Serendipity

Por DililaDenata_

136 15 6

Dalam hidup ini, selalu ada hal menarik yang terselip di setiap kisah kita. Akan selalu ada orang-orang yang... Más

01. Ini Kisahku
02. Ekstrakulikuler
03. Berbelanja
04. Hari Jadi Pernikahan

05. Gosip

20 2 1
Por DililaDenata_

05.

Gosip.

》ACTION!《

Berlin, 2025.

Waktu kini menunjukkan pukul tiga dini hari. Semakin lama, hawa dingin semakin menyapa kulit. Kuusapkan kedua telapak tanganku berulang kali, lalu menempelkannya di kedua pipiku. Berharap cara sederhana ini dapat memberikan kehangatan barang sedikit.

Layar laptopku masih menunjukkan rangkaian kalimat yang kurajut. Sembari menuliskan kisahku, aku ditemani oleh celotehan Nabila tentang suaminya yang membuatnya khawatir karena ditugaskan menjaga wilayah perbatasan negara. Aku sesekali menanggapinya dengan gelak tawa, meski sebetulnya aku lebih banyak terdiam mendengarkan.

"Uhuk! Uhuk!"

Suara Nabila di seberang telepon terhenti. Begitu juga dengan gerakan tanganku yang secara spontan sedikit menurunkan kepala laptop. Waspada, aku menolehkan kepala ke belakang.

"Ya ampun!"

Dengan cepat aku bangkit dari posisiku, berlari menghampiri seorang lelaki yang tertidur memeluk balita di sampingnya. "Mas!" seruku.

Hampir saja aku tertawa melihatnya terbangun karena panggilanku yang cukup keras. Dengan mata yang masih sayu, dia menoleh menatapku. "Kenapa?"

"Kamu lagi sakit, nggak boleh pegang-pegang Ghania dulu, nanti ketularan!" Aku membawa balita yang tertidur lelap itu dalam dekapanku.

"Ghania, kan, cewek kuat, kayak ibunya."

Tak kupedulikan gombalan recehnya itu. Setelah menidurkan Ghania di kasur terpisah, aku mengambil termometer yang sudah siap di atas meja. Sengaja kuletakkan di sana agar tidak perlu repot mencarinya saat ada salah satu anggota keluargaku yang jatuh sakit.

"Ini, cek suhu dulu, Mas, aku mau nyari obat," ucapku sembari menyerahkan termometer pada lelaki di depanku.

Greb!

Belum genap aku melangkah, lelaki itu menahan tanganku. Membuatku mau tak mau kembali  berbalik badan menatapnya. "Kenapa lagi, Mas?"

"Besok aja. Sekarang udah malam, bahaya."

Aku menghela napas panjang. Sorot sayu dalam matanya telah hilang, berganti menjadi sorot tajam protektifnya. Di saat jatuh sakit sekalipun, dia tidak lantas kehilangan sisi protektifnya. Justru sikap protektif itu menjadi bertambah saat ia lemah.

"Nyari obatnya di dapur, kok."

"Oh." Dia melepaskan genggamannya, kembali bergelung di balik selimut. "Sekalian masak, 'kan? Kebangun malam-malam gini jadi lapar," ucapnya mengusap-usap perut.

"Nggak usah banyak bicara, Yang Mulia!"

Sepertinya kisahku akan kulanjut di lain hari. Untuk saat ini, aku ingin bersama lelaki aneh itu. Setelah dia kembali pulih, akan kuceritakan lagi kisahku pada kalian.

"Mau makan apa, Mas?"

"Burger!"

***


Semarang, 2015.

Ada satu hal yang membuatku tidak suka dengan kehadiran Kak Raga di rumah setelah dia disibukkan dengan kuliahnya di Jogja. Transportasiku ketika berangkat dan pulang sekolah menjadi tanggung jawabnya--biasanya aku pulang-pergi bersama Nabila.

Oleh karena itu, mau tidak mau aku harus bangun lebih pagi agar mulut pedas Kak Raga itu tidak bertingkah. Sedikit saja aku bangun lebih siang dari waktu yang ditentukan, akan sulit untuk membujuknya agar tetap bersedia mengantarku.

Ribet, 'kan?

Kak Raga sudah duduk di meja makan bersama Bunda. Tiga piring nasi goreng dan dua gelas susu cokelat yang tersasi di atas meja membuat semangatku meningkat.

"Ayah udah berangkat kerja, Bun?" tanyaku sebatas basa-basi.

"Iya. Ayah mungkin nggak akan pulang selama seminggu."

Aku mengangguk paham. Sudah menjadi hal yang wajar jika melihat satu kursi di meja makan kosong. Sebagai pemimpin perusahaan yang cabangnya sudah merambah ke luar negeri, kami paham betul akan kesibukan Ayah yang terlampau padat itu.

