Heart

By NurdianaWilda

19 1 0

Sebuah pengorbanan atas nama cinta Satu hati harus tiada, untuk mengisi hati yang lain More

Sad

19 1 0
By NurdianaWilda

Hai semua...
Ini cerita keduaku dengan akun baru
Sekedar tulisan hangat untuk seorang teman

Semua tokoh hanya reakayasa

Semoga kalian suka

Maafkan jika menemukan typo yang bertebaran, karena aku bikinnya dadakan

Ceritanya sedikit angst

Selamat membaca

.
.
.



Rico berdiri di depan jendela apartemen pamannya yang berada di lantai sepuluh. Matanya menyipit melihat jejeran gedung di depannya, beralih pada jalan umum yang terbentang luas di seberang sana.

Gelapnya malam membawa pemuda itu pada serpihan kenangan tentang senyum seorang gadis, yang selalu bisa menenangkan hatinya. Dengan alasan itu, ia berdiri di sini, berharap senyum itu akan selalu bisa tersaji. Dalam hati Rico berkata, "Meskipun tak bisa menikmati senyum itu di bumi, setidaknya aku bisa melihatnya dari langit."

Rico membulatkan tekad di dadanya, memegang pagar pembatas balkon dengan kuat. Ia sudah mempersiapkan semuanya. Surat terakhir yang ia tulis sebagai pesan terakhir untuk seseorang yang menjadi alasan baginya untuk memilih jalan ini.

-
Terekam dalam otaknya perkataan dokter yang merawat Vina di rumah sakit.
"Sangat sulit mencari donor hati untuk temanmu...."

"Bagaimana jika saya yang menjadi donornya?"

Dokter itu memasang wajah terkejut, menggelengkan kepala tak percaya.
"Kami tidak bisa mengambil donor hati dari orang yang masih hidup"
-

Rico bukan orang yang mudah putus asa, tidak ada alasan yang bisa membuatnya memilih jalan mengakhiri hidup. Kecuali itu dengan Vina, satu-satunya sebab lemahnya hati dan ego yang ia miliki. Satu-satunya gadis yang tetap ia pertahankan untuk terus berada di dunia, meski ia harus menukar nyawanya untuk kesempatan hidup yang lebih lama bagi Vina.

Mata Rico terpejam, ia bisa merasakan angin dingin mulai menerpa wajahnya, bergerak dari bawah ke atas tubuhnya. Walau angin itu bergerak cepat, tubuh Rico justru melesat tak kalah cepat ke bawah oleh gravitasi bumi.

Tubuh kecilnya membentur halaman apartemen yang berlapis beton kuat, sebelum ia sempat memikirkan sakitnya jatuh dari ketinggian, dengan senang hati malaikat maut mencabut ruhnya, sebelum tubuhnya benar-benar jatuh dan terkapar di bawah dengan darah yang mengalir deras dari bagian tubuhnya yang terlihat remuk redam.

.

.

.

Di sebuah rumah sakit swasta.

Vina melihat sekuntum bunga tulip di sisi pembaringannya. Hampir setiap pagi, saat ia membuka mata, bunga cantik warna putih itu berada di nakas dekat ranjangnya. Setiap kali ia bertanya tentang siapa yang membawakannya bunga itu jawaban yang sama selalu membuatnya semakin ingin tahu, lalu mereka yang mendengar pertanyaan Vina berikutnya akan memilih pergi, atau mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan.

Seperti pagi ini, di jam yang sama saat bunga itu sampai di ruangan tempat Vina dirawat, ia melihat Aldi datang membawa tumpukan buku yang entah sudah berapa banyak. Sampai ruangannya terasa seperti perpustakaan daripada kamar inap rumah sakit.

Vina jadi berpikir jika selama ini yang membawakannya bunga tulip itu adalah Aldi, mengingat jawababan dari para perawat dengan kata 'temanmu' setiap kali Vina bertanya perihal bunga itu.

Aldi tersenyum ke arahnya, sebelun meletakkan buku-buku itu di lemari yang berada di sudut dekat sofa di ruangan itu.

"Apa kau yang membawa bunga ini?" tanya Vina.

Aldi mengalihkan pandangannya pada Vina dengan senyum yang dibuat-buat. Sangat berbeda dengan senyuman yang ia,lempar saat ia baru masuk ke ruangan.

