[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

25. Perasaan Yang Terombang-Ambing

4.6K 425 234
By twelveblossom

WARNING 18+

Perasaan Yang Terombang-Ambing―Twelveblossom

Kisah kita bagai kapal di atas air
Tenang sebentar, lantas ombak datang
Kisah kita bagai daun di atas air
Mengikuti arus, juga terombang-ambing

Kisah kita mencapai hulu
Aku dan kamu menyatu
Menerjang ombak dan arus
Menjadi satu dan menguatkan berdua

Ini lah kisah kita, Sayangku
Tak mengenal kata berpisah
Dan tiada sampai jumpa nanti, Kasih
Karena kita terlanjur bersatu

-oOo-

P.s: kalau ada typo kasih tau ya, biar aku segera koreksi. :D

(Sengaja pasang foto Wira soalnya lagi kangen.)


Wira dan Aria sebelum pernikahan Javas.

"Jangan sok baik sama gue," Aria berkata judes tapi tangannya tetap menerima bungkusan nasi pecel yang diangsurkan Wira.

Aria dan bayi yang dikandungnya ingin sarapan nasi pecel, sementara di Melbourne sukar menemukan restoran Indonesia yang buka pagi-pagi. Jadinya, Wira lah yang kalang kabut menelepon koneksimya demi sebungkus nasi pecel. Wira sih tidak keberatan toh nasi pecel itu makanan favoritnya jadi sekalian dia mengobati rindu makan nasi pecel.

"Udah jangan galak-galak. Makan aja cepet, nanti keburu mual-mual lagi." Wira membalas sembari melepas mantel. Dia duduk di meja makan tepat di hadapan Ariadna yang mengunyah dengan lahap. "Kalau mengidam apa pun bilang ke gue. Jangan dipendam, nanti anak kita bisa ngiler," sambungnya.

"Gue gak mau ngelahirin ini anak. Uda gue bilang―"


"―Yakin?" Wira tersenyum miring.

"Gue gak pengen anak ini lahir di keluarga yang gak lengkap."

Wira menghela nafas. "Gue bersedia menikah sama lo," ujar Wira. Dia menatap perut Aria. "Gue yakin ini anak gue. Gue tanya Mom, apa yang lo pengen sama dengan yang Mom pengen waktu mengandung gue. Anak ini uda mirip gue walaupun masih di perut lo."

Ariadna mendengus. "Gak usah sok baik dan sok mau jadi bapak buat anak gue. Lo itu cuma menggunakan gue sama anak ini buat alat move on." Aria menghentikan makannya agar bisa menghunjami Wira dengan pandangan mengejek. "Lo itu gak berubah. Lo pakai Nayyara biar bisa move on dari Joana. Sekarang lo pakai gue buat move on dari Nara. Bajingan tau gak sih lo."

"Ariadna ...."

"Gue bukan alat, Adyasta. Perasaan gue ini nyata." Ariadna memejamkan mata sebentar lalu kembali berkata, "Gue gak bisa pura-pura lagi ... kalau lo terus-terusan baik sama gue. Gue takut gak bisa melepaskan lo, segampang lo ngelepasin orang yang lo sayang ...."

-oOo-


"Javas, ayo makan dulu. Kamu kelihatan pucat banget," bujuk Nara sembari mengangsurkan sendok yang sudah terisi bubur ayam favorit suaminya.

Javas justru membuang muka. Dia mencebik selayaknya balita yang sedang mogok makan, sangat berbanding terbalik dengan kemeja rapi serta tubuh dewasanya. "Aku uda bilang gak mau dipanggil Javas," sungut si pria kepada sang istri yang juga sudah siap pergi bekerja.

"Oh iya, Chatu please makan kamu uda muntah-muntah dari jam lima pagi. Nanti kalau kamu nggak makan bisa pingsan waktu rapat." Nara sudah putus asa karena sikap keras kepala suaminya kambuh.

Iya, Nara kepalang pusing. Padahal Nara yang hamil tapi sejak Javas tahu istrinya mengandung, Javas jadi yang terkena mual, muntah, manja, dan mood swing. Sementara kondisi Nara sangat sehat secara emosional. Seolah Javas yang menggantikan Nara.

"Aku maunya dipanggil Honey."

Astaga! Nama panggilan saja dipermasalahkan! Batin Nara geram. Sungguh kalau Javas dalam kondisi sehat pasti Nara sudah mengomel. Sayangnya, dia tidak tega sekarang.

"Honey, please. Makan ya. Aku jadi cemas kalau kamu gini," Nara tidak menyerah.

Javas yang cemberut menjadi tersenyum. "Oke, aku mau makan tapi nanti di kantor. Kamu yang suapin aku."

