Bye My First

By hon3ybush

19.8K 2.2K 366

Donghyuck benci Mark Lee. Dia punya senyum yang aneh, suka menyendiri di kamar dengan Max--pomeranian kesayan... More

I. Last Christmas
II. Get Over It
III. BFG and Matilda
IV. Graduation
V. Jeno dan Jaemin
VI. Mark si Singa Kecil dan Teman-temannya
VII. New Space, Still on the Same Page
VIII. Jeno dan Jaemin 2
X. Last Christmas (Two Years Ago)
XI. Jeno dan Jaemin: Start!
XII. Dog Days are Over (Part 1)
XIII. Dog Days are Over (Part 2)
XIV. A Letter
XV. Before Christmas
XVI. This Christmas
A Mark on History (Part 1)

IX. Date

885 109 30
By hon3ybush

Donghyuck pikir, setelah seseorang menyatakan perasaan suka dan disambut baik, mereka akan menjadi sepasang kekasih yang didambakan orang banyak.

Tapi pada kenyataannya, dia tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan setelah Mark bilang suka.

Apakah menjadi kekasih tidak terlalu cepat? Memangnya Mark ingin agar mereka menjalin hubungan?

Siapa sangka, di usia tujuh belas dia sudah bisa memikirkan hal-hal seperti ini. Donghyuck jadi bangga sendiri.

Karena tidak memiliki banyak teman dekat, pilihan Donghyuck bercerita hanya pada Renjun atau Jeno. Jaemin tidak masuk dalam daftar, sebab anak itu terlalu dekat dengan Mark.

Namun kalau diingat lagi, Renjun pernah memiliki rasa suka untuk Mark, Donghyuck tidak mau sampai dikira tengah menyombongkan diri. Jadi, dia berakhir pada teman bangku pertamanya ketika sampai di Seoul.

Donghyuck menceritakan semua, tidak ada sedikit pun yang terlewat. Termasuk pemikiran bagaimana ia bisa memilih Jeno sebagai tempat bercerita.

Jeno? Dia hanya menyesal karena dulu pernah seberisik ini saat perasaan sukanya pada Jaemin tengah menggebu-gebu.

Namun keduanya tidak pernah menyangka, kalau keakraban mereka menjadi masalah baru.

Donghyuck selalu bertemu Jeno tiap kali pulang kencan bersama Mark. Membatalkan acara temannya itu dengan Jaemin. Yang tidak pernah ia sangka terlihat mencurigakan di mata orang lain.

Tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Jaemin, tidak tahu prasangka yang muncul dalam benak teman Jeno itu. Dia bahkan tidak ada ide sedikit pun apa yang Jaemin sampaikan dan diskusikan dengan Mark, sehingga orang yang disukainya tiba-tiba saja menjauh.

Menghindar tanpa penjelasan. Terlihat begitu jelas rasa tidak nyaman ketika ia harus berada dalam satu ruangan, juga berbicara dengan Donghyuck.

Karena tidak pernah menyukai seseorang sebegini dalamnya, Donghyuck tidak ragu-ragu saat menghampiri Mark di apartemen anak itu. Tidak suka pada keadaan mereka yang luar biasa aneh. Bukankah dua minggu terakhir ini mereka menghabiskan waktu dengan berkencan? Lalu, tiba-tiba saja Mark berusaha untuk tidak menampakkan wajah di depan Donghyuck?

"Hyung, sebenarnya kenapa?" dia bertanya lagi, untuk yang ketiga kali setelah mendapat jawaban yang sama dari Mark.

Sementara Mark Lee, setelah dipojokkan di kamarnya sendiri, memutuskan untuk jujur. "So, Donghyuck, to be honest, I thought--, aku menyadari kalau semenjak aku bilang suka, kau jadi lebih sering menghabiskan waktu dengan Jeno."

Wajah lelaki itu kesal, namun juga ada rasa malu. Mungkin dia merasa konyol pada pemikirannya setelah terucap di bibir.

Donghyuck yang tidak tahu letak keanehannya mengangguk setuju. "Ya. Lalu?"

Mark menghela napas, dia menunduk. "Do, do you..., apa kau menyukai Lee Jeno?"

"Hah?!"

