Senandi Rasa

By Bellazmr

1.2M 178K 136K

[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa] "Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, it... More

1. Mengapa September?
2. Tahu Rasa
3. Sebuah Harga Mahal
4. Ilusi Sang Penyakit
5. Cerminan Mama
6. Luapan Sedih
7. Todongan Dikusi
8. Atas Nama, Gerhana
9. Yang Tak Pernah Ada
10. Jakarta Dini Hari
12. Untuk Hati yang Terluka
13. Tugas Pertama Pacar
14. Bey!
15. Sebagian dari Rencana
16. Cerita Tentang Hujan
17. Panggilan Tidak Terjawab
18. Bulan Purnama
19. Takut pada Ekspektasi
20. Two Lost Star
21. Dia Sebenarnya
22. Beda Pasangan
23. Melaluinya Bersama
24. Luka yang Baru
25. Terlalu Letih
26. Kamu Tidak Tahu
27. Plester
28. Takut Jatuh
29. Emosi Terkendali
30. Rasa Suka
31. Salam Perpisahan
SENANDI RASA MEMPERSEMBAHKAN
32. Ternyata di Belakang
33. Perbandingan Kehidupan
34. Permintaan
35. Orang Ketiga
36. Cinderella Assegaf
37. Strategi Perang
38. Hancurnya Gerhana
39. Dunia Bukan Milikmu Saja
40. Hanya Pembalasan
41. Putus
42. Menanyakan Rasa
43. Jeda Untuk Memperbaiki
44. Bawalah Cintaku
45. Terlanjur Mencinta
SPESIAL BAB (SATU)
46. Titik Terendah
47. Pergi dan Tak Kembali
48. Dia yang Kamu Butuhkan
49. Seharusnya yang Tidak Perlu
50. Yang Terpendam
Akhir dari Cerita

11. Keras Kepala

23.6K 4K 768
By Bellazmr

Bagian Sebelas

Saya tahu bahwa manusia bukanlah tempat bergantung untuk mencari rasa bahagia. Tapi, kamu, hadirmu di tengah kacaunya duniaku. Perlahan membuat saya yakin bahwa ada sisi baik yang semesta tawarkan setelah penuh luka, semesta menyayatku dengan berbagai masalah.
Gerhana Sabrang Asegaf

-Senandi Rasa-

Desember, 2019

Tiga hari setelah malam itu, Berlin merasa ada yang berbeda dari dirinya. Setiap dirinya tidak sedang memikirkan sesuatu yang serius, mendadak ingatan mengenai kejadian malam itu kembali. Gerhana, ciuman sialan itu, juga ucapan Gerhana yang mengagetkan. Semua hal itu tampak menghantui Berlin.

Pada hari kelima sampai satu minggu setelah semuanya berlalu, Berlin pikir ia akan lupa. Dan yah... meskipun tidak separah di tiga hari awal, mengenyahkan Gerhana dari pikirannya terlihat lebih mudah pada hari-hari itu.

Gerhana tidak menampakkan diri lagi semenjak malam itu.

Yang Berlin ingat, setelah pernyataan gila lelaki itu. Berlin mendorong Gerhana hingga terjungkal, kemudian ia pergi meninggalkan Gerhana—Berlin anggap Gerhana mabuk berat malam itu. Tampaknya, apa yang ia anggap memang benar, karena seminggu setelahnya Gerhana memang menghilang.

Berlin sebenarnya tahu bahwa satu minggu ini Gerhana sedang sibuk pencalonan BEM dan puncaknya adalah hari ini, pengumuman ketua BEM akan dilaksanakan. Itu yang diberitahukan Randi beberapa hari yang lalu. Malam hari ini di Balairung, Universitas Indonesia akan merayakan akhir perjalanan dari kinerja BEM tahun ini. Bentara selaku ketua BEM akan menanggalkan jabatannya malam ini.

Di Balairung malam ini diadakan pesta kecil, perayaan selesainya masa jabatan BEM 2018-2019, juga penyambutan masa jabatan BEM 2019-2020. Ada laporan pencapaian visi dan misi, film kaleidoskop BEM UI 2019, hingga evaluasi program kerja semua akan dilakukan malam ini.

