[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

18. Kenangan Untuk Yang Pergi

3.9K 418 203
By twelveblossom


"Cara dia mengenangnya ialah sesuatu yang magis. Mengenang sesuatu yang memang pantas dikenang. Bukan mengenang sesuatu yang telah dibuang."

-oOo-

"Chatu, geli," protes Nara ketika Javas bersembunyi di lehernya.

Gadis itu sengaja pagi-pagi datang ke apartemen Javas karena si pria mengeluh sakit perut kemarin malam. Benar saja saat Nara sampai di kamarnya, Javas bergelung di selimut. Nara berusaha membuat kepompong Chatu agar bangun, tapi si pria justru menariknya ikut berbaring. Padahal, Nara telah mengenakan baju kerja yang bertema warna coklat siap untuk berangkat ke kantor.

Javas memeluk Nara, menghalangi gerak tunangannya. Nara banyak mengeluh pagi ini, mulai dari bajunya yang kusut karena Javas yang melepaskan beberapa kancing secara tergesa, lipstiknya yang berantakan karena kecupan Javas, dan pria itu yang ternyata sudah sehat tapi tetap tidak mau bangun―justru bersikap manja.

"Chatu aku harus kerja," Nara mendorongnya, percuma sih karena tenaga dan raga Javas yang kuat semakin mengimpit. Nara harus pasrah ketika Javas mulai menautkan kembali bibir mereka, mengecup lembut sambil tangannya yang lain pergi bertualang menelusuri bagian bawah kekasihnya.

"Just five minutes," bisik Chatu di sela, gigitan lembut pada dada Nara. Dia cukup bertoleransi untuk tidak menandai leher jenjang gadisnya. Meskipun Javas sangat sangat sangat ingin melakukannya, agar semua pria di kantor Nara tahu jika gadis cantik yang sering mereka ajak makan malam ini sudah menjadi hak miliknya. Akan tetapi, terakhir kali Javas secara sengaja melakukan love bite pada leher Nara sewaktu si gadis hendak bekerja, Nara marah kepadanya selama seharian penuh. Katanya, Nara kesal harus mengenakan turtle neck untuk menutupi bercak merah, padahal Jakarta kan sangat panas.

Well, Javas betulan kalang kabut ketika Nara ngambek saat itu. Bahkan si gadis sama sekali tak mau dipegang tangannya, apalagi sampai dicium. Padahal, sehari saja Javas tidak mengecup Nara hidupnya terasa hambar. Bagai sayur sop tanpa garam. Bagai susu tanpa gula. Bagai pecel tanpa peyek. Hm, Javas jadi lapar.

Lapar ingin makan Nara maksudnya hehehe.

Apalagi, Javas sudah gemas karena Nara sedari tadi memanggilnya ....

"Chatu ...."

Nara memejamkan mata. Nara yakin bahwa sepanjang hari ini dia pasti tidak mampu berkonsentrasi dalam bekerja. Bayangan Javas yang ada di atasnya, hampir menelanjanginya dengan wajah bangun tidur yang super tampan dan surai berantakan―semuanya akan terpatri menjadi sumber kegilaan bagi Nara.

"Chatu―hghhh―sudah," sisa-sisa kewarasan Nara masih ada, meskipun tangan Javas sudah bergerak semakin nakal. "Sudah lima menit," lanjut Nara dengan sangat tersiksa.

"Oke, sesuai janji hanya lima menit," celetuk Javas bangga karena menepati komitmennya.

Javas tersenyum dalam permainannya sendiri. Dia mengambil spasi agar bisa menatap Nara yang kacau, pipi merah muda, bibir sedikit bengkak―hanya sedikit, kemeja yang sudah lepas hampir seluruh kancingnya, dan bawahan gadis itu tersingkap. Nara luar biasa cantik. Dulu Javas tidak pernah mengagumi partner bercintanya, tapi kini dia sangat memuja Nara yang bahkan tak pernah sungguhan bercinta dengannya.

Nara langsung mendorong cintanya itu minggir. "Ihh, Chatu kamu iniii," Nara mengomel. Gadis itu membenarkan kancing. "Gak usah ikut-ikut ngancingin bajuku," sungut Nara saat jari Javas ingin turut serta merapikan kemeja sang kekasih. Nara bahkan dengan tega memukul tangan Javas, pelan kok pukulnya gak keras soalnya Nara gak tegaan kalau sama Chatunya.

Javas senyum-senyum sendiri. "Salah kamu sendiri kenapa cantik banget kan jadi khilaf," katanya usil. Pria itu meraih sisir milik si gadis di nakas, barang-barang Nara kebanyakan sudah berpindah ke apartemen Javas mengingat seringnya pria itu minta ditemani tidur oleh Nara. Dia menyisir surai Nara yang masih tergerai.

