NATA [Selesai]✓

By trajec70ries

904K 96.8K 6K

Versi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengek... More

PROLOGUE
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
EPILOGUE
For you...
Sequel?
📌Skema Nestapa
°• Elegi & Tawa •°
MAU TANYA
INPO TERBIT MAZEHHH
VOTE COVER
PILIH BONUS NOVEL
OPEN PO

CHAPTER 22

15.7K 2.3K 150
By trajec70ries

#22

Di pagi yang cerah ini, nampak seorang gadis dengan wajah yang terus berseri tengah membonceng sebuah motor matic. Ya, gadis itu adalah Elzi. Pagi ini, ia kembali membonceng motor butut Nelly. Jujur, dari hati Elzi yang paling dalam, ia sangat berharap motor butut Nelly tak membuat ulah lagi. Sungguh, itu melelahkan.

Traffic Light tengah menunjukan warna merah. Jadilah motor yang tadinya tengah melaju, kini mulai berhenti hingga membentuk deretan yang cukup padat.

Biasanya jika Elzi mendapati lampu merah seperti ini, gadis itu pasti akan mencak-mencak tidak jelas. Tapi tidak dengan sekarang. Yang terlihat justru penampakan Elzi yang kini tengah senyum-senyum sendiri.

Entah apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas ingatan Elzi terus berputar mengenai tindakan Nata kemarin. Malu? Tentu. Tapi, bukan itu yang kini mendominasi. Lebih tepatnya, ia sedikit terbuai oleh tindakan Nata yang terkesan-- manis. Eh? Plakkk! Tuman!

Elzi menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memukul kepalanya sendiri yang terlapisi helm.

Nelly bergidik ngeri melihat tingkah Elzi. Sedari tadi Nelly memang mengamati Elzi dari kaca spion si butut. Dan itu membuat Nelly, khawatir.

Nelly menengadahkan tangannya. "Ya Allah, Ya Rabb. Lindungi Nelly dari arwah kocheng oyen di tubuh Elzi, Ya Rabb. Nelly cuma mau menjemput ilmu, bukan menjemput maut sama Elzi. Aamiin."

Gadis yang tadi berdoa kembali melirik kaca spion, dan masih terlihat Elzi yang terus memukuli permukaan helmnya.

Nelly memutar tubuhnya, lalu memegang helm Elzi. "Saha ieu? Maung hah? Kamu teh maung, si kocheng oyen? Kaluar! Allahu Akbar!" Nelly mendramatisir suasana.

Pluk!

Elzi menampol helm Nelly. "Busettttt, napa sih lo? Kocheng oyen, kocheng oyen. Lo kira gue emaknya!" omel Elzi.

"Alhamdulillah, sadar juga lo, El. Gimana? Pusing? Lo tadi tuh habis kerasukan arwah gentayangan si kocheng oyen tau nggak." Ujar Nelly dengan penuh keseriusan.

Mau tak mau Elzi hanya bisa mengusap dadanya, sabar. Bagaimanapun Elzi sadar diri, kalo Nelly memang gila ketika bersamanya. Lebih tepatnya, mereka berdua sama-sama gila.

"Eh, El!" panggil Nelly seraya menepuk-nepuk paha sahabatnya.

"Apa lagi, sih? Kagak ada maung." Ketusnya.

"Itu."

Elzi mengikuti telunjuk Nelly. Bola mata Elzi dapat menangkap sosok yang sangat tak asing baginya. Itu Nata. Jarak keduanya kini hanya terpisah oleh dua motor saja, yakni sebuah vespa  kuning dan matic biru. Apakah Nata tak melihatnya? Bukan, sebenarnya bukan itu yang akan menjadi putaran topik di benak Elzi.

Tapi,

Nata bersama siapa?

Nata tak sendiri. Dia tengah berboncengan dengan seorang perempuan yang Elzi yakin, dia bukanlah anak Citra Bangsa. Seragamnya berbeda. Elzi tak dapat melihat wajahnya, karena cewek itu pun memakai helm. Tapi, Elzi yakin, dia perempuan yang cantik. Entahlah, ini hanya feeling dadakannya saja. Yang jelas, Elzi yakin perempuan itu cantik

Tin tin tiiinnnn!

Bunyi klakson yang terus bersahutan berhasil memecahkan buntalan spekulasi di benak Elzi. Entah menguap kemana Elzi pun tak ambil pusing, yang jelas penampakan di sekitarnya seketika menjadi horor sekarang. Bahkan, sensasi ini lebih menakutkan ketimbang saat Elzi menghilangkan Tupperware milik bundanya. Para pengendara di belakang Elzi kini tengah mencak-mencak. Bukan hanya satu. Mereka, banyak. Ini menegangkan.