"Ah ... iya, itu aku." Aldi menggaruk telinganya yang tidak gatal.

Vina terlihat lemah, bahkan untuk menangkap kebohongan dari balik senyum temannya.

"Oh ya, dokter telah menemukan donor untukmu, minggu depan kau akan dioperasi" Aldi mengalihkan pembicaraan, sebelum melanjutkan ia berbalik membelakangi Vina dan melakukan gerakan mengusap wajah.

Meski Aldi adalah pria yang konyol dan selalu terlihat ceria, untuk hal-hal yang sangat sensitif dan menyentuh hati, ia tidak bisa berpura-pura banyak dengan menebar senyum palsu yang justru membuat aktingnya terlihat bodoh dan menyedihkan.

.
.

Senyap, hanya suara mesin pembaca jantung berirama naik turun. Vina terlena oleh angannya sendiri, dengan bunga di tangannya dan infus di tangan yang lain.

Aldi berusaha menenggelamkan diri dalam buku yang ia pegang. Mengabaikan sepenuhnya tatapan Vina yang merasakan keanehan pada Aldi yang biasanya mengundang kehebohan dan tak mau diam dalam waktu yang lama.

Vina berusaha menelan egonya saat ia bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar,
"Dimana Rico?"

Aldi hampir saja melempar bukunya ke langit-langit kamar, tangannya bergerak meraup buku yang terjatuh dengan posisi tengkurap di lantai.
Setelah itu ia menutup buku yang ia baca sembari meletakkan kembali apa yang ia baca di kepalanya, untuk membentuk kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan temannya.

"Bukankah Rico sudah mengatakan padamu, ia akan berkeliling dunia?"

Aldi dengan segala kemampuannya berusaha menggoda Vina.
"Apa kau mulai merindukannya?"

"A-aku tid ... dak...."
Wajah Vina sedatar tembok, namun telinganya memerah persis seperti sikap mendiang ayahnya.

Jika kalian bertanya tentang orang tua Vina, maka jawabannya ada pada otang tua Rico.

Bahkan setelah sebelas tahun berlalu perasaan benci masih melekat di kepala Vina, sebagai anak tunggal yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.

Segala kenyataan mengarahkan kematian itu pada tuan Richard sebagai penyebabnya. Vina berpegang teguh pada pandangannya, bahwa penyebab kematian kedua orang tuanya adalah pria kaya itu, yang tak lain adalah ayah Rico.

Kebencian itu mengakar, lebih kuat dari yang terlihat di permukaan. Meski istri dari tuan Richard telah mengadopsinya dan merawatnya seperti anak sendiri. Semua itu tidak merubah rasa sakit yang mulai Vina pelihara dengan asumsi-asumsi pribadinya tentang sosok kejam keluarga Richard.

Putra tunggal dari keluarga Richard pun tidak luput dari stempel kebencian yang Vina sematkan. Sedari kecil saat Vina dibawa ke rumah keluarga Richard, pemuda bernama Rico itu telah menampakkan kesombongan dan aura menindas yang arogan. Semua itu semakin mempertebal rasa bencinya terhadap Rico.

Vina mengacuhkan godaan Aldi padanya, sedikit kecewa karena bahkan matahari telah berada di tengah bumi dan bersinar demikian terangnya. Wajah Rico belum muncul juga, Vina dipenuhi pikiran buruk tentang Rico.

Bagaimana mungkin anak itu memilih berkeliling dunia, sementara saudara angkatnya tengah berjuang melawan penyakit? Begitulah batin Vina.

.

Ruang operasi.

Vina mulai mengantuk setelah seorang perawat menyuntikkan cairan melalui lubang infus di tangannya.

Sebelum terpejam ia masih bisa melihat wajah Aldi yang pucat dan wajan tuan dan nona Richard yang bengkak.

Saat terpejam, wajah pertama yang ia lihat adalah wajah kedua orang tuanya yang tersenyum dengan tulus. Mereka mengelus kepala Vina dan bertanya bagaimana keadaan Vina tanpa mereka. Anehnya, Vina bisa menceritakan seluruh kisahnya selama sebelas tahun dalam waktu 11 menit saja.

Ayahnya merangkul pundak Vina dan ibunya tak berhenti tersenyum dengan mata yang dipenuhi embun.

"Aku bahagia anak kita telah tumbuh dewasa Ivan."

"Hmm...."

