Serendipity

By DililaDenata_

136 15 6

Dalam hidup ini, selalu ada hal menarik yang terselip di setiap kisah kita. Akan selalu ada orang-orang yang... More

01. Ini Kisahku
02. Ekstrakulikuler
03. Berbelanja
05. Gosip

04. Hari Jadi Pernikahan

13 2 0
By DililaDenata_

04.

Hari Jadi Pernikahan.

》ACTION!《

Selain agenda kumpul rutin keluarga tiap dua bulan sekali, masih ada tradisi lain dalam keluarga besarku. Salah satu di antaranya adalah peringatan hari jadi pernikahan. Acara ini rutin diselenggarakan tiap tiga tahun sekali oleh pasangan suami-istri yang bersangkutan. Seluruh anggota keluarga besar diharuskan mengikuti acara sakral ini.

Di hari Sabtu cerah ini, aku terpaksa mengorbankan waktu untuk rebahan hanya untuk mendatangi hari jadi pernikahan Budhe Retno, salah satu tanteku dari keluarga Bunda. Kalau bukan karena Budhe Retno yang menyiapkan menu makan favoritku, dapat dipastikan aku akan membuat alasan palsu agar aku dapat berpelukan dengan guling tercinta.

Seisi rumah Budhe Retno dihias sedemikian megahnya dengan pernak-pernik bercorak emas, menimbulkan kesan elegan yang cocok dengan image seorang Retno Gayatri, wanita paruh baya yang kecantikannya tak luntur dimakan usia.

"Budhe, Rega ada?" Kak Raga--kakak laki-lakiku--bertanya saat Budhe Retno berjalan di depan kami. Tak lupa, kami mencium punggung tangan Budhe Retno sebagai formalitas.

"Rega di belakang sama Raras. Kalian ke sana aja." Budhe menunjuk sebuah pintu putih yang menghubungkan ruangan luas ini dengan halaman belakang. "Budhe tinggal dulu, ya. Kalian kalau mau sesuatu, ambil aja, nggak usah malu-malu."

Kak Raga mengangguk paham, sedangkan aku hanya tersenyum tipis ketika pucuk kepalaku diusap olehnya. Sejak aku kecil, Budhe Retno memang suka mengusap kepalaku. Aku tak keberatan. Justru aku menyukainya.

Kak Raga menarik tanganku menuju halaman belakang. Tidak seperti dugaanku, di sini rupanya lebih ramai dari ruang utama. Banyak orang yang tidak kukenal tengah berbincang seraya menikmati sejuknya taman mungil di sini.

"Raga, Vanya!"

Senyum Kak Raga seketika terlukis begitu seorang lelaki jangkung dengan balutan kemeja biru tua melambaikan tangan dari kejauhan. Melepas genggaman tanganku, tanpa pikir panjang Kak Raga berlari menghampiri sepasang kakak beradik yang tengah mengobrol itu.

Meninggalkanku di tengah lautan manusia ini.

Berdecak sebal, aku menghentakkan kaki melangkah menuju sebuah bangku di sudut taman. Duduk di sana, aku bersidekap dada menatap Kak Raga yang tengah tertawa bersama Kak Raras dan Kak Rega.

Aku mengepalkan kedua tanganku. Kak Raga terlihat lebih bahagia berada di antara Kak Raras dan Kak Rega jika dibandingkan bersamaku. Meskipun kami saudara kandung, Kak Raga tidak pernah menunjukkan ekspresi lepas seperti itu ketika bersamaku.

Dia tersenyum, tapi tidak selebar itu. Dia tertawa, tapi tidak selepas itu.

Aku menepuk kedua pipiku, berusaha menyadarkan diri sendiri. Tidak seperti saat kami kecil dulu, Kak Raga sekarang jarang bersemuka dengan Kak Rega, partnernya dalam membuat keributan, juga dengan Kak Raras yang menjadi tempat curhatnya.

Wajar jika dia begitu semangat menemui mereka.

"Dek."

Aku mendongak begitu merasakan seseorang menepuk bahuku. Aku sontak berdiri mendapati lelaki dengan setelan hitam-hitam di depanku, menatapnya terkejut.

Kenapa aku selalu bertemu dengannya? Bahkan di acara seperti ini, kami pun bertemu?

"Assalamu'alaikum, ada orang?"

Aku mengerjapkan kedua mataku saat lelaki itu menekan hidungku layaknya bel. "Kak Reygan ... kok bisa ada di sini?" tanyaku setelah sadar dari lamunanku.

Kak Reygan tidak langsung menjawab. Dia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel. Beberapa saat membuka aplikasi BBM, dia kemudian menunjukkan ruang obrolannya dengan seseorang. Kak Raga.

