[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

19. Untuk Melepaskan

4.5K 421 158
By twelveblossom

"You were my whole world but I'm letting you go."(Four Seasons, Taeyeon)

Warning! Mature content 17+

-oOo-


"Chatu, senyum dikit boleh kok," bujuk Nayyara kepada pria yang kini berjalan di sampingnya.

Nara dan Javas sedang berada di bandara menuju Sydney. Setelah perdebatan panjang yang menguras energi―Nara perlu mengeluarkan berbagai macam jurus rayuan. Akhirnya Javas mengabulkan permintaan kasihnya dengan catatan mereka berada di sana tidak lebih dari tiga hari dan Nara tidak boleh berduaan dengan Wira apa pun yang terjadi. Nara pun menuruti semua syarat kekanakan Javas tersebut.

Javas yang memang setuju setengah hati pun hanya bisa cemberut. Dia bisa saja memaksa Nara untuk tidak pergi, tapi Javas tidak tega mendengar kesayangannya memohonkan sesuatu yang jelas bisa dikabulkannya dengan mudah. Bahkan, kalau mau Javas bisa membawa Nara keliling dunia, lantaran hanya pergi ke Sydney―kota kelahiran ibu Javas.

"Chatuuuu kok gak jawab sih," Nara mengalunkan suara super lembutnya hanya agar si laki-laki yang mengenakan masker putih itu memberikan atensi. "Chatu kamu lagi nyoba mogok ngomong ya?" sambung Nara.

"Aku lagi marah ya, Sayang," gerutu Javas yang sekarang berhenti hanya demi membenarkan tali sepatu Nara yang sedari tadi lepas. Javas berusaha tidak peduli dengan tali sepatu Nara, tapi dia khawatir Nara tersandung tali sepatunya sendiri. Jadi masih dengan gaya sok cuek Javas berlutut menalikan tali sepatu Nara yang lantas membuat si gadis tersenyum.

"Marah kok bilang-bilang," Nara terkikik. Dia menyelipkan tangannya di lengan Javas ketika mereka mulai berjalan. "Kalau marah itu manggilnya bukan sayang," lanjut si gadis.

"Aku kan marahnya pakai kasih sayang ke kamu jadi tetep manggil sayang," lontar Javas datar.

"Hehehehe gemes."

"Jangan deket-deket aku lagi flu, Baby," tolak Javas saat Nara mulai bergelayut kepadanya. Javas flu dua hari belakangan ini, demamnya memang sudah turun tapi kepalanya masih pusing. Sedari kemarin malam Javas menolak dekat-dekat Nara karena takut Nara tertular.

Nara cemberut. "Aku gak masalah ketularan kamu, asal kita bisa selalu dekat."

Javas menyembunyikan senyumnya. Untung dia pakai masker yang menutupi sudut bibir kalau tidak Nara akan mengejeknya murahan sebab begitu mudah dibuat salah tingkah.

"Aku yang merasa punya masalah kalau lihat kamu sakit," gumam Javas lalu batuk, ia menetralkan suaranya yang serak.

"Kenapa? Gak tega ya lihat aku demam?" Nara menggodanya.

Wah, sial. Javas mengumpat kepada dirinya yang mudah sekali dibuat berdebar-debar. Tolong, Javas ini playboy yang sudah diakui oleh khalayak luas, masa dia bisa begini berbunga-bunga hanya dengan ucapan gadis yang bahkan belum pernah berkencan. Javas merasa pengalamannya berkelana selama ini sia-sia.

"Sama kok Chatu aku juga gak tega lihat kamu sakit dan sedih. Tapi, pagi ini kamu gak senyum sama sekali ke aku jadi kamu lagi sedih ya?" Nara mengoceh.

"Aku senyum, tapi kamu gak lihat soalnya ketutupan masker."

Nara menggeleng. "Salah satu yang bikin aku bisa sayang ke kamu karena kamu kalau senyum, mata kamu juga ikut senyum melengkung."

Javas tiba-tiba berhenti. Dia menghadap ke Nara lalu tersenyum hingga matanya menyipit membentuk lengkungan yang sama dengan bibir, seolah netranya ikut tersenyum.

"Gimana? Kamu tambah sayang ke aku nggak habis lihat aku senyum berkali-kali gitu?" Ungkap Javas. Dia kembali mengulangi senyum itu, kurang lebih lima kali.