"Tapi kan aku juga harus kerja, Honey," Nara menyela.

Javas kembali mendengus. Dia menampilkan ekspresi kecewa berat. "Kamu pilih aku atau kerjaan?" tanya Javas.

Nara diam. Ini semua terdengar sangat terbalik. Huh. Kenapa Javas seolah terdengar seperti istri yang takut ditinggalkan suaminya begini? Okay, sabar Nara jangan emosi.

"Javas―"

"―Honey, panggil aku Honey!" rengek Javas.

"Okay, Honey. Kan nanti siang aku ke kantor kamu buat rapat―"

"―Itu kan siang, Sayang. Aku keburu kangen sama kamu dan baby bala-bala." Javas menimpali cepat. Dia meraih tangan Nara. "Apa kamu lebih sayang sama kerjaan kamu?" tanya Javas lagi.

Nara menghela nafas berat. Dia mengusap perut sambil membatin, sayang, papi kamu bikin mami kewalahan.

"Ya udah, tapi nanti makannya harus dihabiskan ya," putus Nara.

Javas mengangguk patuh. Dia tersenyum lebar kemudian mendekati Nara untuk mencium sekilas bibir sang istri.

Argh, Dasar Bayi Besar! Nara mengerang, tapi hanya bisa melalui pikiran sebab sekali lagi Nara tidak ingin Javas semakin rewel karena ejekannya.

Nara dan Javas lekas berangkat ke BBC Mavendra yang tak jauh dari apartemen. Javas menyetir sembari menggumamkan lagu bintang kecil. Sang pria rupawan itu akhir-akhir ini sedang rajin-rajinnya menghafal lagu anak-anak, hampir setiap hari menyanyikan lagu tersebut untuk perut Nara. Javas menyebutnya sebagai persiapan dini menjadi papi teladan.

"Dari tadi kamu ngusap perut terus," lontar Javas setelah menyetir Audinya keluar dari basemen. "Lagi pengen apa?" sambungnya.

Well, meskipun Javas yang terkena morning sickness―Nara lah yang tetap mengidam minta banyak hal ke suaminya. Untungnya, dua bulan ini permintaan Nara masih masuk akal―lebih ke makanan yang bisa dibeli oleh Javas atau buah-buahan yang harus dipetik langsung.

Nara menatap Javas. Pria itu tampak menunggu dengan raut waspada. "Kalau aku minta kamu jangan rewel, boleh?" Nara mengajukan pintanya.

Javas tertawa. Jari pria itu memegang perut Nara. "Sayangnya papi yang minta papi nggak rewel atau mami nih yang minta?"

"Dua-duanya dong, Chatu."

"Susah banget ya panggil aku Honey?" Javas tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

Nara membenarkan duduknya kali ini menghadap Javas. "Astaga, kenapa kamu kayak terobsesi gitu sama nama panggilan? Aku uda biasa panggil kamu Chatu, Chatuku, dan Chatunya Nara."

"Soalnya, kamu gak punya panggilan sayang buat aku." Javas cemberut lagi.

Hah? Chatu kan panggilan kesayangan aku buat kamu, Javas. Nggak ada yang panggil kamu gitu, kecuali aku. Nara mengoreksi lagi-lagi dalam batin.

Javas sengaja mengambil jeda beberapa detik, menimbang untuk memberikan penjelasan atau tidak. "Kimi datang ke kantor buat bawain makan si Theo kemarin," lanjut Javas dengan topik ambigu lagi.

Hm, apa pasangan setan itu yang jadi alasan kerewelan Javas pagi ini? Serebrum Nara mulai menuduh. Nara berusaha sabar, memberikan tanda agar Javas melanjutkan.

"Terus Kimi nyuapin Theo makan di kantor dan panggil Theo ... honey." Javas mengeratkan pegangan ke setirnya. "Aku iri sama Theo. Aku juga pengen digituin sama kamu. Pengen disayang-sayang juga," sambungnya dengan nada malu-malu.

Serius yang sedang bicara ini Javas? Nara ragu karena Javas Chatura Mavendra tidak pernah mengatakan keiriannya―layaknya anak kecil. Bibir Nara tanpa sadar membentuk senyum lebar menyadari suaminya bisa bersikap lucu. "Aku kan tiap hari sudah sayang-sayangi kamu di rumah," Nara membela diri.

"Kan di rumah bukan di kantor," Javas masih tidak ingin kalah.

Bibir Nara terperangah, selama ini Javas yang menolak kemesraan mereka di luar rumah. Justru Javas yang sekarang ingin. "Nggak malu?"

"Kamu malu jadi punyaku?" Javas justru bertanya lantaran menjawab.

Lah, bukannya biasanya kamu yang malu, Chatu. Benak Nara protes.

