Hollow

By mockingjaybirdx

139K 17.6K 4.2K

In which Jeff and April broke up and learn to navigate their life through a series of heartbreaks and misfort... More

Prologue: Congratulations, glad you're doing great
Shouldn't you be out there breaking hearts?
I think we should stay in love
She's thunderstorms
How do I recover from you?
Nobody's winning in this tale of past and future love
The best at being the worst
and I spend all night stuck on a puzzle
If you know that I'm lonely
Untuk Apa / Untuk Apa?
All my demons run wild
I don't want your body but I hate to think about you with somebody else
Drive safe
You were the sweetest apparition, such a pretty vision
Both of you and I we're hollow
Along with its consequences
Still a part of your home
Be my mistake
Do you feel that I can see your soul?
Liability
50 Proof
Break my heart again
Lose
I think I've seen this film before
Right where you left me
You know when it's time to go
I'm so proud I got to love you once
Credits
After Credits Scene

All my demons have your smile

4.5K 612 122
By mockingjaybirdx

—Jeff

It all began with Mikael. College. Second year.

Pada saat itu, gue dan Senja baru menginjak usia pacaran kami yang ke-tiga bulan, setelah kurang lebih sebulan sebelumnya kami melalui masa PDKT. I didn't suspect anything nor did I expect too much of everything in this relationship, to be honest. Gue menyukainya dan gue tergila-gila padanya—but it's just enough untuk membuat gue berani memintanya menjadi pacar gue.

But apparently not enough to make her stay.

"Jujur sama aku, Senja. Kamu ada hubungan apa sama Mikael di belakang aku?"

"I like him."

Ada masa-masa di mana gue benar-benar nggak mengerti apa yang ada di kepala anak itu. Dan malam itu, malam di mana ranjau pertama kami meledak, adalah salah satunya. Gue nggak ngerti bagaimana ia bisa mengakui hal itu dengan ringan, tanpa berkedip dan sedikit pun hela nafas. Senja mengatakannya seolah ia tidak sedang berbicara dengan gue, pacarnya, seorang manusia hidup dengan hati yang bisa terluka.

"I'm sparing you the heartbreak of being lied to here, Jeff—"

"I am already being lied to, Nja."

"...Aku udah suka sama Mikael sejak kita ospek. I like him ever since and hasn't stop up til now."

Senja yang pertama membunyikan genderang perang. Senja yang pertama melempar ranjau. Senja yang pertama meluncurkan misil. Senja yang pertama menyerang dan melukai gue.

Malam itu adalah episode pertama dari gencatan senjata yang rupanya berlangsung hingga enam tahun setelahnya.

It all began with Mikael and continued with Shanaz.

I know, I know. Nggak ada sejarahnya balas dendam menyelesaikan semua permasalahan, even the world war is basically happened as a form of revenge for the assassination of Franz Ferdinand. Tapi pada saat itu, melampiaskan sakit hati gue dengan cara menggandeng cewek baru di depan Senja adalah satu-satunya opsi yang paling menggiurkan untuk gue. Ibaratnya perang, saat itu Senja sudah angkat senjata, dan gue enggan mengalah. Jadi, menurut kalian, apa lagi yang bisa gue lakukan selain meladeni serangannya?

And so, we launched ourselves into this hellish cycle.

"...I'm sorry, Jeff. I'm sorry it took me this long to realize that I don't want Mikael..."

"...Nja..."

"...Aku nggak mau Mikael and it hurts me so much to watch you around with Shanaz, fuck... it does hurt"

"Come here. Come here, Nja. Aku sama kamu sekarang, okay? I'm sorry too. I'm sorry..."

"...I love you"

"...I love you too"

Satu sentuhan. Satu pelukan. Satu ciuman.

It's everything we thought we need to fix the gaping crack in our relationship. Tapi nyatanya? Itu hanya bagaikan lakban yang menutup retak sementara, tanpa melakukan apa-apa untuk menambalnya. Pada perjalanannya, berkali-kali lakban tersebut rusak dan berkali-kali pula kami susah payah menambalnya lagi.