Wajah itu terangkat, menatap lemah pada Donghyuck. "Tiap kali kita pulang kencan, kau pergi ke rumahnya. Apa kau merasa terpaksa dengan ajakanku?"

Donghyuck limbung, segera mendudukkan dirinya pada kursi komputer di samping ranjang Mark. "Tunggu. Tunggu. Maksud Hyung, kencan yang kemarin-kemarin itu terjadi karena aku terpaksa?"

Mark tidak bisa menjawabnya. Mungkin tengah merefleksikan pertanyaan Donghyuck dengan kencan-kencan mereka.

"Dan kau bilang tadi, aku suka Jeno?"

Donghyuck berdiri, tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Tidak mengerti kenapa Mark bisa sampai mengambil kesimpulan konyol begitu.

"Tidakkah kau malu pada Jeno?" dia hanya meninggalkan pertanyaan tersebut sebelum keluar dari kamar Mark.

...

Yah, mungkin pertanyaan itu tersampaikan dengan konteks berbeda dari apa yang Donghyuck maksud. Mark tengah meragukan mereka, lalu dia menyebut nama Jeno. Entahlah.

Dia masih tujuh belas tahun. Bahkan pada diri sendiri saja, Donghyuck belum mengerti sepenuhnya. Bagaimana bisa ia mengerti harus seperti apa--

"Harus," Donghyuck memukul kepala boneka di cengkramannya, "bagaimana sampai masuk ke," dia pukul lagi, "ke dalam kepala besarnya itu, huh?!"

"Sudah, sudah." Jeno mengambil boneka pemberian Jaemin dari kelas tujuh, yang sekarang hanya menjadi pemanis di kamar monokromnya. "Kalau sampai kepalanya lepas, Jaemin bisa membunuhku."

"Oh, ya?" Donghyuck mendengus. "Jen, kau bilang Jaemin juga menjauhimu, 'kan? Bisa jadi karena mereka menyetujui kesimpulan konyol mengenai kita."

"Ah...." Jeno seolah baru dibangunkan, sadar kenapa Jaemin juga ikut menjauhi seperti Mark pada Donghyuck. Dia pikir hanya karena Jaemin kesal pada Donghyuck. Bagaimanapun Mark itu kakak kesayangan orang yang ia sukai.

"Jadi..., mereka bercerita soal kita yang selalu menginap bersama, begitu?"

"Kau sudah berapa kali membatalkan janji dengan anak itu demi aku, benar?"

"Iya." Sepasang bola mata Jeno bergerak-gerak gelisah. "Oh," dia mendesah kecewa, "aku tidak menyangka dia bisa berpikiran seperti itu."

Donghyuck sedih dan kesal, tapi dia mengusap-usap kepala Jeno penuh kasih sayang. Tersenyum lebar, menghibur temannya. "Tapi, kita jadi tahu satu hal, bukan?"

"Apa?" Jeno mungkin peringkat satu di angkatan mereka, tapi dia cukup lemah dalam memahami keadaan sekitar. Seperti Mark.

"Kalau Jaemin membalas perasaanmu."

...

Oh. Oh, betapa Donghyuck ingin meminta maaf ribuan kali pada Lee Jeno.

Atau ingin merendamkan tubuh Jaemin ke dalam bak penuh es batu.

Keduanya sama saja.

Sebab dia telah menggerakkan sesuatu di antara kedua lelaki itu dan menyebabkan kekacauan kecil.

Jeno, yang awalnya sempat berkecil hati pada seluruh pengalaman bagai roller coaster bersama Jaemin, kembali memiliki harapan untuk mengungkapkan perasaan sejak lama miliknya.

Sementara Jaemin.... Jaemin dan seluruh ketakutan anak itu.

"Dia diam. Aku pulang. Lalu, kami tidak pernah membahas mengenai kejadian itu lagi," ungkap Jeno setelah seminggu bungkam.

Donghyuck baru saja menjadi kekasih Mark. Bayangkan setakut apa dirinya?!

Dia berlari ke rumah Mark setelah Jeno pulang. Masuk tanpa peduli pada kalimat sindiran dari Ten, menemui Mark dalam posisi yang biasa ia temui hampir tiap hari.

Duduk di lantai, bermain gitar, anjingnya Max tidur di samping lelaki itu.