"Atau kamu memang gak ingin kelihatan sudah menikah?" vokal Javas berdengung lagi, tepat saat mereka sudah berada di area parkir BBC Mavendra Group.

"Hah?" Nara semakin bingung.

"Rekan bisnis kita yang ikut makan malam kemarin deketin kamu karena ngira kamu belum menikah," gumam Javas.

Topik lain lagi?! Hmm, tapi Nara ingat sesuatu.

Ah, orang itu. Nara jadi ingat kejadian kemarin. Nara dan Javas menghadiri acara makan malam perusahaan yang menjadi kolega bisnis mereka. Nah, karena Javas dan Nara berasal dari dua perusahaan yang berbeda, mereka tidak datang bersama―Nara ikut timnya sementara Javas dalam kelompok Mavendra Group. Waktu itu Nara terlihat rupawan dengan gaun hitamnya, usia kandungan dua bulan belum mengubah bentuk tubuhnya membuat kebanyakan pria yang tak tahu, mengira Nara masih lajang. Dalam pesta dansa Nara diajak berkenalan seorang karyawan dari perusahaan susu formula ternama―Arnold Ekadanta. Well, mereka hanya bicara sedikit akrab karena Arnold ternyata juga pernah tinggal di Malang. Arnold pun mengajak Nara bertemu lagi pada lain hari. Sayangnya, pembicaraan singkat mereka terdengar Javas yang memang mengekori Nara ke mana pun istrinya berada dari jarak jauh.

Javas tidak mengatakan kecemburuannya, pria itu hanya cemberut sepanjang malam. Pagi harinya pun kehidupan mereka berjalan dengan penuh drama karena Javas mengalami morning sickness. Sampai sekarang semuanya menjadi jelas alasan Javas bersikap demikian rewel.

"Ah, kamu cemburu dengan Arnold," simpul Nara.

"Nggak cuma Arnold." Tatapan Javas lebih serius. Dia membuat Nara memfokuskan atensi hanya kepada si lawan bicara yang begitu mengintimidasi. "Aku bisa lihat banyak laki-laki yang ada di sekitar merasa tertarik sama kamu, Nayyara. Mereka mengira pernikahan kita yang tiba-tiba tidak didasari cinta."

"Javas, serius kamu mikirin prasangka orang lain?"

"Awalnya nggak, tapi kamu selalu menanggapi mereka yang deketin kamu dengan baik."

"Apa kamu minta aku jadi jahat, gitu?" Nara mulai geram. Dia menyugar suarainya yang tergerai. "Aku baik karena bersikap profesional, Javas. Nggak lebih dari itu―"

"―Tapi kamu kelihatan gampangan!" Sentak Javas yang membuat Nara kaget.

Nara mencoba menahan emosi, takut marahnya hanya memperburuk kesehatan janin. Namun, semakin dia berusaha mengendalikan diri ... kepalanya bertambah pening, Nara terlalu murka. Dirinya seolah ingin meledak. Bisa-bisanya Javas berucap begitu kepada dirinya.

"Gampangan? Murahan maksud kamu? Kamu bilang aku perempuan murahan?" Nara ganti berseru.

"Darling no. Bukan itu maksudku ..." Javas tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena dia yang salah. Tidak ada yang bisa diperbaiki sebab kalimatnya memang bermaksud begitu. Kenapa gue jadi gini? Javas bertanya pada dirinya yang bertindak tanpa berpikir.

Bibir Nara bergetar menahan tangis yang akan pecah. Wanita itu mendorong Javas yang berusaha memeluknya, tampaknya sang suami tidak berdaya untuk menenangkan keadaan. Nara terlanjur benci Javas, sangat benci. "Kalau kamu nyesel nikahin perempuan yang kamu anggap murahan kayak aku. Ya udah kita pisah aja," ujar Nara sebelum keluar dari mobil dan membanting pintu.

Nara sungguhan terkejut Javas menilainya begitu. Dia sakit hati itu jelas. Selama ini Nara memang bersikap ramah kepada setiap orang, tapi tidak lebih dari tujuan profesional dan membangun koneksi sebab Nara baru dalam circle lingkungan sosial Keluarga Mavendra. Javas tidak tahu betapa bingungnya Nara dalam keadaan ini. Kenapa Javas begitu egois?

Javas tidak mengejarku, Nara membuat satu kesimpulan. Ia terus berjalan melewati trotoar serupa orang yang hilang arah. Wanita tersebut baru berhenti saat merasakan kram pada perut. "Maaf, Sayang. Pasti kamu sakit ya Mami ajak jalan jauh. Kita istirahat dulu ya," Nara bermonolog sambil mengusap perutnya.