Nara terpaku di tempatnya. Tidak menyangka Javas bakal menganggap serius ucapannya. Kini pria dewasa itu justru mirip anak kecil yang minta diberikan penghargaan setelah ibunya menuruti perintah. Nara pun menghamburkan tawa.

"Hahahahaha," Nara sampai memegangi perut. "Aduh, aku ketawa sampai nangis," celetuknya.

Javas ternganga mendapati tawa nyaring Nayyara. Dia menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Nayyara, you play on me?" Tanya Javas dengan getir yang terlalu berlebihan.

Nara menggeleng. "Sorry, Chatu. But you are so cute. I can't handle your cuteness."

Javas pun berbalik meninggalkan Nara tanpa mengatakan apa pun. Javas terlalu malu untuk merespons. Pria itu setengah berlari untuk menghindari kejaran si gadis. Sungguh, mereka sama sekali tidak sadar umur.

-oOo-

"Adyastaaaa," teriak Aria nyaring.


Wira yang masih berbaring manja di ranjangnya pun tampak tidak terpengaruh dengan panggilan Aria. Dia tidak bergerak, hanya nafas teraturnya yang bisa membuat Wira dikategorikan sebagai makhluk hidup.

"Adyaasssstaaaa lo mati beneran mati, apa pura-pura mati?" ujar Aria yang kini sudah berada di ambang pintu kamar Wira.

Ada pergerakan kecil dari Wira. Pria itu meraih bantal untuk menutupi telinganya. Dia takut budek karena Aria ini punya suara yang lebih dahsyat dari permainan klarinet milik Squidward. Berkat suara cempreng Aria Wira jadi tidak perlu mengisi baterai jamnya lagi. Aria juga lebih tepat waktu dalam membangunkannya setiap pagi. Tentunya lebih ampuh.

"Adyaaastaaaa ada Nara, nih," kata Aria.

Wira mendengus. Pria itu suka peka dengan nama Nara cara itu kerap digunakan sebagai senjata Aria dalam membangunkan Wira. Namun, Aria terlalu sering memperdengarkan tipu muslihat murahan tersebut, jadi Wira sedikit kebal.

Dasar, Mak Lampir. Lo kira gue bakal ketipu untuk ke tiga puluh tiga kali. Batin Wira, dia berencana tidur lagi tapi ....

"Mahawira Adyasta," suara lembut itu begitu dekat dengannya. Suara yang dia kenali, suara yang sangat familier. Suara yang satu bulan ini tidak dia dengar, tapi dirindukan hampir setiap hari.

"Nyuk, kunyuk bangun nyuk," suara lain yang lebih berat dan selalu membuatnya memberengut juga mengisi telinga Wira.

Wira kontan membuka mata. Terang saja, netranya langsung mengenal sosok Javas yang berdiri di samping tempat tidur dan Nara yang duduk di tepi ranjang. Keduanya memberikan ekspresi yang berbeda. Nara tersenyum sembari melambaikan tangan sementara Javas cemberut tangannya terlipat di depan dada.

"Nayyara," gumam bibir Wira, refleks.

"Halo, Wira. Jahat kamu gak telepon aku sama sekali."

"H―halo, Nayyara," Wira tergagap.

"Gue gak disapa?" Javas menyambar galak ke Wira karena merasa hak asasinya sebagai manusia yang pantas mendapatkan sapaan direnggut.

Wira langsung melengos, mirip bocah yang lagi berantem sama temannya. "Pengen banget gue sapa, Dal?"

"Dal?" Alis Javas naik.

Wira mengeja, "Ka aka de ada el. Kadal itu lu. Lu itu kadal."

"Em o mo nye e et. Monyet. Monyet itu lu, lu itu monyet," alas Javas tak mau kalah.

"Dasar, bocah," ejek Wira.

Javas mendengus. "Lo yang lebih bocah."

"Lo!" Wira menyentaknya.

"Seriously. Kalian ini ngapain?" Aria yang sedari tadi diam buka suara.

Nara tertawa. "Mereka lagi kangen-kangenan, Aria," celetuk Nara.

"We are not!" Javas dan Wira membahas kompak.

Aria yang tadinya ingin marah-marah soal sikap kekanakan mereka justru ikut tertawa. "Kalian ini ya, lucu."

Wira dan Javas hanya saling membuang muka. Tak berselang lama mencuri pandang satu sama lain lalu berdecap. Lama tidak berjumpa bukan berarti merindu tapi bukan juga membenci. Dasar balita.