"Lho, Hyuck?"

Donghyuck memeluk erat, berusaha merasakan hangat tubuh Mark. Max yang terbangun menggonggong kecil, menarik-narik baju Donghyuck meminta perhatian.

"Ada apa? Bukankah Jeno ke rumah?"

Setelah menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka, Mark mengumpulkan keberanian untuk meresmikan hubungan keduanya. Dia mengakui bahwa keraguan muncul begitu saja, melupakan fakta bahwa Jeno sudah sepenuhnya dalam genggaman Jaemin. Melupakan kalau tiap hari sejak kelas sepuluh, Donghyuck repot-repot menghampiri ke rumah hanya agar mereka bisa mengobrol sampai malam. Atau bertengkar konyol, yang kadang membuat keluarga Mark harus secara halus memulangkan Donghyuck kembali.

"Dia sudah pulang. Kau mau tahu tidak, kenapa dia jarang terlihat selama seminggu ini?"

"Kenapa?" Mark mengganti posisi duduk menjadi bersandar di badan ranjang, memangku tubuh Donghyuck. Tangannya berada di kedua sisi pinggang sang kekasih.

"Jeno bilang suka ke Jaemin."

"What?!" Lelaki itu berhenti mengusap-usap pinggang Donghyuck, terlihat tidak percaya.

"Oh," lalu dia tersadar, "Jaemin menjawab apa?"

Gemas, Donghyuck mengecup bibir kekasihnya penuh. Tiba-tiba saja rasa rindu meluap.

"Dia tidak bilang apa-apa." Gantian, Mark yang mendekat untuk mempertemukan bibir mereka.

Kurang ajar sekali, membicarakan kemalangan kisah kasih kedua teman mereka sambil bertukar ciuman. Tapi, Donghyuck tidak bisa melepaskan dirinya. Tidak bisa melepaskan Mark.

"I love you," bisikan lirih keluar dari bibir Donghyuck. Tangannya yang melingkar di leher Mark meraih tubuh lelaki itu, memeluk lebih erat--bila memang bisa. Dia tidak pernah merasakan perasaan aneh ini. Kegelisahan bersama dengan rasa bahagia dan hangat.

"I love you too."

.

.

.

Mark bukan lagi kekasihnya, bukan juga teman akrab.

Donghyuck tidak lagi bisa pergi ke rumah Mark kapan pun ia mau. Mengirim chat saat bosan. Menatap wajah pria itu terlalu lama.

Mungkin yang terakhir bisa, bila dilakukan sembunyi-sembunyi.

Seperti sekarang, di dalam lift. Dia memandang pantulan sosok mantan kekasihnya dari pintu besi lift, hanya pucuk kepala yang tengah menunduk, fokus pada ponsel di tangan. Dia berdiri di belakang tubuh Donghyuck, tas besar masih menggantung di punggung. Wajah pria itu terlihat sama lelahnya seperti beberapa minggu lalu ketika mereka bertemu di apartemen Jeno dan Jaemin.

Lucu sekali. Setelah berakhir, siklus hubungan mereka menjadi seperti dua orang asing yang dipaksa bersatu.

Teman atau keluarga yang kebetulan mengenal keduanya mengadakan sebuah pertemuan, lalu mereka bertemu lagi setelah sekian lama tidak bertatap muka. Namun karena terlalu asing dan mengenal hanya lewat cerita dari teman, terjadi kesalahpahaman. Berselisih, kemudian tidak bertemu untuk waktu yang lama sampai kembali pada tahap pertama.

"Kau bawa buah?" Mark bertanya, setelah mereka diam sepanjang perjalanan dari lobi sampai kini berada di lantai sepuluh. Mungkin pria itu benar-benar sibuk dengan urusan kuliahnya.

"Ya. Aku... merasa bersalah dengan Jaemin."

Memasang wajah tidak mengerti, Mark menunggu penjelasan. Tapi Donghyuck hanya berdehem, lalu keluar dari lift.

"Mau apa kau kemari?" Jaemin segera menyerangnya menggunakan nada ketus.

Padahal, dia baru membuka pintu! Benar-benar keterlaluan. Anak pertama di keluarga memang tidak akan bisa akur dengan anak tunggal.

