[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

22. He Brings The Heaven To Her

6.2K 447 229
By twelveblossom

WARNING MATURE CONTENT!!!! +17? +21?

"You are no longer virgin then and that happen because of me," kata Javas bangga.

-oOo-

"Cemberut terus," tukas Nara yang ia tunjukkan kepada laki-laki yang duduk bersila di hadapannya.

Javas dan Nara sedang bermain Uno. Mereka sama-sama tidak bisa tidur karena terlalu capek setelah pesta pernikahan. Awalnya, Nara yang insomnia lalu dia menjahili Javas sampai suaminya bangun. Javas tentunya tidak membiarkan Nara tidur terlalu malam, dia berusaha menina bobo Nara, namun si gadis tetap terjaga. Hasilnya, mereka main kartu berharap bisa mengantuk.

Javas membagi kartu lagi, mereka bermain putaran ke tiga. "Kenapa ya setiap main Uno sama kamu ... aku kalah terus?" gerutu Javas.

Nara mendekati Javas membuat ranjang mereka berderit. "Bukannya kamu ngalah sama aku, Sayang?" balas Nara sambil tersenyum karena ekspresi Javas yang lucu ketika dia memanggil Javas sayang. Laki-laki itu rupanya masih belum terbiasa.

Javas menggeleng beberapa kali agar dia tidak oleng, bagi pikiran si pria senyum dan suara Nara yang terlihat serta terasa menyenangkan. Raga Javas ini mudah sekali terpesona jika itu berkaitan dengan Naranya.

"Aku gak pernah ngalah tuh," lontar Javas serius.

"Berarti kamu kalahnya beneran, dong."

Bibir Javas semakin mengerucut. Dia mengangguk, mengakui dengan pasrah. Javas malam ini serupa anak balita yang sangat patuh. Si pria membiarkan Nara istirahat tanpa meminta ritual malam pertama apa pun. Javas dengan segera gosok gigi dan cuci tangan serta kaki sebelum naik ke ranjang sebab Nara tidak suka tempat tidurnya kotor. Javas membiarkan Nara menggunakan lengannya jadi bantal. Javas langsung pergi ke Indomaret terdekat membeli kartu Uno ketika Nara ingin begitu. Javas serupa jin botol yang mengabulkan setiap permintaan Nara dan tidak mengeluh sedikit pun. Dia ingin menjadi suami terbaik untuk Nara sedari awal, berusaha memahami keabsurdan istrinya.

"Tumben ya, Pak Javas yang pridenya setinggi langit bisa ngaku kalah," goda Nara.

Javas tidak menimpali dia justru bergerak mengecup pipi Nara. "Kita tidur ya sudah tengah malam," Javas berucap lembut mengabaikan ejekan Nara. Dia sengaja menempelkan bibirnya ke sudut bibir Nara agar gadis itu meringis geli.

Lucu, waktu mereka berkencan Javas dan Nara melakukan banyak hal yang lebih dari sekedar kecupan dan bertautan tangan, tapi ketika mereka sudah menikah tidak ada yang dikerjakan Javas selain mengobrol bersama Nara. Javas hanya tidak ingin terburu-buru. Mereka akan melakukannya nanti dalam waktu yang segera dan tepat. Lagi pula, Nara sedang dalam periode bulanannya jadi Javas sungguhan tak bisa berkutik meskipun Nara tadi sempat sangat kecewa karena tamunya datang pada saat yang tak tepat. Javas sih tidak terkejut. Dia sudah hafal soal siklus bulanan Nara, makanya dia sengaja tidak mengajak bulan madu ke tempat jauh dulu soalnya jelas Nara akan kram perut berdampak si gadis tidak akan menikmati perjalanannya. Nara menjadi kelewat moody saat memasuki minggu merahnya. Jadi, Javas tak ingin ambil risiko.

"Aku nggak bisa bobo, Chatu. Perutku sakit, rasanya kayak ditusuk-tusuk," Nara mengeluh. Perempuan itu bersandar kepada Javas melupakan kartu Uno yang segera tercecer.

"Tapi kamu harus bobo," Javas menimpali dengan nada sama manjanya dengan Nara.

Hahaha bobo? Sejak kapan lo pake kata bobo, Javas? Mungkin mulutnya sudah kelewat rusak sampai dia bersikap seimut itu. Tapi, jujur saja Javas hanya bisa begitu kalau lawan bicaranya Nara.

"Kalau Chatu cium aku, aku jadi bisa bobo nyenyak," ujar Nara lalu tertawa renyah hingga matanya membentuk lengkungan rupawan.

Cantik, serebrum Javas mendefinisikan Nara demikian. Naranya selalu cantik setiap waktu.

"Chatu? Aku minta dicium," ulang Nara karena Javas hanya menatapnya.

Javas tertawa, sedikit gemas dengan Nara yang memohon dengan sangat lantang. Sesuai permintaan Nara, Javas pun mencium kening Nara.

Kenapa ya Javas bisa sesayang ini sama Nara? Sampai rasanya dia selalu ingin di dekat Nara, kalau perlu dia berharap bisa mengantongi Nara agar si gadis bisa dibawa ke mana saja. Apa perlu Javas pesan kantong Doraemon agar dapat menyimpan Naranya?

Shit, kenapa jadi kantong Doraemon? Javas dihujat oleh logikanya.

Bodo amat.