Nara duduk di pelataran sebuah gerai kopi yang letaknya sekitar satu kilo meter dari kantor suaminya. Nara melepaskan flat shoes yang ia kenakan, kakinya nyeri setelah sok-sok melenggang pergi seperti adegan drama Korea.

"Kacau sekali," Nara melihat bayangan dirinya di cermin kecil yang sengaja ia bawa. Maskaranya sedikit luntur karena Nara tadi sempat menangis. Untung, gerai kopi lagi sepi, mungkin baru buka. Hanya ada satu orang pengunjung selain Nara yang sedang membaca koran.

"Are you okay, Nayyara?" suara itu terdengar dari arah samping. Pria yang awalnya membaca koran kini mengajak Nara bicara.

"Kak Wara," Bibir Nara mengenali pria tersebut. Daniswara Adyasta adalah kakak tiri Wira dan sahabat baik Damar. Wara bekerja di Australia setelah kehilangan tunangannya―Joana Violetta.

Daniswara tersenyum simpul. Dia duduk di hadapan Nara setelah gadis itu memintanya. "Long time no see, Nara."

Jujur, Nara gugup bertemu Daniswara setelah sekian lama mereka kehilangan kontak. Apalagi, kekonyolan Nara saat pertemuan terakhir mereka ketika hari kelulusan Wara. Wanita itu pernah mengirimi Wara surat cinta semasa SMA dulu, tentunya surat cinta itu hasil diskusinya dengan Javas yang tampak ogah-ogahan. Lucunya, Javas yang membantu Nara menuliskan surat cinta dan memilihkan puisi untuk sang cinta pertama kini justru menjadi suami Nara. Tuhan memang suka membolak-balikkan keadaan.

"Aku kira Kak Wara lagi di Melbourne. Lama ya kak nggak ketemu," kata Nara sopan, dia menerima coklat hangat yang baru dipesankan Wara.

"Aku kembali kemarin." Wara mengamati Nara yang menghindari tatapannya. "Kamu kelihatan pucat," ungkap Wara yang menganalisis Nara.

Nara meringis. "Kayaknya bayiku agak protes karena dipaksa jalan."

"Ah, sudah isi? Selamat ya, Nara." Wara mengambil jeda sebentar. "Mau aku antar pulang?" tawarnya.

Wara sama sekali tidak menyinggung soal sisa air mata Nara atau alasan si wanita sedih. Dia tidak ingin mencampuri urusan orang lain sama seperti Wira. Nara jadi mengingat sahabat baiknya tersebut.

"Nggak Kak Wara, aku pulangnya nanti. Jadi, gimana kabar Wira?" Nara mengalihkan obrolan.

"Dia akan jadi ayah," balasnya singkat.

Nara mengangguk paham, Wira tidak memberi kabar apa pun. Seolah Wira ditelan bumi sementara sebagian diri Nara merindukannya. Ah, yang penting Wira bahagia di sana.

"Tapi kalau kamu mau ketemu dia, aku bisa telepon biar Wira ke sini." Wara berucap sambil tersenyum. "Dia ada di Jakarta dari minggu lalu," sambungnya.

Nara terkejut. "Wira nggak ngabarin artinya dia nggak ingin ketemu aku, Kak," gumam Nara. Wanita itu menunduk. "Apa dia ke sini sama Ariadna?"

Wara mengangguk. "Mereka kan mau menikah."

Nara tersenyum tulus. "Aku ikut seneng."

"Kamu sama sekali tidak berubah Nara."

Nara mengerjapkan mata. "Memangnya, kenapa aku, Kak?"

Senyum kamu itu cantik, Wara menjawab dalam pikiran. Tidak menyuarakan. Jika Joana adalah wanita pertama bagi Wira, Joana Violetta kedua bagi Wara. Yang pertama ialah adik dari sahabat baiknya, Nayyara Judistia Putri Hartadi. Gadis yang dulu ruang kelasnya selisih satu lantai. Nara muda yang sering memberinya coklat. Nara yang jika tersenyum dapat membentuk bulan sabit pada netranya.

"Kamu masih sebaik dulu hehehe." Wara tertawa.

Nara juga ikut tertawa. Moodnya menjadi membaik setelah pertemuan tidak sengaja ini. Namun tawa Nara tidak berselang lama ketika ada seseorang yang menariknya berdiri tanpa aba-aba kemudian menyeretnya begitu saja.

"Javas?!"

Nara syok, ia yakin Wara juga karena pria itu tidak berusaha mengejar dan justru terperangah di tempat. Nara berusaha melepaskan tangannya yang dicengkeram erat oleh Javas. Akan tetapi, pria itu mendorongnya masuk ke mobil mengabaikan Nara yang kesakitan.

