Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

By RibkaRewang

43.6K 2.6K 149

Tentang seorang anak lelaki yang menginjak remaja dan harus melewati banyak persoalan. More

Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda
Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

3.4K 200 1
By RibkaRewang

Sekali lagi kulirik, wajah Mama tampak merah padam menahan amarah. Sementara Tante Farah tampak biasa saja, dia pun pamit pulang.

"Erick, Tante sudah simpan nomer Papa dan Mama kamu juga nomer Tante, ya. Jangan lupa pesan kami, jangan sampai terlambat sholat juga jangan begadang."

Sementara aku mengiyakan dan mencium tangan Tante Farah, Mama membuang muka saat mau diajak bersalaman. Aku melihatnya lucu, persis seperti Rere dan Ariel kalau sedang marahan.

Setelah Tante Farah pergi, Mama langsung mengajakku ke dapur. Mengeluarkan belanjaan,ada sedikit rasa haru melihat Mama membeli banyak belanjaan demi aku. Kami memotong buah sama-sama untuk bikin salad, lanjut bikin stik tempe, Mama juga memasak soto ayam kesukaanku. Setelah sholat ashar kulihat Mama sedang menelpon, sepertinya Om Arya yang bicara.

Selesai bicara di telepone, Mama berubah jadi sedikit pendiam. Saat membuat cake cokelat pun tak seceria saat masak tadi. Selesai aku sholat maghrib semua masakan sudah siap, tapi wajah Mama masih terlihat murung. Dapur tampak berantakan.

Karena aku tidak dibiasakan ataupun diajarkan masak, tapi bisa bantu cuci piring, dengan santai mencuci alat-alat bekas masak. Tapi entah kenapa Mama malah marah, katanya nanti aku jadi banci. Waktu kujawab Om Arya juga memasak, toh Mama tetap suka. Mama malah makin kesal, entah apa yang salah, malam itu aku lalui dengan sangat membosankan.

Setelah sholat isya dan makan, Mama masuk ke kamar, sepertinya menangis. Sendirian nonton tv sangat membosankan, bahkan aku tidak bisa main-main game. Arrgghhg ... rasanya sangat menyebalkan, akhirnya aku ketuk pintu kamar Mama.

"Ada apa?" tanya Mama, tampak matanya bengkak, seperti habis menangis.

"Mama lupa ya kalau ada aku di sini. Sudah 2 jam ada di kamar, kalau Mama tidak mau diganggu, besok antar Erick pulang ke Papa," kataku dengan ketus. Langsung ke kamar. Mama menahan pundakku.

"Erick ... bukan begitu, maafkan Mama. Tapi hari ini Mama benar-benar lalui dengan berat. Besok Mama janji kita akan bersenang-senang, oke!" Selesai bicara, Mama mencium keningku dan kembali masuk ke kamar. Ah, kadang dunia orang dewasa begitu menyebalkan dan sangat rumit.

Akhirnya aku pun memilih masuk kamar, tinggal dengan Mama sungguh tidak menyenangkan. Di kulkas ada salad ada cake, masakan kesukaanku semua ada, sayang rasanya tak lagi sama seperti dulu.
Iseng aku telepon Tante Farah sayang nomernya sibuk. Mungkin sedang bicara dengan Papa, karena nomernya juga sibuk.

Tidak tau mau lakukan apa, bingung sendirian, aku merasa asing dengan mamaku sendiri. Mau main game hapenya jelek, akhirnya aku mencoba hubungi Rere. Sudah jam sembilan malam, kalau di tempat Rere pasti sudah jam sepuluh.

[Kamu sudah tidur,Re?]

[Belum, ada apa? Tumben telepon jam segini]

Cek pulsa ternyata isinya banyak, aku pun telepon Rere, kami bercerita seru tentang kawan barunya. Sampai akhirnya waktu kuceritakan kalau sekarang ada di tempat Mama dan sendirian, Rere menangis.

Katanya dia rindu Bunda juga ayahnya. Tak ada yang sayang dengannya, bahkan neneknya pun sibuk kesana kemari dengan teman-temannya. Terkadang pulang sekolah tidak ada makanan. Sering hanya ada mi instan, kalau tidak ya dikasih uang buat beli jajan.

"Rick, kenapa orang dewasa begitu egois, saat mereka jatuh cinta atau kecewa, kenapa tak pernah memikirkan anak-anaknya," kata Rere, tangisnya terdengar memilukan. Tanpa sadar aku pun menangis, beruntung masih ada Papa dan Tante Farah. Ah, besok aku akan bilang Papa supaya mengangkat Rere jadi adikku, biar dia tidak sedih lagi.

Kami bicara sampai pulsakù habis, sudah jam sepuluh malam, Mama masih di kamarnya. Akhirnya kumatikan semua lampu dan pergi tidur. Paginya aku terlambat bangun, lupa nyalakan alarm.

Jam enam pagi, panggilan masuk 10x dari Papa, 6x dari Tante Farah. Yang ke tujuh baru kuangkat. Cepat-cepat sholat subuh, daripada tidak, kata Tante. Selesai sholat dan mandi, tampak Mama pun sudah bangun dan menyiapkan sarapan.

"Pagi, Ma ... sudah baikan?" sapaku pelan.

"Pagi Erick ... maafkan Mama semalam, ya? Hari ini seperti janji Mama, kita akan bersenang-senang. Sekarang sarapan dulu," kata Mama. Dengan senyum yang dipaksakan, aku tahu Mama masih sedih.