"Chatu, udah aku harus berangkat―"

"―Nanti aja, aku bakal bilang ke Lucas kalau kamu telat," potong Javas yang kini malah asyik memainkan rambut Nara. Javas suka wangi sampo Nara, aroma jeruk sepertinya.

Nara memutar bola mata, "Terus alasan telatnya kenapa?" Nara bertanya menyelidik.

"Emm, karena Pak Javas masih pengen kangen-kangenan sama Nayyara."

"Ngaco kamu," balas Nara. Gadis itu menggeliat, berusaha melepaskan diri. "Aku ada rapat, nanti bisa telat―"

"―Kamu gak bakal telat karena yang memimpin rapat lagi sayang-sayangan sama kamu di sini," potong Javas yang masih memakai piama bermotif gajah hadiah dari Nara.

"Chatuuuuuuu!"

"Iya, Sayang?" Javas semakin menggodanya.

Nara menghembuskan nafas. "Aku ini bukan kamu yang bisa datang ke rapat seenaknya, paling nggak aku mesti uda di sana satu jam sebelumnya. Aku ini budak korporat yang mesti―"

"―Kalau gitu, apa aku perlu ngomong sama Nenek Eli biar kita akuisisi perusahaan si Lim bersaudara? Agar kamu gak perlu jadi budak korporat mereka lagi," Javas memberikan ide yang menurut Nara sangat kekanakan.

"Jangan ngaco."

"Aku serius, Baby."

"Aku bakal marah banget sama kamu kalau sampai itu kejadian."

Javas cemberut. "Sekarang mainnya ngancam, mentang-mentang aku takut kamu berubah pikiran gak jadi nikahin aku. Kenapa ya tiga minggu rasanya lama banget?" Javas menggerutu dengan nada balitanya. Salah satu kelakuan Javas yang hanya ia tunjukkan ke Nara.

Nara otomatis tersenyum saat Javas mengeluarkan sisi bayi lucunya itu. Nara menepuk kepala si pria yang patuh. "Aku juga nggak sabar," gumam Nara.

Javas masih menurut saat dia dielus-elus. Well, mirip anak kucing yang disayang majikannya. Gila memang kekuatan cinta itu bisa mengubah manusia sedominan Javas menjadi tak berdaya.

"Good boy, good boy," gumam Nara puas.

"Sayang, kita bolos kerja aja hari ini. Dari sekian orang yang kita kunjungi untuk meminta persetujuan, aku belum secara formal bilang ke ayah dan bunda kamu," tawar Javas menemukan ide lain.

Nara yang awalnya ingin menolak keras sebab bolos itu menurutnya tindakan tidak terpuji. Apalagi, menyalah gunakan kekuasaan untuk mangkir serupa Javas. Namun, Nara yang kelewat rindu dengan orang tuanya memilih untuk menekan aksi protes menjadi diam. Dulu Nara memang sering berkunjung ke makam orang tuanya, hanya saja kepindahannya ke Jakarta membuatnya susah meluangkan waktu. Nara juga mudah lelah jika menempuh perjalanan jauh ke Malang. Jadi ya begitulah, dia menyimpan rindunya hingga menumpuk.

"Kamu merindukan mereka," simpul Javas saat Nara menundukkan kepala. Javas tahu jika Nara ialah manusia yang pintar menyembunyikan perasaan. Gadis itu akan menolak memandang lawan bicaranya jika ada rasa membuncah yang berusaha dia ungkiri. "Kita berangkat hari ini," tegas Javas semakin yakin dengan keputusannya karena raut Nara yang sedih.

Pria itu segera melompat turun dari tempat tidur, meraih ponselnya. Dia bicara dengan Theo dan Lucas mengenai penundaan rapat hari ini. Pada akhir percakapan, Javas meminta Theo mencarikan tiket untuk Nara dan dirinya pulang ke Malang.

Lalu, di sini lah mereka sekarang. Nara dan Javas yang berteduh di bawah payung pada sore hari. Mereka berada di makam orang tua Nara. Javas mengusap pelan lengan gadis itu, setengah memeluknya. Ia tahu Nara sedih, tapi menyembunyikan air matanya. Beberapa tahun lalu ketika mereka masih sekolah, Javas kerap menemani Nara ke sini setiap hari ulang tahun orang tuanya. Mereka membolos bersama, membawa kue ulang tahun lalu meniup lilin. Nara hanya akan menatap makam itu dengan pandangan nanar, tanpa air mata dan ucapan. Javas yang biasanya mewakili Nara untuk bicara, kini pun juga demikian.

"Tante Lili, Om Banyu. Ini Chatu," Javas menyapa.