"Aku membawakan buah." Donghyuck mengabaikan tatapan tajam dari Jaemin, menaruh keranjang buah di meja nakas. Lalu, dia duduk di samping Renjun.

"Wah, kalian datang berdua?" Anak itu kelihatan cerah, seperti mendapat kabar bahagia.

"Bertemu di lobi," Donghyuck menjawab singkat.

"Lho, Jeno sudah pulang atau bagaimana?" Mark mencoba mengalihkan pembicaraan. Jaemin terlihat segera memalingkan wajah, menatap pemandangan langit di luar jendela.

"Dia cuma mengantarkan baju ganti untuk Jaemin tadi pagi."

"Kau ada masalah dengan Jeno, ya?" Ini hanya dugaan, tapi Mark sudah berkali-kali melihat bagaimana dinamika Jeno dan Jaemin saat mereka sedang bertengkar.

Jaemin seketika menatap Mark, kelihatan sudah menunggu pertanyaan tersebut sejak tadi. "Ya! Kalau kau mau tahu kenapa, tanya saja mantanmu itu!"

Donghyuck yang tidak terima, berdiri dari duduknya. "Kau selalu mengataiku kekanak-kanakan, tapi kau ini jauh lebih parah, Na Jaemin!"

"Ya, ya," Renjun segera menengahi, "ini rumah sakit."

"Biar saja. Aku sudah duga dia akan menyalahkanku! Karena dia terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya, sebab itu dia mencari pihak ketiga untuk-"

"Selain berkencan dengan Jeno kemarin, kalian melakukan apa saja?" Jaemin menyelak, kedua lengan mendekap di depan dada.

Mark yang sudah ingin keluar dari sana, diam mengamati wajah Donghyuck. Renjun ikut menunggu, tidak tahu sama sekali mengenai cerita ini.

"Aku? Aku jalan-jalan seharian dengannya. Kenapa? Kau iri? Bukankah kau memiliki teman kencan?"

Jaemin kelihatan ingin menangis, tapi dia tidak pernah menangis sedikit pun di depan mereka semua! Hanya Jeno yang pernah melihat kejadian langka tersebut, itu saja karena tidak sengaja. Harga dirinya terlalu tinggi untuk menangis di depan orang lain.

"Waktu kelas dua..., sebelum kau berpacaran dengan Mark, ingat tidak? Saat itu kau meyakinkan kita semua, setengah mati, kalau kau tidak akan menyukai Jeno. Tidak akan memandangnya lebih dari seorang saudara."

Donghyuck menjambak rambutnya kasar, tidak sanggup menghadapi seorang Na Jaemin. Kapasitas mentalnya tidak seluas itu. Dia ingin memaki-maki lelaki di hadapannya ini, tapi kemudian, apa?

"Jaem, aku kencan dengan Jeno bukan urusanmu. Bukan urusan siapa pun. Saat kelas dua waktu itu, karena sikap anehmu, aku meyakinkan Jeno. Kita berdua memberi anak itu harapan bahwa kau membalas perasaannya. Tapi kau sama sekali tidak melakukan apa pun, jadi jangan pernah ungkit lagi masa lalu."

Dia menghela napas, ingin segera sampai rumah dan tidur. "Kau mau tahu cerita sebenarnya? Kami pergi menonton seperti biasa, bermain game, mengobrol seperti biasa. Aku hanya menyebut jalan-jalan kemarin dengan kencan karena kami pikir dengan begitu akan ada yang berbeda."

Donghyuck melirik sekilas ke arah Mark. "Tidak. Tidak ada yang berbeda."

Dia pamit pulang setengah berbisik, lalu pergi dari sana secepat mungkin.

...

"Mau pulang bersama?" Mark muncul di sampingnya, terengah-engah.

Donghyuck tidak mengerti apa yang dipikirkan pria itu. "Oke," dia menjawab singkat. Kemudian mereka bungkam selama perjalanan menuju halte bus, meski Mark terlihat begitu ingin menanyakan sesuatu.

"Aku sedang patah hati, Hyuck." Pria itu membuka suara, wajahnya terlihat merana.