"Kalau Mama tidak enak badan, nggak apa-apa kok kita di rumah saja. Masih ada waktu beberapa hari lagi, kan?" jawabku. Jujur aku berbohong, rasanya sangat membenci situasi ini. Kenapa anak kecil harus memahami sikap hati orang dewasa.

Mama berkali-kali mengucapkan maaf dan terima kasihnya, lagi-lagi masuk ke kamar. Ah, sungguh ini semua terasa rumit dan membingungkan. Mau telepon Papa, lupa tadi tidak minta pulsa. Iseng aku pun keluar tanpa pamit, rencananya hanya beli pulsa di lantai bawah.

Sesampai di minimarket, ada Tante Farah yang rame-rame dengan teman gurunya. Ada juga Bu guru Aisyah, wali kelasku.

"Loh, kok Erick di sini?" sapa Bu guru.

"Mama tinggal di sini, Bu," jawabku.

"Mau beli apa? Kenapa turun sendiri? Mama mana?" tanya Tante Farah, wajahnya sedikit menyeramkan. Mungkin marah karena aku ada di lantai bawah.

"Anu ini ee, itu Tante eh Bu Farah, apaa itu." Dan entah kenapa aku tiba-tiba gagap.

Bu Aisyah yang tidak tahu kalau Tante Farah adalah calon ibuku malah bingung melihatku seperti takut pada Tante. Apalagi melihatku langsung masuk saat digandeng masuk mini market, setelah mengisi pulsa, aku pamit naik. Bu Aisyah hanya senyum, sementara Tante Farah tampak gelisah.

Sesampai di lantai atas, Mama masih di kamar, aku kembali menghubungi Rere, sayang nomernya tidak aktif. Tidak tau mau ngapain, bingung akhirnya telepon Tante Farah. Aku menangis, merasa bosan, kesal dan ingin pulang. Kata Tante aku disuruh pamit Mama, biar sore nanti atau besok pagi dijemput.

Kuberanikan diri mengetuk pintu kamar Mama, tak dikunci. Pelan kubuka, Mama sedang bicara di telepon, sepertinya dengan Om Arya lagi. Tapi ada yang aneh, Mama tidak pakai baju, buru-buru kututup pintu, dan bunyinya cukup keras.

Sepertinya Mama kaget, karena tak lama langsung keluar, wajahnya merah padam, entah marah atau malu.

"Ada apa!" tanya Mama dengan ketus.

"Erick mau pulang, bilang Papa jemput," jawabku pelan. Takut mendengar suara Mama yang kasar. Hampir menangis, kenapa Mama bisa berubah sebentar baik sebentar jahat, aku bingung.

Wajah Mama melunak, duduk di sampingku dan memeluk. "Loh, katanya masih ada waktu beberapa hari lagi, kalau besok Mama janji, kita bersenang-senang."

"Tidak, Erick mau pulang," jawabku dengan sedikit memaksa.

Tiba-tiba Mama menangis dan teriak, kalau aku sudah diracuni otaknya sama Tante Farah untuk membenci Mama. Makin bingung dengan sikap Mama, setelah menangis, memohon agar aku mau tinggal.
Kata Mama dua hari lagi orang tua Om Arya datang, jadi aku mau dikenalkan pada mereka. Tapi rasa marahku lebih besar, ternyata Mama mengajakku menginap bukan karena kangen, tapi hanya untuk diperkenalkan.

Kami saling diam, berkali Mama bicara membuatku bingung. Lagi- lagi aku dipaksa memahami dan memaklumi dunia orang dewasa. Ujungnya tetap aku harus mengikuti, tanpa bisa menolak. Hampir setengah jam kami duduk seperti orang asing. Sampai akhirnya ada bel berbunyi, sepertinya ada tamu. Dan itu Papa.

Aku langsung memeluk Papa, rasanya rindu sekali. Tentu saja Mama kaget melihat kedatangan mantan suaminya.

"Kaget aku datang? Erick tidak menghubungiku, tidak ada yang memberitahu. Tapi Allah, sudah satu tahun ini Erick selalu bangun jam lima, mau sakit pun, tapi hari ini tidak." Papa bicara tanpa duduk di sofa.

"Aku menelponnya 10x tak diangkat, aku tahu, pasti ada yang salah. Dan lihat, kamu terlihat kacau bahkan setelah bertahun-tahun," kata Papa dengan nada sinis.

Sementara Mama seperti tidak bisa bicara apa-apa lagi. Memohon ke Papa agar aku diijinkan tetap tinggal sampai hari minggu. Waktu Papa tau alasannya mau dikenalkan ke keluarga Om Arya, karena orang tuanya tidak akan setuju kalau menikahi single parent, kecuali melihat anaknya langsung. Dan lucunya nanti aku harus berbohong kalau selama ini tinggal dengan Mama. Alasan perceraiannya pun karena Papa selingkuh, tentu saja semakin marahlah dan menyuruhku mengemas baju.

"Kami pasti akan datang ke pernikahanmu, jangan bawa-bawa Erick dalam kebohonganmu. Kamu kira aku tidak tahu hubunganmu dengan Pak Broto? Uang dari mana kamu pakai buat beli apartemen? Brengseklah sendiri jangan bawa anakmu!"

Aku dan Papa pun langsung keluar, meninggalkan Mama yang menangis sendirian di lantai seperti anak kecil.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
857K 12.2K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
241K 23K 29
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
502K 38K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...