I Can't Smile Without You (EN...

Galing kay HaiDhika

23 6 1

Pemudi Bunuh Mantan Kekasih Jakarta - Polisi di Ibu Kota Jakarta meringkus seorang pemudi yang membunuh manta... Higit pa

Can't Smile Without You

23 6 1
Galing kay HaiDhika

Pemudi Bunuh Mantan Kekasih

By Hai Dhika on 8 Maret 2015 at 12.35 WIB

Jakarta – Polisi di Ibu Kota Jakarta meringkus seorang pemudi yang membunuh mantan kekasihnya karena latar belakang patah hati. Kapolrestabes Jakarta Komisaris Besar Zarkan di Jakarta, Minggu (8/3/15), mengatakan, pelaku membunuh mantan kekasihnya dengan cara memotong-motong bagian tubuhnya kemudian menyimpannya.

Tersangka Peri Putri Utami (20) warga Jalan Pramuka Jaya Raya, Jakarta Timur, melukai korban BMPP (26) warga Pondok Indah memakai pisau di rumahnya. "Setelah korban pingsan langsung di potong-potong bagian tubuhnya" kata Zarkan.

Korban dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Ia menuturkan tersangka mengaku hanya ingin senyumnya dikembalikan setelah ditinggal mantan kekasihnya tersebut. Ia juga merasa tidak bersalah atas perbuatannya.

Selama pemeriksaan, ia tidak berhenti tersenyum. Pihak berwajib akan memeriksa kondisi kejiwaan tersangka.

"Tersangka diamankan beberapa jam setelah kejadian di rumah korban. Bukti tas dan pisau tersangka juga masih ada di rumah korban. Polisi datang setelah mendapat laporan dari warga kalau ada keributan di sana" katanya.

Perbuatan tersangka itu selanjutnya dikenai pasai 351 KUHP tentang penganiayaan hingga menewaskan seseorang.

***

Aku melempar smartphoneku ke atas meja. Pun ku tempatkan punggung di sofa yang terasa semakin lama kian membakar dan mengiris tubuhku.

Kini, aku berada di sebuah ruangan berukuran 4 x 5 meter yang sempit dan penuh. Aku tengah bersama salah ke-3 teman dekatku di kampus. Dioni, Nadia, dan Ibay. Bukan salah teman, hanya salah 3 diantara beberapa.

Lampu penuh warna mencacah mataku tipis, memantul pada bola cermin yang menggantung di langit-langit. Kepalaku pening di buatnya, aku sangat benci berada diruangan ini. Aku tak lagi bisa tenang.

Kicauan parau dari beberapa kotak hitam yang cukup besar. Muncul senada dengan suara yang dikeluarkan siapapun. Siapapun yang bersuara di depan gagang hitam, dengan tali beraliran listrik yang menghubungi keduanya. Ketiga teman dekatku tengan berkaraoke. Mereka tak peduli keadaanku saat ini. Tak benar-benar peduli.

Aku masih duduk. Membiarkan telingaku dirasuki suara sumbang bertubi-tubi. Membiarkan mataku melihat pergantian cahaya yang mencolok dari layar kaca besar di hadapanku. Semua menyakitiku, selalu saja menyakitiku! Terus saja!

Sial! Semua berubah! Semua memang telah berubah semenjak hari biadab itu. Hari yang tak pernah ku bayangkan bisa terjadi.

Kemana separuh nyawa yang membuat aku hilang arah seperti ini? Jadi, begini ya rasanya tercuri kehidupannya?

Berulang kali, Dioni menarik tanganku dengan tenaga yang cukup kuat. Mereka semua memintaku mengeluarkan suara mengikuti irama. Mencoba menyundut tawaku, sengaja mencari pengalihan emosi dan pikiranku.Mereka tak sadar semua ini takkan berhasil.

Dioni menjelaskan padaku, bernyanyi cukup membuat emosi dapat terlampiaskan. Ahh! Persetan! Aku telah kehilangan suaraku, dibawa lari tanpa permisi.

Sudahlah! Lagu-lagu cinta?!

Berulang kali, Nadia mengajakku berbincang-bincang untuk mendengarkan kisah tragisku. Sudah ku katakan, percuma! Aku takkan merespon seperti yang mereka inginkan.

Percuma kan? Susah payah kalian membawaku secara paksa begini. Pergi ke tempat karaoke, menghabiskan waktu untuk hal tak berguna. Buang-buang waktu dan tenagaku saja.

Tak ada kisah yang kan kubagi, aku saja tak tahu apapun yang nyata dalam hidupku. Apalagi kalian? Tahu apa kalian tentang segalanya hidupku? Tahu apa kalian rasanya jadi aku?

Terkadang, bertanya bukan berarti benar-benar peduli. Tapi lebih sering ke basa basi.