Anggota BEM baik dari universitas maupun fakultas turut diundang untuk acara malam ini, begitulah yang didengar Berlin dari rekan-rekannya sesama BEM Fakultas sejak kemarin. Namun tampaknya Berlin ingin absen saja malam ini, lagipula sudah banyak perwakilan yang akan hadir malam ini. Semua antusias mengharapkan Randi—sang perwakilan Fakultas Kedokteran, memenangkan voting pemilihan ketua dan wakil ketua BEM UI periode baru.

"Lo makek baju apa entar malem, Sar?" Sejak kelas berakhir, hingga mereka sudah berpindah ke kantin Fakultas. Tania tidak berhenti menceritakan keantusiasannya untuk acara malam ini.

"Gamis mungkin," jawab Sari sambil mengaduk minumannya. "Yang biasa aja deh kayaknya, gimana pun heboh penampilan kita kan, sorot utamanya sama yang punya jabatan."

Tania mengangguk sepaham. "Gue yakin sih Bang Gerhana sama Bang Randi bakalan menang. Bang Gerhana itu banyak fansnya, siapa juga cewek yang nggak suka sama cowok kayak mereka."

"Udah ganteng, pinter, anak orang terpandang pula. Nggak ada celah," sambar Sari mengiyakan. "Apalagi Bang Gerhana tuh. Imamable parah."

Sepanjang obrolan, Berlin hanya diam dengan pandangan lurus menatap baksonya yang tidak habis. Entah mengapa, keantusiasan Tania dan Sari sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Berlin bahkan sudah menyiapkan planning-nya sendiri malam ini, berhubung besok adalah hari sabtu. Mungkin tidur-tiduran sambil mengisi buku TTS yang dia beli empat hari lalu di Gramedia adalah pilihan yang tepat.

"Bang Gerhana jomblo nggak sih?" Tania bertanya lagi. Tangannya memegang handphone, akun Instagram Gerhana terlihat pada layar. Berulang kali Tania melihat satu persatu postingan Gerhana. "Akun instagramnya rapi banget. Tipe cogan yang nggak sadar dirinya cogan."

"Asli, Tan!" seru Sari yang ikut-ikutn membuka akun Instagram Gerhana. "Nih ya, setahu gue. Dia dua kali masuk UI Ganteng. Mampus banget... saking gantengnya."

Tania terkikih geli. "Cocok dong sama gue, gue kan dua kali juga masuk UI Cantik."

"Ye, cantik doang kagak cukup, Gerhananya noleh nggak sama lo?" ledek Sari.

Keduanya tertawa, berbanding dengan Berlin yang hanya diam saja. Dari awal ke kantin, nafsu makannya sangat sedikit. Mendengar sepanjang mereka makan, obrolan hanya menyangkut pasal Gerhana saja, otomatis nafsu makan Berlin makin anjlok. Ingatan satu minggu yang lalu, jelas masih membayang-bayang.

Maka saat Tania dan Sari masih saja mengobrol, Berlin mendadak berdiri. Membuat kedua sahabatnya itu otomatis menoleh.

"Gue cabut dulu ya," kata Berlin.

Sari memandang Berlin bingung. "Loh, kok cepat amat, masih siang juga Lin. Kan acara malemnya masih lama."

Berlin tersenyum miring. "Gue nggak dateng ya, lo berdua aja."

"Yah kok gitu," timpal Tania cepat. "Nggak seru banget Lin, kurang dong personil buat dukung Bang Randi. Lagipula dia pasti pengin lo dateng kali, Lin."

Senyum miring itu masih bertahan di wajah Berlin. "Gue ada kerjaan malam ini, lo berdua aja ya?"

"Ish kerjaan apa, Lin," gerutu Tania. "Skip aja kali. Kan sekali ini doang, lagipula anak-anak BEM semuanya pada kumpul. Kapan lagi rame-rame gitu di Balairung."

Bukan Berlin namanya jika tidak menang dalam debat, tetapi kali ini ia tidak membalas ucapan Tania dengan apapun. Ia hanya memeluk singkat Tania dan Sari dari belakang, berbisik untuk semangat malam ini, kemudian setelahnya ia benar-benar pergi. Keputusannya sudah bulat, ia terlalu malas sekali untuk melihat Gerhana, entah mengapa kejadian satu minggu yang lalu seolah masih belum ia lupakan.

Pacar ya.... Pacar, tahi ayam!

-Senandi Rasa-

Langkah Berlin otomatis berhenti ketika tepat di dua meter di hadapannya ada sosok Gerhana yang sedang melangkah ke arahnya. Berlin menghela napas panjang, sialan. Satu kata yang ada dipikirannya saat itu.

