Shitty Black | Kuroo Tetsuroo

By alyhani

63.1K 4.7K 2.5K

Fanfiction by ©alyhani Kuroo Tetsuroo X Reader Haikyuu belongs to ©Haruichi Furudate sensei ... More

ⓟⓡⓞⓛⓞⓖⓤⓔ
①. ⓗⓘⓜ
②. ⓗⓔⓡ
④.ⓣⓗⓔⓜ
⑤.ⓟⓐⓘⓝ
⑥. ⓤⓝⓔⓐⓢⓨ
7. ⓒⓗⓐⓝⓒⓔ
⑧. ⓣⓔⓛⓛ
9.ⓤⓢ
⑩. ⓗⓐⓟⓟⓘⓝⓔⓢⓢ

③. ⓗⓔⓡ&ⓗⓘⓜ

4.6K 412 206
By alyhani

🕒

"Tell the truth!"

🥀

Fajar masih terpaut lama. Gejolak dalam perut membangunkannya dalam keheningan malam yang hanya disela detikan jam dinding. [Name] memegang perutnya, suatu perasaan aneh datang menyergap kala ia mencoba menguap.

Rasa sesak itu kian menjadi. Segera ia tinggalkan ranjang dan berlari ke washtafel kamar mandi. Berulang kali ia coba mendorong sesuatu dari dalam perutnya. Rasa mual itu tak kunjung hilang. Kepalanya pening, rongga mulut pun terasa pegal karena dipaksa menganga demi mengeluarkan hal yang membuatnya tak nyaman.

Perutnya seakan keram, kedua tangan berpegang pada washtafel. Napasnya terengah-engah, keringat pun mengucur tanpa ia sadari. Air mata mulai membasahi, menandakan ia terlalu berlebihan saat ingin memuntahkan sesuatu yang tak ia tahu.

Nyatanya tidak ada yang keluar dari mulutnya selain air liur. Rasa mualnya membaik, namun tak hilang sepenuhnya. Saat dirasa kepalanya sudah sangat pening dan pandangan mengabur, [Name] perlahan menuju ranjang, merambat sepanjang dinding masih dengan perasaan yang sama.

Setidaknya ia harus bertahan malam ini, sebelum esok pagi ia bisa mengunjungi klinik sahabatnya di pusat kota.

"Hei." Seruan itu mengejutkan [Name]. Manik [e/c]-nya bergulir menuju ranjang. Satu-satunya orang yang ada di ruangan ini selain dirinya. "Ada apa? Aku mendengar suara menjijikkan dari kamar mandi tadi."

Tetsuroo duduk bersandar tanpa mengenakan pakaian atasnya, melempar pandang yang setengah sayu menahan kantuk.

"Ah, aku tidak tahu. Aku hanya habis buang air." [Name] tersenyum tipis di tengah kegelapan.

Sebelah alis Tetsuroo menukik, meragukan pernyataan barusan. "Sungguh? Lantas kenapa matamu berair?"

Sekali lagi [Name] dibuat terkejut. Di tengah kegelapan ini tentu orang-orang tak akan menyadari hal kecil seperti mata yang berair, apalagi jika jarak mereka terpaut lumayan jauh. Kepekaan sang suami agaknya membuat ia merinding, meski pada kenyataannya kepekaan itu lebih sering membuat [Name] terpesona.

Tapi wanita itu tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Posisinya kali ini tak lebih dari sekadar beban yang harus Tetsuroo tanggung selama wanita itu hidup, atau keduanya hidup. Kesadaran diri yang utuh membuatnya memilih untuk bungkam.

"Tadi aku mimpi bertemu ibu," ujarnya setenang air. "Mungkin aku hanya merindukannya. Sungguh tidak ada apa-apa, Tetsuroo."

Tuan Kuroo memandang istrinya lebih lama, hingga sosok itu telah duduk di tepi ranjang. "Tidurlah, oyasuminasai, Tetsu~" [Name] memberi sapaan yang sangat biasa ia berikan pada Tetsuroo, meski ia tahu itu tidak akan terbalas dengan ucapan yang sama.

Wajar baginya untuk segera berbaring dalam selimut tebal yang hangat. Namun tiba-tiba pinggulnya ditarik, menubrukkan tubuh kecil itu dalam dekapan besar sang suami.

