Miko Mei (Antara Jakarta & Sa...

De anjar_lembayung

11.5K 1.1K 87

Edisi Revisi Miko Mei (Long Distance) "Hubungan kita terlalu berisiko bila kita tak menjaga tiga hal yang per... Mais

Prolog
People Say
The Virgin
Masa Lalu
Usia Menikah
The Difference
Without You Again!
When You are Busy
Emma and George
Mama Ask
Bagaimana Kalau Lanjut?
Sweet Moment When I Meet You
E-book Miko Mei

Believe Me

1K 93 13
De anjar_lembayung

Sebulan itu waktu yang cukup lama bagi Mei. Dua tahun lalu ia hampir setiap hari bertemu dengan Miko. Tapi, waktu itu mereka belum memiliki hubungan yang serius. Mei yang masih suka kocar-kacir dirundung galau di antara dua laki-laki, Miko dan Brian, membuat hubungannya dengan Miko sedikit tersendat. Sekarang sudah memiliki hubungan yang serius malah jarang bertemu.

Mei mendengus kesal. Memutar ponsel di meja karena sebal tak kunjung mendapat kabar dari Miko. Mei sudah yakin sekali tadi pagi menghitung tanggal di kalender, ini adalah hari ke-30 Miko sibuk. Miko bilang sebulan sibuk mengurusi costume play. Ini sudah sebulan, Mei juga yakin bulan ini ada 30 hari.

"Mei, ada proposal dari jasa tour and travel, nih. Kayaknya kamu bakalan seneng, deh, bacanya." Ratna serta merta duduk di samping Mei.

Mei bergeming. Ia masih saja melamun menatap pada ponsel di meja yang sedari tadi ia putar-putar tak jelas. Ratna yang menyadari tidak ada tanggapan dari Mei langsung menggoyangkan telapak tangan kanannya di depan wajah Mei.

"Woi, ngalamun aja!" Ratna mencibir sembari menepuk bahu Mei.

"Eh, iya ... apa tadi?" Mei tergagap menyadari sedari tadi ia terlalu sibuk melamun di kantor penerbit sembari menunggu Ratna.

Ratna hanya menipiskan bibir. Tangannya membuka map berisi proposal dari jasa tour and travel dan Mei mulai menyimak.

Sebuah jasa tour and travel mengadakan tour bersama penulis bestseller. Dan beruntungnya Mei yang mendapat kesempatan ini. Pihak jasa tour and travel menginginkan wisata ke San Francisco bagi penggemar novel Mei. Dan sampai sekarang sudah ada sepuluh orang yang mendaftar untuk mengikuti tour tersebut. Untuk Mei gratis karena memang Mei-lah yang menjadi penarik para pengguna jasa travel and tour tersebut.

"Entar kita berangkat bareng penggemar kamu, Mei. Tujuan wisatanya adalah Pier 39, wisata cable car, dan tempat-tempat lain di mana pernah kamu kunjungi bersama Miko. Pokoknya persis sama yang ada di novel kamu. Gimana? Setuju?" Ratna menaik-turunkan kedua alisnya.

Mei hanya takjub. Bibirnya sedikit membuka tak percaya. "Ini gratis?" tanya Mei masih tak percaya.

"Iya." Ratna mengangguk mantap.

"Ke San Francisco?"

Ratna kembali mengangguk diiringi senyum.

"Aku mau banget! Kapan?" Mei begitu antusias. Digenggamnya erat tangan Ratna dan menggoyang-goyangkan dengan histeris.

"Seminggu lagi, Mei. Gimana? Mau?" Ratna mencolek dagu Mei, menggoda Mei yang kegirangan.

Mei mengangguk terharu disusul senyum kebahagiaan. Keduanya terkekeh bersamaan hingga terdengar dering ponsel, Mei menghentikan keasyikan mereka. Mei buru-buru menjauh dari Ratna mengetahui nama Miko yang tertera dalam layar ponsel. Ratna tersenyum, mengedikkan bahu kemudian keluar dari ruangan.

"Halo, kenapa baru telepon sekarang? Ini sudah hari ke-30 kamu sibuk. Apa kamu masih sibuk juga? Nggak jadi dikasih cuti?" Mei lantas membombardir Miko dengan segudang pertanyaan.