Donghyuck terkejut, seperti tidak menduga kalau hal ini yang pertama kali keluar dari mulut Mark setelah lama tidak bertemu. Dia menggigit bibir, menahan untuk tidak menarik keras-keras rambut hitam legam pria itu. Tega sekali! Dia baru saja bermasalah dengan Jaemin.

"Oh, oke?" Sumpah, Donghyuck tidak tahu harus menjawab apa!

"Kau tahu tidak?" Mark menatapnya, dan ia menahan diri untuk tidak berteriak 'Tidak dan tidak mau tahu!' secara lantang di depan wajah tampan itu. "Aku kemarin menulis ringkasan untuk klub literatur, lalu salah satu anggota klub mengataiku karena aku tidak tahu bahwa Roald Dahl itu punya antisemitisme yang parah? Ugh!"

Donghyuck diam, langkahnya berhenti. Kemarahan yang meletup-letup di dalam dada menguap, lalu berganti menjadi sebuah tawa. Dia lega, meski mendapat tatapan tajam dari Mark.

"Hyuck, aku serius!"

"Iya, Mark. Iya." Donghyuck mengusap-usap rambutnya, seperti yang dulu selalu dia lakukan saat tengah menggoda Mark sebelum mereka menjadi kekasih.

Mark menepis tangannya, masih kesal sebab idola sejak kecil dirusak begitu saja.

"Lalu? Kau bilang apa pada dia?"

"Aku mana tahu! Kubilang begitu. Aku juga tidak pernah peduli dengan masa lalu Roald Dahl. Maksudku, iya, sekarang aku peduli. Tapi, cerita-ceritanya adalah memori masa kecilku. Memangnya saat usia lima tahun, aku bertanya apa penulis cerita Matilda itu seorang rasis?"

Cute. Donghyuck menahan tawa, dia hanya tersenyum menenangkan.

Tiba-tiba saja ingatan memutar hari di mana mereka baru pulang berkencan. Mungkin itu kencan kelima atau keenam, menonton film reboot dari serial pahlawan jaman dahulu. Selesai menonton, Mark seperti biasa mengoceh soal kesukaan masa kecilnya yang dirusak oleh kapitalisme.

"Harusnya bukan seperti itu, Hyuck! Aku tidak bisa bayangkan akan seperti apa mereka yang tidak menonton kartun atau membaca komiknya! Kau lihat Halloween kemarin? Anak-anak di sekolah yang berpacaran memakai kostum Harley dan Joker. Muak sekali." Mark mengatakannya dalam satu tarikan napas.

Saat itu Donghyuck mengatakan 'cute' tanpa ragu. Mereka sedang masa pendekatan, sudah berkencan juga bertukar ciuman lebih dari sekali. Rasanya tidak salah bila dia memuji kesungguhan Mark membela kegemarannya.

Sekarang? Dia hanya tersenyum-senyum. Merasa lebih baik dari saat mereka berada di rumah sakit.

"Biarkan saja Roald Dahl mengatakan sesuatu yang buruk. Paling tidak, Matilda bukan seperti penciptanya."

Mark diam, mencerna kalimat tersebut sampai ekspresi pria itu berubah. Seperti matahari pagi. Dia mengangguk senang.

"Tapi memang," Donghyuck menambahkan menggunakan nada menggoda, "Dr. Seuss lebih baik."

"Yaaa, Lee Donghyuck," Mark merengek, sudah cukup patah hatinya hari ini.

...

Donghyuck tidak mengerti. Sejak pertemuan bersama Mark di restoran, setelah empat bulan berpisah, sikap mantannya itu seperti remaja labil yang mengalami pubertas. Padahal saat sebelum berhubungan dan Donghyuck gemar mengganggunya, dia tidak memberikan reaksi berlebihan, lebih banyak menggerutu di belakang. Setelah putus, pria itu jadi berbicara seenaknya. Tidak peduli soal usia yang lebih tua, Mark terlihat tidak mau kalah.

Seperti di Sabtu pagi ini, dia datang dengan senyum cerah dan aroma makanan. Donghyuck yang setengah mengantuk, membiarkan lelaki itu masuk ke dalam rumah. Dia menaruh tas berisi tiga kotak makanan buatan ibunya di atas meja makan.

"Untuk keluargamu," kata Mark. Donghyuck mengangguk.

Dia memutar badan, berniat kembali ke dalam kamar.