Javas mengabaikan logikanya sebab dia terlalu senang sekarang. Pria itu menarik Nara hingga berbaring, mengungkung Nara yang dengan refleks masuk ke dalam pelukan. Hangat dan wangi jeruk, dua hal itu yang Javas rasakan ketika Nara berada di sisinya. Dua hal yang sama sekali tidak akan membuatnya bosan.

"Sudah dicium jadi Nayyara harus tidur," kata Javas.

Nara yang tadinya bersembunyi di dada Javas pun menengadah. "Diciumnya kurang lama, Chatu," gurau Nara.

Javas pun tidak membalas dengan perkataan, dia mengecup bibir Nara dalam sebagai jawaban. "Ini hari yang indah. Kita harus tidur agar bisa memulai hari yang lebih indah besok, Darling "

"Good night, Chatu."

"Good night, Sayang."

-oOo-

"Ini ya dokumennya," Nara menyerahkan map coklat tebal kepada Liv.

Nara diminta Lucas untuk datang ke Mavendra Building and Business Center untuk memberikan dokumen yang tertinggal di kantor. Bosnya itu terlihat sengaja menempatkan Nara di sini karena Lucas heran Nara tidak mengambil cuti bulan madu setelah menikah. Si gadis justru masuk kerja sehari setelah menikah dan Javas mengadakan rapat mendadak secara bersamaan. Padahal Lucas dengan suka rela memberikan Nara libur satu bulan penuh jika si gadis meminta, hitung-hitung dia bisa memundurkan deadline project. Sayangnya perempuan yang kini menyandang Mavendra di belakang namanya menolak, si pengantin hanya izin terlambat masuk kantor pasca menikah―dengan alasan ingin menemani Javas sarapan.

"Apa Bu Javas tidak ingin menemu bapak dulu, Bu?" tanya Liv ketika mendapati Nara berbalik.

Nara tertawa ringan. "Rasanya aneh ada yang panggil saya Bu Javas. Cukup panggil saya Nara," katanya. Nara mencuri pandang pada pintu ruangan rapat yang masih tertutup artinya pertemuan Javas dan Lucas akan berlangsung lama sekitar dua sampai tiga jam. Nara enggan menunggu selama itu.

"Pak Javas pesan sama saya kalau Bu Nara datang segera memberitahu Pak Javas. Jadi Bu Nara tidak perlu menunggu."

Nara menggeleng. "Nanti saya mengganggu. Lagi pula saya ada janji lain," tolak Nara halus.

Nara harus segera ke rumah sakit karena ada janji konsultasi soal program hamilnya dengan Rosemary―salah satu sepupu Javas yang menjadi dokter spesialis kandungan. Well, meskipun seminggu ini Nara dan Javas tidak melakukan apa pun kecuali berbagi ciuman dan pelukan―tentunya dia punya rencana bereproduksi setelah siklus menstruasinya selesai―hari ini. Rasanya pernikahan tidak lengkap apabila Javas tidak menyatu dengan dirinya secara fisik.

Hah. Rasanya aneh memikirkan cara bereproduksi, sepertinya baru kemarin Nara setuju menjadi kekasih Javas ... nah sekarang sudah mau program hamil aja.

Nara melangkahkan kaki menjauh dari ruangan rapat. Sepanjang dia berjalan, berpas-pasan dengan segelintir karyawan-kebanyakan dari mereka tersenyum, menunduk, dan menyapa sopan. Nara menyadari orang lain mengikutinya melalui tatapan. Kira-kira, apa yang dipikirkan oleh mereka? Apa sebagian dari mereka memiliki prasangka sama seperti Greta-mengira Nara hamil duluan karena Javas mempercepat hari pernikahan?

Andai saja Nara bisa mengandung dulu sesuai dengan prasangka mereka.

Andai saja, benak Nara mulai melantur tapi ....

Eits, jangankan membuahi Nara saat mereka menjadi sepasang kekasih, Javas sangat memegang prinsip perihal menjaga kesucian Nara sebelum mereka menikah. Bukannya Nara ini semacam perempuan yang haus belaian pria ... bukan! Nara hanya ingin segera memiliki bayi lucu mirip Javas. Membayangkan anak dari Chatunya berada di kandungannya selalu membuat Nara berdebar. Memiliki anggota keluarga baru yang merupakan darah dagingnya menghangatkan hati Nara.


"Bagaimana sudah dicoba?" itu pertanyaan pertama yang diajukan Rosemary ketika Nara baru sampai di ruangannya.

Rosemary itu tipe manusia yang to the point tidak bisa berbasa-basi. Dia memberikan ekspresi tertarik kepada Nara yang duduk di seberang meja. Rose tampak mengamati, dia mengangguk paham seperti telah mengambil kesimpulan.

"Apaan? Aku kan belum jawab kamu sudah mengangguk-angguk," komentar Nara sewot. Jujur, hubungan Nara dengan Rose tidak bisa dikatakan baik karena Nara terlalu cemburu kepada Rose yang mendapatkan perhatian lebih dari Damar.

Awalnya Nara menolak jika dokter yang menanganinya beralih ke Rosemary, dia lebih suka ditangani Tante Lituhaya―ibu tiri Rosemary dan ibu kandung Ariadna. Namun, Tante Lituhaya semakin jarang di Indonesia karena harus menemani Om Respati yang sibuk berkeliling dunia untuk menjadi sukarelawan bagi anak-anak yang kurang mampu. Jadi, Nenek Eli menugaskan Rosemary menjadi dokternya―yang dipercaya bisa menjaga rahasia soal kesehatan Nara.