Aku percaya, sia-sia mereka menculik untuk menghiburku. Membawaku pergi ke neraka kecil ini sejak malam tadi. Percayalah, tak akan ada yang dapat membuatku tersenyum, tertawa, bernyanyi kembali kecuali Barry.

Namaku Peri. Sehari-hari, aku hanya kuliah dari pagi sampai sore dan ketika malam aku bernyanyi di café.

Aku mencintai suaraku, mencintai musik juga lagu. Mencintai profesiku sejak dibangku Sekolah Menengah Atas. Musik telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Namun tidak setelah Barry dan aku saling mengenal di café biasa tempatku bersuara. Ia berhasil mencuri hatiku, menarik perhatianku. Ia hidupku, pertama dan selamanya.

Ibay terus berusaha mengeluarkan lelucon-lelucon sampahnya. Dimana sih letak selera humornya? Selera humor yang rendah! Dan mereka juga, dua temanku itu ikut tertawa bahkan terbahak di hadapanku. Lalu aku? Jangankan tertawa, untuk menoleh ke arah mereka pun aku tegang saraf.

Soft drink, orange juice, beer, pizza, dan roasted bread terpampang pasrah di hadapanku, menggelinjang minta di sentuh. Ketiga temanku dengan suka ria menyentuhnya, mengarahkan pada mulutnya, kemudian menelannya habis-habis. Berulang kali Dioni coba melayangkannya kedalam mulutku, namun aku memilih bungkam. Tak ada hasrat sama sekali menampung makanan dalam perutku. Tak ada alasanku melanjutkan hidup tanpa senyumku.

Aku kehilangan senyumku, benar-benar kehilangannya tiba-tiba.

Kehilangan segalanya dalam hidup menjadi bagian terpahit yang ku telan paksa. Semenjak ia meninggalkankutanpa alasan yang dapat ku terima.

Aku tahu, Barry meninggalkanku hanya untuk menjadi alasan munculnya senyum di bibir perempuan lain. Perempuan yang sama sekali tidak lebih baik dariku! Tidak lebih baik dari segi apapun!

Memang. Takkan ada yang lebih pantas bersanding dengan Barry, selain aku. Semesta pun tahu.

Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Bagaimana cara aku melanjutkan hari-hari ku setelah ini tanpa kehadiranBarry disela-selanya?

Tak pernah sampai hati aku melihatnya bersedih. Tanpa perintah, aku pun pasti ikut merasakan kesedihannya. Menangisi semua tangisan kehidupannya. Merintihi segala rintih kisah hidupnya. Meratapi apapun ratapannya. Aku bisa merasakannya. Barry adalah aku, begitupun sebaliknya. Setidaknya itu dulu.

Aku selalu ikut berbahagia ketika melihatnya bahagia. Merayakan segala kebahagian dalam hidupnya. Walau terkadang, ia melupakan aku saat tengah tertawa dengan sahabat-sahabatnya. Menghilangkanku sejenak dari dalam pikirannya saat berbahagia dengan lingkungannya selain aku.

Aku tak menyalahkan Barry sepenuhnya. Mungkin memang ada masa ketika ia ingin memiliki waktu tanpaku.Namun, seharusnya tak begitu kan.

Semua hal yang membuatnya tersenyum adalah alasanku tersenyum. Aku sangat menggilai senyumannya, terlebih ketika senyuman itu ditujukan hanya padaku. Ia selalu tahu, aku akan melakukan hal yang sama setelahnya. Menikmati kebersamaan kami dengan cara kami. Tersenyum untuk kedua bibir kami.

Entahlah, hanya kami yang mengerti segala tentang kami.

Aku dapat dengan nyata merasakan segala emosi yang ada pada Barry. Termasuk emosi sedih dan bahagianya ketika ia mulai jatuh cinta dengan Perebut Kekasih Orang itu!

Aku hanya ingin Barry tahu apa yang terjadi padaku setelah ia pergi. Betapa kacau dan rapuhnya aku.

Aku tak dapat tersenyum kembali tanpanya dan aku butuh senyumku! Aku masih menginginkannya kembali dalam hidupku, mengisi hari-hariku seperti dulu. Aku tak terima dengan apa yang terjadi.

Percayalah Barryku, hanya aku yang terbaik untukmu. Hanya aku! Selamanya hanya aku...

"Ri, makan dong. Udah 2 hari ga makan sama sekali loh. Masa minum doang gitu. Nanti sakit gimana? Kasihanin badan lo sendiri kenapa sih?! Yang bikin lo kayak gini belum tentu mikirin lo tau!" Dioni kembali mengarahkan sepotong pizza ke depan mulutku. Aku terus bertahan dengan bungkamku.

Apa aku masih harus peduli dengan keadaanku ketika aku tahu, orang yang paling ku butuhkan telah dibutuhkan dan membutuhkan orang lain?

