(Risa P.O.V)
"Hei, lo kemana aja semaleman? Gue telepon nggak di angkat dari tadi?!" Miranda ngedumel dari balik sambungan telepon. Setelah pengakuan Rian tadi, aku sepertinya masih punya sedikit kemungkinan. Setidaknya sedikit itu lebih baik dari tidak sama sekali.
"Gue baru dapet taxinya lama, Mir." Maaf Mir, gue bohong.
"Selama itu?"
"Baterai hapenya juga abis. Ini baru nyala, sorry ya, bu!" yang ini tidak sepenuhnya bohong. Aku baru sadar kalau ponsel ku sudah mati dari tadi. Buru-buru aku mengisi dayanya setelah itu. Baru beberapa detik menyala, belasan pesan dari Miranda membludak, dua puluh miss call tidak ketinggalan.
"Ohh, ya udah. Eh Mei, gue punya kabar baik dan kabar buruk. Lo mau tau yang mana dulu?" Pertanyaan Miranda membuat ku penasaran tentunya, juga lupa aku mau cerita apa setelahnya.
"Hmm, Baik dulu deh! Semua kan harus diawali dengan yang baik-baik."
"Oke...."
"Kenapa, apa berita baiknya?"
"Gue hamil, selamat Nyonya Meirisa bakal jadi tante lagi!!!!" Miranda heboh sekali disana, suaranya sampai setengah melengking. Aku juga dibuat kaget dengan berita bahagia ini, tak bisa ku bayangkan perut Miranda yang akan membesar karena bayi dalam kandungannya.
"Gue bakal jadi ibu, Ris. Nggak nyangka!" Miranda terdengar sangat bahagia, aku turut senang mendengarnya.
"Alhamdulillah, tok cer juga ya si Mario!"
"Alhamdulillah, Ris. Gue seneng banget, pantes aja gue mual beberapa hari ini. Ternyata gue ngisi, gue punya feeling beli test pack pas pulang tadi. Setelah gue pake ternyata garisnya dua!"
"Terus Mario gimana reaksinya?"
"Dia sampe loncat-loncat kegirangan gitu, lucu banget liatnya! Baru kali itu gue liat dia ngembeng."
"Nangis maksudnya?"
"Iya berkaca-kaca gitu lah pokoknya!"
"Ihhh, lucu banget sih kalian. Muka anak kalian bakal mirip siapa ya?"
"Ya kalo nggak mirip gue, mirip Mario lah. Nggak mungkin mirip elu!"
"Siapa yang tau, kali aja lo ngidam ngelus-ngelus muka gue. Jadinya anak lo nyeplak muka gue! Terus-terus berita buruknya apa?"
"Sembarangan ente! Berita buruknya Mario bakal dinas luar negeri setahun. Sedih banget nggak sih?!" nada bicara Miranda langsung lemas.
"Hah, lho kok mendadak?"
"Enggak mendadak, bad newsnya udah keduluan sebelum Good news, Ris."
"Nggak bisa dibatalin?"
"Nggak, udah kontrak. Tadi juga kita udah ngomongin, tapi setelah dipikir-pikir nggak apa-apa lah Mario pergi. Singapur ini masih deket, dan sepertinya kita butuh bantuan lo buat nemenin gue."
"Apa pun asalkan ponakan gue seneng..." jawab ku tulus tanpa pikir panjang. Aku tidak ingin berpikir banyak jika menyangkut Miranda. Dia sahabat terbaik ku, dia selalu ada saat aku dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Ini saatnya aku membalas kebaikannya.
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya, bener. Besok gue ke rumah lo ya!" Aku tidak kalah gembiranya.
"Siap, gue tunggu. Ya udah, gitu dulu ya Ris, besok kita sambung lagi."
"Yup, istirahat ya bumil."
"Hehehe, iya. Bye."
"Bye..."
***
Rumah Miranda pagi itu sangat ramai, pastinya karna berita bahagia kehamilannya. Ada Tante Widya, Mas Fajar, Hana Hanan dan satu lagi pendatang baru dalam keluarga Saputro, Istri kedua Mas Fajar alias ibu sambung si kembar. Setelah istri pertama Mas Fajar meninggal dunia, perempuan inilah yang menggantikan posisi yang kosong dalam keluarga. Namanya Mbak Salma.
