Circinus [kookv]

By Cakueee

5.1K 418 215

Ia pikir cukup pijar baskara dari mata Taehyung saja yang perlu Jungkook lihat dibandingkan cerkas mentari da... More

circinus

5.1K 418 215
By Cakueee

Didekasikan untuk #kookvevent2019

victorianera!au, drama, angst/tragedy, major character death, affairs, rate M to be save (implicit)

happy birthday Kim Taehyung

.

#1

"Kau sinting."

"Taehyung, Taehyung―demi Tuhan! Tidak bisakah kau mengerti?"

"Kau yang harusnya mengerti, Jeon Jungkook! Lihat dan pikirkan baik-baik kenyataan di depanmu! Kau punya hal yang tidak bisa ditinggalkan, apalagi dilepas cuma untuk orang sepertiku!"

"Taehyung―kau tidak percaya padaku?"

Kepala digeleng cepat, kedua tangan menutupi seluruh wajah. "Aku percaya―demi Tuhan, aku percaya, bedebah. Tapi juga kau harus sadar semua ini tidak semudah yang kau pikirkan."

"Kau takut."

Tawa sengau lolos. "Itu benar, aku takut. Dan kau harusnya sadar sejak awal semua ini salah."

.

#2

Lain halnya dengan cerita roman atau prosa-prosa kolot para penyair yang seringkali menulis skenario seperti; ada seorang gadis miskin dan lelaki borjuis, mereka bertemu secara tidak sengaja di sebuah kereta lalu jatuh cinta, lalu bertemu lagi secara kebetulan dan mulai bercumbu, tapi akhirnya berpisah karena mereka tidak boleh bersama, apalagi saling terselip hati. Atau juga model begini; dua-duanya adalah keturunan bangsawan, tapi garis keluarga adalah musuh abadi, setelah itu mereka memilih untuk mati bersama. Karena kalau tidak bisa hidup di dunia, apa salahnya saling jatuh cinta setelah jadi arwah?―Jeon Jungkook mengakui bahwa pertemuan pertamanya dengan Kim Taehyung jauh dari tipikal cerita romansa sekali dan terbilang biasa-biasa saja walaupun toh, sedikitnya masih ada poin-poin klise yang mengikuti.

Jungkook mengenal Taehyung karena warna, karena sebuah toko tua yang cukup terpencil dari khalayak kota, dan bila bukan karena sang Ibunda yang ngotot menyuruh Jungkook untuk pergi ke toko itu, ia―mungkin saja―tidak akan bertemu Taehyung. Tokonya adalah sebuah toko lukisan, bernuansa antik dan mengingatkan Jungkook akan tempat-tempat yang belum pernah dipijakinya. Berbagai macam ukuran lukisan dengan bingkai kayu, dengan berbagai tema, bahkan palet-palet berani yang beragam memenuhi hampir setiap dinding ruangan toko. Etalase kaca tersimpan di sudut ruangan, di baliknya berdiri seorang seniman dengan pakaian kemeja berpadu celemek kotor; biru, kuning, merah, putih, Jungkook juga ingat saat itu ada noda cat sewarna cokelat tumbuhan ilalang yang tertinggal di tulang mandibula Taehyung. Pun mengingat bagaimana senyum pertama pemuda itu ketika denting bel berbunyi nyaring kemudian pintu terbuka sembari Taehyung berkata; selamat datang!

Jungkook pikir semua itu sangat biasa sekali. Ia hanya berbincang selaik aristokrat berwibawa, tidak bertele-tele dan langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Tanpa repot membalas senyum lebar dan memilih tipis saja, berkata bahwa ia memesan satu buah lukisan yang amat besar untuk disimpan di ruang tengah manor miliknya dan bisa tahu tentang toko Taehyung karena Ibunda.

"Tentu, tentu, lukisan seperti apa yang Anda inginkan, Tuan?"

Namun alih-alih menciut karena didatangi seorang bangsawan, nada bicara Taehyung tetap ramah. Seramah bagaimana binar mata pun garis senyum sopan yang tidak luntur, atau ketika dia memperkenalkan diri sebagai Kim Taehyung.