"Jangan berbohong pada suamimu, [Name]," titah itu tersuarakan dengan amat lembut di sisi telinga [Name]. Kedua tangannya sibuk mendekap si wanita, memberikan kehangatan yang sangat jarang ia berikan.

[Name] membelalak. Perlakuan suaminya yang sangat tidak biasa membuat pilihan kata-katanya jadi kacau. Terlebih ketika mendengar nama depannya disebut oleh sang suami.

Tak ia biarkan rasa kejut itu menguasai dirinya lebih lama. Ia membalas pelukan itu dengan sama eratnya. 'Terasa begitu lama, semenjak terakhir kau menyebut namaku, Tetsu... Nama ini terdengar begitu indah ketika kau menyebutnya.'

[Name] mengangguk, dengan tetap memeluk sang suami. "Ya, aku tidak berbohong, Tetsuroo."

🥀


Segala menu sarapan terhidang apik di atas meja. [Name] berulang kali ke kamar mandi, mencoba memuntahkan sesuatu tapi lagi-lagi hanya air liur yang keluar. Rasa pusingnya belum hilang semenjak ia bangun dari tidur.

Malam lepas, dalam pelukan Tetsuroo ia terlelap. Ia tahu betul karena tidak mengingat apapun yang terjadi setelah pelukan itu terjadi. Hatinya berbunga-bunga. Setidaknya ia tak akan lupa bagaimana kehangatan Kuroo Tetsuroo.

'Ya ampun, hanya dengan satu pelukan dan satu penyebutan nama saja aku sudah dibuat luluh? Ingat umur, [Name]! Kau bukan ABG yang baru kenal cinta!' [Name] memukul kepalanya guna menyadarkan diri kembali ke dunia nyata, bukan fantasi cinta menye-menye yang manis namun basi.

Ponselnya berdering di atas meja makan. Shirofuku Yukie melayangkan panggilan via telepon. Begitu tahu sang sahabat yang menelpon, ia segera mengangkatnya.

"Halo, Yuki," sapanya.

"Hei, maaf telat membalas telpon. Aku sangat lelah semalam, huhu..."

"Haha, tak apa. Kau sudah baca pesanku, kan? Bagaimana? Siang ini bisa?"

"Tentu, datanglah pukul dua siang di klinikku,ya. Aku ada praktik di rumah sakit Tokyo pagi nanti." Seseorang di seberang telepon membalas.

"Baik, sampai jumpa."

Percakapan pagi itu terselesaikan bertepatan dengan turunnya Tetsuroo dari lantai dua. Ia telah rapi dalam setelan pakaian kerja. Rambutnya belum tertata karena masih basah.

"Tetsuroo," panggil [Name] yang membuat lelaki itu menoleh. Segera ia mendekat dan mendudukkan diri di kursi makan. "Hari ini kau pulang seperti biasa?" lanjut [Name].

"Hm," lelaki itu mengangguk.

Senyum [Name] terkembang. "Aku akan pergi menemui Shirofuku, sahabatku semasa SMA."

Tetsuroo menghadap sang istri dengan tanda tanya pada tatapannya. "Yang dokter itu?"

[Name] mengangguk semangat. "Sudah lama kami tak bertemu. Ingin melepas rindu saja. Terakhir kali saat peresmian kliniknya di Tokyo, kan? Ada yang ingin aku ceritakan padanya." Wanita itu bersenandung riang, menyiapkan rangkaian sarapan bagi suaminya.

"Sudah kuduga," ujar Tetsuroo tiba-tiba, "kau sakit apa? Kenapa menyembunyikannya dariku?"

Langkah [Name] terhenti seketika. Dadanya berdesir lembut, aliran darah yang kian deras tapi menimbulkan kenyamanan yang berbeda. "Si-siapa yang sakit? Kan aku sudah bilang, kami ingin saling melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu."

Terdengar Tetsuroo yang menghela napas di tempat. "Padahal baru semalam aku peringatkan jangan membohongiku. Kuharap ada alasan yang tepat untuk pertemuan itu." Tanpa mendengar jawaban lebih lanjut dari sang istri, ia melahap apa yang sudah tersajikan untuknya.

Rasa bersalah merayap dalam diri [Name], namun ia bersikukuh tak memberitahu suaminya perkara penyakit yang belum Ia tahun dengan pasti. Selepas menyeduh teh hitam bagi Tetsuroo ia menyusul suaminya sarapan.

