Mantan Rasa Pacar [END]

By Arinann_

1.3M 85.6K 1.3K

[NEW COVER] Kisah antara Arkano Alfarezi Prasaja, si anak badung yang menjadi juara Olimpiade Matematika deng... More

Arkano Alfarezi Prasaja
Naura Salsabila Azzahra
Chapter 1: Mantan
Chapter 2: Mie Ayam
Chapter 3: Wawancara
Chapter 4: Pacar Baru Arka?
Chapter 5: Kesialan dan Kesalahpahaman
Chapter 6: Toko Buku
Chapter 7: Razia Dadakan
Chapter 8: Arka yang Sebenarnya
Chapter 9: Berantem
Chapter 10: Kejutan
Chapter 11: Minta Bantuan
Chapter 12: Tragedi Foto
Chapter 13: Bertemu di Taman
Chapter 14: Keputusan
Chapter 15: Toko Buku 2
Chapter 16: Arka-Naura-Fiko
Chapter 17: Kerja Bakti
Chapter 18: Fakta yang Belum Terungkap
Chapter 19: Kejujuran
Chapter 20: Before-After UAS
Chapter 21: Class Meeting
Chapter 22: Keributan
Chapter 23: Flashback
Chapter 25: Kepastian
Chapter 26: Papa
Chapter 27: Gramedia Date
Chapter 28: Rapot
END: Jawaban Pertidaksamaan
Extra Chapter
APA KATA WATTPADERS?

Chapter 24: Membaik

18.2K 1.8K 18
By Arinann_

Esok harinya, akhirnya pelaku dari ricuhnya acara classmeet mendapatkan sanksi dari pihak sekolah. Arif, laki-laki itu ternyata tidak kapok setelah diskors karena menjual rokok di sekolah. Laki-laki itu menjual miras kepada kakak kelas yang bertugas menjadi panitia dadakan di classmeet futsal. Tiga dari mereka akhirnya juga ikut mendapatkan sanksi.

Kejadian saat itu ternyata berawal dari kelalaian mereka dalam menyembunyikan minuman ke ruang seksi konsumsi. Mereka tidak mengira jika menyembunyikannya bersama air mineral yang ada di kardus akan berakhir dikonsumsi oleh para pemain.

Pihak sekolah yang mendapat protes keras dari orang tua pemain pun akhirnya mengambil tindakan kepada Arif dan tiga kakak kelas itu. Arif dikeluarkan dari sekolah karena poin keburukannya sudah melebihi batas peraturan dan tiga kakak kelas yang sama-sama berada di kelas sebelas mendapatkan pion serta dihukum untuk membuat surat pernyataan permintaan maaf yang ditandatangani orang tua, wali kelas, guru BK hingga kepala sekolah.

Classmeet tidak dilanjutkan. Pihak sekolah meminta OSIS untuk menghentikan kegiatan tersebut dan langsung meliburkan para murid SMA Nuri. Hampir semua siswa menyayangkan hal itu karena mereka belum mengetahui siapa pemenang dari final pertandingan futsal. OSIS sudah berusaha membujuk. Namun, pihak sekolah tetap ingin kegiatan classmeet futsal itu dihentikan.

***

Waktu menunjukkan pukul 08.25 WIB. Arka mendesah. Laki-laki itu menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. Di sisi lain, Fiko menidurkan dirinya di samping Arka. Sedangkan Galuh, sang empu kamar memilih duduk di sofa.

Mereka baru saja selesai jogging. Pagi-pagi subuh, Galuh sudah mengajak kedua temannya itu untuk pergi ke masjid dan setelah itu olahraga bersama. Padahal Arka dan Fiko sudah berencana untuk bermalas-malasan di kamar Galuh.

"Lo berdua tidur di rumah gue, jadi harus nurut sama aturan gue juga," ucap Galuh tak membiarkan kedua temannya tidur.

"Bukan gue yang minta nginep asal lo tau," ucap Arka.

"Gue juga, njir," ucap Fiko.

"Udah ditolongin juga. Enggak tau terima kasih lo pada."