"Nebula. Langit dengan rasi bintang."

"Oh." Sebelah alis Taehyung terangkat. "Dan rasi bintang seperti apa yang seharusnya saya buat?"

"Apa pun, tapi pastikan rasi Circinus yang paling terlihat."

"Dimengerti." Cengirnya kembali terbit, diam-diam Jungkook mempertanyakan ada seberapa banyak stok senyum yang pemuda seniman ini simpan. "Apa ada tenggat waktu tertentu berapa lama saya harus menyelesaikan lukisannya?"

"Tiga bulan, dimulai dari besok dan tidak ada toleransi kalau melewati tenggat. Aku akan datang sekali dalam seminggu untuk memantau progres. Ada keberatan?"

"Tidak." Gelengan kecil, bahkan jawaban Taehyung kelewat cepat dan begitu percaya diri. "Saya akan melakukan yang terbaik."

Begitu saja. Tidak ada kesan atau momen yang unik.

Tidak ketika Jungkook pamit dengan ucap terima kasih juga mengingatkan kembali akan tenggat waktu. Tidak ketika Taehyung membungkuk sopan dan mengantar kepergiannya ke depan pintu. Dan tidak juga ketika saat itu atau untuk waktu-waktu ke depan yang ia lewati, Jungkook akan menyimpan dua kesalahan besar dalam hidupnya.

Pertama ia mengenal Kim Taehyung, kedua ia menerima tawaran sang Ayah untuk mempersunting putri bangsawan seorang Duke.

.

#3

Akan ada malam terasa lebih panjang, yang jauh dari relung hatinya, diam-diam Jungkook berharap bahwa fajar tidak pernah tiba. Ia tidak suka menghitung waktu yang terasa sewindu lamanya (sebab dalam benaknya adalah Taehyung, dan Taehyung, dan ia tidak bisa bersabar lebih dari ini) sembari mengutuk perlu banyak berapa putaran lagi roda kereta kuda berderak di jalan aspal berselimut salju, hingga Jungkook bisa berhenti uring-uringan saat kereta berhenti dan ia tiba di depan toko lukisan. Agak gelap karena penerangan telah dimatikan dan cahaya yang menerangi langkahnya tak lebih dari lampu lilin di beberapa sudut jalan. Jungkook tak perlu permisi karena ia punya peta dalam kepalanya dan lekas berjalan ke arah belakang toko, berhenti tepat di depan rumah minimalis dengan pijar lampur oranye berpendar hangat, yang sesaat sebelum kepalan tangan Jungkook terangkat untuk meninggalkan bunyi ketukan, daun pintu di hadapannya terbuka lebih dulu dan sosok Taehyung menyembul lugas.

"Jung―"

Satu sekon melangkah maju, sekon kemudian pelukan tanpa aba-aba. Selintas ia mendengar pekik terkejut lolos dari bibir Taehyung, tetapi selang sekon setelahnya pelukan Jungkook dikembalikan. Ia bisa merasakan rambat hangat suhu tubuh Taehyung atau jemari-jemari usil yang menitik punggungnya dengan gerakan main-main.

"Tuan tidak sabar, aku masih punya pekerjaan di sini," kelakar Taehyung jenaka, lalu terkikik kecil ketika Jungkook sengaja menyusupkan kepala ke dalam lipatan pundak dan lehernya. "Hei! Kau dengar aku tidak sih? Lepas, kau dingin!"

"Waktu kita tidak banyak," bisik Jungkook, dengan enggan menarik diri dan matanya jatuh ke dalam sepasang palet cokelat tua milik Taehyung. "Tenggatmu bisa aku perpanjang kalau kau butuh lebih. Satu hari, seminggu, sebulan, berapa pun yang kau mau, ma chérie."