"Nel, ayok!"

Elzi semakin panik. Elzi merutuki dirinya. Entah berapa lama tadi ia melamun hingga tak menyadari bundaran  Traffic Light telah berubah warna. Beberapa pengendara juga sudah melesat pergi. Termasuk Nata. Ditengah kepanikannya, Elzi sempat melihat ke tempat Nata berada tadi. Dia sudah pergi bersama gadis di boncengannya.

"Nel? Gimana?" tanya Elzi yang tak mengurangi intonasi gusarnya.

Nelly masih mencoba menyalakan si butut. Bukan hanya ia saja. Nelly pun terlihat sama paniknya dengan Elzi. Bahkan bulir keringat sudah membasahi pelipis Nelly. Mendadak perasaan Elzi tidak enak. Sangat.

Oh, ayolah.

Tidak lagi.

***

Pagi yang tadinya cerah, seketika berubah menjadi gumpalan awan mendung dan gemuruh di atas kepala Elzi. Alih-alih berada di kelas, dan mengikuti pelajaran Bahasa Inggris. Elzi dan Nelly justru harus membersihkan area lapangan basket yang sialnya tengah di pakai oleh kelas Nata.

Si butut kini berada di bengkel. Seperti yang kalian tau, dia berulah lagi tadi. Jadilah mereka berdua datang terlambat tanpa ada embel-embel penyelamat seperti waktu itu. Sebenarnya bukan Elzi dan Nelly saja yang terlambat. Ada beberapa lagi yang Elzi tak tau mereka kelas berapa. Seperti sekarang ini, yang membersihkan lapangan basket pun bukan hanya dua biang kerok bersahabat itu saja. Ada satu lagi, yakni adik kelas mereka. Namanya, Putra.

"Eh, Puput. Sini bantuin gue." Panggil Elzi di ujung tribun.

Mendengar panggilan sang kakak kelas pun membuat siswa itu mendengus sebal.

"Durhaka lo, ya." Elzi berkacak pinggang kala mendapati respon Puput yang tak mengenakan.

"Lima kali aku udah bilang ke kakak. Aku Putra, bukan Puput." Sungut Putra seraya berjalan mendekati Elzi.

"Iya-iya sama aja. Ada Put Put nya." Elzi tak mau kalah.

"Ada apa?" Putra to the point.

Elzi menunjuk tong sampah di sampingnya, sedangkan tangan yang lain ia gunakan untuk memegang sapu. "Ambilin tong sampah dong, tangan gue nggak nyampe."

Putra memberikan senyuman penuh keterpaksaan. Tong sampah di samping Elzi, hanya perlu mencondongkan tubuhnya sedikit, Putra yakin Elzi bisa meraihnya. Oke, kakak kelas di hadapannya benar-benar menyebalkan.

Dengan setengah hati, Putra memberikan tong sampah itu kepada Elzi.

"Minta tolongnya sama temen kakak aja kenapa sih." Ucap Putra seraya melirik gadis yang tengah tertidur di ujung bangku tribun dengan mulut yang terbuka.

"Durjanam lo, ya. Kagak dapet pahala lo."

"Lagian, pacar kakak serem." Ucap Putra.

"Lo ngejek kejombloan gue?"

"Itu, Bang Nata liatin aku-nya serem banget." Ucap Putra seraya memberi kode dengan ujung matanya.

Elzi mengalihkan pandangannya ke lapangan basket. Yang ia dapati justru Nata tengah asik mendribble bola besar di tangannya. Kontan, Elzi memberi tatapan datar kepada Putra.

"Ngaco lo. Lagian, Nata juga bukan siapa-siapa gue." Ucap Elzi yang mencoba apatis dengan menyibukkan diri bersama sapu dan tong sampah di tangannya.

Putra mengangkat dua bahunya. Lagian, Putra tidak berbohong. Sedari tadi, ia menyadari bahwa cowok dengan predikat most wanted  sekolahnya itu terus mencuri pandang ke tribun. Lebih tepatnya, mengamati cewek rempong di hadapannya.

"Gengsi terus. Entar diambil orang." Ucap Putra sebelum berlalu pergi.

Elzi mencibir Putra dari belakang. Sepertinya Elzi baru saja menemukan komplotan Nelly dan Mamet. Tukang nyinyir.

Entah mengapa, Elzi kembali menatap cowok yang tengah bermain basket itu. Dalam benaknya, kembali muncul pertanyaan yang tadi sempat bersemayam. Cewek tadi sebenarnya siapa? Pacar Nata 'kah?