"...."

"Oh, begitu. Ya sudah, nggak apa-apa. Jangan lupa makan dan jangan terlalu lelah," pesan Mei dengan raut wajah nelangsa.

"...."

"Miss you too." Mei mengakhiri panggilan.

Air mata yang menggenang membuat pandangannya kabur.

Beberapa menit bercakap-cakap dengan Miko melalui telepon mengubah drastis raut wajah Mei. Entah harus bagaimana lagi. Harus mengerti, memahami atau marah padanya. Miko bilang tidak jadi ke sini sekarang. Ada urusan mendadak yang mengharuskan ia kembali ke San Francisco setelah tour costume play di Thailand selesai. Meski Miko berjanji setelah urusannya selesai ia akan sesegera mungkin menjenguk Mei. Tapi, itu semua tak lekas mengobati kekesalan Mei. Ia sudah terlalu lama menahan kerinduan. Tiga puluh hari jarang berkomunikasi apa itu kurang cukup untuk menyiksanya?

Mei menghapus air mata yang hampir meleleh. Rasa rindu dan kesal karena tak kunjung bertemu membuat ia tak mampu membaca emosi apa yang sedang dirasakan. Tak tahu harus bagaimana. Marah, kenapa harus marah bila Miko memang belum bisa datang mau bagaimana lagi. Pasrah, tapi rasa kangen pada kekasih itu sungguh membabi buta. Untuk saat ini, Mei hanya mampu menghela napas panjang demi menenangkan diri agar tak putus asa menjalani LDR.

**

Miko memasukkan kembali ponsel ke saku celana chino berbahan denim. Ia baru saja keluar dari area airport di San Francisco. Sedikit tergesa, hatinya menahan sesak di dada. Entah kenapa ia begitu sesak mendapati keadaan yang sedemikian membuat kacau rencana liburannya bersama Mei. Ia terpaksa, tak sanggup mendengar panggilan mengiba di telepon saat Miko masih di Bangkok semalam.

Tangisan George menahan kesakitan membuat Miko iba. Emma memang sempat menelepon sebelumnya. George tertabrak mobil di depan sekolah saat mau pulang. Semula Miko bisa menahan diri untuk tak kembali ke San Francisco. Tapi, mendengar jeritan George itu sungguh menggugah hati untuk menjenguknya barang sebentar saja. Lagi pula, ia yakin Mei bisa mengerti meskipun Miko tak mengatakan masalah George. Tadi di telepon ia hanya mengatakan ada urusan mendadak yang memaksa harus kembali ke San Francisco.

Miko menghela napas, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi taksi yang ia tumpangi. Rumah sakit adalah tujuan utama yang harus segera ia kunjungi untuk menjenguk George. Pikiran Miko masih saja melayang kepada Mei. Entah sampai kapan ia akan menyembunyikan masalah George dan Emma pada Mei. Tapi, Miko teramat yakin dirinya tak pernah menyentuh Emma secuil pun.

Kejadian 6 tahun lalu di pesta ulang tahun Emma sungguh tak bisa ia terima. Bisa-bisanya ia tertidur di kamar Emma setelah William memaksanya untuk minum. Semua itu terjadi karena Miko bukan peminum yang baik. Jujur saja Miko tak pernah minum alkohol sebelumnya. Dan sekali ia minum itu di pesta ulang tahun Emma. Ia masih ingat samar-samar William yang juga sama-sama mabuk memapahnya bersama Emma ke dalam kamar. Setelah itu semua gelap dan ia tertidur. Saat pagi hari ia tak menemukan William, hanya ada Emma dan Miko di kamar. Atau ia melakukan hal lain bersama Emma? Sungguh Miko tak bisa mengingat kejadian apa pun setelah itu.

Miko menyisir rambut ke belakang dengan jemarinya. Lelah sekali memikirkan semua sendirian. Haruskah ia berbagi dengan Mei? Apa Mei bisa percaya padanya bahwa ia sama sekali tak pernah menyentuh Emma sampai menghadirkan George? Miko sendiri masih meragukan hal itu. William pun dulu hanya sibuk memperingatkan untuk segera putus dengan Emma. Ia sendiri juga tak mengingat apa-apa katanya. Lalu siapa yang harus ia percaya sekarang?