Tawa Taehyung mengalun merdu, tidak-tidak, aku harus menyelesaikannya tepat waktu, kukuhnya tak mau kalah. Namun tanggapan Jungkook nihil, Taehyung juga tidak protes ketika Jungkook mengangkat tubuhnya tanpa tedeng aling-aling sambil berjalan dan sengaja lupa dengan kaleng-kaleng cat yang berserakan juga tumpukan kanvas berbagai macam ukuran setiap kali ia melangkah. Kadang kali hidung Jungkook akan mengerut begitu aroma tajam cat menyeruak, tetapi kamar Taehyung adalah pengecualian. Karena ruangan yang tak lebih besar dari kamar tidurnya itu telah Jungkook anggap seperti rumah. Ia mencium bau vanila, mencium aroma Taehyung, mencium ranum bibir sang seniman dan menikmati setiap bunyi derit ranjang atau sprei yang berantakan ketika mereka bergerumul melawan dingin. Momentumnya seolah berjalan lambat; kaki tumpang tindih, jemari saling bertaut, pijar lilin di atas nakas yang menari cepat, bahkan silabel nama masing-masing yang terucap.

Lucu juga bagaimana siklus itu berjalan. Semula sekali dalam seminggu, lalu berubah menjadi tiga hingga setiap harinya. Semula segala tata krama juga sopan santun dipertahankan, tapi kini saling membuka diri baik hati maupun fabrik. Begini kalau sudah dimabuk perasaan sinting bernama cinta, tidak kenal waktu atau batas norma. Semula Jungkook akan pulang sebelum sore menjelang, namun semakin lama ia menjadi rakus akan jalannya waktu.

Sebab itulah Jungkook kerap kali berharap malam tidak pernah berhenti.

Ia pikir cukup pijar baskara dari mata Taehyung saja yang perlu Jungkook lihat dibandingkan cerkas mentari dari sela-sela gorden pada esok hari.

[***]

"Panekuk saus mapel?"

"Hm, hm," angguk Jungkook, sisa nyawanya belum terkumpul penuh. Ia menggeser kotak kuas yang terletak di atas meja makan dan menarik kursi, lalu mengempaskan diri dengan nyaman.

"Oh, Tuan Pengantuk, sepertinya waktu pagi tidak cocok buatmu."

"Begitu?" kekeh Jungkook, menerima cangkir teh hangat yang Taehyung ulurkan. "Well, mungkin karena aku merasa cocok di sini. Aku bisa tertidur nyenyaaaak sekali."

"Gombal." Bola mata Taehyung berotasi malas. Sesuai tawarannya, piring berisi panekuk saus mapel tersaji di hadapan Jungkook. "Sekarang makan dengan baik dan cepat pulang setelah ini."

"Kau mengusirku?"

"Perhatikan kerjaanmu, mon cher."

"Ini hari minggu, omong-omong."

"Tidak ada libur buat seniman,"

"Kau tidak makan?"

"Sudah tadi."

"Jahat sekali tidak menungguku." Jungkook meletakan tangan di depan dada dengan gerakan dramatis, berlagak terluka. "Padahal aku ingin lihat pipimu yang suka menggembung itu kalau sedang makan."

Kuas terdekat diambil, lalu dilempar telak mengenai lengan Jungkook. Ukuran kuasnya tidak seberapa sih, tapi cukup meninggalkan perih.

"Lukisanmu harus segera diselesaikan, Jungkook," sahut Taehyung, berderap meninggalkan meja makan. "Jangan bicarakan soal penambahan tenggat waktu, aku ini selalu tepat waktu soal deadline, lho."

Jungkook sengaja tidak menanggapi. Ia hanya tersenyum simpul dan menurut, perlahan-lahan mulai menikmati panekuk saus mapel bersama secangkir teh yang telah Taehyung buatkan. Lantas kedua matanya akan mengerling secara jahil namun penuh damba ketika ia mendapati Taehyung di sisi lain ruangan. Mulai nampak sibuk dengan kanvas yang besar, dengan dunianya sendiri yang belum bisa Jungkook pahami secara mendalam, berdiri di antara warna-warna sekaligus imaji. Lukisan yang Jungkook pesan memang terlihat nyaris selesai, bentangan langit gradasi warna yang Taehyung lukiskan terlihat begitu cantik, begitu apik, dan artistik meski hanya sekali kau pandangi. Rasi-rasi bintang muncul secara acak, tetapi rasi Circinus yang diinginkan Jungkook belum muncul. Barangkali Taehyung sengaja melukisnya belakangan sebagai sentuhan terakhir.

Ini adalah pagi yang klasik, cangkir teh juga panekuk saus mapel, kemudian Taehyung. Seolah semesta yang tengah dilukis sang seniman berada sepenuhnya dalam diri Kim Taehyung.

.

#4

Nona Shannon adalah figur sempurna putri bangsawan pada umumnya. Parasnya manis, tutur katanya baik juga lembut, dia memiliki tata karma selayaknya aristrokat terpandang, dan idaman para ibu mertua. Rumor berkata tidak sedikit para putra Duke dan Marquess yang telah memberanikan diri untuk melamar gadis itu, tetapi Shannon selalu berhasil menolaknya dengan halus dan sopan. Sampai suatu hari dia menerima tawaran Ibunda agar dipertemukan dengan putra salah satu dari keluarga Duke, dan siapa sangka dia tidak menolak lamaran Jeon Jungkook.

Di matanya, Nona Shannon adalah gadis yang baik. Jeon Jungkook tidak berdusta sewaktu ia dapat terpana dengan pesona gadis itu, baik dari cara bagaimana dia tersenyum atau bertingkah laku. Benar-benar seorang lady yang terlatih sejak lahir. Nona Shannon tak pernah absen dalam menghadiri acara jamuan minum teh, jadi ketika dia meminta Jungkook memilih hari khusus sebagai waktu minum teh hanya untuk mereka berdua (supaya bisa mengenal lebih baik, perlahan saja dan tidak perlu terburu-buru, katanya), Jungkook mengiyakan.

Seperti Kamis sore ini, Jungkook sengaja mampir ke manor keluarga gadis itu, sudah hapal betul letak taman bunga dengan kebun labirin besar dan sebuah patio tempat mereka biasa menghabiskan waktu. Hari ini teh kamomil bersama kudapan manis, kek kecil, bahkan kumpulan macaron berpalet pastel. Warna, warna, Jungkook tertegun walau geriknya impuls meraih jemari Nona Shannon dan mengecup punggung tangannya singkat sebagai salam sapa, sementara sudut mata melirik kumpulan macaron di atas meja bertaplak renda; banyak warna, warna adalah Taehyung. Oh, astaga, di saat seperti ini ia mengingat Taehyung. Mendadak persaaan ingin bertemu―

"Bagaimana harimu, dear?"

Mungkin Nona Shannon tidak terkejut ketika bahunya agak tersentak tipis, tipis sekali, maka Jungkook lekas mengulas senyum simpul. "Baik. Tadi aku bertemu Nyonya di halaman depan, jadi maaf kalau agak terlambat, youngmiss."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, semoga Mom tidak cerewet lagi soal gaun dan dekorasi pernikahan. Waktunya juga kan masih lama." Tangan dikibaskan asal. "Silakan duduk, Jungkook."

Senyum Jungkook belum luntur, tetapi benaknya mulai melayang ke arah lain ketika ia menarik kursi dan duduk di hadapan lawan bicaranya.

"Hari ini habis mengunjungi toko lukisan favoritmu itu?"

Statis, jemari yang sebelumnya berniat meraih cangkir, terhenti sejenak. Jungkook mendongak ragu. "Toko lukisan?"

"Oh, maaf, James pernah bilang kalau kau cukup sering berkunjung ke toko lukisan di sudut kota itu, kemarin juga dia melihatmu. Hm, tapi aku tidak terlalu ingat namanya."

Kening Jungkook berkerut samar―James? Ajudan yang dipercaya untuk menjaga Nona Shannon? Cukup jeli juga. "Oh, toko lukisan, ya, ya. Aku memang sedang pesan lukisan yang cukup besar dan memakan waktu lama membuatnya, jadi aku sering pergi ke sana untuk memantau progres."

"Sebagus apa hasil lukisannya?"

"Kalau kau bertanya mengenai pendapat sesuai seleraku, youngmiss, sangat cantik―" senyumnya, kerlip matanya, derai tawanya, bahkan ekspresinya ketika orgasme. "―ya, sangat indah. Dan bercahaya."

"Maksudnya?"

Damn. "Maksudku, karena aku pesan lukisan dengan tema langit dan bintang, lukisan itu jadi terlihat bercahaya," senyum Taehyung di pagi hari, seperti polaris, "meskipun belum sepenuhnya selesai."

Suara tawa Nona Shannon mengudara renyah. "Kau benar-benar menyukai seni, ya."

"Sangat."

"Kapan-kapan boleh aku berkunjung?"

"... maaf?"

"Ke toko lukisan itu, aku penasaran seperti apa lukisannya, dan seniman yang membuat lukisan pesananmu. Boleh kan, Jungkook?"

Tapi Taehyung tidak boleh melihatmu, tidak pula dengan kau mengetahui eksistensi si seniman. Apalagi mengetahui tentang kau dan aku.

"Ya." Senyum hambar diulas paksa. "Tentu saja, Nona Shannon."

.

#5

"Kenapa harus Circinus?"

"Hm?" Kecup di pipi kanan, satu. Berpindah pada lipatan kelopak mata, dua. Jejak untuk pucuk hidung, tiga. "Apanya yang kenapa?" Empat di bibir ranum, kemudian lima menelusuri jenjang leher. "Kenapa pertanyaanmu random sekali sih, Tae."

"Aku cuma penasaran kenapa di antara delapan puluh delapan rasi bintang yang ada, kau pilih Circinus. Kenapa tidak Andromeda atau Cetus―oh, kalau tidak salah Cetus itu ikan paus, kan? Aku suka ikan pa―aw! Sakit! Gigitnya jangan keras-keras, bagaimana sih!" Pukulan telak di punggung Jungkook. "Turun dari atasku, kau berat."

Jungkook terkekeh pelan, tapi tidak melepas pelukan di sekujur tubuh Taehyung dan berguling ke samping kanan. Ranjang Taehyung tidak terlalu besar, tapi tidak juga sempit dan cukup menampung mereka berdua di atasnya.

"Aissh, kenapa senang sekali meninggalkan bekas di leherku, sih," sunggut Taehyung, mengusap sisi kiri lehernya lalu mendengus. Sesekali pukulan ringan mampir di puncak kepala Jungkook. "Untung sekarang musim dingin, jadi tidak usah kepasanan kalau pakai sweater tebal atau syal."

"Cerewet, kalau suka bilang saja,"

"Tapi perhatikan situasi juga, bodoh."

"Kalau begitu, kau ingin aku tinggalkan bekas di mana? Hm? Hm?"

"Cabul." Pukulan lain, kali ini mengenai bokong Jungkook.

"Hei!"

"Alah, bilang saja kalau suka."

"Kau benar-benar minta dimakan ya, ma chérie."

"Makanan banyak di kulkas, mon cher, cari di sana. Dagingku tidak enak." Suara tawa terselip ringan, Taehyung berhasil menahan tangan Jungkook begitu jemari-jemari pemuda itu mulai merambat di balik kaus dan menyentuh perutnya. "Jadi, kenapa Circinus?"

"Astaga, masih?"

"Penasaran."

Tanggapan awal Jungkook berupa dengus geli, ia menggeleng kecil sebelum akhirnya menjawab. "Tidak ada alasan khusus. Sembilan tahun yang lalu, kakek memberiku kompas sebagai hadiah ulang tahun yang ketujuh belas. Kompas itu adalah benda kesayangannya. Mungkin karena itulah aku memilih rasi Circinus―yang berarti kompas."

Bola mata Taehyung mengerjap, sekali, dua kali. "Sudah? Begitu saja?"

"Begitu saja."

"Aku pikir bakal ada makna lain,"

"Misal?"

"Yah, misal kompas itu adalah benda yang akan menuntunmu ke sebuah tempat rahasia penuh harta karun, atau ikan paus dan putri duyung, dan bla bla blaaa."

"Oh, benar juga, aku jadi ingat. Kompasnya memang menuntunku dengan baik sampai aku ingin selalu menghabiskan waktu dengan segala yang aku punya."

"Memang kau punya apa?"

"Kau."

.

#6

Jungkook lupa berpijak pada realita, ia lebih memilih tenggelam bersama angan dan mimpi-mimpi.

Ia juga lupa sang kakek pernah berkata bahwa bahagia selamanya itu adalah fana.

.

#7

Taehyung marah, jelas. Kecewa, tentu saja. Tetapi sebesar apa pun Jungkook mempersiapkan diri, sakit bercampur pedih yang melintas dalam bola mata sang seniman tetap berhasil melumpuhkan saraf di sekujur tubuh Jungkook.

Siapa yang akan menduga kalau Nona Shannon memutuskan berkunjung di kemudian hari, seorang diri tanpa Jungkook (bersama James, tapi dia tidak dihitung karena berjaga di luar), dan mudah sekali mengakrabkan diri, atau barangkali, karena sifat Taehyung-lah yang sangat supel sehingga Nona Shannon merasa nyaman dalam perbincangan? Sampai-sampai fakta bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang telah bertunangan dan berencana melangsungkan pernikahan tiba di telinga Taehyung.

Sewaktu Kamis sore berikutnya mereka kembali bertemu di jam minum teh dan mendengar cerita Nona Shannon, Jungkook masih bisa mengontrol diri. Walau separuh perbincangan mereka lebih banyak diisi oleh Nona Shannon dan gadis itu kerap kali mendapati Jungkook melamun atau lebih fokus pada pikirannya sendiri. Jungkook berhasil pamit lebih cepat dari waktu kunjungan, Nona Shannon tidak mempermasalahkan, dan kontrol diri Jungkook runtuh begitu melesat pergi dengan kereta kuda.

Toko lukisan tua itu tidak tutup, Taehyung masih berdiri di balik etalase kaca dengan celemek kotornya karena cat, dan mendongak spontan ketika bel berdenting nyaring. Palet mata sewarna mahoni miliknya tidak terkejut, tidak membelalak, tidak juga menajam saat menatap Jungkook. Tetapi Jungkook rasa semua kemungkinan tadi akan jauh lebih baik daripada mendapati luka di sana, perih yang melintas jelas, dan cengir sendu berbilur konfesi maaf.

Bukan, tangan Jungkook terkepal erat, bukan Taehyung yang seharusnya begini.

"Hai, Tuan Pengantin," sapa Taehyung riang, "kenapa masih ke sini? Lukisannya sudah selesai, kok. Tinggal diberi bingkai dan akan langsung dikirim ke manormu, kalau tidak besok paling lusa."

"Taehyung―"

"Aku masih ada pesanan lain, jadi maaf tidak bisa lama-lama menerima tamu. Oh iya, titip salam juga untuk Nona Shannon dan terima kasih atas tawaran acara minum tehnya, tapi aku tidak yakin bisa berkunjung. Baik sekali, Nona Shannon itu. Benar-benar calon istri idaman."

"Hei, sudah cukup."

Jungkook berhasil meraih kepala dan tubuh Taehyung, menariknya dalam dekapan kelu berbalut pilu, dan tidak mendapat penolakan. Namun pelukan itu tidak pernah dikembalikan seperti hari-hari sebelumnya, seperti malam di antara pijar lilin dan rasa dingin yang menusuk karena salju, atau aroma cat juga warna-warna yang berpendar. Tidak ada lagi jemari jahil yang menitik-nitik punggungnya hingga Jungkook tak pernah berpikir bahwa hal kecil seperti itu pun, bisa membuat dadanya begitu sesak.

"Harusnya tidak begini," bisik Taehyung parau, mengambil langkah mundur walau Jungkook enggan melepaskan peluk, tetapi ia juga statis ketika Taehyung meraih satu tangannya dan menaruh dengan sengaja di puncak kepalanya sendiri. "Harusnya aku tahu sejak awal kita ini berbeda, Jeon Jungkook. Seharusnya aku tahu."

Jungkook tak perlu menjelaskan dan Taehyung mengerti.

"Maaf Jungkook, maaf."

Bukan begini, Taehyung. Tubuh Taehyung kembali tenggelam dalam pelukan, Jungkook biarkan secuil kendali dirinya yang mulai rapuh semakin hancur (tapi siapa sebenarnya yang lebih hancur? Ia, atau Taehyung?), dan pundak Taehyung menjadi tempat bersandar untuknya―atau perlu ia sebut kembali dengan rumah? Sebab segala hal dalam diri pemuda di depannya ini adalah rumah. Tempat Jungkook berpulang dan merasa jatuh cinta berulang kali, lagi dan lagi.

"Bukan salahmu, Taehyung. Bukan salahmu." Salahku, salahku, salahku.

Namun, sekali lagi, pelukan Jungkook tak pernah dikembalikan.

.

Kala jemari kembali saling bertaut dan napas terengah melawan dingin, cahaya redup merembes di antara bayang-bayang gelap, Jeon Jungkook menaruh setiap keping memorinya rapat-rapat. Ia akan selalu mengingat bagaimana pergelangan tangan Taehyung yang terasa pas dalam genggaman, kecup terburu-buru atau nama yang tercekat di tenggorokan, setiap derit juga gesekan, bahkan tangis yang sengaja tak perlu disembunyikan.

Ia juga mengingat kalimat serupa yang kerap kali keluar dari bibir Taehyung. "Maaf Jungkook, maaf, maaf."

(Karena sejak awal kita jangan sampai terselip hati.)

(Tidak boleh ada hati yang ikut andil dalam hal ini.)

(Maaf.)

.

#8

Lukisan besar nebula mahakarya besar seniman Kim Taehyung dipamerkan pada sebuah acara pesta dansa di manor keluarga bangsawan Jeon. Nebula dengan puluhan rasi bintang, menarik dengan caranya sendiri dan siapa pun tahu lukisan itu akan setimpal dengan bayaran tinggi. Begitu sempurna, tanpa cela, tanpa cacat.

Selembar undangan tak luput juga dikirimkan kepada sang seniman.

Tetapi sosoknya tidak ditemukan ketika pesta berlangsung.

.

Pada sisi lain, undangan pesta dansa atas nama Kim Taehyung telah lama hangus menjadi abu, serpihannya tertinggal dalam perapian. Lenyap tak bersisa.

Dia lebih memilih untuk meringkuk dalam selimut tipis dibandingkan berkumpul dengan kaum borjuis yang hobinya memainkan perasaan manusia.

.

#9

Dan seperti inilah cara sebuah karma berjalan.

Satu minggu sebelum acara pernikahan berlangsung, perang dan tembakan diletuskan.

.

#10

Jungkook ingat ia telah memaksa ayah dan ibunya untuk mengungsi dengan kereta kuda lebih dulu, dan alih-alih berlari menuju tempat Nona Shannon berada, dia memutar arah mengikuti jejak peta dalam benaknya. Abai pada setiap jeritan, setiap letus mesiu yang dilepaskan, bahkan tak peduli seberapa banyak gedung terbakar atau mayat-mayat yang ia langkahi sampai kedua kakinya berhenti tak jauh dari toko lukisan tua. Ia menarik napas lega begitu didapatinya Taehyung, dengan begitu gesit dan impulsif, mengomando kerumunan orang agar mereka tahu jalur mana yang harus dilalui untuk bisa menyelamatkan diri.

"Taehyung!"

Tepat pada saat itu kericuhan semakin menjadi, sosok Taehyung sempat hilang ditelan khalayak, bulu kuduk Jungkook meremang cepat. Ia memaksakan diri menerobos kerumunan, berdesak-desakan, nyaris terjatuh, lupa pada dua kupingnya yang mulai berdenging ngilu akibat teriakan beserta letusan, berkali-kali, membabi buta, menguarkan bau tembaga bercampur anyir. Bau antara hidup dan mati.