"Jangan berisik, oke? Mamaku pulang telat kemarin."

Biasanya, meski mereka sudah berpacaran, Mark harus mengalah dari jadwal bermain game milik Donghyuck di malam Jumat. Akibatnya, dia harus menunggu sang kekasih menikmati tidur sampai sore hari sebelum mereka bisa berkencan. Di saat seperti itu, Mark menghabiskan waktu di rumah keluarga Lee tanpa merasa seperti seorang tamu.

Dia membantu adik-adik Donghyuck mengerjakan tugas, menemani mereka bermain, atau mengobrol dengan ibu lelaki itu sambil menonton acara TV.

Donghyuck terbangun dari mati suri-nya sekitar jam tiga atau empat sore. Kadang pula Mark yang memaksa agar sang kekasih bangun. Menciumi permukaan wajah Donghyuck, menggelitikinya, menarik-narik tubuhnya.

Di banyak waktu, anak itu terbangun sambil mengeluh, lalu mandi, dan mereka berkencan sampai malam. Namun beberapa kali Mark mengalah, ikut tidur di samping Donghyuck, meski dia sudah rapi dan wangi.

Kalau sekarang, Mark hanya terpaku di ruang tengah.

Donghyuck yang sudah bergelung di balik selimut, tersenyum-senyum menikmati bayangan tidur sampai sore, kembali membuka mata.

DIa juga tidak sebodoh itu. Dia bukan tipe yang tidak peka akan keadaan.

Menggeram kesal, Donghyuck menendang selimut jauh-jauh. Dia menemui Mark yang sekarang duduk di sofa, tengah menonton video di ponselnya.

"Ada perlu apa ke sini?" tanya Donghyuck singkat. Dia ingin segera berpamitan dengan pria itu, lalu kembali tidur.

"Ah," Mark mendongak, menatap wajah si pemilik rumah, "aku ingin mengajakmu pergi."

"Hah? Ke mana?"

"Ada pameran tanaman bagus sekali, lho. Kemarin anak-anak ke sana."

Dulu Renjun tidak pernah suka kalau Mark menyebut dia dengan 'anak-anak' pada Donghyuck. "Kita ini bukan anak kalian berdua, ya!"

Mark mungkin cocok sebagai sosok ayah di grup pertemanan mereka, tapi tidak dengan Donghyuck.

"Lalu, kau tidak ikut?"

"Ah, Jeno hanya mengajak Jaemin. Dia masih mencoba merayu Jaem agar mereka bisa merawat tanaman, kebetulan Renjun sedang berkencan dengan Jaem. Lagipula, saat itu aku masih ada kelas."

Sebab kejadian 'kencan' Jeno dan Donghyuck, Jaemin memakai kata 'kencan' seenaknya, seperti balas dendam. Renjun juga menggunakan kata itu untuk menggoda teman-temannya. Sekarang kata tersebut sudah berubah makna di antara mereka berlima.

"Jadi, bagaimana? Kau tidak ada acara hari ini, 'kan?"

"Ada," Donghyuck menjawab asal. Dia duduk di sebelah Mark tak acuh, menyandarkan kepala di bantalan sofa.

"Ke?"

"Ke tempat tidurku, sampai besok pagi."

Sejak putus, Donghyuck tidak lagi peduli pada jadwal tidurnya. Tidak harus berkencan tiap Sabtu, tidak harus mandi, tidak harus bingung memakai baju apa.

Tadi saja dia baru tidur sekitar jam lima pagi.

"Jangan terlalu sering tidur pagi, tidak sehat," Mark menasehati, lupa berkaca.

Donghyuck terlalu malas menanggapi, mendengus sambil memejamkan mata.

"Hyung pulang saja."

Sekarang panggilan itu hadir saat dia menarik garis di antara mereka. Ironis mengingat dulu mereka berdua menyukai panggilan 'Hyung' penuh afeksi yang keluar dari mulut Donghyuck.

"Kutraktir makan siang dan makan malam, bagaimana?"

Donghyuck membuka mata, menatap wajah Mark yang penuh harap. Tidak mengerti akan sikap sang mantan yang seperti ini.

"Hyung sedang ada masalah?"

Mark menggeleng, dahi berkerut tidak mengerti.