Aish. Kenapa Elzi jadi kepo seperti ini si. Menjadi detektif tidak pernah masuk ke daftar cita-cita waras Elzi sepanjang ia bernafas di bumi ini. Jadi, kenapa ia harus menjadi orang kepoan sekarang. Lagian, itu sama sekali bukan urusannya. Mau itu pacar ataupun hanya teman. Seharusnya Elzi tak memperdulikannya.

Seharusnya.

Tapi mengapa Elzi merasa ada sebagian dari dirinya yang kini merasa panas. Seolah-olah terbakar.

Elzi tersentak saat pandangannya bertubrukan dengan Nata. Terlihat Nata menaikkan satu alisnya--bertanya. Alih-alih menjawab, Elzi justru memalingkan pandangannya. Canggung. Bisa-bisa Nata ke-pede-an mengetahui Elzi sedang memperhatikannya. Walau kenyataannya, Elzi memang sedari tadi mengamati cowok itu. Tapi, intinya Elzi tak mau Nata geer.

***

Cuaca agaknya tak mau kalah dengan perasaan manusia. Labil. Tadi pagi cerah, sore ini mendung. Awan hitam pekat mulai memakan habis si biru muda dan putih. Kilat dan gemuruh pun mulai terdengar. Menggelegar, memekakkan telinga.

Bagian terburuknya, ia harus menunggu di halte sendirian. Nelly dijemput ayahnya karena ada kerabatnya yang datang ke rumah. Sebenarnya, Nelly sempat menyuruh Elzi ikut dengannya. Berniat mengantarkan Elzi pulang. Tapi, sialnya Elzi menolak. Tak enak hati. Walau ia tau ayah Nelly pun sama sekali tak keberatan. Aish. Elzi menyesal!

Bulir-bulir air yang terbawa awan hitam mulai jatuh. Menepuk-nepuk permukaan bumi. Menciptakan aroma tanah yang menguar, menenangkan jiwa. Petrichor. Elzi suka.

Bersamaan dengan itu. Angkot ketiga datang. Kali ini Elzi tak mau kalah. Ia harus mengerahkan seluruh skill nya untuk menaiki angkot. Kaki Elzi sudah berpijak di alas-- ambang pintu angkot. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan. Namun, tiba-tiba tubuhnya tertarik ke belakang dengan sekali sentakan. Tangannya di tarik.

"Dia nggak jadi naik, Pak." Ucap cowok yang masih mencekal pergelangan Elzi.

"Ashiapp. Meluncur." Sang sopir menepuk setir, seakan itu akan menambah kekuatan angkotnya. Lalu kendaraan roda empat itu meninggalkan halte beserta kekesalan Elzi.

"Nat? Ngapain, sih?" Elzi bertanya dengan nada tak suka.

Nata melepaskan tangan Elzi. "Hujan." Sahutnya datar.

Kelopak mata Elzi menerjap. Mulutnya pun menganga. "Hujan?" tanyanya sarkas yang dibalas deheman oleh Nata.

"Udah tau hujan kenapa gue ditarik?! Gue tadi hampir masuk angkot, Nata!"

Nata bergeming. Masih dengan pose sebelumnya.

"Tunggu." Elzi memutar tubuh, menghadap Nata sepenuhnya. Dua tangannya bertengger di pinggang, menambah kesan galak.

"Lo 'kan bawa motor! Ngapain di sini?"

Terlihat, bola mata Nata yang tadinya tenang, kini mulai bergerak. Nata terlihat seperti anak kecil yang sedang mencari alibi karena ketauan mencuri Lolipop. Walau Elzi tak yakin, karena lagi-lagi cowok itu menggunakan kehebatannya. Menutupi segala perasaannya dengan satu ekspresi. Datar. Nata adalah cowok yang tak mengenal banyak eskpresi. Atau mungkin, ia tak pandai mengekspresikan segala perasaannya. Elzi akui, Nata memang misterius.

"Gue liat lo... "

"Ya, iyalah! Lo kira tubuh gue transparan?" protes Elzi.

Nata menatap gadis itu datar. "Gue belum selesai ngomong." Peringatnya kesal.

Elzi diam. Menutup mulutnya rapat.

"Lo kehujanan waktu berebut angkot." Nata melanjutkan kalimatnya.

"Terus?"

"Baju lo basah."

"Ya, terus?"

Nata berdecak. "Baju lo basah."

"Ya terus masalahnya apa?" sewot Elzi.

Nata menghadap Elzi sepenuhnya. Dengan ekspresi yang lebih datar. Sangat datar, seraya berucap. "Baju lo basah."

Kontan Elzi melihat bajunya yang basah. Matanya melotot, bahkan akan keluar dari tempatnya. "Kenapa dari tadi nggak bilang!" Elzi menyilangkan tangannya di depan dada.

"Gue udah bilang." Nata santai.

"Iihh Nata! Lo liat semuanya dari tadi?!"