Until one day we started to run short on the tape, yet the crack keeps growing, and growing, and growing, hingga tanpa kami sadari, sebuah jurang telah tercipta antara gue dan dia.

"This isn't working anymore, Nja"

"No, this works perfectly fine. This COULD work perfectly fine, kalo aja kamu mau berusaha untuk make it work..."

"I AM making it work! Tapi gimana aku bisa berusaha kalau kamu aja seolah nggak pernah ngehargain usaha aku untuk bikin semua ini jalan..."

"Don't act like you're the one fighting saat kamu aja masih bolak-balik jajan ke sana kemari sama cewek-cewek lain—"

"Really, we're going there now, Nja?"

"We're never really going anywhere to begin with, Jeff. NEVER. Sejak Shanaz, kamu 'kan yang nggak bisa berenti cari 'hiburan' lain di belakang aku? Iya 'kan? Kamu 'kan yang terus-terusan main sama dedek-dedek groupies kamu itu tanpa aku tau? Well, guess what, Jeff; I know. I know everything all along—"

"Fucking hell... Fine. Fine! Kalo itu yang mau kamu percaya, terserah! Aku capek bolak-balik jelasin ke kamu tapi kamunya nggak pernah mau denger. You know what, just for the record, you'll always be the one who started it all, Nja. Kamu sama Mikael, inget itu. And everything I do, I only do to make it even between us"

Seiring waktu berjalan, batas antara siapa yang lebih banyak melukai siapa semakin kabur. Mungkin gue memang melukainya dengan tindakan gue, tapi Senja dengan egonya yang menolak untuk menjadi pihak yang kalah, tanpa sadar malah bertindak sebagai bensin di atas api yang membara. Bagaimana ia terus-menerus memproyeksikan kesalahan dan ketakutannya sendiri pada gue, justru mendorong gue untuk membuat semua tuduhannya jadi nyata.

Gue mungkin salah, tapi Senja juga tidak sepenuhnya benar.

It all began with Mikael, continued with Shanaz, and left us with nothing but this gaping wound made of insecurities and trust issues that won't stop bleeding.

Dan sebelum kami berdua kehilangan lebih banyak darah, gue memutuskan ini sudah saatnya kami mengakhiri semuanya.

"Aku nggak bisa lagi, Nja."

Gue tahu, kami berdua nggak akan keluar dari pertempuran ini dengan selamat. Nggak akan. Jadi gue melakukan satu-satunya hal yang gue bisa; menyelamatkan apa yang tersisa dari kami berdua, sebelum semuanya sirna.

***

Block B Studio – 9:30 PM

"...Baby, I know it's already over..."

Jam telah menunjukkan pukul setengah 10 malam, dan sesi take vocal hari ini harusnya sudah mencapai fase terakhir.

Just one last part, but we didn't seem to get it right everytime. No, scratch that. Just one last part, but I didn't seem to get it right everytime.

Ya, you guessed it right: bagian terakhir yang menahan kami semua di sini hingga detik ini adalah bagian gue.

"Jeff, Jeff. Coba deh lo turunin satu key lagi. Rendahan dikit, terus lo coba lebih bikin suaranya kayak orang sakit hati. Kayak yang gue contohin tadi" dari balik kaca bilik recording, Bang Iko berbicara melalui microphone.

Gue berdehem sebelum mempraktikkan jenis suara yang ia maksud. "Baby I know it's already over... Gitu bang?"

Bang Iko mengerenyit sejenak, kemudian menoleh pada Bram yang daritadi duduk di sebelahnya. Mereka berdua tampak membicarakan sesuatu yang nggak bisa gue tangkap dari dalam bilik rekaman, sebelum akhirnya saling mengangguk.

