|AURORA BOREALIS|Bagian 24|
••••
Malam ini Aurora dan Borealis tengah terduduk di bibir pantai menatap deburan ombak yang menyapu pasir putih.
Awalnya Borealis berniat mengantar Aurora pulang. Namun cewek itu menolak-dia butuh waktu menenangkan diri.
"Lo cemburu sama Alaska?" tanya Borealis.
Aurora masih menatap sendu ombak dihadapannya, "gue nggak tau."
"Kenapa lo sedih? Kenapa lo nangis?"
"Nggak tau."
Borealis berdecak kesal.
"Dengan sikap lo yang kayak gini, itu artinya lo suka sama Alaska, dan cemburu liat dia dicium sama cewek lain?"
Aurora tertegun dan kemudian menoleh pada Borealis.
"Kenapa lo bisa ambil kesimpulan kayak gitu? Lo kan nggak tau apa yang gue rasain," sangkal Aurora.
"Gue pernah punya pacar kali. Seenggaknya gue mengalami fase dimana cemburu berlebih sebelum tahap pacaran."
"Belum pacaran udah cemburuan. Dasar."
"Eh ngaca."
"Gue nggak cemburu tuh."
"Tapi kenapa tiba-tiba pergi?"
"Pengin."
"Kenapa tiba-tiba marah?"
"Pengin."
"Kenapa tiba-tiba nangis?"
"Pen-"
"Nggak ada sejarahnya orang pengin nangis ya kalo tanpa alasan."
"Ih kok lo jadi kayak lagi mengintrogasi maling sih."
"Enggak tuh."
"Lo banyak omong dari tadi."
"Gu—"
"Jangan ngomong lagi! Gue males dengerinnya."
"Gila kali. Ada manusia kayak lo ya."
Aurora memukul kepala Borealis dan setelahnya bangkit.
"Eh kurang ajar lo," tukas Borealis-berdiri mengikuti Aurora.
"Ngapain lo ngikutin gue?" heran Aurora.
"Mau jadi saksi lo bunuh diri tenggelam di laut."
"Brengsek!"
Mereka berjalan beriringan disepanjang pesisir pantai.
"Lo nggak mau balik? Sekarang udah hampir tengah malem," ucap Borealis.
Aurora menggeleng.
"Kalo lo mau balik, duluan aja nggak apa. Gue ntar aja."
"Gila kali, sebencinya gue sama lo gue nggak bakal pernah ninggalin cewek malem-malem sendirian kayak gini."
"Gue udah biasa sendiri kok, dari kecil, jadi udah kebal."
Borealis menyernyit. Mencerna, apa maksud dari ucapannya barusan?
"Lo balik duluan aja. Besok lo sekolah kan, lagian lo pergi tanpa bilang bokap sama nyokap lo kan?"
"Terus lo?"
Hening.
Langkah Aurora terhenti, dia menatap deburan ombak. Setetes bening membasahi pipinya.
"Leave me alone," ucapnya parau.
Borealis mendekat. "Tell me what happen with you? If you try to lie to me, you can't."
"I'm not. Gue nggak mencoba berbohong."
"Just tell me. Gue yakin kalo ini bukan cuma karena kejadian tadi kan?"
"It's not important."
"Gue nggak suka liat lo yang kayak gini. Mana Aurora yang waktu itu maki-maki gue? Mana Aurora yang waktu itu berantem sama gue."
Isakan Aurora semakin terdengar diantara heningnya malam.
Borealis menatap nanar perempuan disebelahnya. "Lo kenapa?"
"Gu-gue terlalu egois"
"Egois apanya? Mencintai Alaska itu hak lo nggak ada yang melarang, cemburu juga hak lo itu semua hak lo. Itu perasaan lo yang hanya bisa diatur oleh lo."
"Gue terlalu egois untuk memiliki Alaska sepenuhnya. Gue terlalu menganggap dia seperti dia . Gue nggak mau kehilangan dia. Gue salah, nggak seharusnya gue bersikap kayak gitu."
"Lo nggak salah."
"Nggak salah dibagian mananya?! Gue terlalu egois sampai berpikir bahwa gue satu-satunya orang yang dia miliki. Gue nggak pernah mikirin perasaan dia."
"Tapi bukannya selama ini dia selalu memprioritaskan lo. Angel Alger."
"Karena gue yang menuntut diprioritaskan."
Borealis terdiam.
"Gue nggak pernah mikir bahwa Alaska bisa pergi karena gue."
"Alaska nggak pergi."
"Dan gue benar-benar sendiri sekarang."
"Lo lupa, lo masih punya nyokap lo, bokap lo, Alger, Alana dan temen lo di Pangeran dan juga Angkasa."
Aurora menggeleng lemah. "Dan bahkan gue nggak pernah merasa punya keluarga."
"What are you saying?!"
"Gue bicara faktanya! Gue nggak pernah merasa punya keluarga. Cuma Alger yang gue anggap keluarga, tapi gue malah dipisahkan."
"Gue nggak tau ternyata semenyakitkan ini disaat sendirian. Disaat semua pergi menjauh."
"Gue benci kesendirian. Gue nggak suka liat orang sendirian."
"Kalo ada pilihan, dari dulu lebih baik gue nggak pernah lahir. Daripada gue lahir seolah menjadi orang lain."
"Gue nggak suka kehilangan."
Borealis masih terdiam membisu.
"Semoga Tuhan denger semua ucapan gue. Dan mengambil nyawa gue secepatnya," isak Aurora.
"Tolol benar-benar tolol."
"Iya gue tau, gue emang tolol, gue bodoh, gue bangsat, gu-"
"Apa lo lupa sama ucapan lo disaat gue frustasi dengan hubungan gue dan Edeline?! Lo bahkan ngomong sama gue, kalo ada masalah itu di selesaikan sampai tuntas sampai menemukan titik akhir, tapi lo?"
"Tapi gue nggak akan pernah menemukan titik akhirnya!"
"Karena lo belum mencoba mencarinya."
"Percuma."
"Nggak ada yang percuma."
"Percuma! Semua percuma!"
Aurora terduduk dipasir sambil terisak.
"I can't."
Borealis berlutut. Mencekal lengan Aurora supaya menghadapnya.
"Liat gue!"
Aurora menggeleng.
"Liat gue! Aurora!"
Aurora menatap Borealis.
Borealis bisa melihat mata perempuan dihadapannya yang sembab. Garis wajahnya juga memprihatikan. Dia belum pernah melihat orang setegar Angel Alger menjadi serapuh ini.
"You can do it! Cari titik masalahnya dan kemudian cari solusinya."
"Gue nggak tau."
"Apa yang lo nggak tau? Masalah itu lo yang alami, nggak mungkin lo nggak tau."
"Apa lo tau bagaimana cara memperbaiki kepercayaan yang sudah hancur? Apa lo tau bagaimana mengembalikan sebuah kehilangan?"
Borealis tertegun.
"Lo bahkan nggak bisa jawab. Gue harus cari kemana lagi selain gue pendem sendiri."
"Kalo lo mau lo bisa cerita sama gue, kita cari jalan keluarnya bareng-bareng."
Aurora menatap manik Borealis. Dia tidak menyangka bahwa Borealis akan bersikap seperti ini padanya.
"Lo mau kita keroyok Alaska? Atau lo mau lo sendiri yang buat Alaska babak belur? Ayo gue atur semuanya."
"Ini nggak cuma tentang Alaska. Jujur gue kecewa sama dia, tapi gue yakin gue bisa maafin dia. Cuma gue butuh waktu."
"Terus apa yang buat lo–"
Aurora kembali terisak.
Tidak tau harus bagaimana lagi. Borealis memilih merengkuh tubuh Aurora. Menenangkannya.
"Aurora, you will be the strongest than they ever know," bisik Borealis sambil mengusap surai panjang Aurora.