Barry Manilow Putra Pratama, lelaki tampan berusia 26 tahun yang selalu menjadi alasanku memiliki senyum di setiap hela napasku. Ia satu-satunya alasan yang membuatku kuat dan terus bertahan untuk menjalani hidup tanpa keluarga di sisiku.

Aku menyimpan banyak harapan dan impian yang telah kami rencanakan bertahun-tahun. Semua lagu-lagu cinta, syair-syair rindu, pujian manis penggoda malu, tak bisa hilang dari ingatanku.

Lelaki itu sering berkata bahwa ia tak tahu caranya hidup tanpaku. Dan mungkin ia masih ingat ucapanku, "Apapun yang terjadi, aku hanya menginginkannya. Aku cuma mau Barry".

Barry pemicu jantungku berdetak, oksigen setiapku bernapas, dan ia kebutuhan pokokku. Aku hilang, aku mati, aku hampa, aku kehilangan arah tanpanya disisiku.

Apa yang ada di benak dan isi kepalanya hingga ia sampai hati meninggalkanku setelah semua yang telah kita lewati selama hampir 3 tahun belakangan ini? Itu bukan waktu yang cukup singkat, bukan sekadar memori yang tak padat, bukan komitmen dan emosi yang tak akurat.

Aku mencintainya, butuh bukti apalagi sih?!

"You're my everything, forever..." kalimat yang selalu membuatku berbunga-bunga. Kalimat yang sudah seperti makanan sehari-hariku yang ku dapat dari mulut Barry.

Segalanya untuknya, selamanya. Nyatanya?

Jadi, jika ada perempuan lain yang membuat ia memutuskan komitmen denganku dan menghancurkan ekspetasiku tentang kesempurnaan cinta itu apa jika aku segalanya dan selamanya? Mana janji Barry?

Perempuan Laknat itu yang membuat Barry berucap "Everything has changed... Dan maaf aku ga bisa" ketika kami terakhir bicara di pesawat telpon. Ketika aku masih mengemis cinta padanya, memohonnya untuk tetap mencintaiku seperti janjinya dahulu.

Aku rela menunggu berjam-jam hingga tengah malam di dekat tempat tinggalnya seorang diri. Menunggu untuk dapat menemuinya. Mulai dari tak ada jawaban sejak siang, hingga pukul 8 malam ia mengatakan akan datang. Hanya saja aku harus menunggu lebih lama.

Apa aku menyerah dan pergi? Tidak! Aku masih menunggu hingga pukul 11 malam. Sampai ia memintaku untuk berpindah ke tempat parkir karena coffee shop tempatku menunggu harus tutup.

Menunggu... Aku terus menunggu... Tapi ia tak juga datang.

Menyerah? Belum!

Aku kembali datang ke tempat pertama kali kami bertemu di tanggal yang sama. Kebiasaan setiap tahun kami menghabiskan waktu di tanggal tersebut. Aku mengalami tragedi di jalan karena membawa motor dengan kecepatan tinggi hanya karena berharap segera dapat menemuinya di tempat tersebut. Dia tahu, aku memberitahukannya. Nahasnya, jangankan untuk datang, meresponku saja ia tak ada hati.

Mungkin, jika aku mati di hari tersebut karena kecelakaan yang lebih parah pun, ia tak akan merasakan apa-apa. Untungnya, hanya beberapa luka dan memarah di lengan dan sekujur kakiku saja.

Perempuan itu, iblis dari mana yang mengganggu hubungan kami? Ingin sekali aku menemukannya tak bernyawa. Atau ku hilangkan saja nyawanya?

4 bulan sudah aku tak mendapat respon dari Barry. Pesan singkat, panggilan, dan kunjunganku tak di sambutdengan baik.

Demi Tuhan. Aku rindu kamu, Barryku...

Aku tak pernah putus asa untuk menemuinya. Aku terus menunggu Barry berhari-hari di depan rumahnya. Menanti, sosoknya kembali ke pelukanku. Menghampiri kantornya, restoran miliknya, dan tentu kampusnya. Biar menunggu diantara jeritan hujan dan petir, aku tetap memaksa untuk dapat menemuinya.

Aku tidak mengeluh, tidak lusuh. Aku tetap mencari tahu keberadaan dan keadaannya pada semua teman-temannya, namun seakan mereka membuat perjanjian untuk menyembunyikan Barryku.

Apa salahku? Apa yang telah ku lakukan padanya? Apa yang membuatnya meninggalkanku tiba-tiba?

Sebelumnya, kita sama sekali tak pernah ada masalah yang serius. Tak pernah ada orang ketiga dalam hubungan kami.

Kecuali Perempuan Jahanam itu!

"Ri, anjir lo berapa hari nggak mandi sih? Kacau lo! Kecut bener bau lo. Rambut acak-acakan. Payah ah! Gara-gara cowok doang sampe sebegininya!" Ibay mencibirku. Dioni menyikut perut Ibay, memberi tanda untuk lebih menjaga ucapannya.