Dalam hati ia berharap, agar tak ada sesuatu yang buruk menimpa dirinya maupun Tetsuroo. Berharap agar ia segera diberikan keberanian untuk menghadapi suaminya sendiri. Berharap agar kelak ia bisa menyuarakan apa yang selalu ia pendam seorang diri.

Dan yang paling penting, ia berharap datangnya hari di mana keduanya bisa berbagi cinta yang tulus, saling mengerti dibalik semua perbedaan.

🥀


[Name] memandang papan nama yang menggantung di salah satu tiang depan sebuah klinik. Papan bertulis nama sang sahabat karib semasa SMAnya. Shirofuku Yukie, dokter spesialis kandungan yang merangkap sebagai dokter umum di kliniknya sendiri.

Peluhnya menetes. Padahal ia baru berjalan beberapa meter dari tempat ia memarkirkan mobilnya. Cuaca pun lumayan bersahabat. Napasnya agak memburu selepas menghadapi lalu lintas yang padat selama perjalanan. Tidak biasanya.

"[Name]-chan~! Aku di sini!" Seruan itu sontak membuat [Name] menoleh.

Binar di mata [Name] muncul kemudian. Mereka berdua saling menghampiri, menghamburkan pelukan rindu dengan segala pujian yang menyertai. Shirofuku membawa [Name] ke ruang pribadinya, klinik baru dibuka dua jam lagi, belum ada pasien yang datang.

Menanyakan kabar masing-masing, baik kabar diri sendiri, karir, bahkan pernikahan. [Name] tersenyum bahagia ketika menceritakan Tetsuroo, meski ia tak sebahagia itu. Beberapa menit berlalu, merasa puas dengan 'introgasi dua pihak' yang terjadi, Shirofuku memutuskan untuk membahas masalah utama kedatangan sahabatnya.

"Jadi, apa keanehan yang kau rasakan?" tanya si dokter Yukie.

"Malam tadi tiba-tiba aku merasa mual. Kepalaku pening. Aku mencoba memuntahkannya, tapi tidak keluar apapun selain air liur dan air mata," jelas [Name] mengenai keadaannya semalam.

"Apa ada lagi?"

[Name] sedikit berpikir, mereka ulang apa yang ia alami beberapa hari terakhir. "Kurasa aku cepat lelah? Biasanya aku menghadapi kemacetan yang sangat parahpun aku masih lebih bugar dari yang bisa kau lihat sekarang."

"Tunggu, apa kau sedang datang bulan?" [Name] menggeleng. "Kapan terakhir masa datang bulanmu?"

"Kupikir itu tiga minggu yang lalu? Tapi dua hari lalu aku menemukan bercak darah di celana dalamku. Padahal organku tak mengalami luka, tidak terasa sakit juga. Bercak itu terus keluar sampai pagi tadi. Hanya bercak, bukan aliran yang deras seperti saat menstruasi-"

"Hei," potong Shirofuku tiba-tiba. Sebuah benda sudah dalam genggamannya saat mendengar penjelasan terkahir [Name]. Bibirnya tertarik ke satu sisi, alisnya meninggi dengan ujung yang menurun. "Bagaimana kalau langsung kau cek saja dengan ini?"

P L U K ! Shirofuku melemparkan benda yang tadi ia pegang pada [Name]. Wanita itu jelas tahu apa yang tengah dipegangnya sekarang.

"Test pack? Aku tidak yakin aku hamil, Yukie."

"Itu hanya untuk memperjelas dan mempercepat ini semua. Lakukan saja, kau tahu cara memakainya, kan?"

[Name] mengangguk ragu. Ia tinggalkan Yukie dan menuju kamar mandi, demi kejelasan semua gejala yang ia alami. Bukan berarti dia naïf atau pura-pura tidak tahu. Ia pun sudah memperkirakan keadaannya yang sekarang.

Kalau dia sungguhan mengandung anak dari Tetsuroo, bagaimana cara ia mengatakannya pada sang suami?

🥀


Suara benturan logam mengiringi langkah. Berteman ketenangan di tengah hiruk pikuk perkotaan, sebuah taman menyamankan siapapun yang berkunjung. Rambut hitam cepaknya ia sampirkan kebelakang. Angin membelai dahinya dengan lembut.

