Emergency Love (TAMAT)

By MbakTeya

171K 13.4K 593

Windari mengajukan empat syarat penting sebelum Langit menikahinya. Pertama dia tidak mau pernikahan mereka... More

Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan - End

Tiga

17.1K 1.7K 82
By MbakTeya

Terima kasih untuk yang bantu koreksi, jangan lupa bantu lagi ya.

Est... jangan lupa juga baca kisah lainya. Ada yang udah tamat 😢

Sudah pukul lima pagi dan Windari belum juga turun. Membuat Langit kesal. Ia juga butuh mandi, ganti pakaian dan bekerja. Tetapi berkat gadis itu semua bisa kacau. Menghela, Langit menaiki anak tangga, ia mengetuk pintu sembari memanggil Windari beberapa kali.

Namun pintu tak juga membuka, membuat Langit menghela dan memilih masuk ke dalam. Ia berdecak melihat Windari bergelut nyaman di bawah selimut. Ini kamarnya, seharunya ia yang masih terlelap di balik selimut hangat itu.

"Windari bangun," kata Langit mendekat. Tidak juga mendapat respons, Langit mengguncang bahu gadis itu agar segera membuka mata. "Bangun. Sudah siang."

Merasa terganggu Windari menggeliat, ia melotot melihat Langit begitu dekat dengannya. "Kenapa Om ada di sini? Apa yang Om lakukan padaku."  Windari mendorong dada Langit menjauh, ia bangkit dan memeluk selimut dengan erat. 

"Bangun. Sekarang sudah pukul setengah enam. Kamu mau terlambat ke sekolah," kata Langit setelah memutar mata. Bisa-bisanya gadis ini berpikir ia telah melakukan sesuatu.

"Benarkah?"

Muka panik Windari membuat Langit kian kesal. "Iya. Sekarang cepat bersiap dan turun. Aku juga butuh memakai kamar mandi."

"Oke, Om." Windari menyibak selimut dan turun dari rajang. "Om bisa menunggu di bawah, aku tak akan lama," kata Windari menatap Langit dengan memohon.

Tidak ada jawaban dari Langit, tapi lelaki itu undur diri dan keluar dari kamar. Tersenyum, Windari mandi dengan cepat. Lima belas menit kemudian Windari sudah duduk manis di meja makan, menunggu Langit yang tengah membersihkan diri.

Windari sedang mengecek tas sekolahnya saat tak menemukan buku Nuansa, teman sekolahnya. Seingatnya tadi malam ia sudah menyusun semua menjadi satu, tapi kenapa sekarang tak ada.

Mengingat sesuatu Windari bangkit, ia bergegas naik dan mengetuk pintu kamar. "Om Langit," panggil Windari. Tidak ada sahutan, yakin Langit masih di kamar mandi, Windari membuka pintu, mengamati sekitar dan berlari masuk. Dia mengambil buku bersampul hitam milik Nuansa dan hendak kembali berlari keluar saat pintu kamar mandi terbuka.

Windari mengaga, lalu dua detik kemudian dia menjerit sembari menutup wajah dengan kedua tangan.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Langit mengerutkan kening, ia berdecak saat Windari lagi-lagi menjerit.

"Jangan mendekat, Om. Om sudah menodai mataku."

Langit memutar mata, ia memilih berjalan ke arah lemari dan mengambil pakaian miliknya. "Keluarlah. Atau matamu akan melihat sesuatu yang mengagumkan."

Windari menjerit lagi, ia bergegas melarikan diri dengan jantung bergemuruh. Melihat tubuh telanjang Langit sungguh godaan paling menyiksa. Roti sobek di perut lelaki itu luar biasa memukau, Windari ingin sekali menyentuh dan mengelusnya.

Memukul kepalanya, Windari bergegas berlari ke lantai bawah. Ia membodohi diri sendiri. Bagaimana ia harus bersikap saat bertemu tatap dengan Langit lagi?

Windari menghela, ia menjatuhkan kepala ke atas meja. Menendang udara dengan gerutuan yang terus keluar dari mulut. Menyebalkan sekali hari ini.

"Sudah sarapan?"

Tubuh Windari kaku, ia tak berani menoleh ke belakang. Bahkan ia masih tak berani menatap Langit saat lelaki itu sudah duduk di depanya.

"Sudah sarapan belum?" tanya Langit lagi. Ia melirik meja makan. "Hanya roti memang, tapi itu cukup bagus untuk menganjal perut."

Mengangguk kaku, Windari berkata. "Sudah, Om." Dengan suara amat pelan. 

"Kalau begitu ayo berangkat." Langit bangkit, ia mulai melangkah meninggalkan Windari.

"Om tidak sarapan?" tanya Windari gugup. Meski Langit tak membahas, tapi kejadian ajaib tadi masih menyisihkan rasa malu.

"Sudah. Ayo kita berangkat."

Windari mengangguk, ia bergegas mengikuti Langit.

"Kamu pulang jam berapa nanti?"  tanya Langit pelan. Mereka sudah berada di mobil, dalam perjalanan menuju sekolah Windari.

"Tidak menentu, Om. Bisa cepat bisa juga lama."

Mengangguk paham, Langit kembali menatap ke depan. Seperti dugaannya lalu lintas ke arah sekolah Windari macet. Banyak kendaraan lain yang mengantre, saling berlomba untuk sampai lebih dulu. Beruntung mereka tinggal satu belokan lagi dan sampai. "Nanti kamu bisa pulang sendiri? Aku tak yakin bisa menjemput."

"Bisa, Om." Windari melirik Langit dengan sinis, siapa juga yang ingin di jemput Om-Om satu ini.

"Ehh tidak  jadi, deh. Kamu hubungi aku saja kalau sudah pulang," kata Langit yang langsung saja membuat kening Windari berkerut.

"Kenapa begitu," tanya Windari keheranan.

"Lakukan saja. Kak Alma baru saja menyuruhku mengantar jemputmu. Menyebalkan sekali dia."

"Aku bisa sendiri."

"Lakukan saja agar Kak Alma tidak marah besar. Sekarang kamu punya nomorku tidak?"

"Punya. Tante Alma sudah memberinya sejak lama." Windari menggerutu, ia memang sudah menyimpan nomor Langit sejak lama, sejak Tante Alma mulai membicarakan perjodohan mereka. Awalnya Windari tak ingin menyimpan, karena percuma saja ia tak akan menghubungi.

Akan tetapi karena Tante Alma memaksa, akhirnya Windari menyimpan. Ia tidak mau terus bersitegang dengan Tante Alma hanya karena masalah sepele. Meski tidak pernah mencoba menghubungi, tak ada ruginya menyimpan nomor Langit.

"Om berhenti di sini saja," kata Windari. Beberapa meter lagi mereka tiba di gerbang sekolah, Windari tahu sekali jika berhenti di sana akan sulit karena banyaknya motor masuk. Ia tidak mau tertabrak oleh teman sekolahnya yang sering kali bertindak ceroboh. Untuk masuk ke dalam juga akan repot. "Terima kasih atas tumpangannya, Om." Windari membuka pintu mobil, ia baru saja hendak melambaikan tangan saat mobil Langit sudah melaju meninggalkannya.

Windari menggerutu, ia tak senang akan sikap Langit.

"Ngapain kamu berdiri di sini? Mau jadi penjaga gerbang?”

Tersentak kaget, Windari menoleh. "Ehh, Rangga," katanya kesal. Ia menatap Rangga sinis  saat cowok itu mengatainya yang bukan-bukan.

"Iya, ini aku.  Kamu ngapain bengong di sini?” Melihat gadis yang disukai berdiri di pinggir jalan sudah sangat ia syukuri. Mereka bisa masuk bersama seperti pasangan kekasih kebanyakan.

"Suka-suka aku lah mau berdiri di mana pun." Windari berbalik dan bergegas meninggalkan Rangga, teman sekelas yang selalu mendekatinya tiap kali ada kesempatan.

Windari tahu Rangga menyukainya, cowok itu udah beberapa kali memintanya menjadi kekasih. Namun, ia selalu menolak. Rangga memang tampan, tinggi dengan kulit cokelat. Cowok itu juga baik padanya, tapi sebaik apa pun Rangga jika ia tidak suka, ia tetap akan memilih berteman saja.

"Ehh tunggu, dong!"

Rangga berteriak di belakannya, Bukannya menunggu Windari semakin mempercepat langkah. "Malas. Gak penting juga," kata Windari tanpa menoleh.

"Kamu suka gitu, deh." Windari melirik Rangga sinis saat cowok itu merangkul bahunya. "Eh iya, tugas Bu Marbun sudah kamu selesaikan belum?"

"Jangan panggil aku Windari jika belum menyelesaikannya," kata Windari sembari menyingkirkan tangan Rangga dari bahunya.

Sallah satu yang tak disukai Windari dari Rangga, cowok itu jika sudah akbar dengan seseorang tak segan merangkul. Tidak peduli yang di rangkul akan setuju atau malah tidak nyaman.

"Sok gaya. Aku boleh lihat, gak?"

Menghentikan langkah, Windari menggeleng tegas. "Tidak. Minta sana sama teman-teman kamu. Bye aku duluan." Windari melambaikan tangan, ia berlari meninggalkan Rangga yang berteriak di belakangnya.

Enak saja mau meminta contekkan, ia saja nyaris mabuk mengerjakan tugas terakhir dari guru bahasa inggrisnya itu. Beruntung ada Om Iya yang bisa ditanyai, jika tidak ia yakin belum menyelesaikan sampai sekarang.

Menjadi anak sekolah memang mengenaskan, apa lagi dirinya yang sudah kelas tiga. Guru-guru semakin padat memberi materi, membuatnya dan teman-teman lain nyaris mengila.

Dari pagi hingga siang kepala di peras untuk berpikir, belum lagi jika ada pelajaran tambahan. Bisa-bisa mereka pulang di sore hari, saat tenaga sudah tak ada lagi di tubuh.
      
                                        ******

"Win, aku antar pulang ya."

Windari menoleh, ia melihat Rangga berjalan mendekat. Lalu mengerutkan kening bingung. "Siapa?" tanyanya kembali sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas.

Sekarang pukul dua, kelas baru saja bubar beberapa menit lalu. Windari dan teman lain bergerak lambat menyusun barang. Alasannya sederhana, dia luar sana sedang hujan deras.

"Ya kamu, memangnya siapa lagi?"

Windari menyengir, ia menutup resleting tas dan memakainya. “Gak perlu. Aku bisa pulang sendiri."

"Di luar hujan deras, kamu sama teman-teman kamu boleh kok nebeng, kebetulan aku udah di jemput sopir."

"Tapi gak perlu deh, Ga. Rumah kita beda arah, lagian-" Windari menghentikan ucapan, ia mengerutkan kening. Jika ia meminta jemput Langit, apa lelaki itu akan datang segera. Menggelengkan kepala, Windari kembali menatap Rangga. "Pokoknya gak perlu antar, aku bisa pulang sendiri."

"Kamu kenapa sih? Di antar pulang gak pernah mau? Takut ketahuan pacarmu?"

Windari mundur saat wajah dan nada suara Rangga tampak kesal. Ia memang sudah beberapa kali menolak ajakan Rangga, tapi itu kan haknya. Kenapa cowok itu mesti marah. Menyebalkan.

"Pacar apa? Jangan asal ngomong, ya." Windari melotot, ia menatap Rangga kesal

"Bercanda, Win." Tawa Rangga membuat Windari kesal. Sialan sekali cowok ini berhasil mengerjainya. "Win, berarti kamu jomlo dong?" Windari memicingkan mata, tidak mau menjawab pertanyaan Rangga. "Mau jadi pacarku, gak?"

Pekikan heboh tema-teman sekelas membuat Windari membulatkan mata, ia menepis tangan Rangga yang menggenggam tangannya. "Apa sih, jangan aneh-aneh, deh."

"Terima aja, Win. Kamu sama Rangga kan sama-sama jomlo. Lagian Rangga udah lama tertarik sama kamu," kata Nuansa, salah satu teman dekat Windari.

"Nuansa. Kamu apaan, sih." Windari mendorong Rangga menjauh, wajahnya memerah malu mendapat sorakan dan godaan dari teman-teman sekelasnya.

Mereka terus membeberkan berbagai alasan agar ia menerima cinta Rangga. Membuatnya mati kutu dengan wajah semakin memerah.

"Mau gak jadi pacarku." Rangga kembali bertanya, tatapan mata dan raut wajahnya sangat serius. Tangan Windari yang berhasil kembali di genggamnya dengan erat. Sorot matanya teduh, sangat mempesona andai ia memiliki ketertarikan lebih pada cowok itu. Tetapi ia tidak memiliki perasaan seperti itu.

Menggeleng, Windari berkata, "Aku gak tertarik buat pacaran." Padahal yang sebenarnya ia tidak tertarik menjalin hubungan cinta bersama Rangga. Rangga bukan tipe idamannya.

"Uhhh." Sorakan teman-teman sekelas membuat Windari bergerak gusar. Meski sudah mengenal lama, ia tetap tak nyaman menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Sakit hati aku, Win. Masa kamu tolak terus, sih."

Perkataan Rangga membuat Windari melogo, sebagian temannya memekik heboh. Ia mengeluh dalam hati, ucapan Rangga membuatnya semakin terlihat kejam dan tak memiliki perasaan.

"Loh. Memang udah berapa kali kamu tembak Windari?" tanya Nuansa dengan kening berkerut, gadis itu menatap kedua temanya secara bergantian.

Tidak ada informasi tentang hubungan Windari dan Rangga. Ia tahu Rangga menyukai Windari, tapi ia tak pernah tahu jika teman dekatnya itu pernah menolak Rangga. Menatap Windari tajam karena tak pernah bercerita dengannya, tapi gadis itu malah melengos. "Windari?"

"Udah ah, aku mau pulang aja. Bye semua." Windari melambaikan tangan, lagi-lagi ia harus berlari demi menghindari teman-teman sekolahnya yang terus berteriak. Begitu tiba di teras, Windari menghela, hujan sangat deras. Ia tidak bisa berlari lebih jauh lagi.

Mengentak kaki ke lantai, Windari meninju tangan kirinya dengan tangan kanan. "Rangga bodoh. Ngapain sih dia nembak di depan banyak orang."

"Siapa yang nembak?" tanya sebuah suara yang amat di kenalnya. Windari menoleh, ia mengerjap saat melihat Langit ada di hadapan. Tubuhnya terlindungi payung berwarna hitam kelam. Lelaki itu berhenti di dekat teririsan.

"Ehh, Om. Kok bisa sampai di sini? Aku kan belum hubungi," kata Windari kaget, ia tak menyangka menemukan Langit ada di hadapan. Sangat mengejutkan sekali.

"Hujannya deras. Aku juga sedang ada pertemuan di gedung depan saat gerbang sekolahmu terbuka," kata Langit kembali melangkah mendekat. "Jadi siapa yang di tembak, kamu?"

Fiuhhh. Setelah di pikir-pikir aku pingin mewek rasanya 😭😭

Tapi harus kuat demi menyusul ketertingalan 💪💪💪

Jangan lupa vote dan komennya ya

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 58.5K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
1.4M 65.5K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
3.3K 572 8
Dia terlalu cantik, mungkin itu alasan kenapa kutukan membuatnya menderita. Tiga kali menikah, para suaminya meninggal setiap kali ingin menyentuhnya...
828K 38.8K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...