Percayalah padaku, Mei! Aku mohon, kamu jangan pergi saat tahu semua tentang ini.

Miko tersadar dari lamunan panjang saat taksi berhenti tepat di depan rumah sakit. Ia tergesa turun dan berlari kecil. Namun, ketergesaan itu terhenti saat menemukan William dan Emma saling berbicara dengan suara tertahan penuh emosi. Miko menahan langkah dan berusaha mendengarkan apa yang sedang terjadi.

"Stop it, please, Emma! Miko tidak bersalah. George bukan anak Miko!" Perkataan William membuat Miko sedikit memundurkan langkah dan bersembunyi di tikungan koridor.

"Aku tidak peduli! Aku tidak mau Miko tahu kalau 6 tahun lalu kita melakukan kesalahan! Kita memang sering sekadar pergi one night stand di belakang Miko. Aku sama sekali tak mengharapkan kehadiran George dari kamu! Aku mencintai Miko, tapi Miko terlalu kaku dan dingin sehingga dia tak pernah menyentuhku! Dan kamu selalu menawarkan apa yang tak pernah Miko berikan padaku!" Emma masih bertahan dengan keinginan menahan Miko.

"Emma, please! Aku sayang padamu, tidak bisakah kita memulainya dari awal? Aku akan menyayangi George dan memang seharusnya aku menyayanginya karena dia anakku." Suara William terdengar sedikit bergetar. Dari sorot mata yang ia tunjukkan seolah-olah ia sedang putus asa.

Miko berjalan perlahan, menghampiri mereka yang sedang asyik dengan kekeruhan emosi masing-masing. Ia tampak tenang dan seperti tak berminat menggertak maupun meluapkan segala kekesalan pada kedua manusia yang menjijikkan. Ya, menjijikkan setelah Miko mengetahui semua yang telah terjadi.

Emma menutup mulut karena terkejut menyadari Miko yang entah kapan sudah berada di sana. William tergagap, tak sanggup berkata sedikit pun.

"What's wrong, guys? Aku mengganggu kalian?" Miko tersenyum sinis dan meninggalkan mereka berdua yang masih ketakutan.

Miko tak langsung pergi begitu saja, setidaknya ia menemui George terlebih dahulu. Bagaimanapun sebutan Daddy yang George berikan pada Miko telah menjadikan ikatan batin antara mereka berdua.

"Daddy! Bawa aku pulang, please! Aku benci rumah sakit!" George mulai merengek.

Keningnya terbalut perban dengan Betadine. Beberapa luka parut ada di siku dan lutut serta pergelangan kaki.

"Come on, George! This is not a big problem. Daddy percaya kamu anak yang berani. Ini hanya luka kecil, Sayang." Miko mengelus puncak kepala George.

Miko tidak membenci anak ini. Ia bukanlah sebuah dosa. Mereka berdualah yang telah berdosa membuat anak ini kebingungan. Miko menarik napas dalam-dalam dan menghela-nya perlahan. Ada gejolak di dada saat melihat George yang terluka dan melihat William yang sebegitu bodohnya. Bila tidak ada George di sini mungkin tinju dari tangan Miko sudah melayang di muka William sejak tadi.

"Would you stay here with me, please?" pinta George.

Miko tersenyum, kemudian menatap ke arah Emma dan William yang masih tertunduk dan belingsatan dengan tatapan Miko.

"I'm sorry, George. Daddy harus pergi untuk menyelesai-kan beberapa masalah," Miko sedikit menyesali ucapannya. "Uncle William akan menemanimu di sini sama Mommy," lanjut Miko. Lagi-lagi Miko menatap ke arah William dan Emma. Dan mereka hanya tersenyum dengan raut cemas.

Miko berbalik, hendak berpamitan. Namun, William mencekal lengannya dan berusaha mengatakan sesuatu.

"Miko, sorry. I'm ...."

"Enough! Jangan buat keributan di depan George!" Kali ini Miko berkata dengan sedikit penekanan. Rahang Miko terlihat tegang dengan urat di leher dan pelipis yang mulai bermunculan menahan amarah.