"Ekspresi lo itu kayak anak perawan yang belum pernah diperawanin," ejek Rosemary lalu tersenyum miring.

Nara melengos. "Aku bukan kamu yang gampang tidur sama laki-laki," tukas Nara.

"Sejauh ini gue cuma pernah tidur sama satu laki-laki dan kebetulan laki-laki itu abang lo."

Nara melotot. Dia hendak protes tapi ucapan Rosemary selanjutnya membuat Nara diam.

"Lo gak perlu khawatir, kalau nanti kami pisah―bisa dipastikan yang ninggalin dia bukan gue, tapi Langit yang memilih begitu."

Nara tertawa karena ekspresi Rosemary yang awalnya menyebalkan jadi kelihatan sedih. "Dasar bucin," celetuk Nara.

Rosemary menghela nafas kasar. "Oke, sister in law kita mulai sesi konsultasinya."

Sesi kali ini mereka hanya berbincang-bincang saja. Rosemary banyak memberikan petuah soal makanan dan vitamin yang harus dikonsumsi Nayyara. Rosemary juga menyarankan agar Javas dan Nara segera melakukan hubungan setelah masa datang bulan Nara selesai serta meningkatkan untuk tidak terlalu lelah.

"Minggu depan ajak Javas ke sini karena program hamil itu untuk suami dan istri, bukan istrinya saja. Dr. Lituhaya sempat ngomong kalau rahim kamu lemah, tapi obat yang kamu konsumsi sekarang bisa membantu memperkuat jika nanti pembuahan berhasil," jelas Rosemary sopan. Dia tidak lagi menggunakan gue-lo melainkan saya-kamu.

Nayyara mengangguk. Dia mengingat dengan benar apa saja yang harus dilakukan. Bahkan Rosemary menyarankan gaya yang tepat untuk bercinta agar bisa jadi dalam satu tembakkan. Nara yang mendengar Rosemary bicara tanpa rem pun hanya bisa mendengarkan dengan pasrah. Bagaimana pun Rose berperan sebagai dokter kandungan sekarang.

"Perlu diantar pulang?" tanya Rose ketika sesi mereka berakhir setelah hampir dua jam mengobrol.

"Gak perlu, kamu temenin Kak Damar makan malam aja," jawab Nara. Dia berjalan bersisian dengan Rose yang mengikutinya sampai ke depan rumah sakit. Tampaknya Rose ingin memastikan saudari perempuan kekasihnya ini pulang dengan selamat.

"Javas gak ngasih sopir ke lo?" tanya Rose kepada Nara yang sedang sibuk memesan taksi online melalui ponsel.

"Buat apa? Aku lebih suka kayak gini."

Rose mendengus. "Tapi lo sekarang Nayyara Mavendra. Lo tahu berapa mobil dan orang yang sanggup Javas bayar untuk nganterin lo."

"Terus?" balas Nara sambil melirik tajam ke Rosemary.

"Banyak yang pengen punya nama Mavendra di belakang namanya. Keluarga Mavendra bisa ngasih lo segalanya―"

"―Aku gak butuh segalanya. Aku hanya butuh Javas."

"Javas itu segalanya bagi mereka. Anak laki-laki dari Tirtayasa yang dulu selalu ditunggu kelahirannya. Walaupun Jesalyn yang menjadi direktur utama sekarang, nanti kalau Jesse menikah―semuanya akan diwariskan ke Javas."

"Iya karena itu ... aku gak minta apa-apa lagi sama mereka karena memiliki Javas artinya sudah mendapatkan segalanya." Nara tersenyum manis. Dia menepuk bahu Rosemary. "Aku balik dulu ya, Rosemary. Tolong jagain kak Damar," lanjutnya kemudian masuk ke taksi online yang sudah menjemputnya di lobi rumah sakit.

Nara melamun sepanjang perjalanan. Dia memikirkan ucapan Rosemary. Nara bukannya ingin menjadi wanita sok suci yang mengatakan hanya perlu cinta dan tidak butuh uang. Secara logika kehidupan rumah tangga memiliki dua hal yang harus ada yaitu cinta plus uang. Jika mencintai saja tapi kebutuhan finansialnya tidak tercukupi, tentunya rasa cinta akan terkikis karena banyak hal yang hanya bisa diselesaikan dengan uang. Berlaku juga dengan cinta, hidup bersama seseorang yang tidak dicintai akan sangat menyiksa. Nara bersyukur Javas mencukupi dua kriteria yang dia ajukan cinta dan keuangan yang stabil. Hanya saja Nara tidak ingin mengambil terlalu banyak atas apa pun yang menjadi milik Javas serta keluarganya.

Nara percaya jika kehidupan di dunia ini perihal give and take. Seseorang akan menerima dan memberi dengan jumlah yang sama untuk menciptakan keseimbangan. Ketika Nara menerima terlalu banyak, dia juga harus memberi sama banyaknya. Masalahnya, Nara bukan tipe orang yang suka memberikan banyak hal kepada orang lain jadi ... ya daripada dia ditagih balas budi mending tidak mengambil apa-apa.

Sesederhana itu.