"Jeff, sebenernya tadi beberapa udah ada yang bagus, tapi kita mau coba buat opsi." Bram berujar mengambil alih mic. "Bisa nggak lo bikin suara lo kayak... Hm gimana ya jelasinnya... kayak orang yang udah putus sama pacarnya tapi yearning—nggak, nggak. Tapi lagi bittersweet nginget-nginget jaman pacaran dulu."

Anak itu mengakhirinya dengan sebuah ringisan singkat yang gue tahu benar apa maksudnya.

He wants me to reminisce my time with Senja and channel that energy to the song. That's it. That's what this song is all about.

Bram yang bilang sendiri ini, bukan gue yang kege'eran.

"Fine, let me try" gue berdehem lagi sebelum memulai. Gue memejamkan mata dan menarik nafas, berusaha membangun mood sebelum menyanyikan bait tersebut.

Why the hell Bram wanted me to do that shit? Teman macam apa yang menyuruh temannya nginget-nginget lagi kenangan sama mantan demi rekaman lagu? Dan lagi, kenangan apa yang mau gue ingat hingga bisa menghasilkan efek suara yang diinginkan Bram dan Bang Iko? Nggak ada. None of my memories are worth crying about in that way.

Not anymore at least.

"...Baby I know, it's already ov—Wait, bentar. Kayaknya gue butuh minum"

Sekilas gue bisa melihat Bram dan Bang Iko menghela nafas secara bersamaan sebelum gue bergegas keluar bilik rekaman untuk mengambil sebotol air mineral yang gue letakkan di atas sofa kulit studio

Dengan cepat gue membuka botol tersebut dan menenggak isinya, membasahi tenggorokan gue yang entah kenapa terasa sangat kering tadi.

"Jeff, lo paham 'kan tapi maksud gue tadi gimana warna suaranya? Feeling yang mau dibawa kayak apa? Sebelum-sebelumnya udah bagus tapi pas ini—"

Gue mengangkat tangan untuk menghentikan ocehan Bram sebelum berakhir seperti kereta. "I know, I know. Gue ngerti maksud lo."

"Baby I know it's already over... Baby I know it's already over... Baby I know it's already over..."

Gue, Bram, dan Bang Iko sontak menoleh bersamaan ke arah Wira yang lamat-lamat menggumamkan larik lagu yang seharusnya menjadi bagian gue itu. Yang menjadi tersangka mengangkat wajahnya beberapa detik kemudian sebelum membalas tatapan kami dengan ekspresi bingung.

"What?" tanyanya polos.

"Tuh Wira aja deh yang nyanyiin part itu. Kayaknya dia yang lebih dapet deh feel-nya" gue berujar pada Bang Iko dan Bram.

"Lah kok gue?? Kan itu bagian lo. Bagian gue udah banyak banget" Wira membalas dengan defensif.

"Tapi lo tadi menurut gue udah dapet banget, lebih dapet daripada pas gue yang nyanyiin malah," gue beralasan. "Iya nggak, Bang Iko?" lanjut gue, kini sambil bertanya pada Bang Iko selaku pihak yang lebih memiliki otoritas di ruangan ini.

Harapannya, anak-anak lebih mau nurut apa yang dia katakan daripada gue.

Because honestly, man, I'm tired of having to repeat those lines for the nth times tonight.

"Ya sebenernya gapapa juga kalo mau diganti jadi Wira—mungkin buat opsi. Tapi gue juga setuju sama kata dia tadi, bagian dia udah banyak banget. Dan kalo dia ambil part ini, berarti kita harus substitute salah satu part dia sama lo. Which means bakal take time lagi," Bang Iko berujar. "Kita udah behind schedule loh hari ini. Harusnya udah sampe track 11 'kan? Ini masih stuck di track sembilan, sedangkan lo juga harus ngejar jadwal shoot videoclip"

Semua orang yang ada di ruangan ini pun hening. Termasuk Jamile dan Dodi yang sesungguhnya nggak perlu-perlu banget hadir hari ini. Dodi 'kan memang nggak nyanyi, sementara Jamile pekerjaannya paling hanya memantau jalannya recording.

