Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4

182 20 1
By KalaSanggurdi

"Robi. Ayo."

Ajakan Sarah tidak terdengar oleh Robi. Yang Robi dengar hanyalah kata-kata tentara di pagi hari: "Malingsia". Ia berusaha melupakan semua makian tentara-tentara tersebut. Tapi nyeri pada berbagai titik di wajahnya membujuknya untuk terus mengingat. Pencuri, pembunuh, pemerkosa, penghancur, semua telah ia dengar. Robi membela dirinya dengan berpikir, dan berpikir. Ia saja tidak tega membunuh cecak yang menakut-nakuti Sarah. Ia saja tidak tega menilap uang yang diberikan orangtuanya untuk membayar buku-buku pelajaran, meski uangnya berlebih dan memang diniatkan sebagai uang jajan tambahan dari orangtuanya. Ia memikirkan pembelaan itu pada saat ia dituduh, dan pada saat ia mengingat kembali tuduhan itu.

"Robi," tegur Sarah sekali lagi.

Robi terbangun dari belaannya, "Iya."

"Sekalian, kita ajak Novi," ujar Sarah, sambil menepuk pundak Robi. Ajeng menunggu di depan mereka, bersama dengan tiga orang tentara.

"Iya," ucap Robi, tanpa menatap mata Sarah.

Ajeng akan pergi untuk bertugas. Entah apa tugasnya, Sarah tidak tahu. Sarah hanya mendengar sekilas salah satu tugasnya adalah kembali ke laut. Katanya sekalian memantau proses perizinan kapal-kapal yang ingin melabuh. Sarah hanya berharap salah satu kapal itu adalah pesiar yang dinakhodahi oleh ibu Novi. Ajeng juga memerintahkan dua tentara yang dikenal Sarah, yakni Aziz dan Edo, untuk menemaninya dan teman-temannya mengungsi di kediaman Ajeng di Menteng. Sekilas, Sarah berharap bahwa Jon dan Jaka juga ikut. Hanya saja, Sarah dapat mengerti jika mereka tidak boleh, karena nama mereka berdua tidak disebutnya saat Ajeng menanyakan siapa saja yang ingin diajak Sarah untuk mengungsi.

Setelah mengarungi koridor-koridor rumah sakit, Sarah dapat melihat Aziz dan Edo yang bergabung dalam barisan tentara Ajeng. Kemudian, Sarah diajak Ajeng untuk mengunjungi bilik tempat Novi dan Jaka berada. Saat sampai di bilik itu, Sarah hendak menahan tangis ketika melihat Novi. Ia juga menahan diri untuk lari dan memeluk temannya itu, mengingat Novi tidak senang dengan sentuhan dahsyat yang dilakukan secara tiba-tiba.

"Novi," panggil Sarah. Ia tidak mengekspektasikan Novi untuk menengok. Dan benar saja, Novi tidak menengok.

Novi terdiam, melamun. Sarah dapat melihat mata Novi bengkak karena menangis. Jaka yang sadar kehadiran Sarah dan Robi langsung menatap mereka berdua.

"Neng Sarah!" senyum Jaka; "Ini neng Novi nggak mau makan!"

Sarah segera melihat makanan apa yang sedang disuapkan oleh Jaka. Ternyata bubur. Jelas Novi tidak mau, pikir Sarah, karena Novi tidak suka tekstur bubur.

"Bubur ya? Novi emang nggak suka, Pak," Sarah membalas senyuman.

"Terus harus dikasih makan apa, dong?" keluh Jaka; "Bang Jon juga lagi sibuk lagi."

"Permisi," ujar Ajeng dari belakang Sarah, "Anda penanggungjawab anak ini?"

"Oh, ibu..."

"Ajeng Tirtayasa."

"Oh! Ibu jenderal! Maaf, bu, saya kira siapa."

"Tidak apa, Pak. Saya tantenya Sarah. Saya dengar anak ini temannya. Saya mau ajak mengungsi bareng keponakan saya."

"Oh, iya! Iya! Tidak apa, bu! Silakan, silakan."

Jaka berdiri dan memberi hormat dengan menaruh kedua tangannya di depan pusarnya, sambil menunduk-nunduk. Ajeng hanya tersenyum, "Bagaimana, Sa?"

"Ya udah, tante. Langsung ke Menteng aja," ujar Sarah; "Novi, yuk."