Arka dan Fiko memang tidak berniat untuk menginap di tempat Galuh. Namun, Naura dan Disa yang meminta. Galuh tersadar lebih dulu kemarin dan di saat ia ingin pulang, Disa meminta tolong untuk membawa Arka ke rumahnya. Disa takut jika Arka pulang, Arka akan dimarahi oleh Pak Prasaja. Disa tidak mungkin membawa Arka karena presentase ketahuan lebih besar.

Permintaan Disa itu menyadarkan Galuh untuk mengajak Fiko sekaligus. Galuh tidak mungkin meninggalkan Fiko sendiri di saat ia membawa Arka pulang bersamanya. Padahal, dirinya mengetahui hubungan Fiko dengan Pak Wahid sama buruknya seperti Arka dan Pak Prasaja.

Di kasur, Arka dan Fiko hampir tertidur karena kelelahan. Namun, sebelum mereka terlelap, Galuh sudah mengejutkan dua laki-laki itu dengan melempari mereka buku.

"MANDI DULU, WOY!"

Arka mendesah kesal sedangkan Fiko berdecak. "Anjrit, Galuh anjing!"

Galuh beranjak dari duduknya. "Tanggung jawab kalau sepreinya bau."

"Masih wangi gue. Nih, samping gue, nih, udah bau bangke," ucap Arka melirik Fiko sekilas.

Fiko menatap sengit ke arah Arka. "Lo tuh yang bau bangke."

"Apaan? Gue masih wangi, ya. Enggak kaya lo."

"Wangi matamu."

Galuh menggeleng-gelengkan kepalanya sembari masuk ke dalam kamar mandi. Kedua temannya itu tidak pernah berubah.

Arka memilih diam. Sedangkan Fiko dengan sisa tenaganya beranjak dan berjalan menuju meja belajar Galuh untuk mengambil ponselnya. Fiko duduk di sofa yang tidak jauh dari jendela balkon. Ia pun membuka ponselnya dan bermain game.

Arka yang masih malas untuk pergi mandi pun menghidupkan televisi yang ada di kamar. Berulangkali Arka mengganti tayangan, tidak ada satupun yang menurutnya seru. Akhirnya, Arka mematikan televisinya lagi.

Arka terdiam. Laki-laki itu tidak bisa bermain ponsel karena benda pipih itu masih disita. Arka sebenarnya kesal. Penilaian akhir semester sudah berlalu, tetapi papanya tidak kunjung mengembalikan ponselnya. Semua barang yang disita oleh pria itu tidak ada yang kembali pada Arka.

Namun, di sisi lain, ada untungnya ia tidak membawa ponsel. Papanya tidak akan menelponnya karena dirinya tidak ada di rumah. Biasanya, papanya sudah ribut mencari dirinya jika ia keluar.

Sejenak Arka tertegun. Ia tersadar bahwa Pak Prasaja tidak mencarinya. Jika ia tidak di rumah, sudah pasti papanya bisa menebak jika ia di rumah Galuh. Papanya pasti akan selalu menyusul atau meminta Galuh menitahkan Arka untuk pulang.

Arka menoleh ke arah Fiko. "Fik, lo enggak dicari ayah lo?"

Fiko menggeleng. "Enggak."

Arka masih menatap Fiko sampai laki-laki yang sedang serius bermain game itu tersadar. Fiko menegakkan tubuhnya dan menatap Arka. Fiko mengecek ponselnya. Melihat apakah ada panggilan tak terjawab dari ayahnya atau pesan yang masuk. Namun, Fiko sama sekali tidak menemukannya.

Pintu kamar terbuka. Arka dan Fiko tersentak.

"Galuh baru mandi, ya?" tanya Bunda Ayla menengok kamar Galuh.

Arka mengangguk. "Iya, Bunda."

Sejak dulu, Arka dan Fiko memang memanggil Bunda Ayla dengan sebutan 'Bunda'. Sama seperti Galuh. Bunda Ayla sendiri yang meminta.

"Nanti kalau kalian sudah selesai bersih-bersih, langsung turun aja ke ruang makan, ya. Bunda sudah siapkan sarapan kalian di meja. Bunda mau pergi arisan dulu. Jaga rumah, ya."

"Oh, ya, Bun. Terima kasih, Bunda."

"Ya sudah. Bunda berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Bunda Ayla tersenyum. Setelah itu keluar dari kamar Galuh. Arka dan Fiko kembali menyenderkan tubuh mereka.

"Tumben banget enggak nyariin," gumam Fiko.

Arka terdiam sejenak. Jika seperti ini situasinya, Arka semakin takut untuk pulang ke rumah. Arka menghela napasnya. Hening beberapa menit. Sampai akhirnya Fiko mengeluarkan suaranya.

"Lo ternyata juga sama kaya gue, Ar."

Arka menatap Fiko. "Maksud lo?"

"Papa lo." Fiko diam sejenak. "Kenapa dulu lo enggak bilang kalau lo juga lagi ada masalah? Kenapa lo diam aja kalau ternyata masalah kita sama?"

"Lo tau darimana?

"Disa. Kemarin, dia cerita semuanya ke gue."

"Fik-"

"Sorry."

Arka tertegun. Setelah mengucapkan hal itu, Fiko menunduk. "Kalau aja gue tau dari dulu, gue enggak akan semarah itu ke lo. Lo enggak salah apa-apa, tapi gue lampiasin semua emosi gue ke lo. Gue minta maaf, Ar."

Suasana kamar Galuh berubah menjadi serius.

"Setelah Disa cerita semuanya, gue jadi merasa bersalah sama lo. Gue egois dan enggak mikirin diri lo gimana. Gue benar-benar minta maaf, Ar."

"It's okay. Gue udah maafin lo, kok."

Fiko mendongak. "Serius, Ar?"

Arka mengangguk. "Lagian masalahnya udah berlalu. Lo enggak salah apa-apa. Wajar kalau lo emosi karena Pak Wahid. Gue juga bisa ngerasain."

Fiko mendesah lega. "Thanks, Ar."

***

Liburan semester seperti ini biasanya Naura maraton drakor bersama Lala. Biasanya, Lala datang ke rumah bersama lis dramanya. Namun, sejak satu jam yang lalu, sahabatnya itu tidak kunjung datang.

Naura merebahkan dirinya di kasur. Baru saja dirinya selesai beberes rumah, mandi, dan sarapan. Setelah semuanya selesai, Naura tidak tahu lagi mau melakukan apa. Naura mengambil ponselnya. Gadis itu melihat ada pesan dari Disa pada grup obrolan mereka bertiga. Semenjak Disa dekat dengan Naura, Lala sengaja membuat grup pesan untuk mereka bertiga.

Disa
Aku mau ke tempat Galuh. Nyamperin Arka sama Fiko.
Kalian sibuk enggak? temenin aku, yuk.

Pesan itu terkirim tiga menit yang lalu.

Lala
Free, nih. Tunggu! Ganti baju dulu habis itu otw jemput Naura.
Nauraaaa, siap-siap cepet, gih!
Aku sampai sana pokoknya kamu udah siap diluar.
Aku sekalian bawa laptop nanti kita marathon sama Disa. Oke?!

Naura membalas pesan itu dengan singkat. Hanya oke yang ia kirim. Setelah itu, Naura pun beranjak dari kasurnya dan segera berganti baju.

***

Arka, Fiko, dan Galuh baru saja selesai makan. Mereka hendak kembali ke kamar untuk main game. Namun, baru naik beberapa tangga, suara bel rumah tiba-tiba berbunyi. Ketiganya kompak menoleh.

"Tumben ada yang bertamu," ucap Galuh. Orang tuanya sedang pergi keluar. Ia juga tidak memesan makanan dari luar.

"Jangan-jangan..." Arka dan Fiko bersitatap.

"Mampus!" sahut Fiko.

Galuh terkejut saat Arka dan Fiko langsung berlari dengan cepat menuju kamarnya. "Enggak jelas." Galuh menggeleng.

Bel berbunyi lagi. Galuh pun melangkah menuju pintu depan.

Arka dan Fiko masuk ke kamar dan segera menutup pintunya. Keduanya terlihat panik.

"Gimana, nih, Ar?" tanya Fiko takut untuk bertemu ayahnya.

"Gue juga enggak tau. Kunci! Kunci pintunya. Kita ngumpet di sini dulu," ucap Arka. Fiko menurut. Laki-laki itu lalu mencabut kuncinya dan menyimpannya di saku.

Arka dan Fiko mencoba tenang. Mereka yang penasaran menempelkan telinga mereka pada pintu. Tak terdengar suara apapun.

Sampai akhirnya Arka menabok Fiko. "Enggak kedengeran, goblok! Orang kita di lantai atas."

Fiko mengaduh. "Lo juga goblok!"

Arka menjauh dari pintu kamar. Ia melangkah menuju jendela diikuti oleh Fiko. Mereka mencoba melihat halaman rumah Galuh. Ada satu mobil yang terparkir di sana.

"Sukurin! Mampus! Bapak lo, tuh," ucap Arka.

"Sotoy! Bapak lo, kali. Di rumah gue enggak ada mobil kaya gitu."

"Sombong banget, lo. Kaya punya mobil banyak aja, lo."

"Lah, emang banyak."

Arka berdecih. Tepat saat itu, terdengar suara ketukan pintu. Arka dan Fiko menoleh.

"WOY! NGAPAIN PAKAI DIKUNCI SEGALA? TURUN! DICARIIN, TUH!"

Arka mendorong Fiko. "Tuh dipanggil."

Fiko yang tak terima, balas mendorong Arka. "Apaan? Lo, tuh, dicari! Sana turun."

"Lo sana turun. Udah ditungguin juga!"

"Pak Prasaja yang datang, anjir!"

"Pak Wahid, tuh! Wah, dosa lo enggak ngakuin Bapak sendiri."

"Lo yang dosa, anjir!"

"Astaghfirullah. Enggak boleh ngomong kasar, Anjing. Sana cepetan!"

"Lo juga kasar. Bajingan lo."

"Heh!"

Di luar, Galuh melangkah menuju kamar lagi setelah mengambil kunci cadangannya. "Mereka ngapain, sih?"

Galuh membuka pintunya. "Woy!"

Pintu kamar mandi tertutup tepat Galuh masuk. Laki-laki itu terkejut.

"EH, ANJIR. NGAPAIN MASUK KAMAR MANDI BARENG? TUH, DISAMPERIN DISA SAMA YANG LAINNYA DI BAWAH."

"Hah?"

***

Arka, Fiko, Galuh, Fikri, Disa, Naura, dan Lala berkumpul di ruang keluarga. Arka duduk di karpet. Di sampingnya, ada Naura, Disa, dan Lala. Sedangkan Galuh, Fiko, dan Fikri duduk di sofa.

Sepuluh menit yang lalu, Arka dan Fiko langsung bergegas turun saat tahu bahwa tamu yang datang bukan kedua orang tua mereka. Kedua laki-laki itu sangat lega. Terlebih saat Disa memberi tahu jika Pak Prasaja dan Pak Wahid tidak marah mengetahui Arka dan Fiko menginap di tempat Galuh.

Arka dan Fiko sempat terkejut bukan main sebenarnya. Mereka awalnya tidak percaya, tetapi setelah Galuh bercerita jika malam dimana Galuh membawa Arka dan Fiko untuk menginap, Pak Prasaja dan Pak Wahid datang ke rumah dan berbicara serius dengan orang tua Galuh. Entah apa yang mereka bicarakan Galuh juga tidak tahu. Pak Prasaja dan Pak Wahid akhirnya tidak mengekang Arka dan Fiko lagi.

Orang tua Galuh hebat. Mungkin itu semua juga didukung oleh Pak Rahman, ayah Galuh yang memang seorang psikolog. Jadi beliau bisa dengan mudah menaklukkan Pak Prasaja dan juga Pak Wahid.

Lala yang mendengar semua itu semakin terkagum-kagum dengan Galuh. Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Orang tua Galuh semuanya hebat dan pintar. Tidak heran jika Galuh sama pintarnya.

"Gue kira Papa atau Pak Wahid yang datang. Bikin jantungan aja kalian," ucap Arka menyinggung mereka yang datang satu mobil dengan Fikri.

Naura meringis. "Tadi mau pakai motor sama Lala, tapi ternyata dijemput Fikri sama Disa pakai mobil. Yaudah sekalian aja."

Disa yang teringat akan tujuannya datang ke sana pun membuka tasnya. Gadis itu mengambil sebuah ponsel lalu mengulurkannya kepada Arka. "Nih, aku disuruh Om Pras kasih ke kamu," ucapnya.

Mata Arka membulat. "Beneran? Lo enggak ambil dari meja kerja Papa tanpa sepengetahuannya, kan? Enggak usah nambah-nambah masalah buat gue, deh, Sa."

Disa memutar bola matanya. Gadis itu meraih tangan Arka dan menaruh ponsel itu ke telapak tangan Arka.

"Dasar korban sinetron. Aku enggak sedrama itu, ya."

Arka mengaktifkan ponselnya. Ia sedikit tecengang saat melihat lock screen ponselnya tidak aktif. Layar kuncinya berubah menjadi mode usap. Foto layar berandanya pun berubah menjadi mode default. Papanya ternyata lancang mengotak-atik ponselnya.

Arka bertanya-tanya bagaimana bisa ayahnya itu mengetahui kunci sandinya. Padahal, Arka sudah membuat kata kunci serumit mungkin. Tanggal ulang tahun mamanya dan diakhiri dengan tahun lahirnya.

Arka sedikit kesal mengingat perkataan Naura dulu mengenai sosial medianya yang aktif. Itu artinya, tebakannya benar jika papanya sedang memegang kendali semua aplikasi di ponselnya.

Arka membuka aplikasi dengan ikon telepon berwarna hijau. Ia ingin mengecek apakah kontak dan obrolan di aplikasi itu masih tersimpan atau tidak. Terutama ruang obrolannya bersama Naura.

Arka cukup lega melihat semua data-data miliknya masih aman. Bahkan, ruang pribadinya bersama Naura masih disematkan.

Arka tersentak mengingat ruang galerinya belum ia buka. Arka lantas mengecek foto-fotonya. Ia menyimpan banyak foto Naura di sana. Ia berharap papanya tidak menghapusnya mengingat foto palaroid miliknya diambil.

Namun, belum sempat Arka mengecek foto Naura, Arka langsung diperlihatkan beberapa foto baru yang terlihat asing di matanya. Pemuda itu tertegun. Arka menggulir layar ponselnya ke atas.

Banyak sekali foto-foto dirinya mulai dari bayi, balita, sampai SD yang tersimpan di sana. Arka menyentuh dan melihatnya satu persatu. Dilihatnya foto-foto dari jaman dulu ia masih bayi. Arka yang sedang tersenyum, foto balita yang tengah bermain, belajar berjalan bersama papanya, bermain bola dengan kondisi dirinya masih memakai seragam TK, hingga foto ia SD yang sudah jarang berfoto dengan papanya dan lebih banyak momen bersama mamanya.

Arka tidak pernah memiliki foto-foto itu sebelumnya. Ia pikir, Pak Prasaja yang mengirimkannya.

Pundak Arka ditepuk oleh Naura. Arka pun menoleh.

"Kenapa?" tanya gadis itu karena melihat raut wajah Arka yang berubah. Naura sekilas melihat foto Arka saat kecil yang terpampang di layar ponsel.

"Hum?" Arka keluar dari aplikasi galerinya dan meletakkan ponselnya di karpet. "Enggak kenapa-kenapa. Barusan lihat foto gue pas kecil. Geli aja." Arka terkekeh pelan

"Oh. Kirain kenapa." Naura tersenyum.

***

Satu hari penuh, Arka habiskan bersama teman-temannya. Dari mulai makan-makan sambil bercanda, bermain kartu, merumpi, membicarakan anak-anak sekolah, guru sekolah terutama Pak Setyo si guru olahraga, hingga di ujung puncak mereka tidak ada lagi topik yang bisa dibicarakan, mereka dipaksa Lala untuk nonton film korea.