Benarkan? Tak ada guna mereka sok peduli dengan keadaanku. Mereka takkan mengerti.

Terserah lah apa kata mereka! Bukan aku yang minta di ajak pergi, mereka yang memaksa! Toh, baru 3 hari aku tidak mandi dan mengganti pelindung tubuhku. Baru 3 hari. Pergi ke tempat ini saja aku hanya mengenakan celana jeans ¾, kaos hitam kebesaran serta sandal jepit. Bukan mauku kan pergi kesini.

"Nyanyi dong, kangen nih denger suara lo..." Nadia menyodorkan mikrofon ke tanganku. Aku melemparnya ke atas sofa kemudian keluar ruangan.

Sialan, aku benci neraka ini!

Aku mencari balkon di tempat karaoke keluarga yang busuk ini. Mata-mata nyinyir memandangiku, mungkin orang gila terlepas pendapatnya tentangku. Perempuan bau dan lusuh yang berkeliaran seenaknya. Ya, memang aku gila karena kehilangan senyumku. Dan mereka tak kan pernah tahu rasanya jadi aku! Terus?!

Barry datang dalam hidupku bagai sebuah lagu yang ku dendangkan setiap hari. Lagu yang tokoh dan kisahnya menjadi impianku selama ini. Lagu yang menghantui doa-doaku. Ia menjadi awal aku merasakan hidup yang lebih hidup, dan di perlakukan layaknya manusia.

Tak ada yang percaya jika Barry melakukan ini padaku. Bukan aku yang salah! Bukan! Jelas bukan aku! Dan memang takkan ada yang percaya. Lebih manis mulut Barry daripada aku. Ia lebih pandai membuat orang mempercayai dan menyetujui pendapatnya.

Aku kalah, lemah...

Tlah ku berikan segalanya untuknya. Waktu, tenaga, pikiran, hati, dan hidupku telah ku kerahkan sepenuhnya.Hingga, keperawananku pun turut serta. Setelah ekspetasiku begitu tinggi tentangnya, semua terlihat jauh. Jauh dan terus menjauh hingga menghilang dari hidupku. Ia membawa semua itu pergi, lari tanpa permisi.

Aku tidak dapat tersenyum tanpa Barry. Sungguh.

Barry pasti tahu bahwa aku tak lagi dapat tersenyum, tertawa, dan bernyanyi kembali tanpa dirinya. Ia selalu tahu apapun tentangku. Hanya ia yang paling tahu aku.

Aku membutuhkan senyumku kembali, membutuhkan Barry kembali dalam pelukku. Ia harus mengembalikannya, bagaimanapun caranya!!!

***

Aku duduk di warung kopi dekat rumah Barry sore ini.

"Hey! Itu Barryku?" ucapku dalam hati. Pujaan hatiku kembali setelah seharian penuh aku duduk dan menunggu disini, kali ini aku dapat melihatnya kembali?!

Ia terlihat memasuki rumahnya. Aku tak boleh menyianyiakan kesempatan ini. Aku harus menemuinyasekarang juga!

Tanpa memutar berulang kali isi kepalaku, aku meluncur secepat kilat ke rumahnya. Aku telah mempersiapkan segalanya untuk hari ini, hari yang benar-benar ku tunggu sekian lama. Rindu ini tak dapat ku kendalikan.

Barry membuka pintu pagar, ia pasti seorang diri. Aku tak melihat siapapun keluar masuk ke sejak awal menunggu. Ini kesempatan permata untukku! Takkan ada yang menahan dan menghalangiku untuk menemuinya seperti yang sudah-sudah.

Aku mengenakan jegging biru tua, t-shirt hitam, jaket senada dengan tas selempang cokelat di bahu kanan.Sepatu boots biru tua bertengger di kaki serta ikatan kuda di rambut sebahuku. Aku juga menggunakan riasan yang pasti membuat Barry tak sanggup menolakku kembali. Aku yakin!

Aku siap menemui Barryku...

Aku buka tanpa permisi pintu cokelat rumah Barry. Kotak dengan sampul cokelat, ku letakkan di atas meja ruang tamunya.

Tak lupa, aku telah mengenakan pengharum tubuh kesukaan lelakiku. Ia selalu memuji dan tak pernah puas menghirup aroma tubuhku ketika aku mengenakannya.

Sebatang tembakau berbalut kertas putih ku bakar ujungnya. Rokok mild, yang belakangan ini ku hisap habis 4 bungkus per-hari.

Langkah kaki mulai terdengar datang mendekati posisi ku. Ini dia lelaki yang selama ini aku rindukan. Dan... Hmm, ia terlihat semakin tampan dan terawat dari terakhir kali aku melihatnya.

"Pe-Pe-Peri???" patahnya sambil mengunyah roti tawar. Ia berusaha menelannya dengan paksa setelah melihatku. Selai kacang, parutan keju, dan susu putih kental manis pasti berada di antara olahan gandum itu.

