ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

9. Deal! Kesepakatan Baru

5.7K 812 124
By itsfiyawn

"Gue mau lo jadi pacar gue!" 

Kalimat itu sukses membuat Bima--dan gue sendiri--terheran-heran. Gue cepat-cepat menutup mulut, kok bisa seceroboh itu, sih! Bima mematung di tempat dengan bibir yang menganga. 

"Lo sakit?" Tangannya menyentuh dahi gue. 

"De--dengerin gue dulu!" Gue menepis tangan Bima. "Ma--maksud gue bukan pacar sungguhan." Buru-buru gue klarifikasi kalimat itu sebelum cowok di depan gue ini berpikir macam-macam. 

"Tubuh lo kebentur aspal, ya?" Bima nggak berhenti memeriksa kondisi tubuh gue. Bahkan tubuh gue diputar-putar udah kayak komedi putar. 

"I'm totally fine, Bim!" teriak gue emosi. 

Ya, Tuhan! Belum mulai menjelaskan aja udah sebegini menguras tenaga, gimana pas gue jelasin nanti. 

"Berarti lo halu, ya?" Kali ini Bima mendorong kening gue dengan telunjuknya. 

Kalau aja dia bukan aset berharga, udah gue patahin jarinya yang kurang ajar ini. 

"Lo harus dengerin gue dan kita nggak bisa ngobrol di sini."

"Terus di mana?"

"Di tempat yang sepi." 

"Wow! Selain halu, lo cewek yang agresif juga, ya." 

Gantian gue yang menyentil telinganya. Dia mengaduh kesakitan. "Sakit tau!"

"Di tempat yang nggak terlalu ramai maksud gue."  

"Ya bilang, dong. Malah nyentil. Sakit banget lagi." Dia mengusap-usap kupingnya yang merah. 

Kami pun berjalan cukup dekat dari taman, menyebrang jalan dan menyusuri trotoar. Ada sebuah kedai kopi yang sepi dan tidak terlalu besar. Hanya beberapa kursi dan meja di bagian dalam, lebih banyak kursi di bagian luar. Mungkin memang untuk orang-orang yang merokok sembari memandangi jalan  raya. 

Gue dan Bima duduk di kursi bagian dalam paling pojok. Seorang barista di bagian depan sibuk meracik kopi. 

"Jadi apa yang mau lo bicarakan?" Bima melipat tangan di atas meja. 

Pesanan datang. Dua Caramel Macchiato, yang dingin buat gue, yang panas buat Bima. 

"Sebelumnya, gue minta lo jangan berpikiran macam-macam tentang gue dan jangan salah paham." Tekan gue dari awal. 

Bima menggaruk-garuk dagunya yang kasar. "Hmmm..."

Gue mengeluarkan segulungan kertas putih yang penuh coretan dan garis berliku-liku. Tulisan 'Army on Revenge' paling besar di bagian tengah atas berwarna merah. Bima mengerutkan keningnya. 

"Gue butuh lo buat jadi variabel x." Telunjuk gue mengetuk-ngetuk salah satu simbol yang gue namakan variabel x. "Tugasnya berperan jadi... yah bisa dibilang pasangan variabel y." 

"Maksudnya?" Bima meletakkan jarinya di gambar bergambar bendera putih. 

"Jadi, x dan y bekerja sama untuk membuat z mengibarkan bendera putih. Z dinyatakan kalah jika z menyatakan diri kalau ia kehilangan y karena udah diambil x," jelas gue. 

Tiba-tiba Bima tertawa sinis. "Sok keren banget rencana lo. Intinya lo minta gue buat jadi pacar bohongan lo supaya yang namanya Langit ini nyesel kan ninggalin lo?" singkatnya.

Gue mengangguk. "Bukan meninggalkan. Lebih tepatnya mencampakkan." 

"Langit? Bentar..." Bima tampak berpikir. "Kayaknya nggak asing, deh." 

"Teman angkatan lo, Langit Lazuardi." 

"Oh... Dia. Hubungan lo ama dia apa?" Mata Bima menyipit penuh selidik. 

"Ah, lo nggak perlu tahu sampai segitunya. Lo cukup ikutin rules lo sebagai variabel x." Gue mengeluarkan daftar peran yang harus dijalankan Bima. "Nih, lo baca dulu." 

Bima menerima lembaran itu, membacanya sesekali melirik ke arah gue bikin gue sedikit salah tingkah. Sebisa mungkin gue mempertahankan ekspresi yang angkuh tapi santai. 

"Kalau gue nggak mau gimana?" Bima menyerahkan kembali lembaran itu beberapa menit kemudian. 

"Ya, gue nggak maksa. Masih banyak cowok, nggak cuma lo doang," ketus gue. Tahan, Army. Tahan. Jangan sampai menampilkan kesan lo butuh dia banget. Walaupun iya, tapi tahan. Tahan.

"Oke, gue nolak." 

Tangan gue terkepal. Penolakan ini memang sudah di dalam rencana gue. Eiittss, gue punya antisipasinya. 

"Gue bakal bayar, lo," tukas gue. 

Alis Bima terangkat sebelah, "Berapa?" 

Gue menyebutkan harga yang cukup tinggi. Bima tampak menimbang-nimbang. Tenang, Army, dia pasti mau. Beberapa menit dia masih terdiam mempertimbangkan, gue pun memberi penguatan, "Gue tambah setengahnya lagi, deh."

Terdengar napas Bima menguar berat. Ini pasti tawaran yang menarik bukan? Bibir gue terkatup rapat demi bisa menahan senyum. 

"Gue nggak bisa kasih jawabannya sekarang."

"Jangan lama-lama." 

Tiba-tiba Bima mencondongkan kepalanya ke arah gue. Saking kagetnya, tubuh gue sampai gak bergerak dan jarak kami menjadi sangat dekat.

"Kalau lo mau jawabannya sesuai keinginan lo, lo harus bersikap baik ke gue mulai sekarang. Paham?" Senyumnya tersungging menyeringai. 

Gue membuang muka jauh-jauh, "Hmm..." 

"Anak pinter." Dia mengelus kasar puncak kepala gue hingga rambut gue berantakan. Setelah itu, Bima berdiri, "Gue duluan, ya." Dia meninggalkan gue yang menatapnya garang. Rambut gue diacak-acak, main tinggalin gue gitu aja pula. Sebelum benar-benar lenyap, Bima berkata, "Gue kasih jawabannya tiga hari lagi."

***

Kenapa gue harus iya-iya aja sewaktu Bima bilang dia akan kasih jawabannya tiga hari lagi? kesannya gue jadi nunggu dia banget, kan? Dan sialnya gue nggak bisa tenang selagi menunggu. Sekarang gue tahu gimana rasanya jadi cowok yang nembak cewek terus ceweknya minta waktu. Cowok itu pasti deg-degan khawatir ditolak. Oke, dari awal memang semua ini terbalik. 

Tolong garis bawahi, gue deg-degan bukan berarti gue ada 'perasaan' sama dia. Kalau sampai dia menolak jadi variabel x, Army on Revenge akan tertunda. Susah cari orang yang bisa menyamai Langit dalam segi fisik ataupun otak. Bima udah cocok banget. So, anggap aja gue dan Bima bagaikan seorang produser yang menunggu jawaban artis terkenal untuk menjadi peran dalam mahakarya terbaiknya. 

 "Lagian itu orang harus istikharah dulu apa?!" keluh gue dengan suara yang cukup keras untuk bisa mengundang tatapan tajam seisi orang di perpustakaan. 

"Kenapa, sih, lo?" Nanang yang sedang asik main game, sewot. 

Gue bangkit dari kursi, meninggalkan Nanang yang masih asik di perpus hanya untuk menikmati Wifi biar bisa main ML. Gue berjalan keluar hendak mencari angin atau cemilan. Namun tiba-tiba...

Buk!

Tubuh gue menabrak seseorang, karena kaki gue nggak seimbang, gue pun jatuh terduduk.  

"Aww!" Pekik gue. 

"Mi, lo nggak apa-apa?" Sebuah uluran tangan muncul di depan wajah gue. 

Kepala gue mendongak, sapasang mata yang kini terasa menyakitkan saat gue tatap, melihat gue dengan cemas. Dia berjongkok saat gue hanya diam mematung. 

"Gu--gue nggak apa-apa. Sorry, gue yang ceroboh." Masih terasa sakit, gue berusaha bangun mengabaikan uluran tangannya. Mengabaikan tatapannya, mengabaikan sosok dirinya yang menatap gue melewatinya lantas masuk ke dalam lift. 

Masih gue rasakan ekor matanya mengikuti pergerakan gue. Hingga pintu lift tertutup, gue baru bisa bernapas lega. Inilah cobaan terberat demi mematikan perasaan gue untuk Langit. Hampir enam tahun dia kuasai isi hati gue, menjadi bagian dari hidup gue, sulit rasanya mengabaikan dia begitu saja. 

Semesta, gue berharap bisa melewati ini semua. Perlahan tapi pasti, gue akan berjalan terus meninggalkan segenap perasaan gue terhadap Langit. Pasti akan lebih berat ke depannya. Semoga gue tetap teguh pantang luluh. Semoga semesta juga mengizinkan gue untuk bahagia. 

***

Akhirnya waktu yang telah dijanjikan tiba. Hari ini seharusnya Bima akan memberikan jawabannya ke gue. Akan tetapi, kurang ajarnya makhluk satu itu, dia nggak muncul-muncul di kampus, padahal sudah jam lima sore. Di labkom, di perpus, di ruang kelas, bahkan di selokan dan tempat sampah sekitar gedung fakultas, nihil. Apa dia ketuker sama tikus got? Atau udah dibawa truk dinas kebersihan? Haduh. 

"Halo..." Suara berat itu menjawab telepon gue setelah dua belas kali panggilan gue diabaikan. 

"Lo di mana, sih? Lo nggak tahu kalau ini udah tiga hari?" cerocos gue. 

Terdengar tawa yang renyah, "Gue ada di gedung utama. Lantai delapan. Ke sini aja. Gue lagi sibuk , waktunya nggak banyak." 

"What?!

Tut...

Tut...

Tut...  

Telepon ditutup sepihak. 

Ada yang jual nuklir eceran nggak, ya? Makhluk macam ini kalau diledakin nuklir boleh, kan, ya? 

Kaki gue terpaksa berlari menuju gedung utama yang terletak cukup jauh dari gedung Fasilkom. Gedung utama berdiri gagah di tengah area kampus. Sinar matahari yang oranye menembus dedaunan. Langit sore dihiasi burung gereja yang terbang berkawanan. Kalau aja suasana hati gue lagi baik dan bersahabatt, sore yang indah ini pasti nggak mungkin terasa menyebalkan. 

Gue sampai di gedung utama, naik lift menuju lantai delapan. Sesampainya di sana, gue lihat lorong sudah sepi. Lampu-lampu dimatikan, penerangan hanya sebatas sinar mentari yang membias dinding kaca. Pintu-pintu ruangan sebagian besar tertutup, menyisakan ruangan paling pojok yang pintunya masih terbuka. Dia pasti di sana.

Kepala gue mengintip ke dalam. Seorang lelaki berkutat dengan laptopnya, beberapa kertas berserakan di atas meja. Gue mengetuk pintu. Dia nggak menengok. Gue pun masuk, menutup pintu. 

"Bima!" Niat hati memanggil, suara gue malah terkesan berteriak.

Dia menengok sekilas, lalu menunduk ke laptopnya lagi. "Ya, langsung ngomong aja." 

Tangan gue mendorong layar laptopnya sampai tertutup. "Seharusnya lo yang mau ngomong sama gue." 

Lagi-lagi dia menatap gue dengan tatapan yang... nggak bisa gue jelasin, deh! Marah enggak, senyum juga enggak. Terlalu misterius untuk dikategorikan datar. 

"Apa?" Gue berusaha tenang. 

Bima melepas kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu mengusap wajahnya. "Sejujurnya gue belum mempertimbangkan apapun," tukasnya. 

Baru aja gue pengin melempar dia lewat jendela, tapi dia tergelak, "Bercanda," ledeknya. 

Seandainya gue belajar cara jadi perawat di rumah sakit jiwa, gue pasti bisa memaklumi sikap dan sifatnya ini.

"Duduk dulu, gue selesain tugas gue, bentar lagi selesai." 

Gue duduk di kursi yang tak jauh darinya. Kepala gue tergeletak di meja, bibir gue maju, hati gue gondok. Tadi nyuruh buru-buru, sekarang nyuruh gue nunggu lagi. Begonya, gue mau-mau aja. Ya Tuhan. 

Entah berapa menit kemudian, yang jelas gue merasa nunggu dia cukup lama, sampai akhirnya ada yang duduk di hadapan gue. 

"Melas banget muka, lo. Minum dulu, nih." Dia menyodorkan sebotol isotonik, menempelkannya di pipi gue yang masih menggelembung. 

"Gue nggak butuh minuman. Gue butuh jawaban."