-oOo-

Nara menghembuskan nafas pelan sembari netranya menatap ke depan. Dia menikmati Kota Sydney pada sore menjelang malam. Apartemen Wira ini sangat indah, baik interior atau pun pemandangan di luar. Kini Nara berada di balkon, Wira berdiri di sampingnya sementara Javas dan Aria berada di ruang menonton. Balkonnya terletak di ruang kerja Wira, tempat pianonya diletakkan. Ada kaca yang menjadi sekat antara ruang kerja dan ruang menonton. Jadi, meskipun Wira dan Nara hanya berdua saja, Javas masih bisa melihat apa pun yang mereka lakukan.

"Are you happy with that Kadal?" Pertanyaan itu yang diajukan Wira.

"Yes, I'am." Nara beralih menatap Wira yang kini tampak santai dengan kaus putih dan celana training hijau neon. Selera berpakaian pria itu sungguh unik, dari dulu Nara juga heran di mana Wira menemukan barang-barang berwarna neon. "How about you? Are you happy? Kamu kembali bermusik pasti kamu bahagia," sambung Nara.

Wira tersenyum simpul. "Sekarang iya, kemarin tidak, dulu iya. Ada banyak jawaban yang bisa gue beri," jawab Wira.

"Wira ...."

"I'm happy today because you are coming. I was sad yesterday because you were far away. Being happy is easy with you around, Nayyara."

Nara memberikan ekspresi sedih. Nara mungkin bisa berpura-pura menjadi orang paling tidak peka sedunia, tapi Wira terlalu tulus ... Wira terlalu berharga.

"I'm so sorry, Wira." Nayyara meminta maaf karena apa pun yang Wira rasakan untuknya, si gadis tak bisa membalas sama besarnya.

"No need to sorry, Nayyara. Sama halnya setiap orang bisa jatuh cinta kepada siapa saja, manusia juga berhak memutuskan untuk tidak mencintai," Wira tersenyum. Dia menarik nafasnya, lalu menatap si gadis. "You are so precious to me. You are my one and only bestfriend... so please be happy," lanjutnya.

"Kamu juga harus bahagia. Kamu pantas bahagia seperti orang lain," timpal Nara. "Dan jika suatu saat nanti kamu sedih, kamu bisa datang ke aku. Mungkin satu atau dua pelukan dari seorang sahabat bisa memperbaiki segalanya." Nara berucap lagi, kemudian merentangkan tangan.

"Could I?"

Nara mengangguk. Si gadis melengkungkan senyum ketika Wira menghambur mendekapnya. Gadis itu menepuk punggung Wira lembut. Ada deru nafas teratur dari Wira seolah bersama Nayyara ialah obat penenang baginya.

"Nayyara harus duduk paling depan besok," bisik Wira.

"I wiil, Mahawira."

"Bawa buket bunga yang paling indah buat gue."

"I will, Mahawira."

Jantung Wira berdetak keras. "Dan jangan pernah datang ke sini lagi sebelum nikah dengan Javas. Janji?"

Karena kalau gue lihat lo sekali lagi datang ke gue sebelum Javas milikin lo, gue gak yakin bisa balikin lo lagi ke dia. Batin Wira bicara, dia memberikan alasan atas permohonannya.

Nara menggigit bibir. "I promise."

Mereka berdua tak menyadari tatapan lain dari seberang. Ada Javas dan Aria yang mengamati. Aria yang pertama kali memutus pandangan dari keduanya yang sedang berpelukan, Aria memberikan senyum dingin.

"Kapan lo pulang?" Itu pertanyaan yang diajukan Javas sembari mengalihkan pandangannya kepada mereka. Si pria memilih tak mengindahkan kasihnya yang sedang mendekap pria lain. Javas berusaha mengerti jika Nara butuh spasi untuk privasinya.

"Pulang adalah kata yang merujuk kepada manusia yang kembali ke rumah. Masalahnya gue gak punya rumah," balas Aria.