"Mei!" Miranda girang saat melihat ku di depan pintu rumahnya. Buru-buru ia bangun dari duduknya dan menghambur memeluk ku. Dari pelukannya aku tau dia sangat bahagia.
"Hey, bumil!" aku balas memeluknya, tidak erat. Aku harus lebih berhati-hati karena ada jabang bayi dalam kandungannya. Ini kehamilan pertama jadi baik aku dan keluarga Miranda sama-sama was-was.
"Ayo, Mei masuk. Sini-sini..." Tante Widya mempersilahkan ku masuk.
Obrolan hari itu berputar soal kehamilan Miranda, Tante Widya yang paling banyak memberikan masukan. Iya lah, wong Tante Widya sudah pernah melahirkan dua orang, mana mungkin nggak ahli soal beginian.
"Eh iya, Mar. Kapan kamu rencananya berangkat ke Singapur?" tanya Mas Fajar.
"Hmm, sekitar dua atau tiga hari lagi, Mas. Tergantung atasan kasih jadwalnya kapan." Tangan Mario tidak lepas-lepasnya merangkul Miranda, sesekali tangannya mengelus perut sang istri. Padahal di awal kehamilan sama sekali belum terlihat kan?
"Ohh, ya udah kalau gitu Nak Mario kerja aja nggak apa-apa, ndak usah khawatir. Miranda disini pasti aman sama kita. Ada Mei juga kan yang bantu jagain." .
"Kamu jadi toh Nduk nginep disini. Nemenin Miranda?"
"Iya, Tante. Selama Mario pergi aku bisa bantu jaga Miranda disini." Jawab ku tulus.
"Wis, kalau gitu. Udah beres, tinggal kita sama-sama berdoa aja ya semoga cucuk ku ini bisa lahir dengan sehat, selamat. Jadi ndak sabar mau nimang cucuk lagi ibu nih, Mir!" Tante Widya mengelus pipi Miranda sayang.
Hari terus berganti dan tanpa terasa sudah lima bulan Mario pergi, sekarang aku menetap sementara di rumah Miranda. Menjaga bumil yang bisa dibilang mulai rese karna permintaannya yang aneh-aneh.
"Mei, lagi ngapain?" Miranda keluar dari kamar, dan saat ku lihat jam menunjukan pukul satu dini hari.
"Hah, oh ini lagi ngerjain laporan kantor. Kenapa?" tanya ku heran. Ini juga kali pertama ku menjaga orang hamil.
"Gue laper nih, Mei. Kek pengen makan sesuatu gitu!" Miranda mengelus perutnya.
"Mau makan apa jam segini? Mau pesen Ojeg Food aja? Gue liat dulu ya adanya apa." Aku segera mengambil ponsel dan mengecek daftar resto apa yang masih buka sampai jam segini.
"Lo keberatan nggak kalo masak aja? Kayaknya udah lama nih nggak makan nasi goreng buatan lo. Gue pengen nasgor lo, Mei." Miranda memelas.
"Ohh, oke, oke apa sih yang enggak buat lo?"
"Makasih ya, Tante! Tuh dek, sabar ya nasi gorengnya lagi dibuatin. Hehehe."
"Sabar ya dek..." aku ikut-ikutan ngajak ngobrol bayi dalam perut Miranda, padahal mana aku tau bentukannya.
"Eh, iya Mir. Lusa chekup ya? Sorry ya chek kemarin gue nggak bisa nemenin, dospem gue ngajak ketemu."
"Hmm, iya nggak apa-apa, kangen kali si botak sama lu. Tapi Mei, dokter obgyn gue ganti orang masa!" Sambil berbicara tangannya memasukan beberapa potong nastar kedalam mulut. Tidak heran dengan cepat berat badan Miranda melunjak cepat. Pipinya sudah seperti balon tiup.
"Oh ya? Kenapa?"