Penasaran, aku merebut benda pipih hitam itu dari tangan Kak Reygan. Kubaca chat mereka dari awal.

Bang Raga
Gan, lo hari Sabtu dateng ke hari jadi DeRet nggak?

Reygan A.
Ikut, dong. Lumayan makan gratis, Bang.

Bang Raga
Lo mah pikirannya makanan mulu, tai.

Sebelum membaca chat selanjutnya, aku menatap Kak Reygan yang tengah melahap kuenya. Jika Kak Reygan datang dalam peringatan sakral ini, apakah dia termasuk salah satu dari saudara jauhku yang kesekian?

"Kenapa?"

Aku menggeleng, melanjutkan membaca.

Bang Raga
Gan, tolong temenin adek gue bentar. Gue mau ngomong sesuatu sama Rega.

Reygan A.
G.

Bang Raga
Enggak, kata lo? Terus, lo ngapain jalan ke arah adek gue? Nggak usah kegengsian lo wkwk.

Bang Raga
Jangan lo apa-apain Vanya, dia adek gue satu-satunya. Lecet dikit aja, awas lo!

Lagi-lagi aku menatap Kak Raga yang masih berada di tempatnya, tidak kunjung beranjak. Tanpa kusadari aku menyunggingkan senyum.

"Lo lihat sendiri, Bang Raga sayang banget sama bocah ingusan macam lo. Jadi, biarpun dia asyik sama yang lain, lo nggak perlu takut karena dia tetap mengawasi lo."

Kak Reygan menarikku untuk duduk kembali, di sampingnya. Aku menatapnya tajam. "Tapi, nggak harus lo yang jadi suruhan dia buat nemenin gue, 'kan? Lagian, gue bisa sendiri," ujarku penuh kegengsian.

Kak Reygan hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu fokus bermain ponsel. Aku mendengkus melihatnya. Di sampingnya ada bidadari cantik, tapi dia malah memilih barang mati?

Ting!

Ada sebuah notifikasi dari ponselnya. Aku menggeser posisiku lebih dekat dengannya, sedikit mengintip, namun tidak terlihat terlalu jelas. Aku sedikit menyembulkan kepalaku pada bahu kokoh Kak Reygan. Gagal.

"Nih, nggak usah kepo," Kak Reygan tertawa kecil mengusap pucuk kepalaku.

Aku membaca apa yang Kak Reygan tunjukkan. Lagi-lagi pesan dari Kak Raga.

Bang Raga
Ajak dia ngobrol, jangan mainan HP mulu!

Aku tertawa membacanya. "Tuh, baca petuah dari Bung Raga Airlangga!"

Kak Reygan yang tiba-tiba tersenyum membuatku berhenti tertawa. Sejenak aku terpaku melihat senyum manisnya. Namun, aku segera bangkit dari pesona memabukkan itu. "Kenapa lo senyum-senyum? Lo suka sama gue?" tanyaku mendekati wajahnya, menatap penuh selidik.

"Ge-er banget lo!" Kak Reygan mendorong wajahku menjauh. Dia menjulurkan lidah. Membuat kekesalanku kembali memuncak.

"Gue cuma seneng lihat lo ketawa."

Deg!

Tangan Kak Reygan bergerak mengusap pucuk kepalaku dengan lembut. Kedua bola mataku dibuat membola merasakan sentuhan yang menggelitik itu. Bahkan, jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya.

Perlahan kuberanikan diri menatap iris hitamnya. Waktu seakan membekukan kami dalam lautan tatapan masing-masing. Seakan ada kekuatan magis yang terus menenggelamkanku dalam matanya, aku seakan lumpuh dibuatnya.

Jangankan bergerak, untuk berkedip saja rasanya mustahil.

Ting!

Dering notifikasi itu seakan memecah segalanya. Baik aku maupun Kak Reygan sama-sama memalingkan wajah ke arah lain.

Aku menatap Kak Reygan melalui ekor mata. Dia sedang mengetikkan sesuatu pada orang lain. Ada sedikit rona merah menghiasi wajah tampannya. Aku tersenyum geli mengingatnya.

Bahkan, orang seperti Kak Reygan sekalipun bisa tersipu malu. Lucu.

Kak Reygan menghela napas panjang, lalu kembali menyimpan ponsel di dalam saku. "Dek," panggilnya.

"Apa?"

Kak Reygan berdiri. Memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana, dia menatapku. "Gue ada jadwal perform di cafe," ucapnya, "Lo ikut gue."

Aku menatap Kak Reygan tak percaya. Sejak Nabila menunjukkanku video band Catur Semesta beberapa waktu lalu, aku langsung tertarik dengan band kecil beranggotakan empat orang lelaki itu. Tentu saja, aku ingin melihat aksi mereka secara langsung, tidak lagi melalui laayar ponsel.