"Lo nggak nanya gue, kapan balik ke Jogja lagi gitu?"

"Nggak sudi," sahutku menjulurkan lidah kepada Kak Raga. Mengambil piring berisikan nasi goreng, aku segera melahapnya dengan nikmat. Bunda juga mulai menyantap sarapannya.

Aku melirik Kak Raga yang belum juga menyentuh makanannya. Fokusnya sejak tadi tertuju pada ponselnya. Entah apa yang menjadi perhatiannya hingga membuatnya memasang wajah tegang seolah-olah akan terjadi sesuatu.

"Tumben nggak makan lo, Kak."

Kak Raga menoleh. Sadar aku terus menatap ponselnya, dia segera mematikan ponsel hitam itu dan menyimpannya di saku celana. Dia berdehem sejenak sebelum berucap, "Gue mau panasin si Jaguar dulu. Lo agak cepetan, ya. Gue juga mau ketemu sama Bu Anna."

Otakku diserang berbagai pertanyaan melihat Kak Raga melenggang pergi dengan tatapan tajamnya. Tidak seperti biasanya.

Aku segera menghabiskan susu cokelatku, dan buru-buru memasang sepatu. Tak lupa, aku mencium punggung tangan Bunda sebelum berangkat. Setelahnya, aku menghampiri Kak Raga yang sudah siap di atas Jaguar, motor hitam kesayangannya.

"Pegangan erat-erat."

"Hah?"

"Gue mau ngebut."

Aku menatap Kak Raga tidak mengerti. Kenapa pagi-pagi dia sudah terlihat aneh?

***

Benar. Kak Raga ngebut bukan main. Dalam waktu kira-kira sekitar tujuh menit, kami sudah tiba di tempat parkir sekolah. Kak Raga melepaskan helmku, lalu menggantungkannya di spion.

"Lo masih temenan sama Nabila?" Kak Raga tiba-tiba bertanya di tengah perjalanan menuju ruang guru--dia memintaku untuk menemaninya ke sana.

"Iya, dong!"

Aku melongo menangkap senyum tipis Kak Raga. Tidak hanya aku, senyum itu juga membuat gadis-gadis yang melihatnya menjerit tertahan.

Meski Kak Raga telah menjadi alumni, namanya masih bersinar di sini. Selain karena ketampanannya, dia juga terkenal sebagai siswa berandal dengan sejuta prestasi dan keributannya. Terutama bagi siswa kelas sebelas dan dua belas yang sempat melihatnya secara langsung.

"Lo tunggu gue dulu, ya?"

"Kenapa emang?"

"Gue anterin ke kelas."

"Nggak perlu."

"Perlu!"

Aku mendengkus sebal. Kali ini aku hanya mengikuti perintahnya. Aku sedang enggan menganggu Kak Raga. Masih penasaran apa yang membuatnya tegang di pagi hari yang cerah ini.

Oh, enggak.

Kutarik ucapanku. Pagi hari yang cerah telah menghilang begitu Felicia berjalan melewatiku. Sesaat, kulihat dia tersenyum miring melirikku.

Sialan. Ada masalah apa, sih, di hidupnya?

"Vanya!"

Aku menoleh begitu mendengar seseorang menyerukan namaku. Belum sempat aku menjawab, Nabila sudah menarikku bangkit dari bangku. Wajahnya tampak serius. "Kenapa, Bil?" tanyaku.

"Lo harus ikut gue!"

"Kenapa?"

Tarikan Nabila tertahan karena ada tangan lain yang menahannya seiring dengan suara bariton itu. Aku menoleh.

"Pas banget ada Kak Raga!"

Tanpa menunggu respon dari kakakku itu, Nabila berlari menarik tanganku. Kak Raga mengikuti di belakang.

Aku yang tidak mengerti apapun hanya pasrah berlari mengikuti Nabila dengan napas tak beraturan. Mau bertanya pun rasanya tidak sempat. Nabila sedang serius. Dia tidak akan menanggapi apapun pertanyaanku.

Langkah Nabila terhenti di depan mading yang terletak di koridor penghubung antara gedung A dengan gedung B. Tempat paling strategis di mana hampir semua junior dan senior bertemu dan bersemuka. Tak hanya itu, posisi mading itu juga berada di samping mading guru.

Banyak orang berkerumun di sana. Nabila dengan mudahnya menarikku menerobos kerumunan itu. Telunjuknya menunjuk sebuah kertas merah muda yang isinya seketika membuatku mematung.

Nama dia Vanya, anak kelas 10 IPS 1. Gue cuma mau ngasih informasi. Buat kalian yang punya cowok, tolong sebisa mungkin jauh-jauh dari dia. Kenapa? Dia itu pelakor! Udah rebut cowok orang. Kalau sebatas pacar doang, it's okay. Tapi, dia rebut cowok yang udah punya tunangan!