"Dokter Wisnu lagi lanjutin sekolahnya ke luar negeri. Kemaren dokter penggantinya ada disana juga. Ya, ganteng sih. Adem gitu mukanya."
"Heh, suka nggak inget baby bump loh ya?! Udah gede gitu juga!" bawaan orok gini kali ya, bening bat tuh mata kalo liat yang mulus dikit.
"Ya, liat doang mah nggak dosa! Orang gue punya mata. Nanti gue kenalin deh sama obgyn gue, dijamin lo klepek-klepek deh liatnya."
"Iyain aja lah!"
Nasi goreng yang masing mengepul langsung di lahap Miranda dengan ganas, selapar itu dia sampai bisa memasukan nasi yang baru diangkat dari wajan ke mulutnya.
"Mir, ada yang mau gue ceritain deh! Tapi janji lo jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya!?" Tanpa terasa sudah beberapa bulan ini aku menyimpan rahasia hubungan ku dengan Rian. Jelas aku harus merahasiakannya, dari sudut pandang mana pun, aku tetap salah karena meladeni kemauannya.
"Ce..ita apaan ..mang?" Miranda mengap-mengap karena nasi panas baru masuk kedalam mulutnya dalam suapan besar.
"Sebenernya gue bohong, waktu gue bilang nunggu Taxi lama." Takut takut aku memandang Miranda, memperhatikan ekspresi wajahnya yang berubah saat mengingat reuni waktu itu.
"Lo kemana?" Tanyanya dengan nada yang serius, meski tangannya tidak berhenti memasukkan suap demi suap nasi kedalam mulut.
"Ngobrol sama Rian."
Bruut.... air yang sedang di teguk Miranda muncrat saat ku sebut nama itu. Aku tau pasti Miranda kecewa berat, pasti dia akan marah-marah.
"Gila lo ya?!"
"Tadi kan lo udah janji nggak mikir aneh-aneh!" Aku menyodorkan tissu padanya.
"Gue nggak janji, lo yang bilang. Belom gue jawab iya! kok bisa lo ketemu dia?! Ngomongin apa aja lu?!"
"Soal pernikahannya, dia dijodohin ternyata. Sama Mamanya, Tante Risma."
"Terus?"
"Dia— nyuruh gue nunggu." Aku memendamkan kepala dalam tunduk, memandangi cincin yang melingkar indah di jari manis ku. Sudah sebulan ini juga cincin itu bertengger disana.
"Nunggu gimana maksudnya?" Miranda menatap ku dengan pandangan menyelidik tajam.
"Ya nunggu dia."
"Gila! Terus lo nyanggupin? Lo punya pikiran kalo Rian bakal ngelepasin istrinya?" Nasi dalam piringnya sudah tandas, disingkirkannya piring itu dan mendekatkan duduknya pada ku.
"Iya gue tau ini gila, tapi gue ngerasa nggak ada salahnya memberi kesempatan. Iya kan?"
"Pala lu benjol! Ini pernikahan, Ris. Nggak main-main, mereka bukan cuma lagi pacaran, mereka sah suami istri. Dan di lihat dari sudut pandang mana pun, lo yang bakal disalahin!"
"..."
"Heran gue, cewek secantik lo, sepinter lo, kok mau punya gelar pengganggu. Ris, sorry ya. Gue harus kasar mau nggak mau, lo tau kan betapa sayangnya gue sama lo? Gue ngak mau nama lo jelek cuma karena Rian. Banyak cowok diluar sana yang ngantri pengen kenalan sama lo, tapi selalu lo tolak. Lo bisa tinggal pilih mau yang mana, tapi kenapa harus yang ilegal sih?" Miranda mengguncang lengan ku.
"Gue sayang Mir sama Rian, gue nyesel waktu itu nggak mengiyakan ajakan dia." Jawab ku jujur, Miranda tidak berkata apa pun, ia hanya langsung memeluk ku erat. Dia tau sekarang aku lebih membutuhkan pelukan hangat di banding ocehan panjang penuh tuduhan.
(Risa P.O.V end)
***
_________________________________________________________
Tolong dukung author dengan vote dan nggak coppypast cerita ini :D