Ditawari secara langsung oleh sang vokalis Catur Semesta, sudah pasti tidak akan kutolak.

Jika aku menolaknya, berbagai caci maki akan dilayangkan kepadaku. Mungkin, mereka nanti akan menyebutku gadis tak tahu diuntung.

***

Suasana cafe tempat Catur Semesta tampil tampak ramai daripada biasanya. Hampir semua meja telah terisi. Hanya tersisa satu meja dengan dua kursi berhadapan. Namun, salah satu kursinya telah dihuni oleh seorang gadis.

Sadar akan apa yang aku khawatirkan, Kak Reygan menepuk pucuk kepalaku cukup keras hingga membuatku meringis kesakitan. "Lo duduk aja di sana, gue gampang," ucapnya.

Aku mengangguk dan menurut. Kak Reygan mengantarku menuju meja di sudut ruangan itu. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya terkejut.

"Feli?"

Merasa terpanggil, gadis yang tengah menikmati minumannya itu mendongak. Ia menyunggingkan senyum manis melihat Kak Reygan, kemudian tersenyum miring ketika menatapku.

Natap guenya santai aja dong, Mbaknya! Itu mata nggak harus melotot juga kali, kalau nggak mau gue tusuk.

"Oh, hai! Ya ampun, gue udah nunggu lo daritadi, Gan. Kalau udah selesai, nanti duduk bareng gue aja di sini."

"Nggak perlu. Biar Vanya aja yang duduk di sini."

Aku tersenyum tipis pada Kak Reygan ketika cowok itu mendorongku duduk di depan gadis itu. "Makasih, Kak," ucapku. Sengaja kubuat nada bicaraku lebih lembut dari biasanya, juga senyum manis yang sebenarnya tidak ingin kutujukan untuk Kak Reygan.

Kak Reygan mengusap pucuk kepalaku gemas. "Kalau gue belum balik, nanti samperin aja di ruang sekretariat." Dia membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. "Oke?"

"Oke!"

Aku tersenyum penuh kemenangan ke arah Felicia yang terprovokasi dengan tingkah kami. Tatapan tajamnya terfokus padaku. Tentu saja, aku sudah membuat perhatian Kak Reygan teralihkan.

"Lo siapa, sih? Ada hubungan apa lo sama Reygan?"

"Gue cuma cewek biasa yang bahkan nggak lebih baik dari lo kok, Kak." Aku menyandarkan punggung ke tembok. "Kami juga nggak ada hubungan apa-apa. Cuma nggak sengaja ketemu di persimpangan aja."

Ah, iya, aku lupa memperkenalkannya kepada kalian. Felicia merupakan salah satu teman sekelas Kak Reygan. Mereka sudah dekat sejak di bangku kelas sepuluh.

Yang kukatakan tadi adalah fakta. Dia jauh lebih dari segalanya jika dibandingkan denganku. Anggun, cantik, feminim, dan banyak hal yang lebih lagi darinya.

Hanya saja, terkadang segala sesuatu yang berlebih itu membuat orang-orang seakan-akan berada di atas segalanya, merasa dirinya yang terbaik. Ya, begitu juga dengan Felicia.

Lihat saja wajah sombongnya itu! Ingin kutarik saja rambut panjangnya itu, dan menabok wajah dengan makeup menor itu. Biar sadar diri.

"Udah tahu lo nggak lebih baik dari gue, masih berani dekat sama Reygan?"

Dimulai sudah ajang kesombongannya.

"Emang untuk berteman dengan orang lain harus memiliki kedudukan setara?" Aku bertanya sangsi.

Felicia mengangguk dengan senyum menyebalkannya. "Iya, dong. Biar nggak malu-maluin orang lain."

Aku mengangguk memahami pola pikirnya yang tidak beres itu. Dia boleh memiliki banyak kelebihan, tapi jika pola pikirnya masih seperti itu, maka segala kelebihan yang dia punya tak ada gunanya.

"Kok lo diem aja? Nggak bisa nyanggah ucapan gue, 'kan?"

Aku tersenyum tipis. "Iya, Kak. Soalnya gue nggak mau malu-maluin diri sendiri kalau ngomong sama orang kayak lo. Lo boleh sombong, tapi ego gue juga nggak serendah itu," ucapku dengan nada final.

Felicia menatapku tajam. Rentetan kalimat penuh dengan arogansi tidak lagi meluncur dari bibirnya. Mulutnya terbungkam rapat.

Aku tertawa puas dalam hati. Ternyata julidku ada gunanya di saat seperti ini.