"Hyung, aku tidak mengerti dengan sikap Hyung tiap kali kita bertemu. Hyung tidak mengatakan alasan sebenarnya, kenapa- di apartemen Jeno dan Jaemin...," Donghyuck menarik ujung lengan baju Mark. Meminta agar pria itu tidak lagi mengeluarkan omong kosong.

Dia siap membicarakan masalah ini. Mereka harus membicarakan kejadian tersebut.

Mark melepaskan cengkraman tangan Donghyuck, mencoba meraihnya, meski tidak berhasil.

Donghyuck tidak mau.

"Tidak seperti apa yang pernah kukatakan, aku tahu apa yang akan kulakukan. Dan aku berterima kasih karena kau tidak membiarkanku melakukannya, Hyuck.

"Aku tidak mau merusak hubungan kita," Mark menambahkan, yang lagi-lagi terdengar seperti bualan di telinga Donghyuck.

"Hyung," dia mengepalkan tangan, "saat kau memutuskanku menggunakan alasan sibuk kuliah, lalu pergi berkencan dengan orang lain, kau sudah melakukannya."

Donghyuck berdiri. "Hyung lebih baik pulang saja. Aku tidak mau ikut."

"Tapi," Mark menahan tangan Donghyuck penuh kehati-hatian, "biarkan aku berusaha seperti dulu."

Tangan mereka terlepas, Donghyuck merasa panas menjalar ke seluruh tubuh. "Berusaha untuk apa? Hyung, jangan begitu."

"Aku- I've made bad decisions, Hyuck. I regret it a lot. You don't know how miserable I am. And... it's not only about our relationship."

Donghyuck tidak seahli itu dalam berbahasa inggris. Kadang saja dia merengek pusing ketika Johnny dan Mark tengah berbicara dalam bahasa inggris dengan cepat.

"Aku tidak mengerti," akunya, "aku juga tidak mau tahu. Benahi dulu apa yang Hyung ingin benahi. Kubilang kita bisa kembali berteman, bukan? Tapi, jangan harapkan seperti yang dulu. Aku tidak bisa, terlalu muluk untukku."

"Oke," Mark mengangguk, "aku mengerti." Ada kemantapan di mata pria itu yang sedikit menakuti Donghyuck. Namun, dia terlalu mengantuk untuk peduli.

"Kalau begitu, sebagai teman, apa kau mau menemaniku pergi jalan-jalan hari ini?"

"Tidak."

"Oh-" Mark menahan ringisan, tubuhnya kaku.

"Tapi, kau boleh stay di sini sampai malam. Aku bisa memasak untuk kita semua."

Wajah pria itu kembali terangkat. "Thank you, Hyuck."

...

a/n: halo, semua yang masih bertahan sampai skg.

Rencana nyelesaiin jenjaem duluan gagal. karena chap yg ini jadi lebih awal.
Malu diakui, untuk fic ini aku ngerjain chap secara random, tergantung dari ide yang masuk.
Contohnya:

- Chapter terakhir jenjaem baru jadi segitu, sementara ep markhyuck yang harusnya jadi chapter 10 malah jadi lebih awal.

- Atau kayak chapter Letters ini, storyline-nya terjadi pas musim panas ketika Donghyuck lagi part time. Udh diketik sejak chapter 2 publish. Tapi, masih menunggu chapter-chapter pelengkap lain.

Jadi begitulah, kenapa padahal cuma 2000-3000 words per chapter, tapi agak lama update. Karena aku ngerjainnya barengan.

Anyway, karena Mark udah dikasih izin sama haechan, jadi setelah ini bakal gass poll pdkt-an lagi (AKHIRNYA!)

Terus, kalo gak ngeberatin, boleh dong minta review kalian selama baca fanfic ini. Kalo kalian ga biasa leave review, bisa lewat private message. Aku ga masalah. Thank you in advance💕

Continue Reading

You'll Also Like

Roomate By asta

Teen Fiction

374K 24.9K 35
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
607K 50.5K 33
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
2.1M 73.2K 44
Jangan jadi pembaca gelap! Seorang santriwati yang terkenal nakal dan bar-barnya ternyata di jodohkan dengan seorang Gus yang suka menghukumya. Gus g...
249K 13.8K 26
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...