Maka karena malas untuk bertemu, juga malas untuk kemungkinan yang akan terjadi, meskipun semua itu masih berada dalam katamungkin. Berlin memilih berbalik, mencari arah jalan lain untuk sampai ke depan kampus Salemba. Yap, sungguh sial, hari ini ia tidak bawa mobil.

Dua hari yang lalu, mobilnya mendadak mogok. Berbekal info dari Tania, mobilnya masuk bengkel dan baru besok bisa diambil. Sungguh, sebuah hal yang sangat merepotkan Berlin.

Buku tebal yang Berlin bawa ia cengkram erat-erat ketika kakinya berusaha melangkah dengan gerakan cepat untuk menghindar dari Gerhana. Sayangnya gerakan itu kalah cepat dari Gerhana yang sudah duluan menutup langkahnya dengan merentangkan sebelah tangannya untuk menempel di dinding, memblokir jalan Berlin.

Berlin menarik napas dalam-dalam, ia menggeser tubuhnya, mencari jalan lain. Ia tidak akan berdebat dan tidak mau tersulut juga.

Sekali lagi, Gerhana menutup jalan Berlin dengan merentangkan tangan.

Berlin menggeser ke kanan, Gerhana menghadang ke kanan. Berlin menggeser ke kiri, Gerhana ikut geser ke kiri. Sampai akhirnya Berlin mengangkat kepala untuk menatap Gerhana yang sudah sejak tadi menatapnya.

"Minggir gue mau lewat," kata Berlin sengit.

"Boleh, asal kita selesain dulu urusan kita," ujar Gerhana.

Berlin memutar bola matanya, malas meladeni Gerhana. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Berlin memilih berbalik, melanjutkan jalannya yang sempat berhenti.

Melihat targetnya mendadak ingin pergi, dengan panik Gerhana mengejar Berlin. Sekali lagi, memblokir jalan Berlin.

Berlin mengatur napasnya, mencoba mengendalikan emsosinya agar tidak tersulut untuk berdebat dengan Gerhana. Manusia ini kampusnya di Depok, kenapa juga mendadak nyasar di Salemba. Tidak ada lagi masa kampanye, sudah seharusnya Gerhana tidak lagi ke Salemba.

"Memangnya apa urusan kita?" Memberanikan diri, Berlin menyahut ucapan Gerhana tadi. Ia dongakkan wajahnya untuk menatap Gerhana serius. Jangan Gerhana pikir, kejadian satu minggu yang lalu mampu membuat Berlin seperti perempuan-perempuan lainnya—yang mungkin akan sujud syukur karena berhasil membuat Gerhana mengajak mereka pacaran. Cih! Demi Tuhan, kalau saja malam itu mereka sama-sama tidak mabuk, Gerhana akan berakhir dengan pukulan di wajah telak oleh Berlin.

Di hadapannya, Gerhana sedang memandang Berlin lurus. Membaca raut wajah perempuan tersebut.

"Sorry, lo lupa kalau seminggu yang lalu gue sepakat pacarana sama lo," tukas Gerhana.

Berlin tertawa sinis, kepalanya menggeleng seolah sedang meremehkan Gerhana.

"Lo tahu, gue pengin banget nonjok lo sekarang."

"Oh ya?" Gerhana tersenyum miring.

Merasa ditantang, tanpa basa basi Berlin menampar Gerhana. Tamparan yang sontak berhasil membuat wajah Gerhana berubah masam.

"Satu minggu yang lalu, gue anggap gue lagi nggak waras, sampe bisa-bisanya biarin lo melakukan pelecehan gitu ke gue. Tapi hari ini, gue nggak akan diam aja. Lo pikir lo siapa?" Sambar Berlin.

Gerhana menggerang, namun ia berhasil menyembunyikan emosinya dengan mudah. Ia menarik napas dalam, kemudian wajahnya yang tadi sudah berpaling kini kembali menatap Berlin.

"Lo mau pukul lagi?" itu reaksi Gerhana setelah berusaha menahan amarahnya. Wajahnya yang kaku menatap Berlin lurus. "Silakan."

"Oh iya jelas. Gue akan mukul lo berkali-kali," tandas Berlin. Gerhana jelas salah cari lawan, Berlin bukan perempuan yang mudah diprovokasi hanya karena berhadapan dengan cowok ganteng. Jelas, ganteng bukan suatu ukuran bagi Berlin. Alih-alih menganggap ganteng, Berlin malah berpikir Gerhana ini psycho.