Novi diam saja. Seperti biasa. Sarah mengulang dua kali lagi. Novi masih diam, malah seperti akan menangis. Sarah ragu, tetapi ia harus memaksa Novi. Akhirnya, ia mengangkat Novi dengan hati-hati. Novi merespon dengan teriak lantang.

"Ada apa?" ucap Ajeng yang hampir reflek menutup kuping. Sarah cepat menjawab, "Novi emang gini, tante."

Novi tidak ingin diangkat, dan Sarah kesusahan untuk menariknya agar berdiri. Ia takut akan menyakiti Novi yang mengenakan perban di mana-mana.

"Novi, maaf. Maaf ya. Ayo, Novi. Ayo," ucap Sarah sehalus mungkin.

"Papa!" pekik Novi. Ia ulang lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Sarah hampir menangis mendengar teriakan Novi. Tapi ia ingat bahwa ia memegang gawai Novi. Dari kantungnya, ia mengeluarkan gawai Novi dan menunjukkannya.

"Novi. Hape Novi nih," senyum Sarah dengan suara bergetar. Novi sekelebat melihat, tetapi melanjutkan pekikannya. Ajeng mulai merasa tidak nyaman.

"Sasa, ada masalah apa?"

"Biasa lah, tante."

"Teman Sasa memang biasa begini?"

"Iya."

"Kenapa dia?"

"Emang gitu."

"Sakit?"

"Iya."

"Sakit apa?"

Sarah diam, tak menjawab pertanyaan Ajeng. Sarah tidak mau Novi mendengar. Ajeng yang sedari tadi terganggu oleh pekikan Novi mengeluh, "Ya sudah. Kita langsung pergi saja. Temanmu dirawat dulu di sini."

Sarah menengok ke Ajeng. Sedari tadi ia berusaha menenangkan Novi, agar ia bisa cukup kooperatif untuk ikut. Kini tantenya ingin Novi ditinggal. Sarah protes, "Nggak bisa, tante."

"Dia akan dapat perawatan di sini."

"Bukan itu yang dibutuhin Novi, tante."

"Apa memangnya?"

Sarah tidak dapat jawab. Sejauh ini, apa yang Sarah mengerti dari Novi adalah bahwa ia butuh stimulus-stimulus spesifik. Novi tak bisa makan apa pun kecuali Cordon Bleu saus asam manis. Bahkan kalau nasinya tidak dibasahi saus, Novi takkan mau makan. Kejadian Novi memekik ini sama seperti saat nasinya tidak dibasahi saus, dan hal yang bisa menenangkan Novi hanya gawainya. Spesifiknya, permainan memecahkan permen. Hanya saja, Novi menolak melihat gawainya sendiri, dan itu biasanya menjadi cara terakhir untuk menenangkan Novi. Sarah tidak tahu lagi apa yang dibutuhkan olehnya.

Sarah menyalakan gawai Novi kemudian menyalakan permainan Novi, "Nih, Nov. Kamu seneng kan?"

Novi mendengar suara gawainya. Begitu tidak asing. Tapi ia tak menenang. Ia menepis tangan Sarah hingga gawainya terpental ke lantai, dan lanjut memekikkan papa. Papa, papa, papa. Itu saja yang diteriakkan Novi. Konstan, tak berubah. Mau volume ataupun nada. Apakah benar Novi membutuhkan ayahnya? Kenapa tiba-tiba?

"Novi, ayo. Nanti kita ketemu papa," bohong Sarah.

"Papa udah meninggal!" jujur Novi.

Sarah meremehkan Novi. Novi tidak menyangkal kenyataan. Novi memekik dan memekik, memanggil dan memanggil. Ia memanggil sosok yang telah tiada, meski ia tahu sosok itu takkan datang. Sarah menyerah. Ia menangis.

"Sarah, pegang Novi. Robi, bantu pegang. Jaka, bantu juo."

Jon datang. Sarah tak sempat lihat ia datang, karena berusaha menenangkan Novi. Tangannya menyembunyikan sesuatu. Sarah kebingungan.

"Pegang yang kencang. Sarah, kamu pegang tangan kanan. Robi, kamu pegang kaki. Jaka, pacik badannyo. Kareh-kareh."