Javas menatap sepupunya. Dia sudah mendengar kalimat yang Aria ungkapkan itu berulang kali. Ariadna Arkadewi selalu merasa asing di tengah Mavendra. Dia bukan seseorang yang diharapkan hadir ke dunia ini, kelahiran Ariadna adalah sebuah kejutan. Lituhaya Mavendra melahirkan Ariadna tanpa pernikahan, dia enggan mengikat diri kepada laki-laki yang secara tidak sengaja tidur dengannya. Lituhaya enggan menyematkan nama belakang laki-laki itu sebagai penanda bahwa anak perempuannya adalah keturunan Keluarga Lim. Lituhaya juga tak ingin anak perempuan itu menyandang nama Mavendra. Lituhaya hanya ingin Ariadna hanya menjadi Ariadna Arkadewi tanpa ikatan nama keluarga, bebas lepas tanpa tanggung jawab berat. Namun, keputusan tersebut yang membuat Ariadna seolah tak punya keluarga. Ariadna bukan bagian dari Mavendra, tidak juga bagian dari Lim. Dia berdiri sendiri, tanpa keluarga yang menunggunya di tempat yang disebut sebagai rumah.

"Tante Lituhaya kangen sama lo," kata Javas.

Ariadna menampilkan raut angkuh. "Dia terlalu sibuk bahagia, mana ada sela buat kangen gue, Javas. Keluarganya itu sudah sempurna. Mom punya suami yang sangat setia seperti Respati, dua anak angkat yang menjadi penerusnya sebagai dokter, dan ... Cakrawala yang selalu bikin dia bangga. Gak ada waktu bagi Mom buat mikirin gue. Yang ada dia manfaatkan sikap nekat gue buat deketin si Adyasta."

"Lo tahu sudah dimanfaatkan untuk dekat dengan Wira tapi lo masih di sini sama dia," Javas mulai curiga. Dia yakin ada sesuatu yang membuat Aria tetap berada di sini, meskipun Javas pernah memerintahkan Aria agar meringkus Wira sehingga laki-laki itu tidak mendekati Nara lagi. Aria bisa saja mengabaikan perintahnya, mengingat si gadis yang sangat pembangkang. Namun, Aria justru mengikuti Wira sampai sejauh ini, meninggalkan mainannya yang berada di Jakarta.

Aria menarik ujung bibir membentuk senyum simpul. "Because both of us don't have a place that can be called as a home. We are become home to each other," jawabnya.

Javas memandang sepupunya. Ada ekspresi tulus yang tak pernah Aria tunjukkan sebelumnya. Ada intonasi lembut yang bahkan tak ia suarakan ketika dia membicarakan Abercio―cinta tak sampai Ariadna. Fakta tersebut memunculkan banyak pertanyaan di benak Javas, tapi ia tidak dapat mengatakannya karena Nara yang hendak hadir.

"Kalian lagi ngomongin apa?" Nara yang berjalan mendekat bertanya. Dia langsung dudu di sofa samping Javas, beringsut ke pelukan kasihnya. Sementara Wira yang tadi bersamanya memutuskan tinggal di ruang kerja memainkan piano.

"Rahasia," jawab Aria sembari tersenyum.

"Oke, rahasia," celetuk gadis itu, menyerah begitu mudah. Toh, nanti saat di tempat tidur Nara bisa mengorek informasi dari Javasnya. "Setiap dengar Wira main piano, aku selalu ngantuk," kata Nara setelah ada jeda. Dia melemparkan topik baru.

Javas yang sedari tadi mengecupi puncak kepala Nara pun bertanya, "Apa kamu mau balik ke hotel? Kamu bisa lekas tidur."

"Sebentar, tunggu Wira selesai main." Nara menjawab, dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Javas.

Mereka bertiga diam di sana, mendengarkan dengan perasaan masing-masing. Nada yang dirangkai oleh jemari Wira terdengar putus asa dan sedih. Namun, pada bagian akhir semuanya terdengar bahagia, bahagia yang melepaskan.

"Strength for let go. Itu judul lagunya," gumam Ariadna. Dia menatap gadis dalam dekapan Javas yang kini menutup mata. "Dan lagu itu untuk Nayyara," lanjutnya pelan.

"Nara ketiduran," balas Javas. Pria itu menarik nafas, bisa-bisanya wanita ini terlelap hanya dengan duduk di sampingnya.

Aria tertawa renyah. "Itu artinya dia kelewat nyaman sama lo. Manusia itu mudah ketiduran kalau merasa nyaman dan aman di tempatnya berada."

"Gue rasa juga begitu."

Javas memindai Nara yang kini tertidur pulas. Setiap dia menyadari gadis ini begitu dekat dengannya, begitu tergantung padanya, dan begitu mencintainya ... hati Javas akan berdesir. Rasa yang membuatnya bahagia ini tampaknya tidak lekang waktu. Javas menyadari jika waktu yang dihabiskan untuk menunggu bukan lah masalah besar, jika dia bisa memiliki gadis ini untuk selamanya.