Nara menatap suaminya dengan pandangan terluka. Dia memilih diam sementara Javas memberikan ekspresi dingin.

"Kita bicarakan di rumah," vokal Javas.

Sesampainya di gedung apartemen, Nara tidak perlu diseret lagi, ia dengan kesadaran penuh dan air mata yang mengalir turun dari mobil menuju tempat tinggalnya. Javas mengikuti dari belakang dengan frustrasi.

"Jelaskan, jelaskan alasan kamu berhak bersikap kasar sama aku!" seru Nara ketika mereka sudah masuk ke apartemen. Nara melempar tas ke sembarang tempat. Dia menghadap Javas.

"Aku tidak berhak." Javas meraup wajah. "Aku marah, Nayyara. Aku ... aku marah karena kamu meminta berpisah semudah itu. Aku marah karena kamu bertemu Wara."

"Kamu keterlaluan, Javas," bisik Nara. Dia menangis tersedu-sedu. Tangan Nara memegangi perutnya, berdoa agar bayi ini tidak mendengar pertengkaran mereka. "Aku murahan, kamu mengatakan begitu. Kamu menyeretku seolah aku ini tidak berarti, Javas. Kamu sudah tidak sayang aku lagi―"

"―No, Darling. I'm so sorry. Aku salah. Aku minta maaf. Aku bertindak tanpa berpikir. Aku cinta kamu melebihi apa pun."

"Bullshit!"

Nara memejamkan mata. Dia tidak tahan begini. Kepalanya pusing. Nara pun menepis Javas yang berusaha menghapus tangisannya. Dia memilih masuk ke kamar, mengunci pintu, dan menangis sendirian sepuasnya.

Nara mengabaikan Javas yang terus menggedor pintu itu, mengucapkan permintaan maaf yang baginya terdengar menyebalkan. Nara enggan melihat Javas hari ini. Dia butuh waktu untuk menyembuhkan diri.

-oOo-

Nara meregangkan tubuhnya yang kaku. Dia tadi lelah menangis pun ketiduran. Nara masih memakai blues biru muda dan rok hitam. Ia melihat sekilas jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore, tujuh jam lamanya Nara terlelap.

Perasaannya campur aduk saat melihat cermin, menemukan wajah sembab yang jelek. Nara memegangi perutnya yang bunyi. "Lapar huhuhu," keluh Nara.

Awalnya, Nara berniat untuk mengurung diri di kamar tapi dia tidak bisa bersikap egois kepada janinnya yang perlu makanan. Nara mencuci muka dan berganti pakaian agar terlihat lebih segar setelah itu keluar kamar Nara enggan Javas melihatnya dalam kondisi berantakan, membuat si pria merasa bangga sebab berhasil membuatnya menangis. Nara jengkel dengan Javas yang selalu menjadi dominan dalam hubungan mereka ini. Nara memang perempuan tapi bukan berarti dia bisa diinjak-injak begini. Kendati begitu, rasa marah itu redup seiring dia membuka pintu.

"Chatu?" Nara membisikkan nama suaminya yang tidur di lantai, tepat di depan kamar. Nara berlutut agar bisa melihat wajah Javas yang layu. Dia merapikan surai Javas yang berantakan. Javas tampak sangat kasihan.

Nara pun memberengut. "Aku nggak bisa benci kamu. Ini gak adil. Padahal kamu sudah jahat sama aku," oceh Nara.

Tiba-tiba Nara merasakan keinginan besar untuk memeluk suaminya. Nara berusaha menolak keinginan itu tapi tidak bisa. Apa bayi yang ada di perutku berusaha mendamaikan kita, Chatu? Pikiran Nara bertanya.

Nara pun ikut tidur di lantai, ia bersandar di dada Javas yang terlentang. Nara mencium Javas yang wangi untuk menghilangkan pusingnya.

"Darling?" Suara parau Javas mengisi pendengaran Nara. Javas mengerjapkan mata yang masih berat, dia tadi sempat mual dan lapar makanya memilih tidur di sini, takut Nara kabur kalau dirinya lengah.

"Hmm," Nara bergumam karena sibuk menyembunyikan wajah di ceruk leher Javas. "Kamu wangi, aku suka."

"Kamu uda nggak marah?" Javas bertanya ragu membiarkan Nara menggigit lehernya.

"Masih marah, tapi aku pengen tidur sama kamu." Nara berkata tanpa malu sedikit pun. Dia mengutarakan keinginan besar itu.

"Kita pindah ke kamar ya," bujuk Javas. Dia membelai surai istrinya. Posisi mereka tidak nyaman dan lantai ini dingin serta keras.

Nara menggeleng. Dia mendongakkan kepala, melihat suaminya. "Yang aku maksud bukan tidur, bobo bareng. Tapi tidur, bercinta," jelas Nara.