"Apaan ini?"

Aku menatap sebuah foto yang tertempel di kertas itu. Fotoku dengan Kak Reygan ketika kami berbelanja dan pergi ke cafe bersama tempo hari.

Aku masih terdiam, berpikir. Apa maksud dari semua ini? Siapa yang dengan bodohnya membuat berita palsu ini? Dan ... tunangan?

Krek!

"Bubar!"

Kak Raga merangkulku. Tangannya mengusap bahuku lembut. Membuatku sedikit merasa tenang, meski tentu saja masih terguncang.

"Kalian ke kelas aja, biar gue pastiin nggak ada ginian lagi di mading yang lain," ucap Kak Raga sebelum melangkah pergi meninggalkanku dan Nabila.

Nabila memasukkan kertas tadi ke dalam saku roknya. Bentuk kertas itu sudah menjadi bola tak beraturan karena remasan Kak Raga.

Nabila kemudian menarikku menuju kelas. Cewek itu balas menatap tajam siswa lain yang menatapku dengan bisik-bisik tak mengenakkan.

"Nya, lo nggak apa-apa?"

"Siapa yang lakuin itu?"

"Laporin aja, Nya!"

Seisi kelas langsung menghampiri begitu aku dan Nabila tiba di kelas. Berbagai pertanyaan mereka lontarkan tanpa jeda. Nabila sudah membuka mulut hendak menghentikan mereka, namun kutahan.

Aku mendengkus pelan. Kulukis senyum lebar yang menjadi ciri khasku. "Santai! Gue bakal nyari pelakunya, terus langsung gue bantai di tempat tanpa harus laporan dulu!" ucapku diselingi tawa.

"Coba minta bantuan Kak Reygan aja!"

Kak Reygan.

Aku menggeleng cepat ketika nama itu disebutkan Fina. Mengingat nama itulah yang menjadi sebab mengapa semua ini bisa terjadi. Aku jelas tidak mau memperpanjang masalah.

"Kalian semua jangan sampai ada yang bilang masalah ini ke Kak Reygan." Aku menatap mereka satu per satu, lalu menunjuk Nabila. "Terutama lo, Bil."

"Kalau dia udah tau?"

"Iya, Nya. Kan, cepat nyebar gosipnya."

"Nggak mungkin," ucapku yakin.

"Kenapa nggak?"

Aku terdiam. Kak Reygan biasanya berangkat siang, mepet dengan bel masuk berbunyi. Kak Raga juga dengan cepat mencari keberadaan pesan sialan itu.

Setidaknya, kemungkinan Kak Reygan tidak mengetahui hal ini cukup besar.

Aku meletakkan kepala di atas meja. Lesu, aku menatap teman sekelasku yang masih melingkar di mejaku.

Aku memejamkan mata. Semoga saja teman sekelas Kak Reygan tidak memberitahu cowok itu, terutama anggota band Catur Semesta. Jika mereka memberitahunya, aku tidak tahu lagi.

Drrtt!

Vibrasi dari ponselku membuat fokus anak-anak kepo itu teralihkan. Kini mereka melirik pesan dari Kak Raga. Yah, aku tidak keberatan, sih. Toh, chat kami hanya berisi cerita keseharianku yang tidak penting.

Bang Ragalak
Lo nanti pulang bareng Reygan, ya. Dia mau mabar DOTA sama gue.

"Abang lo deket sama Kak Reygan?"

"Keluarga kalian saling kenal, ya?"

Aku mendengkus gusar. Muncul berbagai pertanyaan baru, semakin membuat otakku tersumpal.

"Cuma Kak Raga sama Kak Reygan yang deket," jawabku, "Keluarga gue yang lain enggak."

Mereka bersamaan ber-oh panjang. Satu per satu dari mereka kembali ke bangku masing-masing setelah bel masuk berbunyi.

Kini hanya tersisa Asta yang berdiri di depanku. Tapi, atensinya tidak tertuju padaku. Nabila. Cowok itu menatap Nabila yang sedang sibuk mengamati kertas merah muda sialan itu.

"Nanab."

Nabila menoleh menatap Asta. "Apa?"

"Lo jangan terlalu ikut campur sama masalahnya si Kurcaci ini, ya."

Tidak terima disebut Kurcaci, aku menginjak kaki Asta yang tertutup sepatu PDH--dia anak paskibra. "Kurcaci pala lo!" Aku mengibaskan tangan, bermaksud mengusir cowok itu. "Udah, sana pergi! Mata gue perih lihat muka lo, tau!"

Nabila tertawa melihat pertengkaranku dengan Asta. "Lo nggak usah galak-galak sama dia kali," ucapnya setelah Asta kembali ke bangkunya.

"Orang kayak dia emang pantas digalakin."