-oOo-

"Javas kamu demam lagi," ucap Nara sedikit panik ketika dia menempelkan tangan ke dahi si pria yang tengah berbaring di sampingnya.

Javas masih menutup mata, dia menarik selimut. "Aku hanya butuh istirahat, Nayyara. Kamu siap-siap dulu aja, nanti kalau uda mau ganti baju bangunin aku."

Nayyara jelas tidak setuju atas sikap Javas yang masih bersikeras mengantar Nara untuk menghadiri konser pengenal pertama Wira. Nara bisa ditemani Ariadna yang jelas ikut serta, mengingat Aria dan Wira sudah sangat akrab. Kelewat akrab sampai Nara berpikir yang tidak-tidak soal mereka.

"Kamu sakit jadi istirahat di sini―"

"―No, i'm okay, Darling," elak Javas tapi badannya menggigil.

Nara menghela nafas, dia meraih obat flu dan segelas air putih yang ada di nakas. "Minum obat dulu, ya?" Tawar Nara sembari berusaha membuka selimut Javas.

Pria itu menggeleng. "Obatnya diminum setelah makan," kata Javas pelan.

"Kalau gitu kita makan dulu."

Javas menggeleng lagi.

"Ah, minum susu? Kamu suka susu vanila kan, Chatu."

Javas menggeleng untuk ke sekian kalinya. Nara jelas geram.

"Kalau gini terus, kamu gak bakalan sembuh!" Nara menggertakkan gigi. Tangannya berusaha menarik Javas, tapi tenaga pria itu terlalu kuat untuk dilawan.

"Aku lagi sakit, Nayyara. Please, jangan ganggu dulu," pinta Javas.

"Jadi, menurut kamu aku ganggu," simpul Nara, ada kesal dalam suaranya. Dia memukul tubuh Javas yang membelakangi.

Javas yang sadar cintanya mulai marah pun langsung berbalik. "Nggak bukan itu maksudku―"

"―Dari kemarin kamu gak mau aku deketin. Gak mau aku cium. Gak mau nemenin aku tidur, malah nyuruh aku tidur di kamar yang beda. Jadi, semua itu karena aku ganggu," potong Nara.

Javas langsung beranjak, dia berada dalam posisi duduk berhadapan dengan Naranya, "Nggak, Sayang. Sudah aku bilang, aku gak mau kamu ketularan flu. Aku bisa sembuh dalam dua sampai tiga hari kalau kamu kena flu bisa sampai satu minggu."

"Tapi, kamu juga gak berusaha untuk sembuh, Chatu! Ini gak mau itu gak mau. Kamu sungguhan kayak sengaja menghindari aku," Nara mengomel. Sebenarnya dia tak sungguhan marah. Nara hanya memikirkan cara agar Javas mau bangun, makan, dan minum obat itu saja.

Javas meraup wajah. Dia tak ingin berdebat lebih jauh. "Oke, kita makan," putusnya kemudian menelepon layanan pesan antar dari pihak hotel tempat mereka menginap di Sydney.

Nara mengulum senyum. "Good boy. Jangan krlihatan panik gitu, aku gak sungguhan marah kok."

"Nayyara, you play on me again!" JJavas baru menyadari trik Nara.

Javas mendekati Nara memosisikan raganya seperti hendak mengecup gadisnya, hingga Nara pun secara otomatis mulai menutup mata. Lantaran memberikan kecupan seperti biasa, Javas justru tertawa pelan. "Kamu ini jahat ya," bisik Javas sembari menyeringai. Javas sedikit membalas Nara yang tadi pura-pura marah. Javas yang puas dengan rona merah di pipi Nara pun beranjak pergi.

Nara bercecah, dia menarik Javas hingga si pria berbalik. Dengan gerakan super tangkas dan cepat Nara meraih leher Javas, mengalungkan di leher si pria. Kaki Nara berjinjit agar bisa menyamai tinggi Javas. Tanpa aba-aba Nara mencium bibir Javas.

Jelas otak Javas butuh belasan detik untuk memproses karena Nara itu distraction terbesar yang tak bisa ia tangani dengan mudah sebab hatinya akan mendominasi. Perasaannya yang tak sanggup segala sentuhan fisik dari si gadis.