Javas terperangah. Rasanya absurd, mereka tadi berteriak dan marah, tapi kini Nara meminta bercinta dengannya.

"Kamu nggak mau?" Nara mencerca. Mata Nara sudah berkaca-kaca.

Javas tidak menjawab dengan ucapan, dia meraih tengkuk Nara menciumnya. Javas menarik Nara agar sang wanita berada di atasnya, paling tidak tubuh Javas jauh lebih empuk daripada lantai. Mereka saling mencumbu. Nara yang mengambil peran banyak, sementara Javas mengikuti alur kenikmatan yang dipilih istrinya. Javas merasakan Nara berusaha membuka ikat pinggang kemudian menurunkan celana jeans yang membuat bagian bawah Javas menunjukkan diri.

"Darling ahh," Javas mengerang karena Nara memasukkan kejantanannya ke mulut, mengulumnya dengan tempo pelan yang menyiksa. Nara sungguhan membuat Javas tidak bisa berkutik. Tanpa perlu waktu lama Javas mencapai puncak, ini pertama kalinya Javas orgasme terlebih dahulu sebelum lawan mainnya. Nara memang istimewa.

Javas mengangkat tubuh Nara ke kursi ruang santai yang berada di dekat mereka. Pria itu mendudukkan Nara dengan hati-hati. Ia membuka kedua kaki Nara lalu menggunakan lidah untuk memuaskan sang wanita yang sudah menanggalkan pakaian. Javas mengernyit ketika Nara menjambak surainya, menekan pria itu agar lebih dalam memasuki bagian privatnya.

"Javas, ngggh ...." Nara mendesah tidak karuan. "Aku ingin di atas," pinta Nara dalam racauannya.

Javas beralih dari selangkangan Nara yang basah. Dia mengubah posisi menjadi duduk di sebelah Nara setelahnya menarik pinggang Nara agar istrinya berada di pangkuan. "Mau aku bantu?" tawar Javas ketika Nara sedikit kesusahan memilih posisi yang tepat untuk penetrasi mereka.

Nara menggeleng. Dia memegang milik Javas yang sudah menegang, perlahan mengurutnya. Nara menggigit bibir menahan rasa yang membuncah dalam diri. Javas pun dengan frustrasi menengadahkan kepala karena Nara seolah menggodanya dengan berlama-lama menggesekkan miliknya di lapisan terluar.

"Darling, please make it fast." Javas memohon.

Nara menggeleng. "Kamu harus dihukum," kata Nara tegas. Dia menatap Javas yang sudah sangat terangsang.

"Baby ...."

"Kamu uda bikin aku nangis sampe wajah aku jadi jelek."

Javas yang tersiksa pun hanya bisa menyandarkan kepalanya ke bahu Nara. "I'm so sorry. Akhir-akhir ini aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Aku tidak bermaksud―argh Nara!" penjelasan Javas berubah menjadi seruan kenikmatan karena Nara menyatukan tubuh mereka dengan tiba-tiba.

"Ahhh Javas, it felt good."

Nara memejamkan mata. Ternyata posisi ini tidak kalah menyenangkan dari sebelumnya, dia jadi yang memegang kuasa. Nara bergerak dengan teratur, menyatukan dan memisahkan hubungan raga mereka. Gerakannya perlahan, menyiksa Javas yang terbiasa bermain cepat.

Javas berusaha meraih Nara agar bisa menciumnya, tapi istrinya tidak mau. Nara justru membuang muka dan memilih mencumbu leher Javas. Wanita itu menghentikan gerakan saat merasakan Javas begitu penuh siap mencapai puncak.

"Nayyara, jangan berhenti, Sayang," Javas mendesah kembali tidak rela Nara berhenti. Dia masih belum puas. Javas bisa gila kalau Nara tidak menyelesaikannya. Javas tersiksa karena libidonya.

"Mohon sama aku," perintah Nara.

Javas bisa saja membalik keadaan, hanya saja dia tak ingin Nara lebih marah kalau dia tidak menurut. "Darling please. Nara, aku mohon ... fuck me," bisik Javas sembari terengah karena gerakan Nara yang membuatnya gila.

Nara cukup puas dengan sikap patuh suaminya. Dia mengabulkan keinginan Javas membiarkan si pria membenahi posisi mereka. Javas dalam sekali sentak membalik keadaan memasuki Nara dari belakang. Nara mengerang memuja, mencengkeram lengan kursi yang berderik seiring gerakan mereka.

Sang pria pun mengambil alih alur kenikmatan. Pria itu memompa tubuhnya, memasuki Nara hingga pada titik terdalam―memastikan istrinya hanya menyebutkan namanya. Tanpa berpikir untuk berhenti.