Sarah sekilas melihat alat suntik, dan langsung mengerti. Bersama dengan Robi dan Jaka, Sarah membekukan Novi. Novi merespon dengan pekikan yang lebih keras lagi. Ia meronta-ronta, hendak bebas. Robi dan Jaka kewalahan, sedangkan Sarah mengerahkan seluruh tenaga. Sarah merasa bersalah, tetapi ia tahu Jon hendak membantu. Apa pun cairan yang akan disuntikkan, cairan itu baik untuk Novi.

Jaka inisiatif menutup mulut Novi. Telinganya pengang, dan ia yakin tidak hanya telinga dirinya belaka. Meski Novi tak henti-henti berkedut dan bergerak, Jon berhasil menyuntikkan diazepam ke aliran darah Novi.

"Nah. Lah selesai," ujar Jon.

"Pak Jon kasih Novi apa?"

"Obat penenang."

Sarah melihat Novi yang baru lepas. Ia masih berteriak dan bertenaga. Sarah agak tidak percaya, karena Jon tiba-tiba masuk ke bilik sambil membawa alat suntik.

"Sebentar lagi harusnya menenang. Suara dia kedengaran sampai satu rumah sakit. Hahaha! Tadi pagi lebih parah lagi, gara-gara dipisah dari kamu. Jadi saya kasih obat penenang."

Sarah melihat Jon, dan terpana. Jon dapat membaca kecurigaan di wajahnya. Sarah tersipu, "Makasih, Pak."

"Bu Jenderal," sapa Jon kepada Ajeng; "Masih di sini?"

"Iya," Ajeng senyum simpul; "Sebentar lagi mau pergi. Ini mau ajak temannya Sarah."

Jon terkekeh dan menepuk pundak Sarah, "Dunia sempit ya. Ternyata kamu anak Bu Ajeng."

"Keponakan," sewot Sarah.

"Oh, iya! Keponakan. Hahaha! Mirip soalnya," Jon membela diri. Hanya saja, Jon memikirkan hal lain: kenapa seorang jenderal menghabiskan waktu menunggui keponakannya?

"Mau dikembalikan ke orangtuanya ya? Si Sarah?" Jon bertanya kepada Ajeng.

Ajeng agak lama menjawab, "Orangtuanya di Medan."

Jon terpaku. Kini ia mengerti. Ia langsung mengerti siapa kedua orangtua Sarah, ketika ia tahu bahwa tante Sarah adalah seorang jenderal. Jon agak menunduk, dan matanya tak sefokus biasanya. Ia memastikan, "Selamat?"

Ajeng diam. Jon mengerti.

"Ya sudah. Saya mau balik bantu-bantu yang lain. Baik-baik kalian dengan bu jenderal. Hahaha!"

Jon berjalan menuju pintu bilik. Sebelum keluar, ia menghadap ke kerumunan orang yang habis mengurusi Novi. "Jaka, ikuik la!"

Jaka mengangguk. Sebelum pergi bersama Jon, ia menitipkan pesan kepada Sarah, "Neng Sarah, baik-baik ya." Sarah mengangguk.

Ketika Jaka dan Jon keluar bilik, Sarah menyadari bahwa Novi telah berhenti teriak. Malah, ia berhenti menyia-nyiakan tenaganya dan tengah duduk tenang dengan mata kosong.

Sekali lagi, Sarah mengajak Novi berdiri, "Yuk, Nov."

Novi menurut, hampir layak boneka. Sarah agak heran, tetapi ia mengerti bahwa itu dampak obat Jon.

"Sudah?" tanya Ajeng memastikan.

"Iya. Ayo, tante."

[]

Continue Reading

You'll Also Like

100K 6.5K 21
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
6K 289 30
Di Cetak Berisi 152 halaman dengan enam catatan perjalanan :( mengenali diri sendiri, peran hidup & meningkatkan diri, bakat & mimpi, cinta, komunika...
1.4M 24.7K 16
SUDAH TERBIT! BISA DI CARI DI TOKO BUKU DAN OLSHOP KESAYANGANNN~~~ Hal paling menyebalkan dalam kehidupanku mungkin terletak pada diriku sendiri. Dis...
899K 74.3K 24
(Dalam Revisi) ma·ha·ja·na ark n orang yang amat ternama; orang besar. Terbangun dan melanjutkan hidup sebagai remaja kembali. Hayam Wuruk hidup deng...