"Kalo gue masih yakin sih Jeff bisa sebenernya dapet feel buat lirik yang itu" Satria yang sejak selesai take bagiannya tadi hanya duduk diam memperhatikan dari balik laptop (ini anak masih sempet-sempetnya balesin email kerjaan di kantor memang luar biasa bapak ketua kita satu ini), akhirnya angkat bicara.

"Man I don't know..." gue menggaruk tengkuk gue yang nggak gatal. "I've tried my best tapi katanya masih berasa off... I don't know which part" gue mengendikkan bahu.

"Mungkin karena masih ada yang lo tahan... secara emosi" Satria menjawab dengan kalem. "Arahannya Bram tadi menurut gue udah bener kok. Lo bayangin aja mantan lo, sama waktu-waktu kalian bahagia sebelum putus. Terus rasain sedihnya sekarang lo udah nggak punya dia lagi, dan lo cuma bisa ngulang waktu-waktu itu di memori lo."

Bram bersiul rendah seraya menyandarkan punggungnya di kursi putar yang ia duduki sejak tadi. Jamile menatap gue dengan alis terangkat. Bang Iko mengangguk-angguk pelan sambil mengelus dagunya. Sementara Wira dan Dodi tampak bertukar lirik.

Gue yakin semua orang di ruangan ini paham apa yang dimaksud Satria barusan. Mungkin kecuali Bang Iko—but I guess even he had the idea, at least.

This song was written about my relationship, after all. And it's only normal that they wanted me to embrace my feelings towards the certain someone that makes my relationship worth writing a sad song about.

Hhhh. Kenapa Enam Hari harus menjadi band yang selalu bernyanyi soal cinta sih? Why didn't we sing about something else like, I don't know, the corrupt government and other social issues maybe?

"Fine. Fine, I'll try. Gue coba lagi nih sekarang" gue mengangkat tangan, menyerah.

"Nah gitu dong" Bram tersenyum puas. Ia dan Bang Iko pun memutar bangku kembali menghadap panel dan bilik rekaman.

"Semangat gengs. Yok bisa yok dikit lagi!" Jamile menepukkan tangan memberi semangat. Sebuah gestur yang juga diikuti oleh Wira dan Dodi.

Dan Satria? Bapak itu hanya tersenyum simpul sebelum kembali merunduk menghadap layar laptop dengan jemari yang menari cepat di atas keyboard-nya.

Gue menghela nafas. One last time, gue harus bisa. Ini yang terakhir.

Let's put an end to this.

***

"Nja, guess what? Anak-anak mau maju jadi kontingen Art War!"

"Sumpah?! Aaaaaaaah!! Thank you, Jeff! I love you, I love you, I love you..."

"God haha right I love you too, Nja. So much"

*

"Kalo FISIP nggak treble winner... aku rasa semua karena band deh. I think I messed up big—"

"Sssh! Kita treble winner. Pasti. Dan kalian juara pertama"

"How do you even know?"

"Just a feeling"

*

"Aku takut, Nja... Aku takut semua ini bakal sia-sia. Aku takut ngecewain Mama, Papa, kamu..."

"Hey, listen to me—Jeff, it will all work out. Dengerin aku; kamu pasti bisa. You're going to do great, so great you'd think you'll never even dream to be there when you are. Kamu pasti bisa, aku yakin"

"And you'll be with me then...?"

"I'll be with you then. And until whenever"

"Until whenever"

***

Continue Reading

You'll Also Like

321K 27.4K 35
[END] Kim Jisoo seorang gadis polos nan lugu, baik hati, suka menolong, tidak sombong, patuh kepada orang tua, dan memiliki kecerdasan diatas rata-ra...
1M 78.3K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
1.8M 100K 15
1. Dilarang memplagiat cerita ini 2. Dilarang memposting ulang cerita ini entah itu di Wattpad maupun 'CUMA' di Twitter atau Instagram 3. Mencopy pas...
1.9K 141 11
Usaha seorang gadis mencari pembunuh sahabatnya dengan bantuan anak baru.