-oOo-

"Nasi capjay," Nara mendefinisikan makanan yang selesai dimasak suaminya. Perempuan tersebut masih duduk di sofa―tempat yang menjadi platform bercinta mereka satu jam lalu. Nara memakai kemeja lengan panjang milik Javas yang sangat kebesaran pada raganya, sementara Javas hanya mengenakan celana jeans―bertelanjang dada.

"Nasi capjay spesial pakai sayang dan cinta," imbuh Javas sambil nyengir. Dia memberikan piring itu kepada Nara kemudian duduk di sampingnya. "Mau minta apa lagi, Sayangnya Papi?" Javas kembali bersuara kali ini di sertai dengan tangannya yang membelai perut Nara.

Hm, setelah kegiatan yang menguras tenaga tadi, Nara langsung meminta Javas untuk membuatkan makanan yang enak untuknya. Javas pun menurut, dia berkutat di dapur padahal bisa dihitung dengan jari berapa kali Javas memasak.

"Mau disuapi," balas Nara sambil tersenyum. Nara mendekati Javas yang siap menyuapinya. Wanita itu mengamati si pria half naked yang terlihat sangat ... er rupawan. "Kamu cuma boleh telanjang dada di depanku ya," ucapnya setelah mengunyah.

Alis Javas bertaut, "Kenapa?"

Jari Nara bergerak ke otot perut Javas. "I don't want another woman orgasm just by looking at your abs."

Javas menyeringai mendengar ucapan istrinya. Nara jauh lebih ... agresif belakangan ini. Javas menyukai Nara yang polos, juga mencintai Nara yang lebih 'pintar'.

"Promise me," Nara menegaskan.

"I promise you, Darling," tukas Javas akhirnya. Dia memberikan senyum terbaiknya kepada Nara, "Sekarang habiskan dulu ya makannya," pinta Javas.

Nara mengangguk. Dia menuruti Javas yang menyuapinya. "Kamu juga harus makan, Chatu."

"Setelah memastikan kamu kenyang," balasnya.

Nara mengusap rahang suaminya. "Kamu kurusan ya, pasti gara-gara repot ngurusin aku yang suka marah-marah ini."

Javas menghirup nafas panjang. "Kamu sama sekali tidak merepotkan. Aku setiap hari bahagia karena melihat kamu di sampingku. Aku juga tidak sabar melihat anak kita terus tumbuh di dalam perut kamu," jelas Javas. Pria itu mencium punggung tangan Nara. "Dan saat kita bertengkar seperti tadi pagi ... aku merasa kosong, apalagi kamu bilang kita harus berpisah. Melihat kamu pergi tanpa menengok ke belakang itu menyakitkan," sambungnya.

Nara menundukkan kepala, merasa bersalah. "Chatu, Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak begitu mudahnya bilang begitu."

"It's okay, My Darling." Javas membelai puncak kepala Nara. Dia meletakkan piring makanan yang sudah kosong di meja. "Kita belajar satu hal baru hari ini. Pernikahan memang bukan akhir tapi menjadi awal kita belajar," ucap Javas.

Nara mengangguk. "Hari ini kita belajar untuk tidak egois."

"Hmm," Javas bergumam mengakhiri percakapan mereka dengan pelukan hangat seperti biasanya.

-oOo-

Bonus Part

"Halo My Queen, tidak ada angin dan hujan kenapa My Queen tiba-tiba ke sini?" Kehebohan Theodore menyambut kedatangan Nara di ruang kerja Javas.

"Bawain makan siang buat Honeynya aku―"

"―Siapa?" Theo menyela syok sebab Nara bukan tipe wanita yang datang ke kantor Javas hanya untuk membawa makan siang. Apalagi, menyebutkan kata honey yang membuat manusia dalam ruangan ini―Javas dan Theo―merinding disko.

Nara mengerling kepada Javas. "Ya, tentu saja Honeyku! Satu-satunya manusia paling ganteng se-galaksi." Nara menunjuk Javasnya yang langsung mengerti.

"My Darling! Honey kamu ada di sini!" Javas berseru tidak kalah heboh, dia menyambut Nara dengan pelukan erat layaknya pasangan aktor dan aktris opera sabun.

"Honeeyyyy, i miss you so much," tukas Nara bahagia kemudian mengikuti Javas untuk duduk di sofa.

Ungkapan rindu itu berlebihan karena mereka baru berpisah empat jam lamanya.

Theo tercengang melihat adegan paling jijay plus anjay yang terputar di hadapannya. Seharusnya yang punya karakter alay nan hiperbola itu dirinya, ini kenapa dua makhluk bucin ikutan geblek? Apa Theo lagi salah masuk cerita, nih? Pikiran dangkal Theo gonjang-ganjing.