"Mending lo galak ke orang rese yang bikin ginian," ucap Nabila. Dia menyerahkan ponselnya padaku. "Udah keterlaluan."

Aku membaca artikel yang ditunjukkan Nabila pada forum sekolah, lalu menghela napas panjang.

[FOSMA NEWS]

SIBA yang menantang. Meski statusnya masih tergolong siswa baru, gadis ini sudah berani merebut hati lelaki yang sudah bertunangan. Entah apa motifnya, yang jelas perilaku tidak beradabnya itu telah membuat orang lain meringis miris.

Lagi-lagi tentang aku dan Kak Reygan. Tidak adakah artikel lain yang lebih penting dari itu?

"Lo harus curiga sama anak FOSMA, Nya."

Aku terdiam mencerna ucapan Nabila. Dia ada benarnya.

FOSMA memiliki kewenangan untuk memegang seluruh akun sosial media sekolah, termasuk salah satunya adalah forum sekolah. Tapi, anggota FOSMA tidaklah sedikit. Aku juga tidak bisa menghapus postingan itu karena memang bukan aku yang menulisnya.

Jadi, siapa?

"Gue harus lacak IP yang nulis ini," ucapku. "Lo ada kenalan yang jago soal ginian nggak, Bil?"

"Kak Reygan jago, tuh. Anak olimpiade TIK dia."

"Jangan dia, bego!"

***

Setelah Kak Reygan memarkirkan motornya di garasi rumahku, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kuletakkan sepasang sepatuku di rak teratas, begitu juga Kak Reygan.

Kak Raga ternyata sudah siap di ruang tengah. Berbaring di sofa, dia menonton Spongebob sembari memakan kripik kentang. Begitu melihatku, dia segera bangkit dari tidurnya.

Tanpa malu-malu, Kak Reygan menghampirinya. Mereka melakukan tos andalan mereka, lalu tertawa keras.

Sedangkan aku hanya mematung melihat tumpukan kertas berwarna-warni di meja samping sofa. Beberapa di antaranya sudah menjadi keping-keping kecil, sudah dirobek oleh Kak Raga.

Tanganku hendak meraih kertas-kertas itu, namun Kak Raga menyadarinya. Dia dengan cepat menyambarnya. Tidak ingin aku melihat isi di dalam kertas itu.

"Ya udah, deh, gue ke kamar dulu."

"Nggak. Lo di sini," Kak Raga berucap tegas. Seakan-akan ada hal penting yang harus aku ketahui.

Aku mendengkus gusar. Daripada membuat Kak Raga semakin mengomeliku, aku akhirnya berbaring di atas sofa masih dengan seragam putih-abu lengkap dengan dasi dan ikat pinggang. Seraya memainkan ponsel, aku melirik kedua cowok yang tengah fokus menatap layar laptop masing-masing. Sama seperti Kak Raga, Kak Reygan juga terlihat antusias bermain game.

Sepertinya, Kak Reygan tidak tahu-menahu soal skandalku hari ini. Itu bagus. Aku tidak mau dia ikut terlibat. Cukup aku saja yang mengatasinya, meski susahnya tak terkira.

Membaca berbagai artikel tentang cara melacak alamat IP tidak juga membantuku. Bukannya paham, aku justru dibuat lebih kebingungan.

Aku mengacak rambut frustasi. Aku butuh seseorang yang memang ahlinya di bidang ini. Aku sendiri tidak akan bisa melakukannya. Paham saja tidak.

Tapi, siapa?

Aku menatap punggung Kak Reygan. Apa aku harus terbuka dan meminta tolong padanya?

Aku menghela napas kesekian kalinya. Lelah, aku memilih untuk memejamkan mata dan membiarkan bunga tidur perlahan merengkuhku.

》CUT!《

Heyyo!

Part ini cukup panjang dan membosankan, ya? Haha. Maaf, saya lagi mentok. Hiks.

Tapi, saya harap kalian tetap menikmatinya dengan munculnya sisi protektif di dalam kakak terlopenya Vanya, Ragaaa!

Random questions :

Menurut kalian, siapa pelaku di balik hoax itu?

A. Felicia

B. Nabila

C. Fina

D. Anak FOSMA

E. Tokoh baru

Sabar, sabar. Ceritanya masih panjang. Dan, di satu-dua chapter selanjutnya, ada kejutan, lho! Kepo? Tunggu dulu, hehe.

Follow :
(@)reygan.ae
(@)vanya.raa
(@)fadilaoktaa_

Jadi, pilih kakak sendiri apa kakak kelas?


Butuh jasa santet online.

Medusa. Memang cantik tapi dusta. Wkwkwkw.

Seguir leyendo

También te gustarán

533K 57.8K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
MARSELANA Por kiaa

Novela Juvenil

1.7M 68K 31
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
10.6M 675K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
290K 13.2K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...