Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

27th Floor

339 72 14
By Atikribo

SUARA TEMBAKAN itu masih terngiang di telinga Nova. Bergaung, berulang-ulang, dan terus berulang-ulang: pekikan Indhira, wajah Kres yang lebam, tiga orang dengan masker gas yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Setiap kali Nova melangkah, sesulit itu baginya agar tidak melihat ke belakang. Nova tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Satu hal yang pasti: seseorang telah mati.

Siapa? Nova tidak bisa berpikir positif. Tidak terbesit sama sekali bahwa yang tertembak adalah orang Orenda. Di kepalanya, entah Indhira, Kei, atau Dee yang tak selamat. Bahkan ketiganya bisa saja tidak selamat.

Memikirkannya saja membuat tenggorokannya tercekat. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Jika Nova berhenti berlari, tubuhnya akan gemetar. Setiap tarikan napas membantu air matanya agar tidak membuncah. Gadis itu tidak mau berhenti berlari. Ia harus fokus agar emosinya bisa terkendali.

Jantungnya berdegup liar, napasnya terengah nyaris habis. Ia tersandung ketika Luke memanggil namanya. Hidungnya terasa sakit ketika ia berhadapan langsung dengan tanah. Tenggorokan Nova terasa terbakar dan matanya begitu panas.

"Kupikir sekarang kita aman," ujarnya cukup jauh dari gadis itu, "Nova?"

Luke berderap mendekat. Nova yang tersungkur tak kunjung bergerak. Sulit untuk meluruskan pikirannya dengan segala macam hal yang membuat isi kepalanya sekeruh air sabun.

Luke memegang pundak Nova dengan lembut, seolah-olah gadis itu barang pecah belah. Membantunya bangun dan mendudukkannya bersandar ke pohon terdekat, pria botak itu berjongkok di sampingnya. Gadis itu tak kunjung mengangkat wajahnya; ia terengah sembari memalingkan wajah.

Kejadian itu kerap berulang, menghantui pikirannya. Desing peluru membuat Nova trauma. Rasa bersalah menjalar dari kepala hingga ujung kaki. Seseorang tewas karena Nova telah kabur; karena ia begitu pengecut untuk melawan. Tubuhnya bergetar, Nova menutup telinga dan memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak mendengar namanya dipanggil berkali-kali oleh Luke. Hanya Nova dan kepalanya serta pikiran buruk yang menghantui.

Mengherankan ketika napasnya kembali teratur dan degup jantungnya melambat; kepala dan tubuh Nova terasa lebih hangat dari yang seharusnya. Terasa sebuah sentuhan di punggung Nova dengan gerakan lingkaran yang terus berulang-ulang. Perlahan, ketika gadis itu sudah fokus dengan keadaan, ia mulai mendengar seseorang berbisik di telinganya, mengatakan, 'tidak apa-apa'.

Mendongak, mata Luke memandangi Nova dengan tatapan lembut, tidak seperti biasanya. Pria itu menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada umpatan maupun kata-kata kasar yang keluar dari bibirnya. Gadis itu tidak bisa lagi menampung rasa sesak di dadanya.


Entah berapa lama waktu yang terbuang ketika ia menangis. Beruntung mereka berada cukup jauh di timur dan sudah hampir mendekati pintu keluar. Pepohonan yang mengelilingi mereka bukan lagi pepohonan berbatang ramping dan tinggi; dedaunannya semakin lebat, batangnya pun semakin lebar. Setidaknya keberadaan mereka akan sedikit sulit untuk diketahui jika ada antek Orenda yang berhasil mengejar mereka.

Menarik napas panjang, Nova mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.

"Kau sudah bisa jalan, Non? Kita harus pergi," pria botak itu membantu Nova untuk berdiri. Luke menggenggam lengan Nova cukup lama sampai gadis itu mendapatkan kembali keseimbangannya dan mengangguk lemah. Janggal sekali melihat Luke yang menjadi lebih empatik seperti ini.

Mereka berjalan lebih berhati-hati sekarang; memastikan langkahnya tetap dalam bayang-bayang hutan. Tanpa mengetahui di mana pintu keluarnya, mereka terus berjalan. Mengetahui jika tembok perbatasan tampak semakin tinggi, maka mereka sudah dekat dengan tujuan.

"Salah satu dari mereka pasti tewas," Nova bergumam, tangannya terasa basah oleh keringat.

"Kita enggak tahu itu, Non," Luke meremas tangan gadis itu. Semenjak Nova menangis, pria itu selalu menggandeng tangannya; menuntun Nova berjalan dan memastikan dirinya tetap waras tanpa muncul tanda-tanda serangan panik.

"Tapi, bagaimana jika—"

"Bagiamana jika mereka tetap hidup dan akan menyusul kita nantinya?" Luke memotong pikiran buruk gadis itu. Tatapan tajamnya mengarah pada Nova, "Berhentilah berpikir seperti itu."

Mengulum bibirnya, gadis itu menarik napasnya lagi. Setiap kali Nova hendak menarik tangannya, Luke menahannya. Pria itu tidak mau melepaskan genggaman tangannya dan perilakunya jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Sungguh janggal.

"Kenapa?" kata tanya itu begitu saja keluar dari bibir Nova.

Langkah Luke terhenti. Ia menoleh, mengerutkan alis karena tidak paham dengan pertanyaan gadis itu.

"Kenapa sikapmu berubah 180 derajat seperti ini?"

Menghela napas, pria itu mengusap kepalanya yang botak. Ia tampak lelah dengan gadis yang tak kunjung mengerti ini, "Ravi akan membunuhku kalau kau kenapa-kenapa."

"Apa alasannya cuma itu?"

Luke mengerang, "Memangnya harus ada alasan apa lagi?" pria itu menarik tangan Nova, membawanya mendekat. Mencengkram kedua bahunya, Luke menunduk sehingga kedua matanya sejajar dengan gadis itu dan berkata, "Kau ini masih kecil, Nova. Kau seharusnya enggak mengalami semua hal ini, paham? Kau berlagak kuat, tetapi kau sebenarnya rapuh. Kenapa kau tidak bisa sedikit percaya pada orang dewasa yang ada di sekitarmu?"

Kata-katanya membuat Nova terhenyuk. Entah bagaimana, gadis itu selalu merasa sendiri; bertahun-tahun bahkan saat usianya belum sampai sepuluh. Meskipun ingin, dia tidak mau bersandar pada seseorang, apa lagi seseorang yang belum lama ia kenal.

"Bagaimana aku bisa percaya kalau mereka saja tidak pernah ada di sekitarku?" desis Nova.

Mendengar perkataan gadis itu, Luke mengacak-acak rambut burgundinya. Mulutnya terkatup rapat, bahkan bibirnya tidak tersenyum. Mengedikkan kepalanya, mereka pun melanjutkan perjalanan.

Beberapa kali Nova menelan air liurnya. Perjalanan mereka yang melelahkan ini tampak tak berujung; kakinya pegal, kerongkongannya kering. Luke sudah tidak menggandeng tangan Nova lagi dan setiap lima menit sekali, pria itu berjalan di belakang gadis itu untuk melihat keadaan. Di saat yang sama pula, gadis itu mengambil beberapa langkah ke depan untuk melihat apakah dinding pembatas Floor semakin dekat.

Meskipun dugaan Luke mereka sekarang aman, kondisi sekarang tetap membuatnya awas. Selama mereka berjalan, tak terdengar suara apapun selain langkah kaki mereka. Tak ada cicitan burung, maupun gemersik daun yang tertiup angin. Disposal Floor bagaikan sebuah wilayah tanpa kehidupan. Bahkan orang termiskin di Floor lebih memilih berada di Lingkar Luar dan menunggak biaya sewa flat dan tempat sempit ketimbang membangun tempat tinggal di sini. Disposal Floor bagian terburuk dari yang terburuk. Heran juga Dee dan Kei bisa hidup di tempat seperti ini lebih dari tiga tahun.

"Sepertinya kita sudah dekat," kata Nova. Ia bisa melihat cahaya yang cukup terang sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

"Bagus," Luke kembali dari pengamatannya, berkata bahwa tidak ada yang mengikuti mereka, "Sepuluh menit lebih lama di sini sepertinya bisa membuatku gila. Gua butuh matahari."

Beruntung ketika tidak ada lagi pepohonan yang menaungi mereka, tembok di hadapannya dapat dicapai dengan lima langkah saja. Matahari yang tertutup awan memancarkan cahaya yang suram. Luke berdiri di depan Nova, mengamati dengan saksama apakah sekeliling mereka aman dari tanda-tanda kehidupan.

"Apa kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Luke.

Menggeleng, Nova balik bertanya, "Tidak, kenapa?"

"Kita sudah keluar dari hutan, tapi kita tidak melihat gerbang timurnya. Jika utara adalah jalan menuju pegunungan, maka akan semakin banyak pohon dan selatan merupakan arah kota. Matahari saja enggak kelihatan karena awan mendung sial itu," pria botak itu mengelus-elus dagunya. Ia meracau sendiri, "Kapan aku bisa melihat matahari dengan jelas di Floor sih?"

Mengabaikan Luke yang terus mengeluh dan meracau, gadis itu mengamati sekelilingnya. Sejauh mata memandang, di sebelah kiri mereka hanya tampak rimbunnya pepohonan dan hutan. Semakin jauh semakin lebat dan pohon-pohon itu pun semakin tinggi; tanda tidak terjamah oleh manusia. Pegunungan tampak di kejauhan. Pintu keluar nampaknya tidak akan berada di sana.

Gadis itu tidak menyadari bahwa Luke telah berjalan melewati dirinya. Semua ucapan pria itu bagaikan angin lalu. Konsentrasi Nova takkan beralih dari pegunungan itu bila saja Luke tidak memanggilnya berkali-kali.

"Kau liat apa sih?" tanya pria botak itu, alisnya mengerut.

Tersentak, gadis itu mengikuti Luke. Tanah lembab terasa semakin berpasir; beberapa kali Nova nyaris terpeleset dan terjatuh. Lambat laun, mereka dapat melihat partisi-partisi barang rongsok yang tergeletak di mana-mana.

Pria itu mendengus, tampak bangga dengan apa yang ia temukan: scaffaholding setinggi dinding dengan tangga yang tidak begitu aman. Tidak terlihat batang hidung siapapun di sana. Siapa juga yang mau menjaga tempat bau dan membosankan seperti ini?

"Kita semakin dekat dengan pintu keluar," Luke memberitahu Nova.

"Apa kau tahu bagaimana kita harus bisa mencapai Ragni?"

"Nggak. Lihat saja nanti. Kita bahkan tidak tahu apakah bisa keluar dari gerbang dengan selamat atau tidak."

Tentu saja pria itu tidak akan berpikir ke sana. Nova terlalu khawatir akan banyak hal; seringkali hal-hal yang tidak mendesak namun dibuat mendesak. Sebuah kebiasaan yang buruk. Udara lembab dari pepohonan mulai beralih dengan bau besi dan logam-logam berkarat. Berbagai pecahan barang rongsok semakin banyak terlihat, tanda semakin dekat mereka ke arah selatan.

Nova hampir menabrak Luke yang berhenti tiba-tiba. Pria botak itu mengisyaratkan dirinya agar tetap diam kemudian ia mengarahkan telunjuknya ke depan. Mereka tidak mengira akan ada dua orang penjaga di gerbang tempat rongsok ini; memegang senjata api, dan tampak bosan setengah mati.

Seragam mereka berwarna hitam dengan lambang berwarna kuning yang menggambarkan bagian dari instansi negara. Tanpa adanya pengawasan dari pusat, mereka bersandar ke dinding dengan postur yang terlalu santai, menyulut sebatang rokok di mana seharusnya mereka mengenakan masker untuk keamanan diri mereka.

"Kenapa juga kita ditugaskan di sini sih?" keluh penjaga yang menyulut rokok, "Siapa pula yang mau keluar masuk lewat pembuangan sial ini? Orang paling miskin saja tidak ada yang mau tinggal di sini, tidak masuk akal."

"Mana membosankan sekali," timpal penjaga satunya, "Enggak ada apa cewek cantik tiba-tiba lewat memberi kita makan gitu ya. Tiga hari dan hanya gembel-gembel saja yang lewat. Yang benar saja, atasan paniknya berlebihan. Posku sebelumnya jauh lebih menarik."

Keluh kesah mereka berdua tidak ada habisnya. Luke menarik ujung lengan Nova dan membawanya menjauh dari gerbang keluar, bahkan kembali ke dalam hutan. Tidak mau membuat gadis itu bertanya yang tidak perlu, Luke berbisik, "Akan terlihat lebih natural jika kita tidak muncul dari sana."

"Apa yang akan kamu katakan pada mereka?" tanya gadis itu.

"Permisi, numpang lewat?" ucapan pria botak itu membuat Nova khawatir.

"Mereka diposisikan di sana untuk mencegah supaya tidak ada buron yang lewat dan buron itu adalah aku!" desis gadis itu, "Kau pikir mereka tidak tahu wajahku?"

Luke mengenakan tudung jaket gadis itu secara kasar, membalas perkataannya, "Sudah tahu buron; hal yang pertama kali kau khawatirkan itu harusnya rambutmu. Rambutmu!"

Berada kurang lebih seratus langkah dari gerbang, Luke dan Nova berjalan keluar dari hutan, menelusuri jalan setapak dengan susah payah karena banyaknya barang rongsok yang berserakan. Luke menemukan beberapa karung berisikan barang-barang yang ia tahu masih bisa dijual. Mengambil dan memberikan salah satunya pada Nova, pria itu mengusap tangannya yang berdebu pada wajah gadis itu.

Mendelik, Nova menampik tangan Luke; suaranya meninggi, "Kau ini ngapain sih?"

Pria itu pun mengotori wajah dan pakaiannya sembari mengatakan setidaknya penampilan mereka harus sekusam mungkin.

"Kita pemulung," Luke menjelaskan peran mereka nanti di hadapan para penjaga, "yang akan pergi ke timur. Sebelum Ragni, terdapat kota yang berisikan banyak mekanik dan mereka membutuhkan barang-barang seperti ini. Kita akan menjualnya. Masukkan barang-barangmu ke dalam karung itu, jangan sampai mereka melihat apapun yang kau simpan di dalam tas selempangmu."

Jantung Nova berdegup kencang. Ia berdiri di belakang Luke, menggenggam erat karung yang terasa berat untuk diseret. Dua orang penjaga itu menyadari kehadiran Luke dan Nova. Dengan gestur yang tidak banyak berubah, penjaga-penjaga itu menghadang mereka untuk lewat; mengangkat senjatanya dengan posisi yang siap ditembakkan. Mengangkat dagunya, salah seorang penjaga memandangi mereka dari atas ke bawah, sementara penjaga yang lain mengitari Luke dan Nova dan berdiam cukup lama di dekat si gadis belia.

"Permisi, kami mau lewat," Luke benar-benar mengatakannya.

"Oh, silakan, silakan," jawabannya lebih mengejutkan lagi. Nova tidak menyangka akan semudah ini dan tentu saja kemudahan itu hanyalah delusi, "Kau pikir saya akan bicara seperti itu hah?"

Penjaga itu mengarahkan senjatanya kepada mereka, Luke perlahan meletakkan karung mengangkat tangannya.

"Setengah hari dan akhirnya ada juga orang yang lewat! Memangnya kami akan membiarkan kalian lewat dengan mudah? Apa yang ada di dalam karung itu?"

"Hanya barang yang kami kumpulkan untuk dijual lagi, Pak," jawab Luke; sejauh ini tidak keluar dari rencana, "Banyak mekanik di timur yang membutuhkannya."

Penjaga itu membuka melihat isi karungnya dan berdecak. Dia mengedikkan dagu pada temannya, namun penjaga satunya tidak berkata banyak. Ia terus memandangi Nova dari atas ke bawah bahkan memicingkan mata. Gadis itu menahan sedemikian rupa agar tidak berbicara, tangannya terasa begitu dingin.

"Apa ada masalah dengan rekan saya, Pak?" mata tajam Luke mengamati mereka dengan awas.

"Tidak. Hanya saja di sini membosankan karena tidak ada perempuan cantik yang lewat."

"Sekarang, perempuan cantiknya sudah lewat. Kami bisa pergi 'kan?"

Tangan si penjaga menghalangi Nova untuk berjalan mendekati pria botak itu. Senjatanya mereka sampirkan dan penjaga itu memegang bahu Nova; mengamati wajahnya secara lebih dekat. Bau tembakau yang menyesakkan sontak membuat gadis itu memalingkan wajahnya.

"Kenapa memalingkan wajahmu, Manis?"

Menjijikan. Saat penjaga itu hendak menyibak tudung yang ia kenakan, Luke mencengkram bahu si penjaga, berusaha menahan diri agar tidak memukulnya.

Suaranya lebih berat dari biasanya, "Lepaskan dia."

"Atau apa?" penjaga itu memposisikan senjatanya, mengintimidasi Luke. Sudut mata penjaga itu beralih pada Nova yang tudung jaketnya telah rekan kerjanya buka. Mereka menggelengkan kepalanya, "Akhirnya pos di sini tidak sia-sia!"

Luke tanpa berpikir panjang mengayunkan bogemnya, tetapi dengan kasar, penjaga itu malah menjatuhkan Luke. Penjaga satunya membekap Nova hingga tak ada suara yang keluar. Pria itu menarik tangan Nova ke belakang, menguncinya agar tidak bisa memberontak. Pergelangan tangan gadis itu terasa sakit, tetapi ia pun tak bisa menjerit. Matanya terasa panas karena air mata.

Luke mengerang ketika penjaga itu menekankan senjatanya ke tulang rusuk pria botak itu. Si penjaga memandang rendah Luke dan mengancamnya karena telah menipu seorang penjaga dari instansi pemerintah. Telinga Nova terasa ngilu ketika terdengar gemeretak tulang dan pekikan pria botak itu.

Semua perjuangannya...apakah berakhir di sini? Semua pencariannya, semua pertolongan orang-orang yang mengenal kedua orang tuanya...apakah berakhir di sini? Apa Nova harus ditangkap dan kembali ke Floor; ditanyai tentang ayah serta tato di punggungnya padahal ia sendiri tidak tahu apa-apa?

Lagi-lagi ia menangis. Andai saja; andai saja Nova bisa berbuat sesuatu. Ia tidak mungkin tersedak ketika meminta penjaga itu berhenti menyakiti Luke.

"Apa katamu?" penjaga yang menahan Nova berbisik di telinganya. Tangannya mulai menjalar. "Kami kurang hiburan, seharusnya kamu lebih simpatik lagi, Manis."

Nova terlalu lemas untuk bergerak, hanya rengekan dan air mata yang bisa ia hasilkan. Penjaga itu memutar tubuh Nova dan memosisikan tangannya di atas kepala. Napasnya tertahan dan matanya tertutup ketika pria itu mendekatkan wajahnya ke leher Nova. Pintanya untuk berhenti terdengar bagai rengekan seekor anjing.

Isi kepalanya kacau balau, telinganya terasa ngilu dengan jeritan Luke yang lain. Betapa tubuhnya terpaku ketika mendengar suara tembakan yang dilontarkan sebanyak dua kali. Perhatian penjaga yang menggerayanginya tak lagi pada Nova, melainkan pada sumber senjata yang telah ditarik pelatuknya.

Tidak lebih tiga detik, lontaran peluru itu terdengar lagi; kini semakin nyaring dan mengenai pria itu hingga terjatuh ke belakang. Nova terbelalak, seluruh tubuhnya gemetaran dan ia pun tidak sanggup melihat segala hal yang terjadi di sekitarnya. Rompi anti peluru yang pria itu kenakan membuat dia masih mampu untuk berdiri, dan sekali lagi terdengar suara tembakan bergaung di telinganya.

Meski meleset, darah mengalir dari pundaknya. Nova berguling ke samping, tiarap. Sosok yang memukuli Luke tewas dengan darah yang tak kunjung habis mengalir dari kepala. Haruskah ia berterima kasih atau khawatir?

Dan tembakan terakhir pun terlontar dari selongsong pelurunya. Bau mesiu yang menyengat disusul dengan heningnya Disposal Floor bagian timur. Tak ada hewan maupun tanda-tanda kehidupan, hanya sampah dan barang-barang rongsokan.

"Bangunlah, Nova. Mereka sudah mati," suaranya terdengar dingin dan tenang sekaligus. Sentuhan kecil terasa di pundaknya dan gadis itu pun mendongak.

Kres dengan lebam dan perban di sana-sini membuka kacamatanya, memasukkan pistol ke dalam sarung yang diikatkan pada pinggang. Rasa dingin dan lega menjalar sekaligus, gadis itu begitu terkejut sekaligus lega melihat Kres yang tadi babak belur di klinik kini berada di sampingnya.

Ia langsung teringat akan jeritan Luke yang telah berhenti dan berubah menjadi ringisan. Menoleh ke hadapan pria botak itu, ia dapat melihat seorang pemuda yang tak lama ia kenali membantu pria botak itu untuk bangun: Hiraka Oktavi.

Seribu pertanyaan muncul dalam benak Nova. Ia bergantian memandangi Raka dan Kres, berharap mendapat penjelasan. Kebingungannya hanya mendapat satu kalimat menggantung dari pemuda yang berasal dari Permukaan Atas itu, "Akan kami jelaskan nanti."

*

//Sesuai janji saya update dua kali bulan ini! Tidak sebanyak biasanya, tapi untuk mengobati rasa kangen teman-teman pembaca sekalian ehehe. Ya begitulah... terimakasih sudah menunggu, terimakasih sudah membaca. Tanpa kalian kubukan apa-apa. See you when I see you!//

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 1K 32
[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selam...
178K 11.3K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
174K 37K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
179K 24.6K 74
Pada suatu ketika di dalam mimpi, sang putri tertidur panjang karena menusukkan jemarinya ke jarum pemintal. Jika di akhir cerita sang putri terban...