"Apakah ini semacam... lo butuh kepastian?" 

"Ya! Gue butuh kepastian lo untuk rencana gue. Bukan kepastian yang lain, puas?" 

Bima tersenyum, mengangguk, "Gue boleh lihat lagi rules gue sebagai variabel x? Dan gulungan Army on Revenge lo yang cemerlang itu?"

Bibir gue mencebik. Rules variabel x dan segulung kertas putih gue serahkan ke dia. Mata Bima bergerak ke kanan-kiri membaca dengan saksama aturan mainnya. Dilihat-lihat lebih detail, dengan kemeja yang digulung sampai siku, kancing atasnya yang sedikit terbuka hingga kaus putihnya mengintip, ditambah rambut yang agak berantakan, dia nggak jelek-jelek amat, lah, ya. 

"Lo ngapain liatin gue?" tanyanya dengan alis terangkat sebelah. 

"Siapa yang liatin lo. Gue liatin kertasnya! Baca aja lama banget," tukas gue menatap jendela. 

"Gue mau revisi di beberapa bagian." 

"Revisi?! Lo kira ini skripsi?!" Gue naik pitam. 

"Gue mau tambahin beberapa poin dalam perjanjian ini. Biar kita simbiosis mutualisme. Itupun kalau lo mau, kalau enggak silakan cari yang lain."

Gue harus apa, dong?! Berpikir cepat Ami. Ayo, pertimbangkan lagi. 

Setelah beberapa manusia di dalam diri gue berdebat, gue memutuskan untuk mendengarkan dulu apa yang ia mau. 

"Apa yang lo mau?" 

Bima pun menjelaskan beberapa poin tambahan. Termasuk tenggat waktu perjanjian ini berakhir. Permintaannya memang nggak terlalu banyak. Dari apa yang ia jelaskan pun, gue nggak menangkap dia berniat mempermainkan gue apalagi membuat gue kalah. Karena nggak ada yang kalah dan menang dalam rencana ini. Seharusnya.

"Gimana? Gue bisa menjadi apa yang lo butuhkan. Lo bisa menguntungkan gue sampai waktu yang kita sepakati." 

"Boleh." Gue mengangguk.

"Tapi, gue mau tekankan satu hal sama lo." Bima mendekatkan wajahnya secara mendadak.

Lagi-lagi tubuh gue berhenti bergerak. Urat gue seakan terputus dan jaringan otot lumpuh begitu saja. Tubuh gue memaku. Pendingin ruangan mengirimkan udara menusuk dengan aura yang berbeda.

"Rencana ini sangat berisiko. Kita bisa sama-sama menang, atau sama-sama kalah." Bima menatap gue lekat. Terlalu dekat. "Kita bisa hancur. Atau salah satu kita yang akan hancur. Entah hanya lo, atau hanya gue, atau kita berdua. Sebelum itu terjadi, jangan libatkan perasaan apa-apa selama kita menjalani ini. Karena kalau ada perasaan, pasti akan ada yang sakit." 

Tenggorokan gue terasa menyempit. Begitu Bima menjauhkan tubuhnya kembali ke posisi normal, napas gue bisa keluar pelan-pelan. 

"Oke. Lo sebagai variabel x dan gue sebagai variabel y. Itu saja." 

Dia mengangguk. Kami bersalaman. Sore itu, kesepakatan kami resmi dimulai. 

Segalanya terasa mudah di awal.

Akan tetapi siapa sangka. Gue terlilit benang yang gue tenun sendiri. Gue terjebak dalam rencana yang gue susun secara sempurna. Terjebak dan tersesat.

====================================

Segini dulu coy! Kirakira Army kenapa tuh?? Ada yg bisa tebak?? :p

35k reader update lagi yow.... kira2 sampe 5k vote dan 100 komen bisa gak neh? wkwkwk

Mohon bantuannya ya readers ku yang budiman, untuk bantu share cerita ini. Bilang aja, authornya udah gak bobo lagi wkwkwk xD 

Sayang kalian semua! Salam dari Army :*

==============



Continue Reading

You'll Also Like

634K 49.9K 39
Bagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm...
33.3K 1.4K 32
Reza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membu...
22.8K 1.6K 40
[ Completed ] Viona dan Zevan adalah dua orang yang sama-sama pernah merasakan sakitnya ditinggalkan. Akankah pada akhirnya mereka bisa saling menyem...
329K 95 9
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...