"Dan kamu ...." Miko menunjuk Emma dengan jari telunjuknya. "Aku mau tes DNA dari anak itu." Miko sedikit berbisik agar George tak mendengar.

Emma gemetar. Ada rasa takut saat melihat Miko yang tersulut amarah. Baru kali ini Miko terlihat semarah itu. Emma dan William memilih bungkam dan berusaha menahan diri untuk tidak mencegah kepergian Miko. Sedangkan George mulai menangis dengan kepergian Miko.

Miko merasa iba, tapi pada kenyataan George memang harus tahu yang sebenarnya, bukan? Apakah Miko salah melakukan hal demikian? Haruskah ia terima saja pengkhiana-tan kedua sahabat yang bermain di belakang itu?

**

Prraaaangg...!

Cermin di wastafel apartemen Miko pecah begitu saja saat tinju Miko sudah tak kuasa lagi menahan amarah. Rasa perih dari darah yang mengalir di jemarinya tak sehebat rasa perih menahan sesak di dada. Ia kemudian bersandar pada tembok dan memilih untuk terduduk di lantai dengan tangan yang meremas rambut karena frustrasi.

William, makhluk macam apa ia yang tega menyembu-nyikan hal sebesar ini? Mungkin kemarahan Miko tak akan sefatal ini bila William berusaha jujur dan tidak rusuh. Dan Emma, wanita macam apa yang tega membohongi anaknya sendiri? Menutupi fakta bahwa William-lah ayah dari George.

Dan Miko, manusia macam apa yang bisa sebodoh ini tidak menyadari musuh di dalam selimut? Miko merutuki diri sendiri.

Miko merogoh ponsel di saku celana dan menekan salah satu nomor. Ia tersenyum mendengar suara Mei yang serak seperti bangun tidur.

"Mei, sedang apa?" sapanya.

"Kenapa baru telepon sekarang?" keluh Mei.

"Iya, maaf... besok aku jemput, ya? Kamu ada acara apaan?"

"Di kantor penerbit, ada perlu. Jemput kapan? Orang kamunya masih di Amerika!" Mei sedikit kesal mengatakannya.

"Ini mau mandi, habis itu balik lagi ke airport," ucap Miko sembari mendesis menahan perih yang mulai terasa di jemari yang berdarah.

"Kamu kenapa?" Mei meski dengan rasa kantuk masih sanggup mendengar desisan orang kesakitan.

"Tidak ...." Miko berkilah, menyembunyikan kondisinya. "Mei, percayalah padaku. Apa pun yang kamu ketahui nanti, dari siapa pun itu, tanyakan padaku dan tetaplah percaya padaku. Aku mohon," lanjut Miko.

Miko hanya mendengar helaan napas Mei. "Mei?" panggil Miko lagi.

"Iya, aku akan selalu berusaha percaya padamu. Meski kamu jauh, dan kita hidup di dunia yang memiliki budaya yang berbeda." Mei berkata dengan suara lirih.

"Okay, see you, Mei." Miko menutup telepon. Ia mendesah seraya menurunkan ponsel dari telinga.

Setelah tes DNA itu keluar, Mikoakan menceritakan semua pada Mei. Dan itu harus!

***

(14-01-2020)


Maaf baru kembali up. Silakan masukkan Miko Mei ke dalam reading list agar setiap kali saya up muncul di notif Wattpad kalian.

Terima kasih sudah membaca Miko. :)

Sebetulnya, saya kurang PD dengan naskah saya yang satu ini mengingat ini karya lama yang saya publikasikan ulang dan alurnya belum saya perbaiki total. 

Mohon maaf bila masih tak jelas dan amburadul ya, Kak. :"D

Sekali lagi, terima kasih atas dukungannya. Jangan lupa mampir di next episode dan cerita saya yang lain. :)

Continue lendo

Você também vai gostar

462K 1.8K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
2.1M 32.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
719K 31.3K 65
Elena Rosalina Smith memiliki seorang tunangan yang tiba - tiba di rebut oleh saudari tiri nya. Dan sebagai ganti nya, Elena terpaksa harus menikahi...
587K 25K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...