak, Andi pun langsung memalingkan wajah ke arah suara.
"Itu, Bi. Ee ... saya mau ke toilet bentar. Iya-iya. Saya mau ke toilet," jawab Andi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sesimpul senyuman kebohongan ia lukiskan pada wajahnya.
"Awas saja kalau mau coba-coba kabur. Itu semua makanan belum dibayar."
"Iya, Bi. Andi ke toilet dulu, ya."
Andi pun langsung berlari secepat mungkin. Hatinya terasa senang karena ia dapat pergi dari kantin, tapi ia tak berpikir apa yang terjadi apabila ia tak kunjung kembali tuk membayar semua pesanannya dan pesanan teman-temannya.
Andi tak berlari menuju toilet Melainkan berlari ala naruto menuju kelas tuk menemui teman-temannya.
"Hey, kalian!" jerit Andi saat ia berhasil menemukan sebagian temannya.
"Ada apa? Lo kok lari-lari kayak mau lomba atletik aja," ucap Nandra.
"Itu semua karena kalian semua. Masih beruntung gue ini pintar. Jadi, gue bisa lari dari kantin itu." Andi mencondongkan tubuhnya sambil menggenggam kedua lututnya. Terengah-engah. Jantung Andi berdetak tak beraturan.
"Mungkin itu balasan karena lo gak mau nerima lamaran tuh kuntilanak. Padahal, dia masih nunggu lo di villa," ucap Aliando tanpa mengalihkan pandangannya dari buku-buku yang tengah ia baca.
"Lo tahu dari mana kalau kuntilanak rese itu lagi nungguin gue terus di villa?" tanya Andi.
"Karena gue tau."
"Gue nanya serius ni. Jangan bercanda Alian--"
"Bi, itu orang yang lari dan gak mau bayar pesanannya!" seru seseorang. Sontak, seruan itu membuat Nandra, Aliando, dan Andi menoleh ke asal suara.
Derah langkah Escy, Evril, bi Aminah, dan beberapa siswa yang lain semakin menderap hingga akhirnya berhenti di ambang pintu kelas tempat Andi berada.
'Mati gue!' batin Andi. Keringat dingin keluar dari pelipis kepalanya.
"Jadi, nama anak nakal ini Andi?" tanya bi Aminah. Ia menepuk sendok masak ke telapak tangannya.
"Iya, Bi," jawab Escy singkat. Ia terkekeh kecil.
"Bayar pesananmu, Nak!" seru bi Aminah.
"I-iya, Bi. Akan saya bayar kalau saya ada uang," jawab Andi terbata-bata. Ia begitu ketakutan.
"Kalau gak punya uang itu jangan mesan! Pokoknya bibi gak mau tau. Kalau kau gak bisa bayar, maka kau harus ikut sama bibi. Ayo!" Bi Aminah menarik Andi ke kantinnya.
"Kumohon, Bi. Saya akan membayarnya besok!" jerit Andi. Namun, bi Aminah tak memperdulikan perkataan siswa baru itu.
***
Andi menghempaskan tasnya ke sofa berwarna krim itu dan kemudian disusul oleh bokongnya. Andi sangat kelelahan karena harus mencuci piring, gelas, dan barang-barang kotor lainnya yang ada di kantin tersebut sebagai bayaran makanan dan minuman yang tak bisa ia lunasi.
"Gara-gara kalian gue jadi harus nyuci piring kayak pembantu aja. Turun harga diri gue tau gak?!" ketus Andi.
"Sekali-sekalinya kami buat seperti itu," ujar Nandra sambil ikut duduk di sofa bersama dengan Aliando.
"Tapi, itu gak bisa dimaafkan. Pokoknya, mulai besok hingga seminggu ke depan, kalian harus traktir gue. Titik!"
"Iya-iya, deh."
"Kalian sudah pulang? Apa kalian capek?" tanya Angel yang tiba-tiba muncul di belakang Nandra.
"Enggak juga. Si Andi saja yang kecapekan karena disuruh nyuci piring di kantin sekolah," jawab Nandra sambil tertawa kecil melihat Andi yang sudah tertidur pulas itu.
"Ooo ... pasti gara-gara gak bisa bayar pesanan kalian semua, ya?"
"Iya. Kamu kok tau?"
"Aliando yang mengatakannya."
"Aliando?" Nandra membeo.
***
Detak jam tak henti-hentinya menunjukkan waktu hingga jarumnya menunjuk ke arah angka dua belas, yang berarti saat itu pukul dua belas malam. Sunyi. Semua orang telah terlelap dalam mimpi mereka kecuali Andi.
Sedari tadi, Andi terus mencoba menidurkan dirinya, tetapi ia tak kunjung tertidur. Lantas, ia pun mulai merasa geram.
Beberapa cara sudah ia coba. Mulai dari meminum susu hingga menghitung domba. Namun, semua percobaan tersebut gagal. Andi mengekang. Menjambak dirinya sendiri dan memaksakan diri agar cepat tidur.
Pukul dua belas lewat sepuluh menit. Mata Andi mulai memberat dan perlahan pula menutup. Ia akan segera masuk ke alam mimpi.
Baru saja sebentar tertidur, suara telepon Andi berdering. Lantas, Andi pun langsung kembali terbangun karena suara brisik yang menggema cukup kuat itu.
"Siapa sih yang nelepon malam-malam? Gak ada kerjaan banget," ketus Andi sembari meraih benda pipih tersebut dari atas meja.
Tanpa nama. Telepon asing masuk ke handphone Andi.
"Halo." Andi mengangkat telepon tersebut dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya. "Halo," ucap Andi lagi. Ia tak mendengar sepatah kata pun terdengar dari telepon tersebut.
"Oh ayolah, jangan bercanda! Siapa sebenarnya yang menelepon gue malam-malam begini. Gak ada kerjaan banget!" ketus Andi. Ia begitu kesal. Lantas, Andi pun langsung mematikan telepon tersebut dam menghempaskannya ke kasur.
Seperdetik kemudian, handphone Andi kembali berdering. Telepon masuk dengan nomor yang sama. Untuk kedua kalinya pula Andi mengangkat telepon tersebut. Namun, ia hanya membungkam---menunggu si penelepon yang angkat bicara terlebih dahulu.
Senyap. Hanya suara angin yang terdengar. Perlahan pula Andi mendengar suara orang melalui telepon tersebut meski hanya terdengar samar-samar.
Tak lama setelah itu, suara tawa mengerikan seorang wanita terdengar melalui handphone Andi. Sontak, Andi pun merasa sangat terkejut. Ia berpikir bahwa kuntilanak kemarin telah kembali tuk mengganggunya.
Parau. Ia bosan diganggu terus oleh makhluk tak kasat mata tersebut. Semenjak kehadiran kuntilanak tersebut, hidup Andi seakan tak nyaman. Ia merasa selalu diawasi. Tak bisa terbebas menikmati kehidupannya. Andi pun langsung memutuskan telepon.
Andi mengacak-acak rambutnya. Geram. Ingin sekali ia berteriak ksekeras mungkin---berharap wanita itu tak menggangunya terus.
Telepon tersebut kembali berdering. Lantas, kemurkaan dan kekesalan Andi memuncak. Ia mengangkat telepon tersebut dan berkata,"Jangan ganggu gue kuntilanak rese!" Tanpa menunggu jawaban, Andi pun langsung mematikan telepon tersebut. Menarik selimut dan berbaring. Membuat tubuhnya senyaman mungkin dengan kasur tersebut.
"Aku di mana?" tanya Andi. Ia menoleh ke segara penjuru arah.
Semua sisi tempat aneh tersebut berwarna putih. Ia juga merasa bahwa ia tengah melayang. Tiada langit dan tiada pijakan.
"Halo, apa ada orang?!" seru Andi. Suaranya menggema seakan terdapat beberapa orang yang sedang meniru suaranya.