Pria itu menghembuskan nafasnya berat, jujur saja Javas lebih akrab dengan kedua orang tua Nara daripada Mom dan Dadnya sendiri. Keluarga Hartadi sangat ramah kepadanya, menerima tingkah Javas yang sering ikut acara keluarga mereka. Javas memang lebih suka berlibur dengan Nara dan Damar daripada bersama sepupu Mavendranya. Alasannya sederhana, mereka tulus―kebahagiaan mereka bukan pencitraan yang hanya ada di depan mata orang lain. Mereka memang bahagia. Javas tak menemukan itu pada keluarganya, Mom dan Dad yang selalu bertengkar, sedangkan kakak perempuannya Jesse terlalu sibuk menjadi Mavendra yang tanpa cela. Setiap keluarganya berkumpul hanya ada makan malam yang kaku dan dingin, tidak ada cinta mau pun kasih sayang.

"Maaf Chatu baru datang lagi sekarang. Chatu, kangen Tante sama Om, begitu juga Nara. Tapi, dia diam aja soalnya kalau ngomong takutnya kelepasan nangis." Netra Javas beralih ke Nara yang menunduk. Gadis itu tersentak saat Javas meraih tangannya menggenggamnya. "Nara masih tetap sama kayak dulu om tante, dia gak suka nangis. Dia masih pura-pura kuat. Yang sayangnya, Nara selalu ketahuan sama Chatu kalau lagi nutupin kesedihannya. Kayaknya cuma Chatu yang paham soal Nara di dunia ini hehehe. Makanya, om tante, Chatu ingin minta izin untuk berusaha menjaga Nara seumur hidup Chatu biar dia gak sedih dan sakit sedirian. Chatu sayang sama Nayyara. Chatu mencintai Nara. Tolong restui kami, ya."

Nara menggigit bibir. Dia sungguhan menahan air mata yang hendak merembes. Nara tidak ingin menangis di sini, dia tak ingin bunda dan ayahnya tahu kalau Nara sedih setiap datang kemari. Begitu banyak yang hendak Nara ceritakan kepada mereka melalui hatinya, tapi hanya ada satu kenangan yang ingin dia ulang.

Bunda ayah di sini hujan. Nara jadi ingat waktu hujan dulu, bunda sama ayah selalu ngajak kita kumpul sekeluarga di ruang makan, ngobrol sambil makan roti zebra hangat buatan bunda. Terus tidak lama kita kumpul, ada seorang anak laki-laki yang mengetuk pintu. Anak laki-laki yang menembus hujan. Anak laki-laki yang selalu kesepian dan lari dari rumah besarnya hanya untuk datang ke kita minta roti zebra buatan bunda setiap hujan turun. Anak laki-laki yang Bunda panggil Chatu karena dia selalu menjadi nomer satu jemput Nara dan Damar buat pergi ke sekolah di antara temen yang lain. Anak laki-laki yang selalu ikut setiap kita akan foto kelurga. Anak laki-laki yang ayah ajarin taekwondo karena Chatu bilang mau jagain Nara dari geng Komo yang suka jahilin Nara. Anak laki-laki yang nangis tiga hari penuh sewaktu tahu ayah dan bunda meninggal. Anak laki-laki yang sama berdukanya sewaktu tahu ayah dan bunda pergi.

"Suatu hari nanti kamu harus menikah dengan laki-laki yang seperti Chatu," bunda dulu bilang begitu. Ayah dulu cemberut kalau bunda ingin aku menikah sama Chatu, katanya Nara masih kecil. Bolehnya sama Chatu nanti kalau sudah besar. Dan Nara sama Chatu sudah besar, ayah. Kami juga saling mencintai, jadi boleh ya, ayah? Boleh ya bunda?

Nara sayang banget sama Chatu. Nara akan menikah tiga minggu lagi sama Chatu. Chatu yang dari dulu selalu ada buat Nara. Chatu yang rela ngelakuin apa pun buat Nara. Chatu yang selalu nemenin Nara nangis waktu kehilangan bunda sama ayah. Chatu yang ayah percaya buat jagain Nara sejak dulu. Chatu yang bunda percaya buat pukpuk Nara sewaktu Nara sedih. Chatu yang selalu menjadi satu-satunya bagi Nara. Tolong restui kami.

Tiga paragraf terucap dalam benak Nara. Mewakili hatinya. Mewakili segala rasa. Mewakili cintanya. Namun, ada kalimat yang harus Nara ucapkan ....

"...Nara kangen bunda sama ayah. Nara tidak janji, tapi Nara akan berusaha bahagia sama Chatu," bibir gadis itu bergumam. Tak berselang lama, air matanya menetes satu-persatu.

Javas menarik kasihnya dalam pelukan. Hujan rintik dan langit yang mendung, tiada yang sanggup menolak duka, bahkan alam ini juga ikut serta mendukung latar. Mereka berdua sedih dengan alasan serupa. Nanti, bahagia pun dengan alasan yang sama. Karena dulu Javas dan Nara hanya dua individu yang berbeda, kini hampir menjadi satu atau sudah.

-oOo-

Nara meletakkan semua dokumen yang dia bawa ke meja rapat. Tidak ada banyak orang di sana. Nayyara dan seseorang yang berasal dari Mavendra Group, mungkin salah satu sekretaris baru karena Nara belum pernah bertemu dengannya.

Nara sudah kembali bekerja setelah dua hari dia berada di Malang bersama Javas. Pria itu menunda seluruh rapat dengan LL Bank, Lucas Lim sebagai direktur pun sama sekali tidak keberatan. Dia memaklumi Javas dengan seluruh hatinya yang lapang. Sebagai gantinya, Lucas minta oleh-oleh keripik tempe. Okay, proyek ratusan milyar bisa ditunda dengan sogokkan keripik tempe dua kardus. Sungguh hubungan kerja yang sangat profesional.

"Apa Anda perwakilan dari Pak Lucas?" tanya wanita muda itu, kira-kira usianya pertengahan dua puluhan.

"Well, iya. Pak Lucas meminta saya datang duluan sambil menyiapkan materi," jawab Nayyara.

Bohong besar, dia yang berinisiatif datang lebih awal. Nara ingin presentasinya berjalan lancar, apalagi banyak dari kolega Javas yang telah mengenali Nara sebagai calon menantu Mavendra. Dia tak ingin dicap sebagai manusia yang bertingkah tak kompeten karena statusnya.

"Good, Pak Javas juga sudah datang pagi-pagi. Tidak biasanya Pak Javas datang sepagi ini," kata wanita itu sembari tersenyum.

Dia datang pagi karena aku. Dia biasanya tidak mau datang pagi juga karena aku. Benak Nara otomatis bicara.

Greta menarik nafas lalu menghembuskannya, dia mirip ibu hamil yang berusaha rileks di tengah persalinan. "Nama saya Greta, mungkin kita harus berkenalan―siapa tahu sesama sekretaris bisa saling mendukung. Hari ini tepat satu bulan saya bekerja di Mavendra Group―pertama kali saya ikut rapat dengan kolega, luar biasa. Saya sangat gugup," sambungnya.

Ah, tampaknya Greta tidak tahu siapa aku. Tebak Nara senang. Narayya suka karena Greta tak tahu siapa dirinya karena orang-orang Mavendra Group memperlakukannya secara berlebihan saat tahu jika Nara adalah tunangan Javas.

"Saya Nara," balas Nara menjabat tangan Greta yang ramah. Dan aku bukan sekretaris Lucas, sambung Nara dalam hati.

"Apa ini pertama kalinya kamu datang ke rapat besar seperti ini?" tanya Greta, dia duduk di samping Nara.

"Ini yang kedua," jawabnya singkat. Kedua kalinya mengemban tugas untuk presentasi, tapi sebagai peserta sudah belasan kali sebab Javas selalu menulis namanya dalam setiap undangan rapat untuk LL Bank. Pikiran Nara mengoreksi.

Greta mengangguk. "Kamu pasti sudah melihat bos kami―maksudku, dia sangat tegas―Pak Javas. Aku mengaguminya," Greta agak terbata-bata. Dia merendahkan suaranya seolah dinding bisa mendengar. "Tapi aku dengar dia bertunangan dengan seorang gadis, beberapa minggu lalu. Hampir 90% karyawan perempuan di sini patah hati karena ada perempuan yang merebut hati Pak Javas," Greta menguraikan risetnya.

Hm, gadis yang membuat 90% karyawan perempuan patah hati itu aku, Greta. Serebrum Nara menimpali.

"Apa kamu tidak tahu siapa tunangan Pak Javas?" tanya Nara usil.

Greta melejitkan bahu. "Tamu-tamu yang diundang hanya rekanan penting. Kami karyawan biasa bahkan tak diizinkan mengetahui nama tunangan Pak Javas. Menurut saya, Pak Javas sangat melindungi privasi tunangannya. Maklum di sini banyak mulut pegawai yang suka bergosip. Apalagi mereka menikah terburu-buru, tentunya gunjingan soal hamil di luar nikah sangat santer."

Termasuk kamu, Greta. Kamu bergosip dengan orang yang baru kamu kenal dua menit lalu. Ckck.

"Sangat menarik," Nara memberikan apresiasi.

"Tapi saya tahu siapa nama lengkap tunangannya. Saya ini kan sekretaris Pak Theo. Pak Theo diminta memesankan tiket untuk Pak Javas dan tunangannya."

Pantas saja manusia ini ember bocor sama halnya Theo yang jadi bosnya.... Nara merutuki sepupu Javas itu.

"Namanya Nayyara Judistia Putri Hartadi," sambung Greta bangga, seolah mengetahui rahasia dunia.

"Kamu mengingat dengan sangat baik," Nara sekali lagi memuji. Jari-jarinya bergerak mengetuk meja.

"Dia bekerja di LL Bank seperti kamu. Saya ingin tanya, apa kamu kenal dengan Nayyara Judistia Putri Hartadi? Atau dia punya tanda-tanda sedang hamil? Eum, dari seringnya mereka pergi keluar kota bersama, tentunya ada banyak kesempatan untuk melakukan hal tidak bermoral."

Tunggu, tidak bermoral?! Nara menjerit dalam hati. Namun, dia tetap memberikan senyum tipis sebab otaknya sudah memberikan cara untuk mengerjai tukang gosip bernama Greta ini.

Nara menyeringai. "Kebetulan itu nama lengkap saya, Greta," jawabnya singkat.

"Hah?" Greta meninggikan suara, matanya melotot seolah baru bertemu hantu.

Nara belum sempat menjawab, dering ponsel menginterupsi. Dia langsung mengangkatnya, "Iya, Javas?" Nara sengaja menekankan nama Javas.

"Sayang, kamu ke ruangan aku ya. Sarapan dulu di sini, rapatnya masih 30 menit lagi," suara Javas terdengar di balik telepon.

"Okay, Chatu."

Nara berdiri dari duduknya. Dia berucap, "Saya ke ruangan Pak Javas dulu, Mbak Greta. By the way, kami menikah cepet-cepet bukan karena saya hamil duluan atau karena sudah melakukan hal tidak bermoral. Hehehe cuma mau klarifikasi."

Nara melenggang pergi sementara Greta pucat pasi. Greta takut dipecat, Nara tahu itu.

-oOo-

"HALO MY QUEEN!" Theo berteriak heboh saat Nara masuk ke dalam ruangan Javas.

Javas yang masih sibuk membaca dokumen lantas melempar Theo dengan name desk. "Diem lu, kuda nil," titah Javas. Dia beralih menatap Nara, pandangannya berubah menjadi penuh cinta dan kasih. "Sayangnya Javas, sini," Javas meminta Nara duduk di sofa sampingnya.

"Sakit bego," Theo mengeluh karena benda tumpul itu mengenai kepalanya.

"Uda bego dilarang sakit," Javas mendebat.

"Gue gak bego ya, cuma males mikir dan buang-buang energi. Mode hemat daya sepanjang hari karena gue cinta lingkungan," sambar Theo penuh kebanggaan.

"Kagak nyambung, Nyet," Javas geram.

Nara hanya geleng-geleng kepala, dia cukup khatam dengan tingkah dua bocah ini. Gadis itu memilih duduk dengan tenang, matanya menelusuri paket sushi yang sudah terhidang di atas meja.

"Aku lapar. Boleh nggak aku dengerin kalian berantem sambil makan sushi?" Tanya Nara.

"Boleh, My Queen. Theo izinkan," balas Theo cepat.

Javas memberengut. "Ini sushi gue yang beli, kenapa jadi lo yang ngasih izin segala?"

"Oh ya lupa, sori otak gue isinya soal Kimi semua jadi gampang lupa sama yang lain."

Javas ngegas, "Lu kan kagak punya otak."

"Chatu, language," Nara mengingatkan.

Javas menghela nafas. "Iya, Sayang," Javas menurut.

"Aku pengennya makan dengan tenang, Chatu."

"Siap, Sayang," Javas lagi-lagi berucap patuh.

Theo tersenyum tipis. "Ketika sang harimau kumbang telah ditaklukkan oleh hewan buruannya sendiri―"

"―Theo," potong Nara nadanya mengalun lembut. "Kalau kamu masih berisik, aku bakal minta Nenek Eltasi kamu ke Wakanda," ancam Nara dengan tarikan bibir elegannya.

Theo langsung pucat ketika nama keramat Nenek Eli disebut. Ternyata gosip di antara para sepupu Mavendra soal Nara yang akrab dan jadi kesayangan Nenek Eli bukan lah isapan jempol.

"Siap My Queen, Theo akan tutup mulut―"

"―Pergi dari sini Theo. Aku mau berduaan aja sama Chatu," pinta Nara.

"Yah, gue belum sempat makan sushi―okay okay gue cabut!" Theo berseru kaget saat Nara mempertontonkan gerakan menelepon.

Theo langsung mengambil langkah seribu sebelum semuanya terlambat. Berurusan dengan neneknya adalah hal terakhir yang Theo inginkan sepanjang hidupnya. Theo berani melawan siapa pun tapi jangan Nenek Eli.

Javas yang berada di samping Nara justru tertawa terbahak-bahak. "Kamu serem banget," celetuk Javas.

Nara yang selesai mengunyah makanannya pun mendengus. "Aku lagi bete sama Theo, tadi ada sekretarisnya yang gosip soal tunangan Pak Javas."

"Terus?"

"Dia tahu nama lengkapku dan gosip soal yang kita nikah cepet karena aku hamil duluan dan melakukan tindakan tidak bermoral," Nara bercerita.

"Wah, kurang ajar gak hargain banget usaha Pak Javas yang nahan nafsunya menghamili Bu Nara selama ini," Chatu justru berkelakar.

"Chatu aku lagi marah ya," hardik Nara sementara Javas hanya tersenyum rupawan.

"Kalau kamu lagi marah manggilnya Javas bukan Chatu," balas pria itu sembari menyuapi Nara.

Pipi Nara menggembung akibat sushi tuna yang masuk ke dalam mulut. Dia berusaha keras menelan dengan gaya elegan, tapi jatuhnya mirip balita lucu.

Javas tertawa. Kalau tidak ingat mereka sedang di kantor dan akan rapat sebentar lagi, pasti Javas sudah melampiaskan kegemasannya pada Nara. Hanya cubit-cubit sedikit, jangan aneh-aneh.

"Aku marahnya pakai sayang kalau panggil kamu Chatu," Nara menimpali kemduian mencium bibir Javas kilat.

Javas melepaskan kacamatanya. "Nara please dont tease me," gerutu Chatu yang mudah lemah kalau Nara sudah menggombal.

Nara terkekeh. Tak berselang lama berdeham, ada sesuatu yang ingin dikatakannya, mumpung suasana lagi bagus dan Javas tampaknya sedang bahagia. "Javas, aku menonton berita tadi malam soal New South Wales Philharmonic akan mengumumkan pianis utama mereka yang baru di Sydney," Nara mengungkapkan topik baru.

"Hm, tidak biasanya kamu tertarik dengan orkestra," gumam Javas.

"Well, Wira―"

"―Kenapa dengan si Bekantan?" potong Javas mulai curiga. Dia memberikan tatapan tajam.

Nara menggigit bibir. "Aku pernah menjanjikan satu hal sama Wira," gadis itu agak bimbang untuk mengatakan kemauannya. "Aku janji akan hadir di konser pertamanya setelah Wira sembuh dari cedera. Aku janji duduk paling depan dan―"

"―Kamu ingin pergi ke Sydney untuk menonton konser pengenalan anggota baru New South Wales Philharmonic," simpul Javas. Ia menghela nafas, berusaha bersabar untuk tidak langsung menolak permintaan kasihnya.

Sebenarnya, Javas sudah tahu kabar Wira belakangan ini sebab si Bekantan itu membawa kabur sepupunya. Tante Lituhaya selaku ibu dari Ariadna minta bantuan untuk menyeret Aria pulang, tapi berhubung yang membawa kabur adalah Wira yang notabenenya tidak berbahaya jadi Javas membiarkan mereka. Insting Javas mengatakan ada sesuatu di antara Aria dan Wira. Apalagi, Aria meneleponnya memohon kepada Javas―Aria yang sangat cuek dan anti memohon melakukannya, jujur ini membuat Javas terkejut. Aria meminta untuk mempertemukan Wira dan Nara sebelum Javas menikahi gadis itu. Ada yang belum selesai antara Wira dan Nara, itu pendapat Aria. Javas menolaknya. Javas terlalu takut dengan kemungkinan yang tak bisa dia kendalikan, sesuatu yang belum selesai bisa saja ungkapan kasih yang tak perlu. Kasih yang akan membuat Naranya ragu.

"Kita menikah tiga minggu lagi, Nara. Ada banyak hal yang harus disiapkan," Javas mengatakannya dengan lembut.

Gadis itu pun melengos. "Aku tidak menyiapkan apa pun untuk pernikahan kita. Semua hal sudah diatur oleh Nenek Eli dan Tante Sydney ...." Nara menggantungkan ucapannya.

Nara merasa tertekan dengan segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Awalnya, Javas memang membiarkan Nara yang menentukan gaun, gedung, dekorasi, dan semuanya dengan wedding organizer yang mengeksekusi. Namun, selera Nara dianggap terlalu sederhana oleh Keluarga Mavendra. Daripada berdebat, Nara memutuskan untuk merelakan pernikahannya dengan semua hal yang dipilihkan orang lain.

"Kita akan mengunjungi Wira setelah menikah," tegas Javas.

Nara menggeleng. "Tidak bisa, aku sudah berjanji―"

"―Kenapa kamu menjanjikan sesuatu yang susah untuk dipenuhi, Nara?" Javas memotong ucapannya.

"Aku menjanjikan ini jauh sebelum memutuskan untuk menikah dengan kamu, Javas. Jauh sebelum aku sadar sudah mencintai kamu." Nara menggenggam jari-jari Javas. Dia harus meluruskan semuanya sebelum mereka bertengkar lagi. "Kamu takut aku berubah pikiran kalau aku ketemu Wira lagi. Jangan mengelak. Kamu insecure sama hal yang konyol. Kamu pernah bilang ke aku kalau semua yang lalu itu tidak penting. Yang paling penting adalah kita yang sekarang. Kita yang saling mencintai."

Jari-jari Nara berada di rahang pria itu. "Aku mencintai kamu, satu hal yang aku janjikan tidak akan mudah berubah," Nara berucap lembut.

Javas diam. Sadar atau tidak, Nara ... kamu pernah membuat Wira berada di satu garis denganku. Pikirannya yang berbicara.

"Dan perasaanku pada Wira hanya sebatas dukungan terhadap seorang sahabat ... saudara. Wira butuh banyak orang untuk mendukungnya, dia ... telah banyak kehilangan."

Wira sudah banyak kehilangan, tapi dia bisa tetap hidup. Asal kamu tahu Nara, jika aku kehilangan kamu―aku tidak punya kehidupan lagi. Kamu hidupku.

"Aku hanya ingin membuat Wira sedikit bahagia" ungkap Nara. Dia menghela nafas. "Karena Wira itu penting bagiku, Javas."

Lalu, apa aku tidak lebih penting dari Wira?

"Please?" Nara memohon.

Tidak, Nara.

"Tolong, jangan biarkan aku merasa kamu membatasi kehidupanku, Javas."

Aku tidak bermaksud membatasi kamu, Nara. Hanya saja ...

"Halo guys," percakapan antara Javas dan Nara terputus karena kehadiran Lucas Lim yang tiba-tiba. Pria yang memakai kemeja biru dan celana kain hitam tersebut langsung menampilkan wajah bersalah. "Maaf menyela. Saya tahu ini tidak sopan, tapi Nara saya butuh bantuan kamu," lanjutnya.

Javas menatapnya tajam dengan pandangan mengancam. Javas jelas tidak suka interupsi dari Lucas, meskipun mereka berteman akrab.

Lucas pun berkata lagi, "Gue pinjem Nara sebentar ada revisi soal proposal," kalimat tak formal yang diutarakan Lucas pun ditujukan untuk Javas. Lucas melejitkan bahu. "Gue tahu Nara itu tunangan lo, tapi dia juga karyawan gue dan ini masih jam kantor." Lucas nyegir lebar tanpa bersalah.

Nara langsung berdiri dari duduknya. Tidak ingin ada perselisihan antara Lucas dan Javas. Javas sedang dalam kondisi bad mood karena permintaannya tadi, Nara tahu dari gelagat kekasihnya. Makanya, ia memilih untuk mengikuti Lucas sebelum Javas menggunakan kuasanya, memutuskan kontrak kerja antara dua perusahaan. Kendati dia memilih meninggalkan Javas, sebelum pergi Nara masih sempat mendaratkan satu kecupan pada pipi Javas.

"We talk later, Sayang. Aku cinta kamu," kata gadis itu lembut.

Hm, bukan Javas namanya kalau tidak mudah luluh karena Nara. Apalagi, semakin lemah ketika Nara memanggil dia 'sayang' dan ungkapan cinta itu. Javas merasa jika dirinya sedang menjalani karma, dulu pria ini dengan mudah meninggalkan wanita-wanita yang mencintainya begitu saja serupa membuang sampah. Kini Javas justru sangat takut ditinggalkan dan sangat jatuh cinta sampai buta ditambah menuju bodoh.

Ternyata roda memang berputat, sial.

-oOo-


"Cuma dilihati aja handphonenya?" tegur Ariadna pada Wira yang sedang duduk di balkon apartemen. Pemandangan sore hari sedang bagus, tapi si pria hanya menekuni ponsel. Aria bisa menebak isi pikiran Wira melalui gerak non-verbal. Dia memang terlampau peka terhadap orang-orang di sekitarnya. "Uda cepet dikabarin Naranya biar dia bisa nonton pertunjukkan piano lo yang pertama setelah vakum lama," lanjut Aria.

"Nara pasti lagi sibuk, nyiapin nikahannya. Dia pasti gak sempat ngurusi atau inget janji gak penting kayak ... janjinya ke gue," gumam Wira tampak muram.

Ariadna ikut duduk di sampingnya. "Nara uda janji buat jadi penonton yang duduk paling depan saat lo main piano lagi. Gue yakin dia pasti menepatinya karena lo itu ... penting bagi dia," kata Aria.

Lo penting bagi gue, Adyasta. Jadi, jangan sedih. Hati Aria mengatakan.

Si wanita tahu soal janji itu saat Aria tak sengaja bertanya tentang alasan Wira kembali mengikuti audisi untuk orkestra, seperti yang diduga Aria jawabannya berkaitan dengan Nara. Wira itu terhipnotis dengan pesona Nara, serupa Javas yang bisa berkelaluan begitu jinak jika berdekatan dengan Nara. Mungkin, Nara memiliki pesona yang tidak dipunyai wanita lain. Kenyataan yang selalu membuat Aria sedikit iri atau ... sangat iri, jika berkaitan dengan Mahawira Adyasta.

"Lo sama sekali belum menghubungi dia. Siapa tahu Nara kangen sama lo yang uda jadi temannya?" renung Aria sekali lagi sebab Wira hanya diam.

Wira tersenyum simpul. "Di pikiran gue akhir-akhir ini selalu bayangin Nayyara yang kebingungan pilih gaun pengantin. Dia pasti lagi ketawa sambil memilah buket bunga yang bakal dibawanya ke altar. Nara pasti nanti berulang kali mematut diri di cermin, sambil bermonolog gusar sebelum ke altarnya. Nayyara itu tipe manusia yang selalu ragu dengan penampilannya sendiri. Setiap gue pergi sama dia, pertanyaan yang dia ajukan selalu sama, 'apa aku keliatan berlebihan?' Dia takut jadi mencolok, tapi Nayyara selalu begitu cantik. Selalu begitu istimewa. Selalu begitu berbeda di mata gue."

Aria mendengarkan. Dia mendengarkan sembari menghitung seberapa besar rasa iri terhadap Nayyara yang akan menguasainya.

"Kalau gue gak kunjung jawab pertanyaan Nayyara akan ganti, 'how do I look?' dan jawaban gue akan selalu sama 'My favourite look'. Apa pun yang terjadi dan bagaimana pun cara gue menyangkal, gue gak bisa dengan sempurna menutupi sayang gue ke dia dan Nayyara yang selalu menjadi favorit gue. Gue pengen dia bahagia. Gue pengen perempuan yang selalu menjadi favorit gue bahagia karena Nayyara sudah kehilangan banyak hal yang membuat dia sedih."

Wira mengutarakan segala pikirannya dengan begitu indah. Seolah Nayyara ialah suatu kehidupan yang perlu diselamatkan olehnya. Mengenang sesuatu yang memang pantas dikenang. Bukan mengenang sesuatu yang telah dibuang. Aria ingin dikenang dengan cara yang magis seperti cara Wira mendeskripsikan rasanya untuk Nara. Aria telah tersihir dan dia lupa cara untuk mengendalikan diri. Dan itu berbahaya, ketika Aria menjadi menginginkannya. Menginginkan sesuatu yang bukan dalam kuasanya. Bukan miliknya.

"Adyasta ...." Aria menggantung ucapannya, dia menimpali seluruh rangkaian ucapan Wira dengan getir di lidahnya.

"Ya?"

Aria menatap pria itu. "Gue juga kehilangan banyak hal. Gue uda terbisa sesuatu pergi dalam hidup gue. Tapi anehnya, gue gak pengen kehilangan ... lo," tukas Aria.

"Aria ...."

"Apa terlalu serakah jika gue berharap suatu saat nanti lo bisa sayang sama gue kayak cara lo sayang ke Nayyara?"

Aria membuang muka. Merasa bodoh karena membiarkan logikanya pergi, sementara hatinya yang bicara.

Sementara, Wira diam. Hanya pikirannya yang memberikan jawaban. Balasan yang sederhana untuk Arianya.

Nanti ... nanti Wira mungkin akan menjawabnya dengan yakin, namun tidak untuk sekarang ... atau tidak untuk selamanya.

-oOo-

A/n:

Halo semuanyaaaaa~
Sudah part 18 hehehhehehe terima kasih komentar dan votenya untuk part 17. Daaan terima kasih sudah baca part 18. Wah, sebentar lagi selesai dikit lagiiii. Sengaja setiap akhir cerita aku selipin momen Aria dan Wira. Hehehehe. Biar nanti di cerita khusus mereka tinggal gabungin tiap potongan.

Oh ya, jangan lupa votedan kometar ya. Kasih aku ide ini Javas sama Nara part selanjutnya harus ngapain?😂

Kalau begitu sampai jumpa di part 19. Dan kalau ada yang mau ngobrol-ngobrol bisa follow twitterku @. Twelveblossom atau membaca ceritaku yang lain di twelveblossom.wordpress.com. byeee hapyy weekend :D

Continue Reading

You'll Also Like

335K 35.9K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
6.2M 605K 96
Yang Haechan tahu dia dijodohkan dengan laki-laki lugu yang bernama Mark Jung, tapi siapa sangka ternyata dibalik cover seorang Mark lugu Jung terdap...
39.1K 7.1K 79
Marsha anak yang sangat pintar di sekolahnya, dengan prestasi yang ia dapat ia lolos ke perguruan tinggi negeri yang ia mau selama ini. Namun, masala...
162K 8K 27
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...