Dulu, ia selalu suka roti buatanku. Dan aku yakin, di meja makannya pasti ada kopi hitam yang ampasnya telah di saring tanpa gula.

"Emm.. Sejak kapan kamu ngerokok lagi?" tanya Barry setelah menelan roti sepenuhnya dan berdiri beberapa meter di sisiku. Ia pasti tak menyangka bahwa aku bisa menemuinya. Usahanya untuk terus sembunyi dariku sia-sia?

Aku memperhatikan tiap sentimeter gerakan yang tubuhnya buat. Dengan saksama menatapnya, tanpa menjawab semua pertanyaan yang ia lontarkan.

"Nga... Ngapain kamu kesini?". Ia terpatri.

Sayang... Mengapa kau terlihat takut akan kehadiranku? Apa sebegitu menakutkannya aku bagimu? Sebegitu bencinya kau padaku hingga tak lagi ingin mengenalku? Apa kau tak lagi merindukanku seperti ucapmu selama ini jika kita tak bertemu barang sehari?

Tak sadarkah engkau Barry? Aku mewarnai rambut dengan warna favoritmu, mengubah penampilan dan riasanku sesuai permintaanmu. Aku mengabulkan keinginanmu. Aku melakukan ini semua untukmu. Tak adakah sedikit pujian atas apa yang aku lakukan untukmu ini?

Aku mengarahkan telunjukku kearah bungkusan bersampul coklat di atas meja. Barry terlihat berusaha memperbaiki keadaannya yang nampak gugup. Begitu jelas ia berusaha membuat dirinya senyaman mungkin berada di dekatku.

Perlahan, Barry berjalan kemudian duduk di hadapanku.

Barry tercintaku kini duduk di hadapanku. Ia tak lagi membiarkan rambut halus tumbuh di bawah hidung, pipi,dan bibirnya. Ia tak lagi memelihara kumis dan janggut seperti yang ku pinta. Ia juga melepas tindikan di telinganya. Rambutnya, terpotong rapi dan klimis. Namun aku tetap mencintainya, walau ia bukan Barry ku yang berpenampilan sama seperti dahulu.

Kembali ku hisap tembakau yang singgah diantara telunjuk dan jari tengahku dalam-dalam.

Aku berhenti merokok ketika bertemu dengan Barry. Aku perokok aktif sejak kelas 3 SMP. Aku berhenti melakukan kebiasaanku hanya karena permintaannya.

"Apa ini?" tanyanya menyentuh bungkusanku. Aku mengarahkan bola mataku padanya, pada bungkusan itu, lalu padanya kembali. Mengisyaratkan bahwa aku ingin ia membukanya.

Barry meraih bungkusan itu, kemudian membuka sampulnya...

Aku membawa semua barang pemberian Barry padaku. Aku ingin dia mengingat semua kenangan manis tentang kami. Hal-hal yang membuatku jatuh cinta padanya, yang membuat ia semakin mencintaiku sejak awal pertama.

Bunga pemberiannya yang telah layu, sepatu pemberiannya, bungkus cokelat yang telah ku cuci agar tak mengundang semut, jaket pemberiannya, film favorit kami, dan semua barang yang membuat kami terlihat serasi dengan warna dan model yang sama.

Dahulu, Barry selalu membanggakanku di hadapan teman-teman dan keluarganya. Ia tak segan memujiku di depan orang lain. Ia memperlakukanku sesempurna mungkin, membuatku merasa berartinya untuknya.

Aku ingin Barry menjadi masa depanku, seperti impian kami dahulu. Barry harus mejadi milik Peri, selamanya...

Apa usahaku mempengaruhimu sayang? Apa semua hal ini membuatmu iba padaku dan menginginkanku kembali?

"Kembalilah senyumku, lelaki yang ku cintai ini telah berada di hadapanku. Lalu mengapa kau masih menahan diri? Apa yang salah? Apa yang masih kurang? Muncul lah senyum, muncul lah! Ku mohon..." ujarku dalam hati.

"Buat apa? Bawa pulang aja atau buang! Aku ga butuh semua ini di kembaliin..." Barry beranjak pergi meninggalkanku.

Aku tak bisa diam. Ini penantianku sejak lama. Aku berlari dan memeluknya dari belakang.

"Aku harus ke resto sekarang. Ada meeting penting. Kamu pulang! Aku ga mau liat kamu..." ucapnya nyaris tak terdengar.

"Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu ngilang? Kenapa kamu jauhin aku? Kenapa kamu ga panggil aku Ibu Peri lagi? Kenapa..." ucapku lirih.

"Udahlah! Kamu pulang aja..." jawabannya kali ini membuatku sedikit naik nada.

"Emangnya kenapa sih?! Kamu beneran ga mau ketemu sama aku lagi? Temenin aku sebentar aja disini. Aku masih kangen kamu...". Ku eratkan pelukanku.