"Vina dengarkan pesan ayah dan mama ... Selama ayah dan mamamu ini hidup apa kau pernah mendengar bahwa kami menyimpan kebencian terhadap seseorang?"

Vina menggeleng, dalam benaknya memang tak ada satupun cerita buruk mengenai orang tuanya. Ibunya adalah pengajar di sebuah sekolah seni yang terkenal di Beijing, ia populer, terkenal ramah dan murah senyum.

Sementara ayahnya adalah seorang CEO dengan karakter yang kuat, bijaksana dan berwibawa. Ayahnya adalah pria tampan mempesona yang menjadi alasan patah hati sejuta wanita, saat ayahnya itu memilih menikahi ibu Vina.

"Tapi ma ... merekalah penyebab kematian kalian...." Vina masih berusaha mempertahankan argumennya tentang keluarga Richard.

Ibunya menggeleng pelan, sambil menepuk pipi halus putrinya, ia berkata penuh keyakinan,
"Tidak ada yang perlu disalahkan, semua sudah takdir, baik aku dan ayahmu telah bahagia kini melihatmu tumbuh besar dibawah kasih sayang nyonya Richard, mama harap Vina bisa memaafkan mereka, seperti kami yang telah memaafkan Tuhan karena telah memisahkan dirimu dari kita berdua."

Ibu Vina menoleh ke arah suaminya meminta sokongan persetujuan, pria minim ekspresi yang menjadi ayah Vina memberikan seulas senyuman pada putri dan istrinya.

Dari senyum yang langka itu, Vina bisa merasakan perubahan dalam dirinya, panasnya api yang membakar hatinya perlahan mengecil. Ia tahu ayahnya tidak mudah tersenyum kecuali untuk hal-hal yang begitu membahagiakan dirinya menyangkut istri tercintanya, dan hal yang bersifat sangat penting mendapat seulas senyum mahalnya sebagai dukungan.

Vina menggenggam kedua tangan orang tuanya dan menciuminya secara bergantian. Mereka bertiga berpelukan sebelum akhirnya, sebuah cahaya membawa pergi ayah dan ibu Vina, dan gadis itu ditarik oleh kekuatan lain menuju dunianya sekarang.

.

Vina membuka mata perlahan, ia telah kembali ke ruangan dimana ia dirawat sebelumnya. Seorang dokter tengah memeriksa denyut nadi dan irama di jantungnya.

"Operasinya berhasil, ia sudah melewati masa kritis"

Semua orang yang berada di ruangan itu mengeluarkan nafas lega.

Tuan dan nona Richard, paman Anton dan Aldi. Mereka bertiga melempar senyum bahagia antar satu dengan yang lain. Namun, jejak basah di mata mereka menggambarkan perasaan lain. Saat itu Vina tersadar di antara mereka seharusnya ada satu orang lagi.

"Dimana Rico?"
Vina bertanya pada mereka.

Aldi yang pertama terbatuk dan mengumpulkan tenaga mengahampiri Vina ke ranjangnya.
"Bukankah sudah kubilang, Rico sedang keliling dunia."

Mendengar itu nyonya Richard, ibu kandung Rico terisak. Menenggelamkan diri di dada suaminya, semakin lama tangisnya semakin menjadi. Tuan Richard pun tak kuasa menahan air mata istrinya, justru ia ikut terbawa emosi dan menumpahkan tangisnya persis seperti serigala yang terluka.

Ruangan itu dipenuhi isakan yang saling bersahutan, Aldi menghentikan aksinya yang ingin menggoda Vina, ia memilih ke luar ruangan dan berlari ke taman belakang rumah sakit.

Ia berteriak pada langit biru yang membisu,
"Rico kenapa kau sangat bodoh, kau tahu aku tidak bisa menyimpan rahasia sebesar ini, kembalilah, pulanglah Rico, siapa yang akan memarahiku di kelas nanti, siapa yang akan menarik kerah bajuku saat aku berhasil menggoda Vina, tolol, bodoh kau Rico."

Umpatan itu bergerak di udara dan menguap tanpa ada yang bisa mendengarnya, kecuali dirinya sendiri dan rerumputan hijau yang terhampar.

Aldi mengusap air matanya dengan kasar. Namun tiap kali ia berusaha menghapus jejaknya, air mata yang baru mengalir semakin deras di pipinya.

.
.
.

Pagi ini begitu berbeda, saat Vina membuka mata, ia tidak mendapati bunga tulip itu lagi di sisi pembaringannya. ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, nihil.

Aldi masuk ke ruangan dengan setumpuk buku yang ia pegang. Melihat Vina seperti tengah berpikir dengan keras.

"Hai Vina, aku membawakan novel yang kau minta kemarin," suara Aldi terdengar ceria.

Nanun Vina masih belum tersadar dari pertanyaan yang memenuhi kepalanya, ia mengabaikan ucapan Aldi justru bertanya hal lain.


"Dimana bunga tulipnya?"

Bug.

Suara buku terjatuh di lantai, Aldi kehilangan kendali, sehingga buku-buku itu kini berhamburan terlepas dari posisi dekapan tangannya.

"To ... toko bunganya sedang tutup,"
Suara Aldi bergetar seiring wajahnya yang memucat. Tangannya tergesa merapikan tumpukan buku di lantai dengan gerakan lambat, berusaha menghindari kontak mata dengan Vina yang masih menatapnya tak percaya.

"Apa yang kau sembunyikan dariku?"

Suara Vina membuat seluruh tubuh Aldi melemah, tangannya terhenti pada tumpukan buku yang ketiga.

Ia mendudukkan dirinya di sebelah Vina, mengabaikan buku-buku yang terdiam meminta pertolongan dari lantai yang dingin.

"Aku akan menceritakannya nanti sepulang dari rumah sakit." setiap kalimat dari Aldi terlihat serius.

Vina menahan pertanyaannya yang lain dalam kepala tentang keberadaan Rico yang sudah seminggu lebih tidak menemuinya.

.
.
.

"Kenapa kau membawaku kemari?"
Vina menatap wajah Aldi dengan raut keheranan.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu"

Mereka menyusuri rumput hijau diantara batu nisan yang berjejer rapat. Seingat Vina ini bukan makam tempat orang tuanya disemayamkan. Ini adalah komplek pemakaman elite milik keluarga kaya raya. Apa yang jadi sebab seseorang yang ingin bertemu dengannya memilih lokasi ini sebagai tempat pertemuan?.

Aldi berhenti di sebuah makam yang masih baru, aroma segar bunga-bunga yang ditabur di atasnya masih terlihat belum lama disemaikan.

Vina berhenti kala membaca nama di batu nisan itu, ia merasa tengah bermimpi. Tidak mungkin nama itu ada di sana, 2 minggu yang lalu orang itu masih mengunjunginya di rumah sakit. Mengatakan akan pergi keliling dunia karena telah lulus ujian akhir dengan nilai yang bagus.

Meski Vina mengabaikan kehadirannya, orang itu tetap berceloteh tanpa henti, menceritakan kisah masa kecil mereka. Saat pertama kali Vina dibawa oleh ibunya ke rumah. Hari-hari mereka yang lebih sering dihabiskan bertengkar daripada bermain. Hari pertama mereka di sekolah dan mengenal teman baru. Semua kisah itu kini berputar di kepala Vina.

Apalagi saat ia menyadari kalimat terakhir yang diucapkan orang itu padanya.

"Jika bukan di bumi, aku akan menunggumu di langit, tetaplah hidup, dan berbahagialah"
Satu kecupan ringan memberikan makna yang dalam, kini Vina sadar kenapa saat orang itu mencium keningnya ia tidak berontak dan marah.

Ia merasakan ciuman itu begitu lembut dengan cinta yang meluap dan derita yang ditumpahkan lewat sentuhan hangat, seolah itu adalah ciuman terakhir, dan memang itu adalah ciuman terakhir. Karena kini, orang yang telah menciumnya terbaring di bawah tanah dengan tenang. Namanya terukir jelas di batu nisan.

-Rest in Peace- RICO RICHARDI


******




The End.






Continue Reading

You'll Also Like

7.3M 302K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...
1.1M 27.2K 45
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...
537K 57.9K 24
في وسط دهليز معتم يولد شخصًا قاتم قوي جبارً بارد يوجد بداخل قلبهُ شرارةًُ مُنيرة هل ستصبح الشرارة نارًا تحرق الجميع أم ستبرد وتنطفئ ماذا لو تلون الأ...
11.4M 296K 23
Alexander Vintalli is one of the most ruthless mafias of America. His name is feared all over America. The way people fear him and the way he has his...