Nata menatap Elzi dengan alis terangkat. "Siapa bilang semuanya? Yang nerawang juga cuma baju lo," Nata mengalihkan pandangannya ke rintikan hujan, "belum liat semua." Lanjutnya seraya mengedikan bahu apatis.

Elzi memukul lengan Nata. "Mesum banget si, lo!"

Nata terkekeh sembari mengusap pelan bekas pukulan Elzi. "Bercanda."

"Kalo lo naik angkot, bukan cuma gue yang liat. Cowok-cowok di angkot juga nanti liat. Lo mau pamerin aset lo?"

Lagi-lagi Elzi naik pitam mendengar ucapan frontal Nata. "Heh! Sembarangan!"

Elzi melihat tangannya yang disilangkan di depan dada. Bajunya memang tak sepenuhnya basah. Tapi, keberuntungan memang jarang berpihak pada Elzi. Karena sialnya, bagian yang basah itu berada di titik yang tidak tepat. Di... Ah sudahlah... Elzi tak mau menjelaskannya.

Nata mengambil baju seragamnya dari tas. Pria itu sekarang memang masih mengenakan baju olahraganya. "Pake. Gue nggak ganti tadi." Titah Nata.

Elzi pun menurut. Membalut seragam basahnya dengan seragam Nata. Kemudian ia melihat tubuhnya sendiri yang terbungkus seragam Nata seraya mencibir. "Gede banget si seragam lo."

"Lo yang kerempeng."

Elzi mendengkus. "Eh, besok 'kan seragamnya di pake lagi. Gue pinjem jaket lo aja deh." Ucapnya yang sudah bersiap melepas seragam.

"Gue punya seragam dua. Pake aja. Jaket gue juga udah basah kena hujan. Entar lo makin kedinginan."

Elzi mengurungkan niatnya untuk melepas seragam Nata. Kalimat Nata tadi menggunakan intonasi datar. Seperti biasa, cowok itu apatis. Acuh. Tapi, kenapa ada kehangatan yang kini menjalar di hati Elzi?

Keduanya memilih hening. Menatap bulir air yang masih terus menyapa tanah. Petir yang sempat menderu pun sudah tak terdengar lagi. Yang tersisa hanyalah kilatan tipis di tengah-tengah ribuan linangan kecil.

Mereka terlalu lama hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Dan seperti biasa, Elzi 'lah yang selalu merasa situasi ini sangat tak menyenangkan. Terlalu sunyi. Elzi tak suka. Kemudian, gadis itu kembali angkat suara.

"Nat, lo suka hujan?" tanyanya.

Masih dengan manik yang menerawang ke depan, Nata menjawab. "Biasa aja. Lo?"

"Emm. Sama. Biasa aja, si. Tapi, gue suka bau tanah kering yang kena hujan."

"Petrichor?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Elzi.

"Lo? Ada sebagian yang lo sukai dari hujan?" tanya Elzi lagi.

"Nggak ada."

Elzi mencibir. "Kaku banget si. Kayaknya hidup lo flat banget. Nggak ada yang lo suka gitu? Atau seenggaknya, hal yang menarik perhatian lo. Ada?"

"Ada."

"Apa?"

Nata memusatkan seluruh atensinya kepada Elzi. "Mata lo. Gue suka liat mata hangat lo."

Deg!

Elzi bergeming. Semua terasa kaku. Ucapan Nata sukses membekukan partikel-partikel oksigen di sekitarnya. Menghunus jantung Elzi hingga menciptakan detak tak beraturan. Elzi bingung harus memberi respon apa. Alih-alih tertawa dan mengejek candaan Nata-- ya bagi Elzi kalimat Nata adalah candaan semata. Dan... seharusnya memang candaan 'kan? Jadi, Elzi memang harus tertawa. Tapi, justru bibirnya itu malah terkatup rapat. Pasrah dengan bola mata elang Nata yang terus menatapnya. Manik Elzi berusaha mencari kebohongan Nata. Tapi nihil, semua terasa nyata. Elzi benar-benar terhipnotis oleh cowok di hadapannya; Nata.

"Mata hangat lo yang udah narik perhatian gue."

___________________________________________
Tbc...
Kalo kalian suka bab ini silahkan vote dan kommen...
Maaf masih banyak kekurangan. Maap kalo nggak dapet feelnya:,(

Typo bertebaran.

See you

Continue Reading

You'll Also Like

613K 6K 5
• Cerita ketiga Samudera • Sekuel Cold Boy VS Bad Girl • Cerita lengkap tersedia di Dreame Rafli Razza Samuel Rafka Razza Samuel Cerita berlanjut men...
857K 12.2K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 49.3K 22
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.3K 393 28
🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirah...