[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada

4.1K 431 234
By twelveblossom

"Ketika semua hal terasa begitu baik hingga tidak bisa menjadi lebih baik lagi justru membuatmu bosan. Ketika semua hal terlihat begitu salah hingga tak bisa diperbaiki lagi―adalah sebuah awal."

-oOo-

Rencana pernikahan. Nara tak menyangka jika dirinya sampai pada titik itu. Selama ini siklus hidupnya hanya terkait dengan pendidikan dan pekerjaan. Nara belum berpikir akan membangun komitmen dalam waktu dekat, tapi Javas membawanya pada satu sudut pandang baru. Dia menarik Nara agar naik pada fase hidup yang lain, yaitu pernikahan. Mungkin, kalau orangnya bukan Javas, Nara tidak akan sudi. Nara itu tipe wanita yang merasa jika pernikahan adalah hal yang tabu. Pernikahan diserupakan lubang hitam yang bila sekali saja dia masuk ke dalamnya tidak ada jalan kembali. Terlalu berlebihan sebenarnya, tapi bukan Nayyara namanya apabila tak berpikir sejauh itu.

Semua kepanikan dan ketakutan Nara soal pernikahan kian meningkat dari hari ke hari. Memang sih Nara berhasil merengek kepada Javas agar tidak memaksanya menikah dalam waktu dekat, paling tidak satu bulan waktu yang diperlukan Nara dalam mempersiapkan mentalnya. Sebagai gantinya, mereka bertunangan secara resmi, tepat dua minggu setelah Nara setuju menerima Javas kembali.

Pasalnya, Javas menggunakan jeda waktu itu untuk mengenalkan Nara kepada dunianya. Dia membawa Nara menemui Paman dan Bibi Mavendra, menjelaskan silsilah keluarga mereka. Puncaknya pada hari ini, Nara diundang ke Singapura berkunjung ke rumah utama Keluarga Besar Hwang. Kakek dan nenek Javas memang tinggal di sana. Nenek Javas ialah Elizabeth Hwang, satu-satunya keturunan dari Hwang Ji berdarah Korea―Amerika, pengusaha yang bergerak di bidang kuliner. Maka dari itu sebagai anak tunggal Elizabeth didaulat untuk merawat rumah utama. Sementara kakek Javas Sugiyono Mavendra adalah keturunan Jawa―Sunda yang kebetulan punya banyak usaha. Sugiyono cukup tangkas karena bisa menaklukkan Eli.

Hampir seluruh anggota keluarga Mavendra generasi ke dua, yaitu Tirtayasa, Brawijaya, Lituhaya, dan Manggala serta generasi ke tiga yaitu anak-anak dari generasi pertama takut pada Elizabeth. Bisa dibilang Eli ini memegang peran utama dalam mengendalikan anak dan cucunya. Kenyataan tersebut membuat Nara keringat dingin sepanjang perjalanan.

"Pakaian aku berlebihan nggak, Chatu?" tanya Nara pada pria yang berada di sampingnya. Nara merapikan gaun selutut sederhana bermotif bunga mawar. Cantik, kata itu mewakili Nara dan pakaiannya.

Nara dan Javas berada di mobil yang membawa mereka ke rumah kakek dan neneknya. Mereka baru sampai Singapura kemarin malam karena Nenek Eli mengundang sarapan. Iya, sarapan yang sangat pagi―jam 06.30 alasannya Nenek Eli dan Kakek Gyo akan terbang ke Italia untuk mendukung cucu kesayangan mereka si Cakrawala. Katanya Cakrawala ini ikut kompetisi ISU Grandprix of Ice Skating di Turin, Italia.

"You look gorgeous, Baby," jawab Javas sembari meraih jari-jari Nara yang terkepal. "Jangan takut, nenek dan kakekku tidak makan manusia," lanjutnya.

Nara menggigit bibir. "Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku? Bagaimana kalau mereka tidak setuju kita menikah? Bagaimana kalau mereka merasa aku kurang sepadan?" tanya Nara, mencerca Javas yang kini mengulum senyum.

"Kita kawin lari saja, semudah itu masalah selesai."

"Javas, aku serius!" Nara memukul pelan pria berkaus biru tua.

"Bercanda, Sayang. Dengar, kakek dan nenek selalu mengawasi pergerakan manusia yang menyandang nama Mavendra. Termasuk dengan siapa saja anak dan cucunya bergaul. Jadi, mereka tahu kalau aku menyukai kamu, Nara―bahkan jauh sebelum kamu sadar. Jika mereka memang tidak setuju soal asal-usul seorang Nayyara Judistia Putri Hartadi, tentunya mereka sudah menyeretku untuk pergi dari kehidupanmu."

"Itu semakin membuatku khawatir. Aku takut tidak sesuai ekspektasi mereka―Javas!" keluhan Nara menjadi seruan saat Javas tiba-tiba mengecup sudut bibirnya. "Apalagi, kita mungkin butuh waktu untuk memberi mereka cucu―hmfh."

Javas mencium Nara untuk meredakan ocehan sang kekasih. Kecupan lembut yang dalam. Awalnya Nara memberontak, tapi enam detik berlalu membuat gadis itu memejamkan mata―memilih menikmati lumatan bibir Javas. Si pria lantas tersenyum di tengah kecupan, dia merasa bangga karena bisa mengalihkan pikiran Nara.

Hm, siapa sih yang bisa menolak Javas Chatura Mavendra?

-oOo-

"Nayyara," Eli memanggil nama itu sekali lagi saat berhadapan dengan Nara yang telah menunggunya di ruang makan. "Kalian sudah datang. Ah, maaf hanya nenek yang menemui kalian. Kakek Gyo tadi malam sudah berangkat ke Turin karena Cakrawala minta dukungan moral sebelum bertanding."

Nara yang sedari tadi duduk dengan gugup di samping Javas pun tersentak atas kehadiran Nenek Eli. Awalnya, gadis itu mengagumi kediaman kakek dan nenek Javas yang mengingatkannya pada pedesaan sebab di sana dikelilingi pekarangan luas, bebek dan angsa di halaman samping, serta sawah-sawah di jalan masuk ke rumah utama. Tentunya, rumah ini lebih sesuai jika di sebut istana atau kastel―mungkin karena parit yang mengeliling kediaman ini.

Wanita berusia delapan puluh tahun itu memberikan senyum yang elegan. Sisa-sisa kecantikan dalam parasnya masih terlihat. Nara yakin jika Nenek Eli pasti sangat rupawan ketika masih muda.

Javas langsung menghambur memeluk neneknya, memberikan kecupan kilat di pipi. "Nenek terlihat sangat cantik hari ini, gaun tidur yang bagus," Javas memuji.

"Dasar, anak nakal. Masih saja bisa merayu nenek tua ini," balas Nenek Eli sembari tertawa.

Nenek Eli berjalan ke arah Nara yang berdiri kikuk. Dia menggenggam tangan calon istri cucunya dengan hangat. Netranya menatap lekat pada Nara, menelusuri gadis itu melalui pandangannya.

"Kamu secantik ibumu," kata Nenek Eli, suaranya seperti mengenang sesuatu.

Ekspresi Nara semakin bingung. Nenek Eli mengenal bunda? Mulai kapan? Benak Nara bertanya, namun bibirnya segan bersuara.

"Liliana itu putri angkat pertama nenek sebelum melahirkan ayahnya Javas," jelas Nenek Eli setelah mereka duduk dan memulai sarapan.

Nara yang tengah mencicipi sandwich tuna pun langsung terbatuk. Dia sangat terkejut dengan fakta itu. Nara menatap Javas yang tampaknya tidak terlalu kaget. Artinya Javas pernah mendengar kisah ini.

"Pelan-pelan ceritanya, Nenek. Nanti calon istriku terkena serangan jantung saking kagetnya," Javas membalas santai.

Nara menyipitkan mata ke arah Javas, menuntut penjelasan. Berlainan dengan Javas yang tak ingin netranya bertemu dengan sang kekasih, pria itu justru sok asyik memakan kudapan.

"Apa kamu sudah bertemu dengan Tirtayasa, Nak?" tanya Nenek Eli.

Nara bingung harus menjawab bagaimana sebab dulu keluarganya memang bertetangga dengan Keluarga Tirtayasa Mavendra. Namun, Tirtayasa jarang sekali ke Malang. Ayah Javas itu terlampau sibuk, hanya Sydney Mavendra saja yang kerap mampir ke rumah Keluarga Hartadi untuk sekedar mengajak bundanya jalan-jalan atau mengobrol.

"Kami dulu bertetangga," Nara memutuskan menjawab demikian. Tapi Om Tirta kan datar banget kalau ketemu sama bunda dan ayah jadi gak seberapa akrab, lanjut Nara dalam hati.

"Pasti sangat berat bagi Tirtayasa untuk bertetangga dengan kalian. Liliana yang sudah mempunyai keluarga dan kamu yang sangat mirip dengan ibumu," gumam Nenek Eli. Dia pun menghela nafas. "Ibumu adalah cinta pertama dari Tirtayasa. Kami mengetahui itu agak terlambat. Sayangnya, Tirta tidak bisa memiliki Liliana karena dia seharusnya menikah dengan Sydney. Kami memulangkan Liliana ke Indonesia agar tidak mengganggu rencana pernikahan Tirta. Beberapa tahun kemudian nenek mendengar kabar pernikahan Liliana dengan Banyu Hartadi. Nenek bahagia, sekaligus merasa bersalah karena telah meninggalkan ibumu begitu saja setelah sembilan belas tahun membesarkannya."

Nara mendengarkan semuanya. Dia merasa tubuhnya kaku atas fakta yang diungkapkan. Nara bingung harus mengatakan apa, semuanya terdengar serupa kisah dongeng―antara bisa dipercaya atau tidak.

Nenek Eli memberikan tatapan dalam ketika dia mulai bercerita lagi. "Suatu hari, nenek dan kakek mengunjungi Liliana karena kami merasa berdosa telah meninggalkannya. Ibumu memaafkan kami, Liliana selalu baik hati―putriku memang begitu. Kami ingin memberikan Liliana hak yang sama dengan anggota Keluarga Mavendra yang lain. Namun, ibumu hanya meminta kami menjaga keluarganya dan memastikan anak-anaknya bahagia. Kakek Gyo memutuskan untuk menjodohkan anak dari Liliana dan Tirta agar pertalian darah benar-benar tercipta. Ibumu menolak perjodohan itu, dia menginginkan anak-anaknya bisa memilih kehidupan. Jika memang takdir antara anak-anaknya berkaitan dengan Mavendra―dia berharap semuanya terjadi secara alami―bukan direncanakan. Sydney yang mendengar kisah itu pun menjadi penengah, dia memilih pindah ke Malang. Perlahan-lahan memperkenalkan Javas kepada kamu, kalian berteman sejak kecil. Ternyata, selera Javas sama halnya dengan ayahnya―dia menyukai kamu yang mirip dengan ibumu, Nak. Berjalan sesuai rencana."

"Nenek senang kalian bersama. Nenek mengharapkan cicit dari kalian. Kamu sudah tahu Keluarga Mavendra bukan lah keluarga biasa. Kami merencanakan banyak hal, termasuk kelahiran dari generasi ke empat."

Nara merasakan palu menghantam hati saat Nenek Eli menyatakan keinginannya atas cucu dari mereka. Dirinya masih perlu waktu untuk melakukan pengobatan dan memastikan kesuburan organ reproduksinya. Apa Nara harus jujur mengenai keadaannya? Yang Nara bingung kan adalah Nenek Eli tidak tahu perihal kesehatan gadis itu. Padahal, Lituhaya menjadi dokter yang bertanggung jawab atas Nara. Kecuali jika Javas membuat kesepakatan dengan Lituhaya.

Kamu harus jujur, Nara. Katakan kejujurannya sekarang sebelum nanti menjadi kebohongan yang lain. Nurani Nara bersuara.

Jangan, mengatakan apa pun atau kau akan kehilangan Javas selamanya. Keegoisan Nara juga menyumbangkan gagasan.

Nara memejamkan mata sebentar. Dia menarik nafasnya. "Nenek Eli, ada yang ingin saya katakan ...." ucapan Nara menggantung.

Javas dan Nenek Eli memberikan atensi penuh pada Nayyara. Nara semakin gugup ditatap oleh dua Mavendra yang sangat mengintimidasi.

"Saya masih melakukan pengobatan―"

Prang! Salah satu pelayan yang tengah menghidangkan makanan untuk Javas menjatuhkan mangkuk. Javas sigap berdiri karena terkena cipratan sup.

"Sorry for the interruption," Javas langsung mengatakan penyesalannya. Netranya menatap Nara tajam sembari menggeleng. Dia seolah mengirimkan pesan non-verbal agar Nara berhenti mengatakan apa pun.

Pelayan yang menjadi tersangka langsung pucat. Sebenarnya, pelayan itu cukup terkejut saat Javas tiba-tiba menyamper mangkuk sup. "Maaf, Pak Javas saya tidak sengaja," mohonnya memelas.

"Tidak masalah. Kamu boleh pergi," Javas membalas tegas.

"Sepertinya Javas harus berganti pakaian," Nenek Eli menyarankan lalu menatap Nara yang membeku di sampingnya. "Tidak usah khawatir, kekasihmu hanya terkena sedikit sup, tapi nenek akan senang kalau kamu bisa membantu mengobati lukanya, Nara," lanjut Nenek Eli.

"Sayang?" panggil Javas karena Nara tertegun tak kunjung menimpali Nenek Eli.

Nara mengerjapkan mata. "Ah, okay. Maaf saya terlalu terkejut."

Nenek Eli tersenyum maklum. "Tidak masalah. Kamu bisa membantu Javas mengobati lukanya di kamar lantai dua paling ujung. Itu kamar Javas setiap diminta ayahnya kemari untuk dihukum."

Nara mengangguk, dia segera beranjak menghampiri Javas. Gadis ini meraih dengan hati-hati tangan kasihnya. Well, Javas itu totalitas dalam menutupi sesuatu hingga mengorbankan tangannya.

"Oh ya, Nara," panggil Nenek Eli lagi yang membuat gadis itu berbalik. "Terima kasih sudah berusaha jujur kepada nenek," kata Nenek Eli, netranya berganti menatap Javas. "Dan kamu anak nakal. Lituhaya itu anak nenek, dia lebih setia kepada ibunya daripada berpihak kepada anak ayam sepertimu."

Ekspresi Javas jelas terkejut. Nara yang tengah menggenggam tangan Javas tahu jika pria itu menegang.

"Jangan khawatir, Nenek Eli dan Kakek Gyo tetap merestui kalian. Hm, sekedar saran kalian bisa berlatih untuk membuat sesuatu di sini. Practice makes perfect," ucapan Nenek Eli itu menjadi penutup perbincangan mereka pagi ini.

Respons Nara dan Javas berbeda.

Nara merasa lega.

Sementara Javas, pipinya merona. Well, mungkin Javas begitu karena ketahuan menyembunyikan sesuatu atau ... soal dia tahu benar 'latihan' apa yang dimaksud sang nenek.

Sepertinya, Javas akan mencobanya. Tidak sampai main course juga tak masalah, seperti kata Nara test drive. Hm, anggap saja ini latihan. Bukankah sesuatu akan menghasilkan yang terbaik jika rajin latihan?

-oOo-

"Kalau marah gini kamu lucu jadi pengen gigit," Javas berkata jahil saat dia menemui Nara yang sedang berada di balkon.

Kamar Javas di Hwang's Mansion ini memang yang paling dekat dengan kebun mawar Nenek Eli. Pemandangan yang tersaji di balkonnya ialah sekelompok bunga mawar dengan beraneka ragam dan ada tukang kebun yang sedang merawat tanaman.

"Gak usah pegang-pegang ya. Dasar tukang bohong," sungut Nara.

Nara berusaha menepis tangan Javas yang memeluknya dari belakang. Dia semakin berontak saat kekasihnya menyandarkan kepala ke bahu Nara. Parfum Javas ini membuat Nara tidak bisa fokus pada kemurkaan, rasanya ingin membalas rengkuhan pria ini.

Ya Tuhan, kenapa Nara jadi murah begini?

"Aku gak bikin kebohongan apa-apa―"

"―Tapi kamu cegah aku buat ngomong masalah anak ke Nenek Eli," balas Nara, menguatkan diri karena Javas sudah mulai mengecupi bahunya. "Kamu sampai melukai tanganmu sendiri," Nara memerhatikan lengan Javas yang melepuh. Dia tadi sudah mengoles salep pada luka kekasihnya, tapi tetap saja melihat Javas sakit itu sangat tidak menyenangkan.

Javas mengangkat ujung bibir sebagai tanda dia senang. "Jadi, apa alasan kemarahan Nara kali ini adalah kuatir Chatunya lecet?" Pria itu memberikan nada menggoda.

Javas membalikkan tubuh Nara yang tiba-tiba pasrah, mungkin gadis itu sudah meleleh karena sikap Javas yang aktif bergerak menjelajahi kulitnya. Wah, Javas menemukan kelemahan Nara yang lain.

"Terima kasih sudah peduli," Javas melanjutkan.

Nara menatap mata lawannya. "I always care about you cause you are part of my life, my love, and my last, Javas. If you hurt, I'll hurt too."

Javas mencebik mendengar ucapan Nara. "Please Nara jangan begini," laki-laki jangkung tersebut mengayun-ayunkan tangan Nara serupa anak kecil yang sedang bersikap manja. "Jangan rayu-rayu aku, nanti aku makin sayang, jadi ambyar kan hati aku ini," sambungnya.

"Ih, apaan sih jijik deh, kamu jadi mirip Wira yang gampang ambyar."

"Oh, jadi Wira pernah ambyar sama kamu?"

Nara mendorong Javas pelan. "Mulai kan mancing. Ngajak berantem, nih?" Gadis itu menyipitkan mata.

Javas nyengir, ekspresinya cepat sekali berubah. "Gak mau berantem, maunya cuddling hehehehe," celetuk si laki-laki sebelum merengkuh Nara dalam gendongannya.

"Javas, no time to cuddling. We need to talk about our wedding plan."

"Kita bisa bicara di tempat tidur, Sayang," Javas membela diri sembari meletakkan Nara di ranjang dengan bed cover putih.

Ketangkasan Javas memang perlu diacungi jempol. Pria itu sudah berada di atas Nara, menindih kekasihnya lalu mengecupnya.

Nara yang mendapatkan manuver tiba-tiba itu sempat memekik pelan, dia kalang-kabut membalas gerakan Javas. Nara hanya bisa mengikuti cara Javas menjalankan tautan dan mengizinkan si pria masuk lebih dalam bertemu lidahnya. Tangan Nara yang menganggur pun dituntun Javas untuk membelai otot perut si pria. Tampaknya Javas menyukai cara Nara menyentuh perutnya atau sudah sampai pada taraf ketagihan lebih tepatnya.

"Bernafas, Nara," bisik Javas setelah sekian menit baru melepaskan bibir Nara. "Aku ingin beraltih sesuatu tapi bed cover tempat tidur ini putih, jadi tidak bisa," gumam Javas.

Nara tidak paham sebab otaknya terasa mati kalau sudah berdekatan dengan Javas begini.

Nara mulai mengontrol nafasnya yang terengah. Javas, ini seperti cari banyak kesempatan buat cium-cium, dasar bandel. Pikiran Nara protes, bibirnya tidak karena well dia menyukai apa yang Javas lakukan.

"Kamu kayak orang kelaparan, Chatu. My lips isn't meat that you can eat as you want!"

"Hehehehe." Javas malah tertawa malu-malu. Pria itu mengubah posisinya di samping Nara. "Habisnya, kamu lucu gemas juga, jadi pengen makan," celetuk Javas.

Jangan tanyakan respons Nara, dia tentu sudah berbunga-bunga plus salah tingkah plus senang setengah mati. Meskipun pada usianya sekarang Nara lebih suka dipandang sebagai wanita dewasa bukannya lucu, apalagi menggemaskan. Hm, tapi kalau yang berkata demikian Javas sih Nara rela. Apa sih yang tidak untuk Javas? Kalau Javas mau, dia sudah menyerahkan dirinya juga pada pria ini.

Nara yang masih senyum-senyum menatap Chatunya kini menggerakkan jarinya untuk mengusap pipi Javas. Dia mengubah posisinya miring ke arah Javas yang balas memandangnya.

"Chatu," panggil Nara.

Javas menjawab dengan nada semanis gula, "Iya, Sayang?"

Javas bisa membedakan arah perbincangan Nara melalui nama panggilan yang dipilih gadis itu. Jika Nara menyebutnya sebagai Chatu, dia ingin Javas berperan sebagai sahabat sekaligus kekasihnya tempatnya bermanja-manja. Apabila Nara memilih memanggilnya dengan Javas, maka dia harus berperan sebagai manusia yang siap diajak membahas perihal penting, formal, dan meminta Javas bersikap dewasa.

"Pipi kamu makin chubby. Kamu gendutan, ya," Nara menguraikan pendapatnya. Dia semakin mendekati Javas, menekan-nekan pipi si pria dengan jari telunjuk.

Javas jadi geram sendiri. Geramnya lebih ke arah pengen nguyel-uyel tunangannya soalnya sejak Javas dewasa belum ada yang berani mengatainya gendutan, bentuk raga Javas ini sangat proporsional.

"Katanya Theo, kalau laki-laki uda punya pacar terus tambah gendut artinya susunya cocok," balas Javas, dia menyeringai.

Nara langsung bungkam, butuh dua detik untuk sadar. Dia langsung mendorong Javas. "Mesuuuum!" serunya.

Javas tertawa. "Kamu yang mesum, maksudnya kan susu sapi. Aku minum susu sapi setiap hari," kilah pria itu.

Nara mendengus untuk menimpali. "Fokus ke topik yang mau kita bahas tadi, soal rencana pernikahan kita."

"Kamu tidak perlu pusing, kita bisa menggunakan jasa wedding organizer."

Nara menggigit bibirnya, tanda jika dirinya mulai ragu untuk bertanya lebih jauh. "Apa aku tidak boleh menyiapkannya sendiri, Javas? Maksudku memilih ini dan itu―"

"―Boleh, asal kamu jangan sampai terlalu lelah. Mulai minggu depan perwakilan dari WO yang aku tunjuk akan datang, kamu bisa mengatakan kepada mereka konsep yang kamu inginkan," terang Javas.

Nara menarik nafasnya pelan. "Sebenarnya, aku hanya ingin satu hal ... aku ingin orang yang datang baik ke pernikahan kita adalah keluarga dan sahabat dekat kita saja. Aku tidak ingin berada di antara orang asing yang bahkan tidak aku kenal sama sekali."

Alis Javas naik. "Alasan kami mengundang yang kamu sebut orang asing itu adalah untuk membangun koneksi. Agar rekanan kami tahu jika ada anggota keluarga baru Mavendra yang harus mereka perlakukan istimewa―"

"―I dont need that. I want to marry you as Chatu not Mavendra," potong Nara.

Javas beranjak dari posisi berbaring. "Kamu tidak bisa menikahi aku sebagai Chatu saja. Jika kamu setuju menikah denganku itu artinya menerima semua mengenai diriku, asal-usulku, dan semua cinta yang kuberikan. Termasuk aku sebagai Mavendra karena keluarga ini dan semua tradisinya ialah bagian dari diriku juga." Pria itu menatap Nara tajam, ia menghela nafas berusaha sabar.

"Maaf ... aku tidak bermaksud menyinggung―"

"―Tidak, aku tidak tersinggung."

Javas meninggalkan ranjang, dia menuju teh hangat yang tersedia di nakas. Ia merasa butuh pengalihan atas suasana hatinya. Javas bersyukur pembicaraan mereka tidak berlanjut menjadi pertengkaran sebab Nara memilih diam.

Lima belas menit berlalu. Menit ke enam belas Nara buka suara.

"Javas, mulai kapan kamu tahu tentang cerita masa lalu bundaku dan Om Tirta?" Nara menanyakan topik sensitif itu.

"Lupa."

"Oh," Nara sedikit kecewa.

"Kenapa?"

"I just curious. Jika kamu tidak tahu cerita soal mereka dan kenyataan bahwa kita hampir ... dijodohkan, apa kamu masih memilih aku dari sekian banyak perempuan? Apa kamu akan menyukaiku sebesar ini?"

Javas tidak memiliki jawaban yang akurat atas pertanyaan Nara. Semuanya sungguh mengalir begitu saja. Mungkin berawal dari kebiasaan mereka selalu bersama, lalu keinginannya memastikan Nara selalu bahagia, dan puncaknya menganggap Nara sebagai tempatnya pulang. Tentunya, semua hal itu karena Sydney Mavendra yang seolah terus mendorong Javas selalu berada di dekat Nara.

"Setiap orang punya caranya sendiri untuk jatuh cinta, Nara. Ada yang langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ada yang berkencan buta. Ada yang berawal dari orang asing, lalu menjadi kekasih. Mungkin, ada juga yang seperti aku―yang tidak tahu kapan semua ini berawal," Javas menjelaskan.

Pria itu mendekati Nara. Mengangsurkan cangkir teh bagian kekasihnya. "Apa pun kisah dan proses yang menjadi awal seseorang jatuh cinta itu bukan hal utama. Kita hanya perlu mengerti akhir dari semua kisah dan proses ini, aku mencintai Nayyara dari sekian banyak perempuan. Tanpa perlu mempertanyakan alasan kenapa kamu yang lebih istimewa daripada mereka. Tanpa kamu berandai-andai tentang apa yang terjadi kalau keluarga kita tidak terikat dari awal."

"Yang paling penting adalah kita yang sekarang, aku dan kamu yang sudah menjadi kita," tegas Javas.

Nara mengangguk. Dia menyesap tehnya dengan canggung. Jujur saja, Javas bukan tipe orang yang akan bicara panjang lebar demi menjelaskan sesuatu. Ada desir aneh dalam hatinya, keraguannya memang masih tersisa, tapi mulai berkurang.

Pria itu mendekati Nara, dia mengusap puncak kepala gadisnya. "Jangan memikirkan atau penasaran dengan hal yang sudah pasti, Nara. Itu akan membuat hubungan kita yang baik-baik saja menjadi tidak baik-baik saja," Javas mengingatkan dengan tajam.

-oOo-

"Ray, mana si Mak Lampir?" Wira bertanya saat dia turun dari stage setelah menyelesaikan latihannya malam ini.

Ray yang telah menjadi asisten pribadi sekaligus manajer Mahawira pun hanya melejitkan bahu. Pria muda itu tidak habis pikir, tadi sebelum naik panggung Wira mengusir Aria dari sini. Nah, sekarang justru mencari gadis itu. Bosnya ini jadi mirip ABG labil yang selalu minta putus pacarannya, tapi minta dielus setelahnya. Dasar aneh.

Sebenarnya keanehan Wira telah dirasakan oleh Ray saat si Bos memintanya untuk memesankan tiket pesawat tambahan H-1 sebelum keberangkatan mereka ke Australia. Ternyata tiket itu untuk Ariadna Arkadewi yang sengaja dibawa pindah ke apartemen baru Wira di benua kanguru ini. Mereka hidup bersama selama kurang lebih satu bulan belakangan.

Bersumber dari telinga Ray yang rajin menguping bosnya, Ariadna meminta pertanggungjawaban atas sesuatu kepada Wira. Entah apa, Ray juga tidak mau julid atas hubungan mereka. Well, hanya saja kekepoan Ray semakin membara waktu beberapa kali melihat bosnya secara sadar mencium Ariadna, walaupun setelahnya si Bos justru bersikap ogah-ogahan seolah Ariadna adalah bakteri.

Hmm. Apa kah Wira dan Aria sedang berhubungan layaknya friend with benefit? Namun, keduanya lebih mirip kucing dan anjing daripada didefinisikan sebagai teman yang saling mengasihi.

Menurut pengamatan Ray yang diam tapi punya jiwa suka gosip yang sudah mendarah daging hingga ke syaraf-syaraf ... Wira ini sedang memainkan tarik ulur dengan Ariadna. Semacam hurt to get gitu. Tapi sayangnya Ariadna Arkadewi terlalu perkasa untuk diajak tarik ulur, bisa-bisa Wira putus nyawa kalau berani mempermainkan si Mavendra berjenis kelamin perempuan itu. Raymond jadi cemas setengah mati, dia tak ingin jadi pengangguran.

"Gue uda bilang kan terus awasi Mak Lampir, jangan biarin dia pergi," Wira mulai sewot.

"Gini Bang, tadi siapa yang nyuruh Aria pergi?

"Gue."

"Lah terus, salah siapa kalau Ariadna pergi dari sini?"

"Gue."

"Nah, abang yang salah jadi jangan marah ke gue," simpul Ray santai, dia masih memainkan ponselnya.

Wira yang berdiri di hadapan manajernya itu, jadi semakin cemberut kalau diukur bibirnya sudah maju satu meter. "Ya Tuhan, apa salah gue punya manajer kayak gini?"

"Ya Tuhan, kenapa harus gue manajer yang dipilih Bang Wira selama di Australia?" Raymond mengulangi nada Bosnya tak mau kalah.

"Ya Tuhan, kenapa gue punya manajer ngeselin begini," Wira mengeluh lagi.

"Ya, Tuhan kenapa bos gue ngeselin begini. Kalau engkau bersedia, tolong diambil ke surga hamba ikhlas," Raymond semakin kurang ajar.

"Wah, minta ditoyor ya kepala lu," Wira mulai emosi.

Gerakan Ray tangkas menghindar dari amukan tangan maut Wira. Ray sudah akan mempraktikkan jurus karate yang baru diajarkan Aria kemarin sebagai balasan, tapi mengurungkan. Ray justru memilih pura-pura tersungkur karena si manusia yang menjadi topik mereka berantem datang.

"Wira jangan kasar ya sama Adik Raymond," sergah Aria.

Ray yang mendapat dukungan dari Kakak ketemu gedenya itu pun langsung nyegir lebar, mengejek Wira. Hahaha. Dia menang.

"Gue pergi dulu, ya. Mbak Aria dicariin si abang," pamit Ray sebelum kabur.

Wira langsung mendengus, menyadari tipu muslihat Ray. Wira tahu jika Ray dan Aria itu dekat. Aria yang cablak sangat cocok dengan Ray yang diam-diam menghanyutkan―punya seribu gaya bacot kalau sudah mengenalnya lebih dekat. Apalagi, Ray sering membocorkan informasi rahasia soal Wira kepada Aria. Misalnya merek celana dalam apa yang menjadi favorit Wira dan Wira yang tidak bisa pisah dengan Mr. Huffy Puffy―boneka beruang favoritnya. Aria merasa keberadaan Ray sangat menguntungkan dirinya. Keuntungan bagi Aria itu sama dengan kerugian bagi Wira. Dunia memang bergerak terbalik untuk mereka.

"Lo itu ke mana aja. Uda gue bilang jangan pergi jauh-jauh dan harus ngabari gue atau gak Ray kalau mau pergi," Wira malah mengomel.

"Tadi kan lo ngusir― "

"LO ITU TANGGUNG JAWAB GUE DI SINI. Kalau gue minta lo pergi, jangan pergi beneran," nada suara Wira meninggi.

"Astaga, ngegas banget. Telinga gue bisa budek ini! Tadi gue nerima telepon Nara di sini berisik jadi gue gak denger, makanya keluar," jelas Aria. Dia melipat tangan di depan dada. Gadis cantik itu menyerahkan ponselnya kepada Wira. "Nara ngundang kita ke pesta nikahannya sama Javas. Gue uda tahu mereka tunangan, tapi gak nyangka kalau beneran jadi nikah," lanjutnya.

"Jangan bilang gak jadi, kasihan Nara," ucap Wira jadi lebih kalem.

"Sensitif amat kalau masalah Nara," gerutu Aria.

Wira langsung menatap Aria tajam seolah membicarakan Nara adalah hal sakral. Gadis itu justru tertawa karena melihat sikap Wira yang tiba-tiba serius. Mereka selalu merespons suatu hal dengan dua cara berbeda. Itu yang membuat mereka tak pernah akur saat bersama, tapi merasa ada yang hilang ketika berpisah.

"Jangan sedih," sambung Aria.

Aria pun mendekat ke arah Wira. Dia menarik Wira, memeluknya begitu saja. Gadis itu menepuk-nepuk punggung Wira lembut. Tanpa memikirkan banyak hal. Yang Aria tahu, ada kesedihan dalam mata Wira, gadis itu hanya ingin menghapusnya.

"Gue gak apa-apa," gumam Wira.

"You look sad, Adyasta."

"I'm truly happy for them," bantah Wira.

Aria menggeleng. "You are not." Di mengeratkan rengkuhannya kepada Wira. "Adyasta, just dont pretend to be happy when you are not. Its okay being selfish. Its okay being sad. Its okay being upset. Dont hide your feeling―"

"―I lover her, Aria ...." pada akhirnya Wira mengakuinya. Untuk pertama kalinya Wira berani mendefinisikan apa pun yang ia rasakan untuk Nara. Setelah sekian lama dia berusaha menekan hatinya, mencoba membuang cintanya yang ia takutkan akan menciptakan rasa egois ingin memiliki, dan berusaha melepaskan gadis itu agar menemukan kebahagiaannya pada akhirnya.

Wira yang sangat takut mengakui ... dia takut tidak sanggup berhenti setelah logika dan benaknya tahu. Namun, Aria membuatnya merasa memiliki hak untuk menjadi egois, menjadi sedih, dan menjadi seseorang yang lebih terbuka. Wira tidak harus terlihat selalu bahagia .... Wira bisa sedih juga.

"Ini kesalahan―"

"―Tidak ada yang salah, Adyasta. Semua orang berhak jatuh cinta, termasuk lo," sela Aria, dia mengambil spasi di antara mereka agar bisa menatap lawannya.

Aria tahu betapa menderitanya jatuh cinta dengan orang yang salah. Seperti dia mencintai Abercio, kakak tirinya sendiri. Seberapa putus asa dirinya saat menyadari hubungan mereka tidak akan pernah berhasil, sebanyak apa pun dia berusaha. Yang ada justru perasaan sakit yang terus bertambah, hingga akhirnya dia merelakan Abercio untuk manusia lain.

"Please help me, Aria," pinta Wira. Dia menundukkan wajahnya. "Help me to fix it. It's so hurt," lanjutnya.

"We will help and fix each other. Let's moving on together, Adyasta."

Mungkin ini yang terbaik.

Untuk berjalan tertatih bersama, melupakan cinta yang lalu.

Meskipun bersama, pergi tanpa sakit, sungguh tidak mungkin.

Yang ada pergi dengan luka yang sama.

Bersama untuk saling menyembuhkan.

Kebersamaan yang awalnya hanya menjadi obat sementara, selanjutnya―mungkin bisa menjadi selamanya.

-oOo-

Halo semuanya, terima kasih sudah membaca bagian ke 17. Aku seneng bisa nulis sejauh ini dan sepertinya mendekati akhir cerita. Wira dan Aria akan punya cerita mereka sendiri, nanti.

Kalau ada yang baca ceritaku sejak di wordpress dulu, aku paling anti bikin sad ending, gak sanguup hahahaha. Aku berusaha agar setiap karakter punya ending yang bahagia versi mereka. Semoga di cerita ini aku juga bisa membuat semua karakter bahagia dan yang baca juga bahagia.

Aku tunggu vote dan komentar dari kalian yaaa.

Oh ya, kalau nanti cerita ini aku lanjutin sampai Nara dan Javas menikah gimana? Sampai Javas jadi Papi wkwkwk Papi Javas too cute to be true huhuhu.

Kalau gitu, sampai jumpa di part selanjutnya yang akan diposting lebih cepat kalau sampai 180 vote dan 180 komentar~

Happy weekend! Oh ya, happy new year!~

Continue Reading

You'll Also Like

104K 11.3K 34
Jaemin dikejutkan ketika sang pacar menyatakan bahwa bayi merah yang digendong oleh ibunya adalah anaknya. Sementara sang pacar sudah menghilang enta...
84.8K 12.4K 28
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
363K 38.1K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
37.5K 4.7K 23
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...