"Pukul," kata Gerhana tenang.

Tangan Berlin menggepal, ia benci melihat pembawaan Gerhana yang begitu tenang. Sekali lagi, Gerhana mengingatkan Berlin dengan mamanya yang semenjak malam itu tidak kunjung pulang. Lantas, Berlin membuang pandangannya. Ia memilih berbalik meninggalkan Gerhana.

"Lo nggak bisa pergi gitu aja." Dan sekali lagi juga, Gerhana menahan Berlin, membuat perempuan itu seketika menggerang kesal.

"Kenapa nggak bisa?" erang Berlin.

"Karena lo pacar gue," sahut Gerhana segera.

Setengah menganga, Berlin mendesah panjang. "Udah gue capek sama hidup gue, gue nggak mau terlibat apapun sama lo. Kalau lo merasa takut gue bakal bocorin ke semua orang tentang kelakuan lo yang sebenarnya, tenang aja... gue nggak akan semenyedihkan itu, hidup gue udah ribet. Urusan lo, mutlak milik lo. Gue nggak mau terlibat."

Penjelasan Berlin sebenarnya masuk akal untuk Gerhana, tapi baginya... apa yang ia ucapkan malam itu bukan sekadar main-main. Meskipun mabuk, ia ingat dengan jelas bagaimana ia menarik Berlin untuk ikut ke pos penjaga. Berlin yang menemaninya saat diinterogasi, bahkan sampai ciuman dan pernyataan itu. Gerhana ingat semuanya.

Maka ketika Berlin sudah kembali berlalu meninggalkan Gerhana yang mematung. Gerhana berlari dan untuk kali kesekian, dia menghadang Berlin.

"Gue nggak nerima penolakan," tukas Gerhana langsung.

"Dan gue nggak ngerasa menolak ataupun menerima lo," sahut Berlin. "Gue nggak kenal lo. Lo juga nggak kenal gue. Kita cuma beberapa kali ketemu dan gue rasa... nggak ada hal khusus yang ngebuat gue sama lo harus terikat. Malam itu jelas hanya kebetulan."

"Tapi gue pengin lo jadi pacar gue."

"Gue nggak mau!" pekik Berlin. "Jadi minggir... dan enyah dari hidup gue." Kali ini Berlin terus terang menunjukkan ketidaksukaannya, ia bahkan sampai mendorong Gerhana untuk menjauh dari dirinya.

"Lo keras kepala," ungkap Gerhana.

"Lo juga keras kepala!" maki Berlin segera. "Lo aneh. Lo gila. Lo nggak waras!"

Gerhana tertawa, tawanya terdengar begitu memilukan bahkan sampai-sampai Berlin mendadak takut dengan cara Gerhana tertawa. Kali ini Gerhana mengizinkan Berlin untuk pergi, benar-benar memberi jalan untuk perempuan itu berlalu.

Berlin mengatur napas, maka tanpa berpikir dua kali ia melangkah pergi dari tempat itu.

Tapi sebelum ia benar-benar menjauh, Gerhana tiba-tiba mengatakan sesuatu.

"Lo ingat cowok yang lo pukul malam itu?" Gerhana bertanya, tapi pertanyaannya lebih mirip sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Berlin tidak peduli, ia terus saja melangkah, dan Gerhana meneruskan ucapannya. "Dia... orang yang bikin hidup gue hancur. Gue butuh lo."

Bersambung

1. Apa perasaan kamu setelah membaca bab ini?

2. Jujur aku nggak pernah bikin dua karakter dengan masalah hidup sepelik mereka berdua. Tapi yah... disitu tantangannya, aku hanya berusaha mencoba membuat karakter yang sama-sama pahit. Sejauh ini belum pahit banget kan? Wkwkw

3. SATU KATA DEH UNTUK COUPLE TERKELAMKU SEJAUH INI. Gerhana dan Berlin HAHAH

4. Lanjut bab 12. YAY OR NAY?

Salam, Gober! Kayaknya nama ini lebih cocok untuk tim Gerhana dan Berlin

Continue Reading

You'll Also Like

887K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2M 105K 57
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.1M 33.9K 9
Jangan lupa makan, nanti mati -Agni-
2.7M 153K 39
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...