Anak-anak cowok sempat menolak dengan keras. Mereka lebih suka menonton film barat. Sedangkan tim Naura lebih menyukai drama atau film Indonesia, Korea, Tiongkok, dan Thailand. Akhirnya, setelah memenangkan suit dengan Arka, pilihan jatuh ke tangan Lala. Lala pun memilih film Korea berjudul Alive yang genrenya tidak romantis. Dominan pada genre action, thriller, mystery, drama medical, dan pastinya anak-anak mereka akan suka.

Di menit-menit terakhir film diputar, Fiko sedikit tidak fokus karena ada sebuah notifikasi yang muncul di ponselnya. Fiko bisa saja mengabaikan. Tetapi, melihat nomor asing dan isi pesan teks yang sedikit mengejutkan itu membuat cowok itu akhirnya membuka pesannya.

082438******
Buat gue, pertandingan kemarin belum selesai.

Kalau lo emang berani, jam 8 nanti datang ke gedung futsal ini sama temen bangsat lo itu.

Fiko tersenyum miring. Tanpa menyebutkan nama, laki-laki itu sudah tau siapa dia.

"Ka," panggilnya.

Arka bergumam dan menoleh. Fiko memberikan ponselnya kepada Arka.

"Gimana?"

Arka mengembalikan ponselnya. "Ladenin."

"Oke."

***

Pukul setengah lima sore, Arka sampai di rumahnya. Arka masuk ke dalam rumah. Suasana sedikit sepi. Biasanya, sang mama masih di rumah sakit sedangkan Pak Prasaja di kamar atau di ruang kerja.

Arka berharap papanya tidak keluar. Entah mengapa, sejak mengetahui foto-foto di galerinya, Arka merasa canggung untuk bertemu Pak Prasaja.

"Bi, nanti kalau Arka sudah pulang langsung disuruh makan, ya."

Arka terkejut saat samar-samar mendengar suara papanya dari arah dapur. Arka yang baru sampai di ruang keluarga lantas berhenti. Dirinya sedikit gelagapan karena harus melewati samping dapur untuk menuju kamarnya.

0,00001 detik Arka akan berbalik, Pak Prasaja sudah melihatnya.

"Udah pulang?" ucap Pak Prasaja.

Arka tak bisa kabur. Laki-laki itu akhirnya mengangguk. Matanya tak berani menatap Pak Prasaja.

"Udah makan?"

Arka mengangguk lagi. Bohong. Dirinya belum makan sejak siang.

"Kalau gitu istirahat. Habis itu mandi. Kamu nanti jemput Mama ke rumah sakit, ya?"

"Jam berapa?"

Pak Prasaja melihat jam tangannya. "Jam tujuh. Habis isya."

Tepat sekali. Ia bisa pergi untuk bertanding.

"Bisa, kan?"

"Bisa."

"Jemput Mama habis itu pulang. Jangan keluyuran."

Bahu Arka meluruh lesu. Pak Prasaja berlalu menuju ruang kerja. Meninggalkan Arka berwajah masam karena tak bisa pergi. Arka menggerutu dalam hati. Papanya itu seolah-olah mengetahui rencana Arka untuk pergi.

Arka melangkah menuju dapur. Di meja makan, ada sekotak nasi ayam geprek.

"Oh, Mas Arka. Itu ada ayam geprek dari Bapak," ucap Bi Lastri.

Arka mengambilnya. "Makasih, Bi." Setelah itu pergi menuju kamarnya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

4.3K 785 45
'Tentang kita yang sama sama tidak memiliki rasa' WARNING!! Mengandung bahasa kasar✓ Terdapat kekerasan secara fisik✓ Tidak untuk di tiru! Berisi pel...
1.7K 371 31
"Kamu kembali, dengan memulai hal yang tak sama lagi." - Dika. ** Ini kisah Dika yang bertemu lagi dengan Melia, teman masa kecilnya. Kembalinya Mel...
28.3K 1.3K 48
Warning--MATURE ⚠️ Alaric Deon Evans--Billionaire muda berwajah tampan. Anak dari pengusaha Real Estate terkaya sekaligus Pemilik Evans Airlines mask...
23.3K 3K 49
[FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] PART LENGKAP DAN SUDAH ENDING Bagaimana perasaanmu kalau pacarmu sendiri lebih mementingkan sahabat perempua...