Nara menekan bibir Javas yang terkatup. Dia memaksa agar Javas membuka bibir, tapi pria itu tetap kukuh. Javas memang tak mendorongnya, hanya saja sang kasih terlalu kaku. Nara memberanikan diri untuk menggigit bibir bawah Javas, ternyata membuahkan hasil―Javas mengerang pelan. Tangan Nara yang menganggur pun ia turunkan ke bawah, mencari sesuatu yang jelas bisa membuat Javas menegang. Akan tetapi, usahanya tidak berjalan mulus―Javas langsung memutuskan kontak ketika lidah mereka saling bertemu dan mencumbu.

Javas menatap galak ketika spasi tercipta cukup luas untuk bisa membuatnya melihat paras si gadis. Sementara Nara hanya tersenyum lebar seolah yang dilakukannya bukan kesalahan.

"Kamu bisa tertular," tegas Javas.

"Sudah terlanjur cium," kelakarnya. Dia berkacak pinggang, bermaksud menantang Javas yang tampak menahan emosi. "Kenapa? Gak pengen aku cium? Sini balik kin kalau gitu," lanjutnya sembari menunjuk bibir.

"Nayyara ...." Javas speechless.

"Aku pernah denger, flu itu bakal cepet sembuh kalau dibagikan ke orang lain―"

"―Teori dari mana itu? Kamu denger dari mana?" sambar Javas.

"Theo yang bilang. Tadi aku tanya dia kenal dokter di Sydney nggak, terus dia nyaranin gitu, Chatu."

"That brat .... Kamu percaya sama Theo?"

Nara melejitkan bahu. "Sebenarnya nggak, tapi gak ada salahnya mencoba." Nara tersenyum lebar.

Tentu saja ada yang salah, Nayyara! Gertak Javas dalam pikirannya. Meskipun Javas merasa dipermainkan tapi dia tak bisa mengutarakan protesnya. Pria itu menatap Nara kesal, lalu berlalu ke kamar mandi―ada sesuatu yang harus dirinya selesaikan secara mandiri di sana.

-oOo-

"Wira always looks more beautiful when he plays piano," gumam Nara.

Nara menyaksikan pertunjukkan Mahawira Adyasta dengan Javas di sampingnya. Mereka mendapatkan tempat duduk yang paling dekat dengan panggung. Gadis itu tak lupa memberikan senyum ketika Wira mencuri pandang ke arahnya. Itu bentuk dari dukungan kepada kawannya. Sementara Aria hanya diam di sebelah Nara, gadis itu tampak pucat, tak ada hal yang dikatakan. Aria bahkan pergi dari sana beberapa menit sebelum pertunjukkan Wira selesai.

"Stop smile beautifully for that bekantan," dengus Javas.

Nara meliriknya tajam. "Kita sudah mencapai kesepakatan untuk tidak cemburu dengan alasan yang kekanakan."

Javas melipat tangan di depan dada, dia cemberut, dan hidungnya kembang kempis plus merah. Itu tanda jika dia sedang cemburu. Walaupun Javas berusaha menunjukkan kesalnya, tapi dia tetap saja menerima sewaktu jari Nara menggenggam tangannya―mungkin―karena Nara selalu terasa hangat. Kenyataan itu membuat Nara menyeringai menang.

"Chatu," gumam Nara. Dia menatap prianya dengan pandangan memohon yang menimbulkan tingkat kecurigaan Javas meningkat. "Nanti, kamu ya yang maju kasih buket bunga buat Wira," pintanya sembari menyerahkan mawar putih yang sengaja dibeli Nara tadi.

"Hah? Asolutely no!"

Nara memberikan senyum yang membuatnya puluhan kali lebih menawan. "Please?"

"Darling, I'm not a guy!"

"I know, you aren't. You have good skill to make women moan hardly. You give him flowers just as ... friend."

"Darling ... I'm not his friend. He never to be my friend."

Nara memutar bola mata. "Please Chatu, try to be good man. Try to be friend with him. Wira needs more friends to support him."

"No, Baby."

Nara menghela nafas atas sikap keras kepala Chatunya. Gadis itu beranjak dari bangku hanya untuk melangkah ke depan, namun sebelum dia sungguhan berjalan Javas menariknya agar duduk lagi.

"Where are you going, Darling?"

Nara menghentakkan tangan Javas. "Aku mau pergi aja. Aku gak mau duduk di samping orang yang keras kepala dan gak mau dengerin permintaanku," jawab Nara sinis.