"Sorry, aku ga bisa" ia berusaha melepaskan erat tanganku. Aku menahannya sekuat tenaga walau Barry terus mencoba.

Aku tahu, ia hanya tak ingin berbuat kasar padaku. Ia melakukannya selembut mungkin. Dia takkan mungkin berbuat kasar denganku.

"Resto kamu itu tetep bisa jalan tanpa kamu! Masa aku minta kamu temenin sebentar aja nggak mau?! Biasanya juga kamu rela kok ninggalin meeting bahkan ninggalin temen-temen kamu yang lagi mampir ke resto demi aku. Kenapa sekarang ga bisa? Kenapa sekarang udah ga mau?!!!" aku menaikkan nada bicaraku lagi.

"Gue ga bisa!" ia menarik paksa tanganku hingga terlepas dari tangannya, membuatku sedikit bergeser hampir jatuh. Ia berjalan memasuki kamarnya.

Kamu, mulai kasar ya sayang...

Aku mengambil tas yang ku bawa di bangku kemudian berjalan menyusulnya.

Barry mengambil handphone dari saku celana dan berusaha menghubungi seseorang. Ia terlihat kesal dan mencaci maki benda mati yang tiba-tiba terdengar habis daya.

"Barry..." aku berjalan semakin dekat dan kini berada tepat di belakangnya.

"Lo itu kenapa sih?!" ia membalikkan badan.

Aku meraih tangan kanannya seraya menggoreskan pisau daging bawaan dari tasku. Tangan itu menjatuhkanhandphone milik Barry.

Lelakiku mengaduh, melihat darah keluar dari pergelangan tangannya.

Ku lepaskan tangannya dari genggamanku.

"Loh? Kenapa? Emangnya aku kenapa sih sayang?" tanyaku menunjukkan senyum terbaikku. Ahh! Akhirnya tarikan di kedua sudut bibirku dapat merekah kembali!

Aku mengayunkan pisau ditanganku ke arahnya lagi hingga ia mengambil jarak beberapa langkah.

Dengan giat, aku menebaskan pisau hingga lengannya tergores untuk yang kedua kalinya. Ia melihat goresan buatanku dan aku masih memainkan pisauku yang mengenai sisi lengan Barry yang lain.

Barry mundur beberapa langkah dengan tergesa-gesa hingga ia terjatuh.

"Kamu kenapa ngejauh dari aku sih sayang? Aku tuh nyariin kamu terus kemana-kemana. Aku bener-bener butuh kamu. Dan aku dateng kesini cuma buat kamu sayang. Kamu pasti kangen aku kan? Hampir 5 bulan loh kita ga ketemu. Kamu kan ga bisa ga ada aku" tuturku.

Orang yang ku cintai selama ini terlihat takut padaku. Mengapa ia memandangiku semiris seperti itu?

Aku menyentuh pipinya dengan pisau ditangan, tempat dimana bibirku sering bersarang disana. Pipi itu kini berwarna merah, semakin tampan kesayanganku. Darah itu dapat menggantikan bulu halus yang ku suka sebelumnya di pipi Barry.

Pisau kembali menagih aksi. Aku memisahkan telinga kiri Barry dari kepalanya. Tak boleh ada yang bersuara untuknya selain aku! Aku tak rela ada suara lain yang memasuki tubuhnya.

Barry berteriak kencang. Aku memasukkan telinga kirinya ke dalam saku celana ku, just in case jika aku merindukannya suatu saat nanti.

Aku bersiap menghunuskan pisau ke perutnya namun ia menendang perutku cukup kuat hingga aku terjatuh ke belakang.

Barry tergopoh-gopoh naik ke lantai 2 sambil memegangi kepala.

Sayangku ingin bermain rupanya...

Aku mengambil sisir dari tasku. Aku takut tataan rambut tak karuan. Dasar Barry, ia tak menghargai usahaku pada rambutku ini. Aku merapihkan kembali ikatan rambutku sambil berjalan menyusulnya.

"Barry..." lirihku.

Aku mencari keberadaan lelaki ini. Mudah saja, aku hanya perlu menghirup aroma darah dan mengikuti bercak merah di lantai. Aku terus memanggil namanya.

Tetiba, Barry datang dan memelukku dari belakang. Tapi rasanya bukan sebuah pelukan yang manis. Ia menekani perutku dengan tangannya hingga aku tersedak. Aku mengayunkan kaki ke segala arah, menggeliat untukmelepaskan diri.

Syukurlah, basic Tae Kwon Do yang pernah ku jalani ketika SMA masih bisa terpakai hingga setua ini. Barry dan aku terjatuh bersama setelah tendanganku mengenai dinding di hadapanku.

Ku rasa, Barry tak lagi boleh memiliki telinga. Seperti yang ku katakan, aku tak ingin ia mendengar suara lain selain suaraku. Aku menginginkan telinga kanannya pula dan aku harus mendapatkannya!