-oOo-

"Chatu, gimana sudah dapat jatah belom?" tanya Theo usil saat mereka keluar dari ruang rapat.

"Ya, pasti langsung unboxing lah ini si bangsat yang jancok," timpal Lucas dengan fasih melafalkan berbagai macam kalimat makian.

Trio ubur-ubur itu baru menyelesaikan rapat, perdebatan panjang soal pembagian keuntungan perusahaan masing-masing, tapi setelah rapat selesai mereka kembali menjadi teman baik. Mereka memerankan dua karakter dengan sangat profesional.

"Belum ngapa-ngapain gue," sahut Javas. Sebenarnya dia tidak ingin membahas masalah ranjangnya bersama tiga manusia yang sedari tadi mengajaknya main Tik Tok dan joget goyang ubur-ubur―hanya saja Javas butuh dukungan moral.

"Wah perlu dicatet ini Yellow Pages," celetuk Theo ngawur.

"Yellow Pages itu buku telepon goblok. Ngapain dicatet di sana," Lucas melotot.

Theo melejitkan bahu. "Kagak tau tadi asal bacot aja gue."

"Sampah," Javas jadi emosi karena dia sampai browsing nyari apa itu Yellow Pages melalui ponsel pintarnya. Ya siapa tahu Yellow Pages semacam tempat konsultasi pernikahan gitu kan?

"Kalian kayaknya perlu liburan. Bawa Nara ke tempat yang bagus. Lah, lo malah habis nikah langsung masuk kerja," saran Lucas.

Javas menghela nafas panjang. Dia punya banyak kewajiban yang harus diselesaikan, apalagi Tirtayasa Mavendra mulai melimpahkan tugas tambahan setelah Javas resmi menikah. Kini posisi Javas sudah setara dengan Jesalyn Mavendra, tanggung jawabnya pun bertambah. Untungnya, Nara tidak mengeluh meskipun satu minggu setelah menikah mereka sama sekali tak melakukan kegiatan romantis atau liburan. Nara justru asyik dengan semua pekerjaannya, mengabaikan Javas. Itu yang membuat Javas down karena sadar Nara tidak seberapa tertarik menghabiskan waktunya dengan Javas atau having sex with him―hm walaupun Nara masih dalam periode bulanannya kan mereka masih bisa berbuat sesuatu yang tidak melibatkan itu―foreplay misalnya?

"Gue gak bisa ninggalin kantor lama-lama," balas Javas.

"Lo bisa lempar kerjaan ke Theo. Gue yakin otaknya masih berguna―"

"―Iya otak gue masih bisa digunakan walaupun 60% isinya soal Kimi."

"Kimi-kimi terus memang si anak sulung Ganendra mau adiknya lo ambil?" Lucas bertanya ketika mereka sampai di ruangan Javas. Pria itu langsung duduk di sofa sebelum dipersilahkan, menganggap kantor ini serupa rumahnya sendiri.

"Ya gue tinggal culik Lea kalau sampai Jason macam-macam―"

"―Ya terus anu lo berakhir dijadikan sosis bakar sama Manggala Mavendra," debat Lucas.

"Astoge, gue jadi gak bisa bereproduksi dong sama kayak Pak Javas?" Theo kembali membawa nama Javas ke dalam perdebatan unfaedah mereka.

Javas yang lagi-lagi asyik dengan ponselnya pun mengabaikan mereka. Hanya saja bukan Theo namanya kalau tidak jahil. "Halo, Nayyara. Ngapain ke sini?" seru Theo.

Benar saja mendengar nama istrinya disebutkan Javas langsung berdiri hingga hampir terjungkal. Dia celingukan mencari Nara, beberapa detik kemudian Javas sadar kalau si Theo mengerjainya.

Tawa Lucas Lim yang menghambur lebih dulu, kemudian disusul Theo yang ngakak sambil guling-guling di lantai. Perilaku mereka terbilang jahat sekaligus kekanakan.

"Mungkin ini yang namanya karma ... dulu dia buang-buang cewek sekarang jadi bucin," Lukas berkata.

"Karma is real," Theo membenarkan. Theo tak bisa banyak bicara lagi karena sekon berikutnya Javas susah memiting saudara sepupunya sampai Theo minta ampun.

-oOo-

Nara tersenyum puas dengan hasil masakannya yang sudah dia tata di meja makan. Ada dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi bulat setengah matang. Nara menambahkan lauk lain seperti chicken nugget berbentuk dinosaurus, menu makan malam yang luar biasa sederhana. Ini kali pertama Nara memasakkan untuk Javas setelah mereka menikah. Nara memang tidak ahli dalam urusan dapur, tapi dia akan berusaha.

Nara mengusap keringatnya. Dia mencuri pandang pada jam dinding sudah pukul tujuh, pasti setelah ini Javas pulang ke apartemen.

Mereka kini menetap di apartemen dua kamar yang dekat dengan kantor Nara. Nara tidak suka tinggal di apartemen yang terlalu besar, dia menolak tawaran Javas untuk menetap di salah satu perumahan mewah yang berada di Jakarta. Menurut Nara mereka masih belum memerlukan rumah besar. Mungkin nanti kalau sudah memiliki buah hati, apartemen ini akan terlalu sempit untuk ditinggali.

Nara hendak mandi sebelum Javas sungguhan datang. Sebenarnya Nara sudah mandi tadi sore sepulang kantor, hanya saja dia merasa bau terasi setelah memasak. Hmm. Tentunya, Nara tidak ingin Javas menciumnya dalam keadaan bau dan jelek―meskipun Javas selalu memujinya cantik-tetap saja Nara tidak ingin suaminya ilfeel.

Hanya saja, semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Nara masih berendam, namun Javas sudah datang. Padahal, tadinya Nara hendak menyambut Javas sepulang kerja seperti drama di televisi hehehe.

"Sayang?" panggil Javas yang tidak menemukan Nara saat dia mencarinya di sekeliling ruang santai. Javas justru melihat meja makan mereka terisi dengan piring-piring nasi goreng. Alis Javas jadi bertaut sembari menuju kamar mandi. "Nayyara? Apa kamu di dalam?" ulang Javas sambil mengetuk pintu kelewat sopan.

Nara yang berada di kamar mandi pun menyahut, "Chatu kamu kok uda pulang."

"Iya, habisnya kangen istri pengen cium-cium," kelakar Javas.

"Ganjen ya kamu. Aku mandi dulu ya Chatu soalnya bau habis masak," timpal Nara memulai membasuh tubuh.

Tampaknya mereka akan mengobrol sementara Nara membersihkan diri. Javas juga sudah bersandar di depan pintu sembari melepaskan dasinya dan beberapa kancing teratas kemeja putih yang dia kenakan.

Pria itu kembali berucap setelah mendengar suara shower menyala, "Aku uda bilang kamu jangan masak, nanti capek. Perut kamu kan masih kram."

"Aku gak sakit perut tuh kan siklus bulananku uda selesai."

Oh ya? Benak Javas langsung cepat tanggap. Kalau siklus bulanan Nara sudah selesai artinya ... tolong ya Javas, lo bukan predator yang bakal langsung menerkam Nara. Ada adu argumen dalam kepala Javas, sisi baik dan sisi buruk saling menimpali enggan mengalah.

"Chatu, are you still there?" Tanya Nara lagi.

"Yes, Darling. Kenapa?" Lamunan Javas berhenti mendengar panggilan Naranya.

Ada jeda beberapa menit. Entah apa yang Nara pikirkan, sang wanita tak kunjung melanjutkan percakapan.

Hmm, tapi gak masalah dong gue kan suaminya Nara wajar kalau ngapa-ngapain istri gue. Pikiran kotor Javas masih berdemo. Uda dobrak aja itu pintu, mumpung Nara lagi telanjang. Serebrum Javas semakin anarkis.

"Kamu gak pengen mandi, Chatu?" vokal Nara tiba-tiba.

"Hah?" Javas tampak keki, intonasi Javas melengking. Dia takut pikirannya yang bangsat ini bisa didengar oleh sang istri.

Ada helaan nafas panjang dari Nara. "Kalau kamu mau mandi juga ... kamu bisa masuk biar sekalian mandinya," lanjutnya.

Jelas otak Javas yang brilian sedang mengalami server error. Wajah Javas merah padam, jantungnya berdetak keras, dan dan dan dan rasanya mau pingsan. Ini kejadian langka ketika seorang Javas Chatura Mavendra yang memiliki label playboy dan fuckboy bisa sesalah tingkah ini karena sang istri mengajak mandi.

"Tapi kalau kamu gak pengen gak papa ...." Nara berucap kembali sebab Javas bungkam. Nara tidak tahu kalau Javas masih sibuk melongo.

Pengen banget, Sayang. Aku pengen banget! Javas bermonolog dalam hati.

"Aku juga uda mau selesai," suara Nara bergema kembali. Kran air yang dinyalakan Nara berhenti mengalir.

Sadar Bung! Ini kesempatan emas! Otak Javas berteriak kencang lalu detik berikutnya Javas sudah meraih engsel pintu kamar mandi, membukanya. Mata Javas mengerjap beberapa kali.

Javas selalu bilang jika Nara itu cantik. Si pria berkulit seputih salju itu baru tahu Nara yang surainya basah, mengenakan jubah mandi, dan menatapnya dengan intens bisa luar biasa rupawan. Javas mengatur nafas, berusaha menetralkan raut agar tidak seperti orang bodoh. Percuma dong petualangannya dari ranjang ke ranjang jika tetap kikuk menghadapi istirnya.

Nara tersenyum, "Aku uda selesai. Kamu mandi dulu ya nanti kita makan bareng."

Makan bareng? Haha. Yang benar saja, Nayyara. Kamu sudah membangunkan singa, kamu punya tugas menidurkannya. Bukannya malah ngajak makan bareng.

Javas mendekati istrinya. Netra Javas berada di leher Nara kemudian turun ke dada sang wanita yang sedikit terbuka karena Nara tidak rapi dalam mengikatkan jubah mandi. Javas berusaha memfokuskan pikiran, mengusir hal-hal kotor yang ada ... hasilnya nihil.

Javas menginginkan Nara sekarang.

Javas menyentuh surai Nara yang basah. Dia berbisik tepat di telinga Nara, "Bantu aku mandi ya?"

Sementara, apa kabar Nayyara?

Jantung Nara berdetak tidak karuan. Huhuhu.

Nara tahu jika ucapannya agar Javas masuk ke kamar mandi tadi terkesan ambigu. Hanya saja dia tidak menyangka jika Javas sungguhan akan masuk ke sini. Nara jadi buru-buru meraih jubah mandi saat mendengar engsel pintu terbuka.

Kaki Nara bertransformasi menjadi jelly sewaktu Javas mulai mengusap wajahnya yang basah. Jari Javas berada di ujung bibirnya, menyentuh lembut. Pria itu seolah sedang menimbang apa yang harus dilakukan sementara Nara justru mengalihkan perhatian ke arah kemeja Javas.

"Bagaimana?" gumam Javas dengan suara rendah.

"A-apanya yang bagaimana?" Nara tergagap karena bibir Javas mulai menelusuri tengkuknya. Terlihat aneh mengobrol dengan posisi begini, lantaran begitu Nara suka. Nara menikmati sengatan listrik ketika Javas menghisap lembut lehernya, menandai wilayahnya.

Javas tidak menjawab lagi dia beralih menatap Nara dengan pandangan yang sayu kemudian mendorong istrinya pelan sampai ke arah shower. "Bantu aku mandi," yang diucapkan Javas bukan lagi permintaan tapi perintah.

"Tapi kamu bukan bayi yang perlu dimandiin―"

"―Memang bukan," potong Javas.

Javas mengecup Nara perlahan, lembut melumat bibir gadis itu. Awalnya dia merasakan Nara berjungkit terkejut, selanjut Nara sudah pintar beradaptasi. Istrinya tak perlu waktu lama untuk membalas ciuman Javas. Nara serta merta membuka bibirnya ketika lidah Javas berusaha masuk, bertukar saliva.

"Hngggh," desah Nara, tangan Javas yang bebas mulai melepaskan jubah mandinya. Kain berwarna putih itu meluncur begitu saja ke lantai, menampilkan raga Nara yang tidak terhalang benang apa pun. Mungkin dalam kondisi normal, Nara akan sangat malu tapi ... kecapan Javas pada bibirnya membawa logika dan rasa malu pergi. Tangan Nara justru mengalung ke leher Javas, memerangkap suaminya agar terus menciumnya.

Javas tidak mengira jika raga Nara ialah hal paling menawan yang pernah dilihat. Jantungnya bahkan sudah tidak terkendali, matanya memindai kulit Nara yang selembut kapas. Mencium aroma Nara sewangi jeruk. Javas membiarkan jari Nara beranjak menanggalkan satu-persatu kemejanya kemudian beranjak pada celana kain milik Javas. Pada akhirnya mereka berdua sama-sama membiarkan tubuh mereka polos.

Sang suami sempat menahan nafas ketika tangan Nara dentan sengaja menyentuh kejantanannya. Nara suka respons Javas. Dia bermain di sana, memijat milik Javas pelan. Kendati demikian, tangan Nara segera direnggut Javas agar tidak nakal di sana. Javas ingin menjadi dominan dalam percintaan pertama mereka, lantas pria itu pun meraih tangan Nara mengecupnya kemudian memasukkan ke mulutnya.

"Euunggh," Nara tidak dapat menahan suara memalukan itu keluar dari dirinya. Melihat Javas yang begitu seksi adalah dosa yang akan ia syukuri.

"Manis," bisik Javas setelah melepaskan jari Nara yang dikulumnya tadi.

Nara merasakan punggungnya membentur dinding. Ia terkurung di antara lengan Javas yang untungnya begitu―kalau tidak, Nara yakin dia sudah tersungkur akibat tangan Javas meremas dadanya dan bermain di sana. Javas perlahan bergerak menggunakan mulutnya lagi untuk menggerayangi dada si perempuan. Nara merasakan semua sensasi ini, dia tidak bisa mendeskripsikannya semuanya terasa menyenangkan.

"Javas!" Nara terkejut saat air shower menyala membasahi mereka. Kecupan mereka lepas. Nara mendapati wajah Javas yang menyeringai.

"Mandi, kamu nemenin aku mandi," katanya bermain-main.

Nara tidak tahu definisi mandi versi Javas, bukannya mengambil sabun atau sampo Javas justru membenamkan wajahnya diantara kaki Nara. Ini di luar akal sehat Nara ... Javas mengecupi kaki, pahanya, dan berakhir di bagian paling sensitif dari Nara. Lagi-lagi Nara mendesah bersamaan dengan mulut Javas yang menghisapnya. Nara tidak bisa mengendalikan bibirnya yang terus menyuarakan nama Javas, tangannya berada di kepala suaminya―menyalurkan semua dengan menarik surai Javas.

"No―Javas―no!" Itu yang dikatakan Nara sebelum mendapatkan pelepasan kenikmatan yang pertama. Ia terhuyung lantas Javas menangkap tubuh Nara.

Javas tersenyum lembut ketika melihat betapa terangsangnya wajah wanita yang berada di pelukannya. "Is it good, Baby?" tanya Javas.

Nara yang masih belum fokus karena jari Javas mulai memasuki bagian inti dirinya pun tanpa sadar mengangguk. Jelas Nara akan kesusahan mengalahkan keahlian Javas dalam bercumbu. Nara hanya bisa memeluk Javas, dia menggigit bibir agar desahan memalukan itu tidak keluar dari mulutnya.

Susah sekali menahannya.

"Say my name," bisik Javas rendah, mengeratkan pelukannya sementara Javas memperdalam his fingering game. Ini akan memudahkan Javas ketika ingin menyatukan tubuh mereka.

"Javas please ...." Nara tidak tahu memohon untuk apa, dia hanya ingin Javas tidak berhenti.

Nara mendapatkan pelepasannya untuk yang kedua, melimpahi tangan Javas yang berada di bagian privatnya dengan cairan cinta. Dia semakin basah, Javas tanpa ekspresi jijik sedikit pun membersihkan pangkal paha Nara.

Nara menengadahkan kepala, matanya terpejam, sementara bibirnya terbuka―pemandangan yang sangat sensual di mata Javas. Pria itu menciumnya lagi. Kecupan di bawah air yang mengguyur mereka seperti ini sangat menaikkan gairahnya. Javas menyadari jika miliknya pun sudah berdiri tapi dia mengendalikan diri. Ini kali pertama Nara bercinta, melakukannya sembari berdiri hanya akan membuat gadisnya kesakitan. Javas memutuskan menggendong Nara dalam sekali tarikan, tubuh Nara terasa ringan karena istrinya hanya pasrah. Tempat tidur jauh lebih baik daripada lantai kamar mandi, pikirnya.

"My pretty, Darling," Javas mengagumi Nara sekali lagi. Pria itu meletakkan tubuh istrinya dengan perlahan ke ranjang kemudian memanjat naik. "My dearest baby," sambungnya lagi lalu mencium kening Nara. Javas terus memberikan rayuan serta pernyataan cintanya. "I love you, Sweetheart," ungkapnya sebelum memosisikan diri berada di antara paha Nara.

Nara terperangah menatap kejantanan Javas yang sudah mentereng di bawah sana. Gadis itu menggigit bibirnya sekali lagi memerhatikan kepunyaan Javas.

Apa benda tumpul itu aman? Apa aku bisa jalan besok kalau Javas memasukkannya? Pasti sakit?! Nara mengalami pergolakan batin.

Nara mencengkeram lengan Javas yang akan memulai. Nara menatap suaminya ragu. "Apa nanti sakit?" tanyanya.

Akan sakit tapi Javas sudah memudahkan jalannya, bagian bawah Nara sangat basah karena ulahnya. Javas tidak tahu akan sesakit apa, Javas belum pernah tidur dengan perempuan yang virgin. Nara satu-satunya. Sang suami akan melakukannya selembut yang dirinya bisa.

"Sedikit," balas Javas. Dia menatap Nara. "Apa kamu ingin aku berhenti?" tanyanya lagi.

Nara menggigit bibir. Jarinya beranjak mengusap otot perut Javas, dia mendapati Javas sangat menikmatinya dan memohon agar melanjutkan. Mana bisa Nara meminta Javas berhenti sementara pria yang dia cintai tersiksa begitu?

Nara pun menggeleng. "Aku ingin Javas," kata Nara dia menarik Javas untuk mengecupnya lagi. Mereka beradu bibir beberapa menit kemudian .... hingga Nara mengatakan, "Now, let me be yours."

Javas mengerti. Javas mulai memasuki tubuh Nara. Alis pria itu bertaut penuh konsentrasi, dia tidak mengira bahwa akan kesulitan, sangat sempit, dan membuatnya merasakan rangsangan begitu kuat. Javas bahkan tidak protes saat kuku Nara terbenam di punggungnya. Gadis itu mengerang, berusaha menghindar tapi Javas tidak bisa berhenti di tengah-tengah.

"Argh ... Chatu sakit," keluh Nara merana ketika milik Javas berusaha masuk sepenuhnya. Nara menggeliat, benda asing itu mulai memperdalam. "Sakit Javas sakit sekali," Nara mulai menangis.

Javas memejamkan mata, dia ingin segera mengakhirinya. Javas tidak bisa melihat Nara menangis begitu tersiksa. Javas pun mengentakkan miliknya, merasakan sesuatu robek di dalam sana hingga semuanya terbenam sempurna. It feel so great.

Nafas Javas memburu, wajahnya berada di antara leher Nara―menghirup nafas banyak-banyak sembari memberikan tanda cinta. Bahu Nara naik turun, masih tergugu. Javas sangat merasa bersalah karena merasakan kenikmatan sementara Nara kesakitan.

"I'm sorry, Darling. I really sorry." Javas hanya bisa meminta maaf. Javas meraup wajah, menahan keinginan untuk segera bergerak agar milik Nara menyesuaikan diri dengan ukuran kejantanannya.

"Sakit ...." gumam Nara.

"It will be okay, Darling. I promise it will be haeven to you. Darling, listen to me I love you so much," Javas terus membisikkan kata-kata penghiburan.

"I love you too, Chatu. But, its so hurt please.... I want you so much but its hurt," Nara meracau.

Ini pertama kalinya Javas berpikir untuk mengakhiri kegiatan bercinta, padahal dirinya masih belum mencapai puncak. Javas sudah akan beranjak dari tubuh Nara, tapi gadis itu justru menarik lengan Javas sampai mereka menyatu kembali.

"Ahhhh..." Javas berdesis. Rasanya menakjubkan.

Nara menghapus air mata, berusaha kuat. "Don't stop. Finish what you started," tukas Nara.

"But I hurt you...."

"I try to handle it. Please be gentle."

Javas memejamkan netra. Kali ini dia ingin egois. Tubuhnya pun mulai bergerak, memompa sesuatu yang berada di bawah. Javas menarik dirinya hingga ujung, lalu membenamkan diri kembali kepada Nara sepenuhnya. Logika Javas telah hilang, Nara begitu memabukkan. Sementara jari-jari Nara mencengkeram selimut dan mendengarkan derit ranjang mereka yang jelas sudah sangat berantakan.

"More Javas ...." pinta Nara. Dia ingin Javas terus mencumbunya, menggerakkan tubuh mereka.

Nara yang awalnya kesakitan pun perlahan menikmati gerakan ini. Larut dalam segala sentuhan, kecupan serta penyatuan. Nara bahagia saat Javas mengeramkan namanya, meminta sentuhannya, hingga tidak bisa membendung libido.

"Nayyara, Darling. It's so good, Baby," kata Javas yang sudah tidak bisa bermain dengan pelan.

Nara menggapai Javas, meminta kecupan agar bibirnya tidak menganggur. Suara pertemuan mereka terdengar ramai.

Keringat mereka mengalir di pelipis. Nara sudah sampai pada puncak untuk ke sekian kalinya sementara Javas terus bergerak di atas Nara. Paras Javas terlewat rupawan dengan segala gairah. Dia melampiaskan semua. Pertama kali Javas sangat menikmati percintaan, hingga belasan menit kemudian puncaknya kian dekat. Javas jelas sudah menjadikan Nara sebagai candunya. Dia tidak pernah seserakah ini, dia menginginkan Nara lagi dan lagi.

Nara tetap mencengkeram lengan Javas. Javas begitu keras dan tebal malam ini, dia pria yang tangguh. Javas menekan paha Nara agar miliknya bisa meraih sisi terdalam istrinya.

"Javas, a―aku ingin―"

"―Wait me, Darling. Sebentar lagi."

Tubuh Javas bergetar. Si pria mengentakkan kembali hingga masuk ke titik paling sensitif Nara. Javas mengerang, cairan cintanya pun tumpah.

Nara merasakan hangat dalam dirinya. Entah sudah berapa kali dia sampai puncak, tapi Javas hanya sekali. Nara meyakinkan dirinya, dia harus belajar banyak masalah ranjang.

"Apa masih sakit?" tanya Javas pelan saat melihat bercak darah dari pangkal paha istrinya.

Nara mengangguk.

"I'm so sorry, Darling."

Pria itu lantas ambruk di atas Nara, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya, menggigitnya penuh sayang. Javas jelas belum puas, ia menginginkannya lagi. Namun Nara yang nafasnya memburu pun menyadarkannya jika ini pertama kali bagi kasihnya. Apalagi Javas takut Nara mengalami pendarahan.

Javas bertumpu pada tangan agar tidak memberatkan Nara. "You are no longer virgin then and that happen because of me," kata Javas bangga.

"Hmmm..." Nara hanya bergumam karena dia terlalu lelah.

Javas tersenyum, Nara terlihat kacau-surai berantakan dan wajah penuh peluh. "My beautiful wife," gumam Javas sembari mencium kening istrinya. "Thank you for letting me to be the first one. I promise that you always be my last one," sambungnya.

Nara tersenyum, tangannya menyentuh Javas meminta kecupan. "My first one and my last one itu kamu, Chatu."

"Thank you, Darling. Thank you."

Javas ikut menjungkitkan bibir. Dia menikmati pemandangan indah yang bersubjek kepada Nara. Javas mampu menghabiskan seluruh sisa hidupnya hanya untuk menatap sang istri.

"Husband," panggil Nara pelan setelah mereka beristirahat beberapa menit-bagian tubuh Javas masih berada di dalam Nara.

"Mmm, Sayang?" Javas menjawab sekenanya karena dia sibuk menatap Nara yang pipinya tengah merona.

"Aku ingin lagi," bisik Nara malu-malu.

"L―lagi, Nayyara?"

Nara mengangguk. Dia melihat Javas memohon. "Apa tidak boleh, Chatu?" Tanya Nara kecewa.

Javas diam, tapi otaknya yang jauh dari bersih itu berteriak kencang ....

SERIOUS, BABY? WELL, AS YOU WISH MY DARLING. TENTU SAJA BOLEH.

-oOo-

Happy Valentine Day!~♡♡♡

Halo hahahahaha terima kasih sudah membaca part 22. Aku nulisnya ini lancar banget cuma butuh dua hari wkwkwk.

Kita bakal memasuki kehidupan rumah tangga Javas dan Nara hahahaha setelah lika-liku percintaan mereka waktu jadi temen aja dan pacaran saatnya masuk ke jenjang berikutnya menjadi suami-istri, keluarga, dan orangtua.

Hehehehehhe semoga bagian NC-nya gak terlalu panas dan vulgar. Aku uda berusaha agar well bisa dibaca oleh 17+ biar nggak 21+ :')

oke, sampai jumpa di part selanjutnya. Yang bakal aku lanjut setelah 200 vote dan 200 komentar.

Bye-byeeee have a nice daaayyy!~

FYI: ini part terpanjang di Perfectly Imperfect :')

Spoiler bisa dibaca di twitterku @.twelveblossom. hehehehe

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 63.2K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
41.1K 9.4K 111
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
764K 54.9K 46
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
177K 19.5K 40
Xiao Zhan kabur dari kejaran orang-orang yg ingin melecehkannya dan tidak sengaja memasuki sebuah ruangan, ruangan dimana terdapat seorang pria yg se...