Sang Tuan muda bersandar pada pohon. Menatap ke arah anak-anak yang berlari dengan senyum riang. Tanpa sadar bibrinya mulai mendaki, menciptakan senyuman lembut penuh kerinduan.

Pandangannya bergulir, mengamati sekeliling. Orang-orang berbahagia dengan cara mereka sendiri.

Namun pandangannya terhentikan ketika netra hitamnya menangkap paras anggun yang pernah menduduki singgahsana dalam hatinya. Wanita satu tahun lebih tua darinya, dengan senyuman paling manis sepanjang yang ia tahu.

Tangannya melambai, harap akan kepekaan sang wanita untuk menyadarinya.

Awalnya ia memang tak yakin, namun lambaian balasan dilayangkan si wanita. Sekali lagi ia tersenyum, merasakan rengkuhan hangat dalam hati.

"Keiji? Osashiburi~" Suara yang mendayu begitu murni dengan segala ketulusannya. Akaashi tak henti tersenyum, merentangkan kedua tangannya ketika wanita itu mendekat.

Sebelah alis terangkat saat tahu wanita yang Ia tunggu tak kunjung masuk dalam pelukan besarnya. "Tak ada pelukan?"

Si wanita tertawa di tempat, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Kita memang tak pernah berpelukan saat bertemu kembali, Keiji. Lagi pula kau sudah tahu alasan pastinya, kan?"

Akaashi ikut tertawa, menggaruk tengkuknya yang tak gatal sekadar untuk mengalihkan perhatian. "Benar juga. Bagaimana kabarmu dan Kuroo-san?" tanyanya kemudian.

"Aku dan Tetsuroo baik-baik saja. Bagaimana denganmu Keiji?" tanya [Name] beralih duduk di bangku terdekat.

Akaashi mengekor, mendudukkan pantatnya dua jengkal dari tempat [Name] duduk. Lelaki itu menatap [Name] sekali lagi. Tatapan keduanya bertemu, beradu, mengulang rasa yang pernah terjalin sebelum waktu memisahkan.

Wanita itu terus menatap Akaashi, kian terlarut dalam kehangatan yang kerap ia rasakan di masa lalu. Tanpa meminta, tanpa rasa canggung. Semua itu begitu menyenangkan, menenangkan hati yang terus dilanda gelisah.

[Name] mengalihkan pandang lebih dulu. Itu bukan hal yang bisa ia lakukan dengan statusnya yang sekarang. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Keiji," ujar [Name] membangunkan Akaashi dari lamunan singkatnya.

Akaashi menghela napas pelan, senyumnya belum jua menghilang. "Seperti yang kau lihat. Pegawai kantoran yang cukup bahagia dengan pekerjaan dan penghasilannya."

"Yokatta, nee. Apa belum ada yang menemani hari-harimu?" tanya [Name] yang menusuk hati Akaashi dengan tepat sasaran.

"Kau mengejekku mentang-mentang kau sudah menikah?"

"Hah?" [Name] buru-buru menoleh. "Bu-bukan begitu! Ma-maksudku, kau juga sudah masuk usia menikah, kan? Lagi pula ka-kau pasti lelaki yang sibuk, seorang istri sangat dibutuhan untuk membantumu."

Akashi tergelak kecil, lantas kembali bicara, "Apa? Seorang istri untuk membantuku? Tidak, tidak... Bagaimana mungkin aku memperlakukan istriku seperti itu." sesaat ia menjeda. "Istri itu untuk aku sayangi, untuk kuberikan segala yang aku punya dan membahagiakannya. Dia bukan orang yang ditugaskan layaknya pembantu."

Tanpa alasan yang jelas, pipi [Name] bersemu. Ia merasa tersanjung atas apa yang Akaashi baru saja ungkapkan. Sungguh, ia ingin mendengarnya dari mulut yang lain.

"Tapi jika lelaki sebaik Keiji, pasti akan dapat perempuan yang baik juga. Dia tidak akan membiarkan kamu berjuang sendirian, dia akan selalu membantumu tanpa kamu minta." [Name] menunjukkan rentetan giginya yang putih dan bersih. "Rajutlah kebahagiaanmu dengannya, Keiji!"