Kami beradu tenaga.

Aku tak sabar menanti, siapa yang dapat mempertahankan atau mengambil alih pisau ditanganku ini? Aku atau Barry?

Aku menyikut perut Barry dengan siku berkali-kali. Ia mengeluarkan darah dari mulutnya, terbatuk-batuk. Astaga! Ia terlihat semakin tampan dengan keadaannya sekarang.

Ku rasa, aku kembali terpesona.

Aku dapat mendengar nyanyian merdu keluar dari bibir yang menagih minta di kecup itu. Dan gerakan tubuh itu, gerakan tubuh yang begitu seksi dimataku.

Dapat ku rasakan detak jantungnya. Detak jantung yang begitu memburu. Peluhnya menetes, aroma tubuh yang menggiurkan tersebar.

Sayang, aku ingin kamu mengembalikan senyumku. Sederhana kan?

Barry bergerak sekuat tenaga, ia mencoba merenggut pisau di tanganku. Aku cukup tangguh untuk ukuran seorang perempuan kan? Ya, aku terlatih berkelahi. Hanya tak terlatih patah hati. Sebab itu, aku ingin ia kembali.

Aku terjatuh dari atas tubuhnya. Pisau di tanganku terlempar dan jatuh di sisi yang lebih dekat Barry. Aku merayap di atas tubuh berlumuran darah dan Barry tetap mencoba meraih pisau incaran kami.

Ku celupkan kuku runcingku di tempat sebelumnya telinga itu. Ia bersuara cukup kuat serta mendorong tubuhku kuat-kuat.

Duh! Aku kembali terlempar. Barry mengambil benda tajam incaran kami.

"Kamu, keterlaluan!" bisikku. Aku berdiri kemudian melompat kearahnya.

"Enak sayang?" ucapku yang di iringi kecupan di keningnya.

Aku melompat-lompat di atas tangannya yang tergelepar. Aku ingin tangan ini hancur hingga tak ada yang bisa merasakan dekapannya selain aku.

Melihat lelakiku menggeliat, tertawa, tersenyum, dan berpeluh merah seperti ini membuat adrenalinku meningkat drastis. Aku tak pernah merasakannya sehebat ini.

Ia begitu amat menggairahkan.

Barry masih terus tertawa. Ya, aku rindu nyanyian darinya untukku. Menyanyilah sayangku, menyanyilah... Menyanyilah kembali untukku. Hiburlah aku yang patah hati berbulan-bulan ini...

"Kamu inget? Dulu kamu selalu bilang, kalo kamu ga akan ninggalin aku. Aku tau kamu lelaki sejati, bukancuma seorang pengecut. Dan lelaki sejati itu, selalu nepatin janji sayang..." ujarku lembut menatap iba padanya.

"Gila!!". Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.

"Apa kamu bilang?!" tanyaku menegaskan. Mungkin aku salah dengar kan? Mana mungkin lelaki yang ku cintai ini mengatakan aku gila? Ia tak mungkin sama seperti keluarga yang membuangku.

"GILAAAA!!!" teriaknya. Aku tertawa. Ku lepaskan kakiku dari tangannya kemudian bersendekuh di sisinya. Ku biarkan Barry beranjak dan meraih pisau dengan tangan kirinya. Ia menempatkan pisau tepat di depan wajahku.

Aku meratapi wajah polosnya malam ini.

"Mau lo apa sih?! Duit? Gue kasih! Lo mau berapa? Sebut! Gue cuma mau lo pergi dari hidup gue. Udah! Gue ga mau ketemu orang kayak lo lagi" ucapnya. Aku melihat tangan kanannya yang menari. Tangan itu bergerak tanpa tumpuan yang pasti. Telah patah rupanya.

"Aku cuma minta, balikin semuanya!" tuturku lembut.

"Hah?".

"Senyum aku, hati aku, hidup aku, semuanya!". Mendengar jawabanku, Barry terdiam. Wajahnya terlihat bingung.

Aku menepis tangan Barry yang nyaris patah di hadapanku hingga pisauku terjatuh. Aku menggenggam tangan patah yang biasa menjadi sandaranku ketika bermanja dahulu, lalu memutarnya hingga tulang dari sikunya terlihatkeluar.

Mmmmh, bentuknya menggemaskan sekali sih! Ia terlihat semakin gagah!

"ANJJJJ!!!" ia tak menyelesaikan jeritnya. Memilih berjalan mundur, dan merasakan tangannya yang patah dengan sempurna. Andai tak ada kulit dan daging, tangan itu mungkin sudah teronggok jatuh ke lantai.

Aku sengaja menendang pisau dagingku ke arahnya. Mungkin sayangku masih rindu bermain-main. Dengan tangan kanan seadanya, Barry kembali mengarahkan pisau ke wajahku.