Pada akhirnya, Felicia bangkit dari duduknya. Ia menatap ke arah panggung terkejut. Kak Reygan sudah mengucapkan kalimat penutup, lantas keempat cowok itu melangkah ke balik panggung.

"Lihat, gara-gara lo, waktu gue terbuang sia-sia di sini!"

Aku menatap kepergian Felicia dengan sebal. Membuang-buang waktu, katanya? Kalau dia tidak memulai obrolan denganku, tentu saja dia bisa melihat pujaan hatinya menyanyi di atas panggung.

Merasa mood-ku sudah rusak, begitu Kak Reygan menampakkan batang hidungnya, aku langsung menarik cowok itu keluar. Aku mau pulang saja.

"Lo kenapa, Dek? Diapain sama Medusa?"

Kak Reygan mengusap pucuk kepalaku, berusaha mengembalikan semangatku lagi. "Bilang aja kalau dia apa-apain lo!"

"Gue yang bikin dia kicep."

Kak Reygan menghentikan usapan lembutnya yang menenangkan. Dia tersenyum lebar ke arahku, tampak puas dan bangga.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, yuk gue antar lo pulang," ucap Kak Reygan merangkul bahuku. "Eh, mampir cari makan dulu, ya, Dek."

Aku menatap Kak Reygan, merasa bersalah. "Duh, maaf tadi gue asal narik aja, Kak. Mau makan dulu di sini?"

Lagi-lagi, senyum manis itu terkembang. Senyum yang tak pernah absen menghiasi duniaku akhir-akhit ini.

"Nggak usah, udah hampir malam juga. Nanti lo dicariin, gue juga yang repot, Dek."

Aku mengangguk paham. Setelah Kak Reygan memakaikan helm pada kepalaku, aku segera duduk di jok belakang.

Dalam perjalanan, diam-diam aku memperhatikan Kak Reygan melalui kaca spion. Meski pada awalnya cowok itu menyebalkan, namun pada kenyataannya dia tidak semenyebalkan dugaanku. Dia bahkan mampu membuatku membeku hanya karena lengkung tipis bibirnya.

"Lo kalau suka sama gue, jangan diliatin secara gamblang sampai senyum-senyum mulu liatin gue."

"Najis, ge-er amat lo, Kak!"

Aku menepuk bahu Kak Reygan refleks. Gara-gara pukulanku itu, hampir saja kami berdua terjatuh mencium aspal. Untungnya Kak Reygan dengan sigap mengendalikannya kembali.

"Bangke lo, Dek! Lo tahu nggak efek terburuk kalau kita jatuh?"

"Kecelakaan?" tebakku.

"Salah!"

"Mati?" Aku meliriknya ragu. Amit-amit, Nya, jangan sampai.

"Pikiran lo itu nggak ada yang baik dikit apa, ya?"

"Kan, lo bilang efek terburuk. Gue bener, dong!" ucapku tak terima. Dari semua kemungkinan yang memungkinkan, bagaimana bisa kedua jawabanku tadi salah?

"Kalau jatuh, nanti gue ...."

"Mati." Aku memotong ucapannya, tersenyum lebar seolah-olah ucapanku adalah sesuatu yang membahagiakan.

"Nyebut, Dek, astaga!"

Aku tertawa kecil. "Jawabannya apa, dong?"

"Dengar baik-baik."

Aku mengangguk.

"Kalau gue jatuh, nanti ketampanan gue luntur. Kan, nggak lucu kalau pentolan sekolah mukanya burik."

"Pentolan sekolah, ndasmu!"

"Weits, keras!"

Tawa kami pecah secara bersamaan. Beberapa pengendara motor menatap kami aneh. Biar saja. Biarkan mereka tahu bahwa kebahagiaan bahkan bisa hadir di antara dua orang yang sedang berboncengan mencari warung makan. Biarkan mereka tahu, bahwa bahagia itu sederhana.

Tapi, aku terlalu bodoh jika menganggap setelah hari itu aku bisa tertawa lepas. Nyatanya, setelah suka, duka akan datang menyapa. Tidak peduli seberapa bahagianya kamu hari ini.

》CUT!《

Halo!

Felicia kembali hadir di kehidupan Reygan dan Vanya. Di beberapa part selanjutnya, jangan bosan bertemu dengan Felicia walaupun nyebelin, oke?

Reygan sama Vanya udah punya IG, lho! Yuk follow :
(@)reygan.ae
(@)vanya.raa

Doinya Feli, nih. Wkwkw.

Follow IG doi :
(@)reygan.ae

Bodo amat sama Medusa, yang penting dapet hadiah banyak dari Budhe Retno.

Follow IG cewek sarkas ini :
(@)vanya.raa

Continue Reading

You'll Also Like

7M 294K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 73K 33
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
538K 58.2K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
1.7M 122K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...