Sejak dulu. Sejak pertama kali Akaashi berjumpa dengan [Name] dalam hidupnya. Senyum gadis itu selalu membayanginya untuk melakukan semuanya sebaik mungkin. Jika saja, jika saja ia bisa berdiri di sisi wanita itu lebih lama. Akaashi tak akan seorang diri sekarang. Andai. Andai ia berusaha keras untuk mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

🥀


Manik [e/c] menatap di ujung cakrawala. Tugas mentari hari ini hampir terpenuhi. Bergilir jaga dengan rembulan yang sudah bersiap di ufuk yang berseberangan. Ia menatap kantung belanja dalam dekapan. Rancangan makan malam sudah terpikirkan. Kini waktunya untuk merealisasikan.

Sebelah tangannya sibuk merogoh tas jinjing. Kunci rumah sudah di tangan, perlahan ia putar untuk bisa masuk.

Namun, tidak terkunci.

Sungguh dirinya dibuat heran. 'Jangan-jangan aku lupa mengunci pintu! Aduh, gimana kalau ada pencuri di dalam? A-apa aku tunggu Tetsuroo pulang dulu, ya?'

Tiba-tiba lututnya melemas. Rasa takut merayap begitu cepat dalam tubuhnya.

Tapi, waktu makan malam akan segera tiba. Suaminya pun akan pulang tak lama lagi. Tak Ada alasan baginya untuk takut. Perbekalan bela dirinya selama ini pasti akan membantunya meski sedikit. Setidaknya dia harus bekerja keras untuk memastikan tersajinya makan malam di meja makan.

[Name] mendorong pelan pintu rumahnya, berjalan dengan penuh hati-hati. Sayup-sayup dari arah dapur terdengar suara air yang mengucur. Ia mengintip pelan. Seorang lelaki di sana. Berdiri memunggunginya di depan dispenser.

Dengan tingkat kepekaan yang tinggi, si lelaki mampu merasakan kehadiran orang lain. Ia berbalik dan...

Melihat istrinya bersembunyi dibalik tiang penghubung ruang makan dan ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan di situ? Kenapa tidak beri salam saat masuk?" Tetsuroo melempar pandang heran.

[Name] menghela napas selega-leganya. Ternyata suaminya! Suaminya sudah pulang! Pulang saat matahari belum tenggelam sepenuhnya!

"Ya ampun, aku kira aku lupa mengunci pintu saat pergi menemui Yukie! Aku kira ada pencuri di rumah, aku jadi sangat berhati-hati!" celotehannya memenuhi seisi rumah dengan nada tinggi dan kesal.

[Name] meletakkan belanjaannya di atas meja makan. Mengambil bahan-bahan yang akan ia olah menjadi makan malam. "Malam ini aku mau masak katsudon, apa ada yang kau inginkan selain itu, Tetsuroo?"

Tetsuroo tak kunjung menjawab. Jari telunjuknya mengetuk meja makan dalam tempo yang konstan. "Katamu habis menemui Shirofuku-san?" tanyanya. [Name] membenarkan dengan dehaman keras. "Shirofuku melakukan transgender, ya?"

Pernyataan sang suami jelas membuat pupil mata [Name] melebar. "Apa maksudmu!?" Nada bicaranya meninggi, tak terima ketika sahabatnya mendapat penghinaan semacam itu.

"Yang aku tahu Shirofuku adalah perempuan. Tapi yang kulihat di taman tadi, kau bicara dengan lelaki, tuh?" sahut Tetsuroo dalam intonasi datar. Cenderung menyeramkan. "Mirip dengan Akaashi Keiji, mantan pacarmu."

[Name] mati kutu. Tak ada yang keluar dari mulutnya. Rasa kejutnya terus datang, satu persatu dari suaminya. 'Tetsuroo... Apakah dia mencurigai kami? Tapi apakah itu berpengaruh padanya?'

Untuk kesekian kalinya, [Name] terus mencoba mengerti apa yang suaminya pikirkan. Namun terkadang, ia tak bisa menerka apa yang ada dalam otak jenius sang suami.

🥀

[200117]

Continue Reading

You'll Also Like

82.1K 10.7K 116
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
55.1K 6.8K 31
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
201K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
37.3K 3.5K 21
Plak!!! Lisa terdiam merasakan panas di pipinya, saat kekasihnya yang dia cintai menamparnya. Hatinya terasa begitu sakit. Apalagi, dia melihat sang...