"Kamu masih cinta sama aku kan Barry? Inget? You're my everything sayang..." tanyaku.

Aku membenahi pakaianku. Aku harus tetap terlihat cantik di hadapannya.

"Kamu liat deh, aku ngerubah diri aku sesuai keinginan kamu. Semua demi kamu... Aku masih sayang banget sama kamu Barry, aku butuh kamu. Tolong jangan tinggalin aku kayak kemaren ya..." aku mengemis padanya untuk yang kesekian kali.

"Pergi!!!" tangan Barry bergetar menggenggam pisau yang tak sanggup ia tahan lebih lama.

"GAK! Aku ga akan pergi sebelum kamu balikin semuanya!" jawabku tegas.

Aku dapat melihat kegelisahan menyelimuti diri kekasihku itu. Apa yang terjadi? Mengapa ia terlihat segelisah itu? Aku kan hanya bertanya dan meminta, ia hanya perlu jawab "Iya sayang".

Dengan sisa tenaga dari tangannya, ia membuka laci yang berada tak jauh darinya. Ia mengacak-acak isinya kemudian menarik salah satu amplop, lalu memberikannya padaku.

Aku meraih pemberian Barry dan membukanya.

Sialan! Siapa yang memberikan Salinan hasil test kejiwaanku beberapa tahun lalu pada Barry? Aku tidak sakit! Aku waras! bukan psychopath! Bukan!!!

"Gue ninggalin lo karena itu! Bukan karena cewek lain. Tolong, jangan ganggu gue lagi. Gue janji, gue ga akan bilang siapa-siapa soal kejadian ini" ujarnya menjelaskan.

Aku meremukkan kertas tersebut penuh amarah.

"Kamu pasti dapet dari ibu aku kan? Kamu denger ya! Bukan salah aku ngebunuh ayah sama Nisa! Ayah ingkar janji. Dulu, sebelum ngangkat Nisa jadi adek aku, dia bilang aku segalanya buat dia. Tapi nyatanya? Dia lebih sayang sama Nisa daripada aku! Dia ingkar janji sama aku! Waktu aku cerita temen-temen aku yang kecelakaan mobil 2 tahun lalu, inget? Mereka semua itu pembohong! Mereka ga selalu bener-bener ada buat aku kayak janji mereka. Aku sengaja bikin mereka semua mati! Produser yang bawa duit aku kabur dan mati dirumahnya, kamu kira karena apa? Sahabat kamu, yang tiba-tiba ngilang pas janjian sama kita padahal kita nunggu dia berjam-jam sampe kamu sakit karena ujan-ujanan, besoknya mati kan? Itu karena mereka semua pembohong! Aku paling benci sama sesuatu yang ga sesuai sama ekspetasi aku. Aku benci sama orang yang ga nepatin janji. Dan sekarang... Kamu juga bohong sama aku kan? Mana? Aku segalanya? Ga bisa hidup tanpa aku? Ga akan ninggalin aku? Mana Bar? Mana?!" ucapku tanpa jeda.

Barry membuatku murka kali ini. Ia dan keluargaku tak ada bedanya.

Usaha ibu dan mereka yang memasukkanku ke penjara anak kecil dulu sia-sia. Kini aku kembali, menjadi diriku sendiri.

"Aaarggggghhhh! MATIII LOOOO!!!" Barry berlari ke arahku dengan pisau di tangannya.

Aku melemparkan vas bunga di samping televisi kearah Barry. Memang, tak sia-sia bakat terpendamku. Vas itu beradu dengan kepala Barry.

Priaku jatuh dan tidur di lantai.

***

Aku masuk ke dalam mobilku dan mengambil kotak penyimpanan hasil pancing dengan banyak batu es di dalamnya.

Semuanya benar-benar telah ku persiapkan bukan?

Aku meletakkan kedua telinga Barry di sana. Ia harus menepati janjinya untuk tidak mendengar suara lain selain suaraku! Ia sering mengucapkannya dahulu dan selalu berhasil membuatku berbunga-bunga.

Dua bola mata Barry juga ku letakkan. Ayolah... Lelaki sejati itu harus menepati janjinya. Termasuk untuk tidak melihat wanita manapun selain aku kan?

Bibir yang sering menyundut wajahku dengan bara asmaranya ini pun turut serta. Bibir yang manis dan menagih minta di kecup ini membuatku mudah bergairah.

Dan hal terakhir sebelum ku tutup kotak ini, hati dan jantung Barry.

Aku menarik kedua sudut bibirku. Ya, kini aku telah mendapatkan senyumku kembali dengan sempurna.

Terima kasih, sayangku! .

***

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

28.4K 2.7K 7
{OCEAN SERIES 4} Stefano de Luciano Oćean, pria berkuasa yang memiliki segalanya. Darah seorang Oćean yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya tumbuh...
383K 25.9K 36
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...
7.4M 544K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...