Javas menghela nafas berat. "Okay, okay aku kalah. Mana bunganya? Aku saja yang kasih."

Nara menjungkitkan senyum lagi. "Don't forget to give Wira a warm hug, Chatu," pesan Nara kepada Javas yang melangkah menuju depan panggung.

Well, ada sebuah tradisi untuk memberikan penghargaan berupa bunga atau surat kepada pemain utama yang baru diperkenalkan di sini. Banyaknya bunga menunjukkan seberapa besar penerimaan penonton atas permainannya. Yang membuat Nara bangga adalah Wira mendapatkan banyak cinta dari pendengarnya. Termasuk bunga dan pelukan juga dari Javas. Nara hanya ingin dua pria yang berarti dalam hidupnya berdamai dan menjadi teman. Mereka harus saling mendukung, tentu saja mendukung untuk menjaga Nara bahagia.

-oOo-

"Darling, ngggghhh," erangan Javas ditangkap oleh telinga Nara.

Si gadis baru saja dari kamarnya untuk packing karena besok pagi mereka harus kembali ke Jakarta. Javas yang sungguhan tidak ingin Nara tertular flunya masih berpendirian untuk tidak tidur seranjang dengan kasihnya. Nara tadi berniat langsung tidur saja, tapi ponselnya ketinggalan di kamar Javas, jadi dia kembali. Nara memiliki kartu akses kamar Javas. Mereka selalu begitu memberikan kartu cadangan kamar kepada satu sama lain―agar bila terjadi keadaan darurat mereka bisa langsung masuk ke kamar pasangannya. Namun, tampaknya Nara datang di saat yang kurang tepat. Dia mendengar sebuah suara familier seorang Javas Chatura Mavendra yang keluar begitu sensual. Suara tersebut berasal dari arah kamar mandi.

Nara yang curiga Javas membawa wanita lain pun tanpa berpikir langsung membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci. Gadis itu tersentak setelah melihat pemandangan yang ada di depannya. Javas sedang ....

"Nara!" Seru Javas kaget sekaligus tak bisa berkutik. Nara memergokinya sedang melakukan hal yang sangat sangat sangat memalukan. Pria itu sungguh kehilangan harga diri.

Mohon dimaklumi, Javas itu pria dewasa yang sudah biasa terpuaskan. Tapi, belakangan ini dia sama sekali tak bersenang-senang dengan wanita-wanita yang berada di klub. Sementara dia tak ingin Nayyara melakukan blow job dan hand job terhadapnya. Jadi ... Javas melakukannya dengan mandiri.

"Kenapa tidak bilang?" tanya Nara pelan yang tanpa berkedip melihat bagian bawah Javas yang telanjang.

Alis Javas naik. Lidahnya kelu untuk bisa bertanya maksud kekasihnya. Lantaran begitu, Javas semakin hilang arah ketika Nara menghampirinya, kemudian berlutut di hadapannya yang sedang duduk di kloset. Sesuatu yang dilakukan Nayyara selanjutnya sungguhan merampas akalnya. Javas hanya sanggup mendongakkan kepala, terhempas dengan kenikmatan luar biasa ketika Nara mempermainkan apa pun yang ada di bawah sana.

"Nayyara, enough―don't―nggh," desahan Javas keluar berbanding terbalik dengan larangannya. Tangan Javas semakin menekan kepala gadis yang kini berada di antara kedua pahanya.

Nayyara mengulum kejantanan Javas. Memasukkannya ke dalam mulutnya kemudian mengeluarkan dengan tempo pelan. Hal itu jelas membuat Javas gila. Nara mengerti hal semacam ini karena dia memang sudah dewasa. Apalagi, mengingat Javas si pengelana ini pasti hebat dalam hal yang berbau sentuhan fisik―paling tidak Nara harus belajar untuk menyeimbangi. Well, dia mendapatkan tips yang berguna dari Aria―tampaknya Aria sangat pro.

"Ahh, Baby," racau Javas ketika tangan Nara menelusuri pangkal pahanya.

Nara sendiri merasa mulas di perutnya. Ada getar aneh yang membasahi dirinya karena desahan Javas. Pria itu membuatnya panas hanya dengan suaranya.

"Darling, I'll cum. Move," Javas menarik Nara agar gadis itu menghentikan kulumannya. Dia tak ingin gadisnya merasakan apa pun yang akan dirinya tumpahkan, Nara terlalu berharga untuk berbuat ini.