"Honey, kelihatan pucat. Pasti karena telat makan siang. Aku suapiinnn yaaa," Nara berkata manja sambil membuka kotak makan lima tingkat yang isinya kayak menu nasi Padang yang dihidangkan. "Honey, Aaaa."

Javas membuka mulut lebar-lebar, mengunyah dengan dramatis. Javas pakai terkekeh malu-malu yang di mata Theo kayak kucing kebelet kawin.

"Masakan kamu enak banget, mirip warung depan apartemen kita, Sayang," ungkap Javas.

Nara tertawa. "Ini kan memang beli di sana. Bedanya, aku bungkus pakai cinta," balasnya dengan nada genit.

"Edan, crazy," gumam Theo.

Yang bikin tidak masuk di akal Theo, My Queen bersikap kelewat ganjil mirip ABG yang baru punya pacar. Setahu dia, My Queen itu orang paling cool kalau masalah kasih sayang begini. Kalau Javas yang kegatelan, Theo sudah paham karena tingkat kebuncinan Javas melebihi jumlah kaki ulet bulu.

Apa My Queen baru dicuci otak sama si Bucin tingkat Neptunus ini? Theo mulai curiga. Lantas Theo pun beranjak menekan-nekan tangan Nara dengan telunjuk seperti memastikan sesuatu. Ini My Queen asli atau My Queen KW?

"Heh, apaan lu pegang-pegang istri gue," Javas menyentak sangat ngegas.

"Nggak, gue lagi observasi My Queen habis lo apain kok bisa kayak cacing kepanasan gini."

"Ngawur, bilang aja lo Iri?" Balas Javas makin songong.

"Heh, heloooww please, gue juga punya Kimi yang panggil gue Honey Bunny Sweety ya, jadi gue gak bakal iri." Theo melipat tangan di depan dada. Dia merasa harga dirinya tercabik-cabik karena rantang isi nasi Padang. "Gue yakin My Queen kesurupan, Lucinta Lunak!"

Nara menepuk bahu Theo dengan keras. Merasa tertohok karena disamakan dengan onderdil palsu. "Emangnya kamu sama Kimi aja yang bisa mesra-mesraan di kantor," sungut Nara.

"Heh?" Theo bingung.

Javas dengan kekanakan menjulurkan lidah ke Theo. "HAH HEH HAH HEH TEROOOS. Pergi sana lu, gue mau makan bareng Honey," usir Javas sambil menyeringai.

"Gue kagak mau pergi. Gue mau minta nasi Padang juga!" Paksa Theo, hanya saja aksi demo Theo tidak lama. "Astaga!" Theo memekik jengah karena dua sejoli itu justru cipika-cipiki.

"Rasain, makanya jangan suka berbuat maksiat sama Kimi. Kayak gue uda sah sama Nara, mau ngapain aja gas!" Javas masih tidak mau kalah.

Theo pun memberengut. Dia mengentakkan kaki sepanjang jalan ke luar ruang kerja Javas menyisakan tawa bagi lawan bicaranya tadi.

Ah, sungguh kekanakan dua orang itu. Cinta membuat mereka jadi super duper childish! Simpul Theo yang sok pintar.

-oOo-

a/n:
Halo semuanyaaa~ Terima kasih sudah membaca part 25 sampai akhir hehehe.

Sebenarnya minggu ini aku nggak up karena belum selesai nulisnya dan komentar yang belum mencapai target huhuhu sedih banget. Tapiiii berubah pikiran karena well ternyata hanya butuh sehari untuk menyelesaikan part 25 jadii ya aku posting aja buat ucapan terima kasih buat yang sudah bersedia vote dan komentar di part 24♡.

Oke, sampai jumpa ya di part selanjutnya. Aku tunggu vote dan komentarnya, biar semangat nulis part 26 hahaha. Oh ya, jaga kesehatan ya temen-temen, semoga kita terhindar dari Covid-19 dan selalu sehat.

Bye bye♡

P.s: karena Line@ Twelveblossom sudah tidak aktif untuk update cerita baru dan permintaan password bisa melalui dm Wattpad atau twitter @.twelveblossom.

Aku juga sudah buatin akun instagram untuk bocoran dan update seputar kehidupan mereka hehehe follow yaa @.twelveblosom

Continue Reading

You'll Also Like

78.8K 10.2K 108
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
106K 4.8K 24
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
28.9K 3.2K 14
«Jika dunia tidak menerima kita,mari kita buat dunia kita sendiri,hanya kau dan aku didalam nya» Lalisa Manoban. +++ GIP area! jangan ditiru 🔞
31.7K 3.3K 14
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG