Malam Pertama Lara (18+)

Per Puspitalagi

300K 4K 335

Lara Lembayung berjingkat pelan turun dari tempat tidur. Kakinya yang jenjang menapak dengan hati-hati di ata... Més

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15

Part 10

21K 246 23
Per Puspitalagi

Apakah ada perempuan lain?

Atau mungkin ... lelaki lain barangkali?

Lara tercenung dengan mata kosong di sisi ranjangnya yang dingin. Ia merasa sama sekali belum mengenal siapa Juan. Ia kira pertemuan singkat dan sedikit rekomendasi dari Mama dan Budhe Nyai, bisa menjamin bahwa pernikahannya ini baik-baik saja.

Tapi, apakah demikian adanya?

Jika Juan memiliki perempuan lain, kenapa lelaki itu mau menikahi dirinya? Atau jika ia mungkin memiliki lelaki lain ... Lara bergidik. Tidak. Juan tidak mungkin seperti itu.

Ia ingat pernah meng-googling nama 'Juan de Borgh'. Benar kata Osman, lelaki itu memiliki banyak skandal dengan perempuan-perempuan cantik. Bukan perempuan biasa dari kampung seperti dirinya, tapi artis, model, pengusaha, dan entah ia sulit mengingat. Sebenarnya, ia tak mau mengingatnya sama sekali.

Deretan nama perempuan di Google pada laman-laman gosip itu sebenarnya tidak membuat Lara jengah. Itu mungkin masa lalu suaminya, ia tak keberatan. Tapi, bagaimana jika Juan tidak mau berubah?

Apakah dirinya tidak cukup cantik menyaingi mantan-mantan kekasihnya itu?

Lara berdiri di hadapan cermin kuno berukir yang tergantung rendah di sisi lemari. Ia melihat bayangan dirinya. Setengah geli dan malu. Jika mungkin tadi ia masih melihat semu merah di pipi karena menahan rasa malu saat hendak menggoda suaminya, kini pipinya memucat.

Ia seperti baru melihat hantu.

Lara memutar tubuhnya, apakah ada yang salah dengan bentuk tubuhnya ini? Menurut Gendis dan Woro, ia memiliki tubuh paling proposional di antara putri-putri de Weisch yang lain. Walau warna kulitnya paling gelap. 

Menurut tetangganya yang terkadang bermulut tajam, wajahnya tidak terlalu komersil dibanding saudari-saudarinya. Ia hanya tertawa. Lara sama sekali tidak hendak mengkomersilkan wajah atau tubuhnya.

Tiba-tiba Lara merindukan keluarganya.

Lara melipat lingerie pembawa bencana itu ke dalam koper mungilnya. Empat lingerie licin berwarna gelap itu sudah rapi tak mengintip apapun dari dalam. Di sana pasti gelap dan pekat. Gadis itu membatin.

Ia melongok melihat jam weker di atas nakas, sudah pukul satu malam, tapi ia tak kunjung bisa memejamkan mata. Ia sudah mengenakan piama flannel yang hangat dan nyaman. 

Membersihkan rambutnya dari jepit-jepit kecil bermotif mutiara, dan mencuci bersih tangannya menyingkirkan harum parfum berwangi vanilli.

Apakah ada yang salah jika ia memulai? Ia dan Juan sudah menikah setidaknya tujuh hari. Selama itu, mereka sibuk dengan beragam hal hingga melupakan malam pertama. Bukankah itu malam yang penting?

Menurut apa yang dibaca dan dipelajarinya bersama ustazah Alia, tak mengapa jika perempuan yang mengambil inisiatif, itu juga bagian dari pelayanan pada suami. Sebuah service excellent untuk memperdalam cinta pada pasangan. Begitulah Lara mengingatnya.

Jadi, selama perjalanan ke resor ini, dan sepanjang siang tadi ia sudah merencanakan malam ini. Ia bahkan makan sedikit sekali sehingga pinggangnya bisa terlihat lebih rata.

Yah, ia memang tak bermasalah dengan berat badan, tapi menjaga agar tubuhnya tampak prima pada malam pertama sepertinya juga bagian dari ibadah.

Apakah hal ini terlalu cepat bagi Juan? Secara teori mereka memang baru mengenal, bahkan mungkin tidak sampai sebulan ia bertemu kali pertama dengan Juan lalu menikah. Adakah pernikahan modern yang lebih cepat dari itu?

Atau apakah lelaki itu keberatan jika perempuan yang melakukan inisiatif terlebih dahulu? Lara menggeleng kuat. Sepertinya tidak. Juan dibesarkan dari keluarga berdarah asing yang tentu jauh lebih bebas menerjemahkan relasi laki-laki dan perempuan.

Lara mengembuskan napas dengan berat. Ia masih ingat bagaimana pandangan mata Juan yang begitu mengintimidasi dan memandang remeh dirinya. Lelaki itu bahkan dengan jelas menyebut tidak akan ada hal-hal semacam itu di Taman Asoka.

Lara tersenyum pahit. Matanya masih sulit terpejam. Ia bangkit mengambil mushaf dari nakas di samping tempat tidurnya.

Ini kebiasaannya, ia mungkin akan menghabiskan malam panjang ini dengan tilawah. Rasanya, sudah lama sekali ia tak menyentuh mushaf kesayangannya itu.

Lara menyalakan lampu kamar. Sinar temaram dari samping tempat tidur ia ganti dengan cahaya menyilaukan dari lampu yang tergantung di atas ranjang. Gadis itu bergegas mengambil air wudhu, membuka mushaf dan memulai malamnya yang terasa sangat panjang.

OOO

Sudah nyaris pukul tiga pagi, tapi Juan belum juga mampu memejamkan mata. Semalaman tadi, ia tak bisa tidur dan harus mendengar suara merdu Lara yang mengaji samar hingga pukul dua.

Lalu sepi, mungkin gadis itu tertidur kelelahan. Sementara dirinya, harus mati-matian melawan insomnia yang kembali menyerang.

Juan sebenarnya tak percaya apa yang dilakukannya tadi malam. Bagaimana mungkin ia menolak gadis seseksi Lara?

Juan begitu mengingat pandangan mata Lara yang menyimpan rasa sakit hati. Diam-diam ia menyukai pancaran rasa sakit dari mata kelam gadis itu.

Apakah salah jika ia sebenarnya menikmati perjuangan Lara untuk mendapatkan perhatian darinya?

Juan tersenyum samar. Tidak. ia malah curiga apa yang dilakukan Lara hanya semata-mata menjalankan ragam aturan dan doktrin dari Nugraha Wetan.

Lagi pula, ia belum mencintai gadis itu, bagaimana mungkin ia bisa menyentuhnya tanpa rasa cinta?

Juan mengingat bagaimana Lara kemudian menjelma menjadi perempuan yang begitu menarik pasca mereka menikah. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia bahkan tak ingin daya tarik Lara menyedot seluruh perhatiannya.

Ia lelaki, ia pula yang harusnya memegang kendali.

Jika ia seperti menyiksa gadis itu, sebenarnya tidak begitu. Ia cukup tahu diri omong-omong. Memang terkadang, ia mengeluarkan kalimat-kalimat pedas, tapi bukankah Juan de Borgh selalu begitu?

Lara tahu pasti hal itu, karena mereka pernah bertemu di wisma de Borgh. Ia ingat sekali bagaimana bibir Lara yang mungil tapi berkesan penuh itu tersenyum, berusaha mengumpulkan keberanian dari dirinya yang mungkin tampak terlalu superior di depannya.

Gadis itu tidak mendebat dirinya bahkan setelah ia mengeluarkan beragam kalimat-kalimat bernada sampah. Lara cuma terdiam menelan kata-kata omong kosong darinya, berusaha tenang, dan lagi-lagi gadis itu meminta maaf.

Berapa kali gadis minta maaf padanya? Ia tak tahu dan sebenarnya tak ingin tahu.

Sekarang, ia tak percaya menginap di resor Taman Asoka dengan perempuan yang tak berbagi ranjang dengannya. Itu karena ia tak mau. Juan mengoreksi. Padahal jarak di antara kamar mereka hanya dipisah tembok berdinding kayu.

Ia bisa mendengar gadis itu mondar mandir dengan langkah kaki pelan, terkadang terburu-buru. Atau saat gadis itu membuka lemari pakaian. Ia bisa mendengar derit pintu lemari yang dibuka lalu ditutup. Ia bahkan menyimak dengan jelas bagaimana Lara seperti mengenyakkan diri di atas ranjangnya.

Rasa-rasanya Juan tidak mungkin bisa tidur malam ini. Alam terlalu sepi. Suara-suara dari kamar Lara juga sudah hilang. Berganti gemerisik angin pasca hujan yang mengguyur deras tadi malam. Menerbangkan daun-daun yang luruh dan menyentuh bumi.

Rasa senyap luar biasa. Hening. Juan sebenarnya, menyukai kesenyapan ini. Itu sebabnya ia tak tertarik menghabiskan waktu di kota-kota metropolis justru memilih alam pedesaan yang lengang dan nyaris belum terjamah.

Kini, lelaki lajang yang memuja kebebasan harus terikat dalam pernikahan demi menyelesaikan ambisi dirinya yang tak terkendali. Juan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Apakah karena alasan itu ia marah dan tak bisa menerima kehadiran Lara?

Ia tak tahu. Yang ia tahu ia sama sekali tak menginginkan pernikahan ini.

Namun, kenapa setelah menolak Lara tadi malam, ia justru tak bahagia? Ia seperti marah pada dirinya dan tampak gelisah sepanjang malam.

Insomnia kembali menyerang, dan ia malah menunggu suara-suara dari kamar gadis itu. Ya, Tuhan!

Juan berdiri, melangkah ke luar kamar. Perutnya, rasanya kembali lapar. Mungkin ia bisa menemukan makanan ringan atau buah di dalam kulkas.

Ia membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin membangunkan Lara. Ia cukup tahu diri walau terkadang bersikap kurang ajar pada gadis itu.

Saat ia melangkah melewati kamar Lara, ia melihat sekilas pintu tak ditutup dengan rapat. Juan bertanya dalam hati. Kenapa Lara begitu ceroboh tak menutup pintu setelah penolakannya kemarin. Apa gadis itu tak sakit hati?

Juan cepat-cepat meraih gagang pintu kamar Lara, saat ia mendengar suara napas Lara yang tertidur setengah berbaring dengan Alquran kecil di pangkuannya.

Gadis itu tampak tidur dengan damai. Rambutnya yang bergelombang panjang jatuh di sisi bantal dengan indah. Ia sudah mengganti lingerie hitamnya dengan piama bermotif boneka.

Ya, Tuhan! Kenapa gadis ini cantik sekali? Kepala Juan rasanya berdenyut lebih sakit ketimbang saat insomnianya menyerang. Kenapa gadis ini tidak bertampang biasa-biasa saja? Tentu lebih mudah baginya, untuk melewati semua hal konyol pernikahan ini.

Apa mungkin ini cara Tuhan mengejek dan mempermalukan dirinya karena telah durhaka pada orang tuanya? Ia ingat bagaimana binar bahagia di mata Mama dan Papanya, sesaat setelah ia mengucapkan ijab qabul di masjid.

Apakah ia berdosa tak menuruti kehendak Papanya saat mengatakan agar ia bersikap dan berperilaku baik pada gadis itu? 

Ah, masa bodoh dengan semua. Ia merasa cukup berperilaku baik terhadap Lara di hadapan dua keluarga besar.

Tapi, di sini ia bebas melakukan apapun pada gadis itu.

Juan hanya berdiri di sisi ranjang. Ia ingin menyentuh rambut indah Lara yang biasanya selalu tertutup hijab. Perlahan, ada rasa bangga menyadari bahwa ia satu-satunya lelaki yang bisa menikmati kecantikan ini.

Ia sudah lama tak sedekat ini dengan perempuan manapun, itu karena tidak ada yang membuat hatinya berdetak lemah.

Juan membungkuk, ia mengambil selimut di tepi ranjang. Selimut tebal ini tentu bisa membuat gadis ini tertidur lelap. Lelaki itu tersenyum samar. Menyelimuti tubuh Lara, meletakkan Alquran kecil di atas nakas, mematikan lampu kamar, dan menggantinya dengan cahaya temaram dari lampu tidur.

Sesaat ia ingin lebih lama berada di kamar Lara. Tapi, gadis itu tampak bergerak ke samping. Sedikit mengigau. Terburu-buru Juan meraih daun pintu. Lalu menutupnya dengan rapat dari luar.

OOO

Rasa sakit menyerang kepala Juan sesaat ia duduk sembari memejamkan mata. Ia bangkit dan sedikit terseok-seok ke kamar mandi. Saat hendak memasuki kamar mandi, ia melihat handuk bersih, di tepi ranjang.

Lara pasti yang meletakkannya di situ. Tiba-tiba matanya terbelalak dengan lipatan sajadah dan sarung tak jauh dari nakas. Jam berapa ini? Mata Juan menyipit memandang jendela. Ia mencari-cari jam weker di atas nakas. Jam setengah enam pagi.

Ya, Tuhan! Ia meloncat dan segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Matanya melebar mencium aroma vanilli. Apa Lara memakai kamar mandinya? Ia juga mencium bau sabun yang tidak begitu familier.

Juan membuka tirai kamar mandi, mungkin bisa mendapati Lara ada di dalamnya. Pikiran konyol dari mana? Juan mengutuk dirinya kemudian mulai membersihkan badan.

Juan ke luar dari kamar mandi, mendapati suasana lengang yang asing. Ke mana Lara? Ia bergegas menuju dapur, di meja makan sudah terhidang dua potong roti sandwich berisi daging panggang dan segelas susu.

Juan melangkahkan kaki ke kamar Lara. Ia membuka pintu lebar-lebar. Ia melongok ke dalam. Ranjang, lemari, dan pintu kamar mandi tertutup rapi. Apa gadis itu sedang mandi?

Ragu-ragu Juan mengetuk pintu kamar mandi. Beberapa ketukan tidak ada jawaban. Dengan tidak sabar ia membuka pintu kamar mandi dan mendapatinya kosong. Tidak ada tanda-tanda Lara berada di kamar mandi sedari tadi.

Sembari ke luar dari kamar Lara, Juan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Ia hanya mengenakan bathrobe. Perutnya yang kosong menari-nari minta diisi. Tapi, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan melakukan peregangan ringan dan sedikit latihan cardio.

Setelah puas berkeringat, Juan melangkah ke meja makan. Ia tercenung dan mendapati meja ini terasa sepi tanpa kehadiran Lara. Di mana gadis itu?

Ia mengunyah sarapan paginya dengan sedikit kesal. Mendapati rumah terasa kosong melompong tanpa kehadiran Lara. Tapi, ia yakin Lara baru saja berada di ruang makan. Ia masih mencium bau parfum vanilli dengan aksen mawar.

Apa yang terjadi dengan gadis itu? Apa dia pulang ke Nugraha Wetan?

Juan menyingkirkan pikiran konyol tersebut. Perempuan seperti Lara sepertinya tidak mungkin pergi tanpa pamit.

Juan kembali berjalan ke dapur, membuka jendela dan memutar pandangan. Mencari-cari sosok Lara. Berusaha menguatkan diri, bahwa ini hal yang biasa terjadi. Jika ia mengkhawatirkan gadis itu, bukan berarti ia mulai memberi perhatian tapi lebih karena takut terjadi apa-apa padanya.

Juan meletakkan piring dan mulai meneguk air putih. Ia lebih suka jus jeruk di pagi hari ketimbang segelas susu. Ia melihat kotak bekal makanan di sisi meja. Lara pasti membuatkannya makan siang. Ia ingin tak menghiraukan kotak bekal itu, tapi saat mengingat rasa masakan koki resor ini, dengan cepat ia menyambarnya.

Setelah memakai baju kerja dan merapikan beberapa dokumen di dalam tas. Ia melangkah ke luar.

Pagi ini cahaya kekuningan matahari terasa hangat. Rumput, dedaunan masih basah, dan bunga warna-warni di sepanjang jalan resor bergoyang riang.

Di depan tangga kayu, Juan masih memutar pandangan. Mungkin Lara sedang jogging atau melihat-lihat pemandangan. Ia turun perlahan seperti mengulur waktu menunggu kehadiran Lara.

Ia merasakan hal aneh. Setelah bertahun-tahun merasa nyaman dengan kesendirian, tiba-tiba ia merasa kesepian. Hanya karena tak mendapati sosok Lara beberapa puluh menit saja. []

Continua llegint

You'll Also Like

4.9M 180K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
9.5K 201 4
Bismillah. Semoga kalian suka ya sama ceritaku ini. Mohon maaf jika ceritanya kadang suka gaje 🤣🙏🏼 Jangan lupa VOTE dan komen ya Jangan lupa follo...
3.3M 178K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
1.3M 19.1K 38
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...