Nara justru menggigit pelan kepunyaan Javas membuat pria itu kehilangan tenaga. Javas pun mengerang protes dan manja. Nara butuh belasan menit agar milik Javas berkedut. Pria itu masih berusaha menyentakkan Nara, melawan Nara yang berkomitmen menyelesaikan 'aktivitas' yang dia mulai.

Javas sudah berusaha. Dia berusaha untuk tidak mengeluarkannya, tapi gagal. Cairan putih itu memenuhi mulut Nara, membuat si gadis tersedak. Javas bisa melihat Nara menelan dengan susah payah, hingga ada yang mengalir di sudut bibir si gadis.

Nara membersihkan setiap inci bagian paling sensitif Javas. Javas tidak pernah setidak berdaya ini. Dia juga tak pernah secepat ini mencapai puncak. Apa Javas merasa begitu puas karena yang menyentuhnya adalah gadis yang sangat dia cintai? Entahlah, yang terlintas di benak Javas hanya secepatnya menikahi Nara lalu menuntaskan hasratnya.

Tenaga Javas kembali setelah melepaskan. Pria itu lekas membenarkan pakaiannya, lalu meraih Nara untuk duduk di pangkuan. Javas menyerang bibir Nara, mengecupnya sangat dalam, berusaha membersihkan semua yang gadisnya telan.

Giliran Nara yang mendesah. Dia membiarkan Javas mencumbunya, sementara tangannya membelai otot perut Javas dan tangannya yang lain berada di leher Javas. Cukup lama kecupan itu berlangsung, Javas sempat meninggalkan jejak di leher gadisnya. Namun, si pria selalu tahu batasannya dan berhenti.

"Kamu tidak seharusnya melakukan itu," Javas berucap. Dia membiarkan Nara mempertemukan hidung mereka.

"Wanita lain boleh menyentuh kamu. Kenapa aku tidak boleh?"

"Are you not disgusted with that thing?"

Nara tahu apa yang dimaksud Javas. "That thing taste sweet ... everything about you taste that sweet for me."

Serebrum Javas perlu beberapa sekon untuk memproses. Kepintarannya yang sudah diakui tidak mampu untuk mengendalikan gadis ini.

"I love you so much, Nayyara," satu kalimat itu yang dibisikkan Javas pada rungu perempuan yang ada di pelukannya.

"Me too, Chatu. Because we love each other, you can asked me to pleasure you anytime."

Nara mendapatkan jawaban dari Javas melalui sentuhan. Javas mengangkat tubuh Nara, membaringkan si gadis di ranjang. Raga Javas menindih Nara, menjadikan tangan sebagai tumpuan beratnya. Saat bibir Javas mulai menelusuri lehernya, Nara sadar jika malam ini akan menjadi malam yang panjang.

Malam yang panjang dan indah. Jika Javas kehilngan kendalinya.

Nara berharap Javas lupa untuk berhenti.

Tolong, jangan berhenti. Pikiran Nara menguasai, sebelum bibirnya menguraikan erangan akibat jari Javas yang sudah memasukinya.

-oOo-

a/n:

Halo semuanya, terima kasih sudah membaca part 19 hehehehehe. Semoga kalian suka.

Aku up lebih cepat minggu ini, tapi gak menutup kemungkinan akan double update juga :D. Update part 20 akan lebih cepat kalau sudah mencapai 190 vote dan komentar.

Oh ya, uda denger kabar Chen mau nikah? Huhuhu jujur aku kaget campur sedih campur seneng. Semoga Chen selalu bahagia <3.

Dan selamat ulang tahun untuk Do Kyungsoo dan Kim Jongin. Semoga mereka juga selalu bahagia.

Okay, sampai jumpa di part 20. Buat yang ingin tahu sedikit bocoran soal setiap part bisa follow twitterku@.twelveblossom.

Bye~ have a good day <3

Continue Reading

You'll Also Like

77.2K 14.3K 27
Lisa terus mendapatkan pesan-pesan penipuan dari nomor yang berbeda-beda ke ponselnya, dari yang tidak merasa terganggu, lama kelamaan Lisa menjadi m...
78.4K 9.2K 13
Misi pertama gue udah berhasil bikin ka gita mencair, sekarang misi gue selanjutnya adalah bikin ka gita nikahin gue! - Kathrina.
754K 75.6K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
1.2M 62.7K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...