Tangan Jungkook mencari-cari (ia selalu mencari, ia selalu berusaha menggapai Taehyung) hingga doa yang terus ia rapal dalam hatinya terkabul. Manakala ketika siku tangan Taehyung berhasil diraupnya dengan perasaan putus asa, tetapi juga seolah pusat dunianya berhasil ia raih. Bahu Taehyung tersentak, perlu sekiranya waktu setengah menit sampai akhirnya dia sadar Jeon Jungkook berada di sana.

"Kenapa―"

Ia tak memberi waktu bagi Taehyung menjawab, lalu menariknya supaya menepi sejenak dari kericuhan. Lima menit, batin Jungkook, berharap sekon jarum jam berhenti berdetik barang sejenak.

"Kita pergi dari sini, bersama. Cari stasiun kereta terdekat yang mana pun, asalkan bisa pergi dari sini."

Cekalan Jungkook ditepis Taehyung. "Kau sinting."

"Taehyung, Taehyung―demi Tuhan! Tidak bisakah kau mengerti?"

"Kau yang harusnya mengerti, Jeon Jungkook! Lihat dan pikirkan baik-baik kenyataan di depanmu! Kau punya hal yang tidak bisa ditinggalkan, apalagi dilepas cuma untuk orang sepertiku!"

"Taehyung―kau tidak percaya padaku?"

Kepala digeleng cepat, kedua tangan menutupi seluruh wajah. "Aku percaya―demi Tuhan, aku percaya, bedebah. Tapi juga kau harus sadar semua ini tidak semudah yang kau pikirkan."

"Kau takut."

Tawa sengau lolos. "Itu benar, aku takut. Dan kau harusnya sadar sejak awal semua ini salah."

Jungkook menggeleng cepat, kukuh menyeret Taehyung dan peduli setan dengan segala teriakan sekaligus penolakan pemuda itu, berlari menjauh dari kericuhan sembari memikirkan destinasi yang bisa dituju dengan cepat. "Salah atau benar, tidak ada yang sepenuhnya salah dan sepenuhnya benar di dunia ini, Taehyung. Kau takut, aku juga takut. Aku takut dengan semua ini, tapi aku lebih takut kau mati." Ia mendengar pekik kecil di belakangnya, barangkali Taehyung sedang berusaha menahan tangis. "Karena itu, aku mohon ya, pergi bersamaku."

Dalam hidupnya, Jeon Jungkook tak pernah benar-benar memohon dengan sebegitu putus asanya seperti saat ini. Ketika sang ayah meminta Jungkook mempersunting Nona Shannon, ia tidak memohon agar perjodohan itu dibatalkan. Atau ketika Nona Shannon tetap ingin berkunjung ke toko lukisan milik Taehyung, ia juga tak memohon agar gadis itu tidak perlu pergi apalagi sampai harus menemui sang seniman.

Akan tetapi, Kim Taehyung adalah anomali bagi Jeon Jungkook. Yang selama ini membuat Jungkook melakukan hal-hal tak terduga, melewati batas juga norma, mengabaikan segala doktrin, satu titik warna tercerah yang bisa ia lihat selain hitam dan putih.

"Jungkook, itu stasiunnya!" seru Taehyung, separuh lega dan separuh antusias.

Namun lega itu tak berlangsung lama begitu desing peluru kembali dilesatkan. Jungkook mempercepat laju lari, genggamannya di jari Taehyung begitu erat, berjaga agar tidak terlepas sewaktu-waktu. Ia sudah memperkirakan situasi peron stasiun kereta api akan jauh lebih ricuh; lalu-lalang manusia penuh ketakutan, berteriak, menangis demi mempertahankan nyawa masing-masing. Mereka berhasil tiba di lintas batas kereta api yang belum melaju, terkubur sesak dengan tubuh-tubuh penuh keringat, dan Jungkook refleks melingkarkan lengan di sekeliling bahu Taehyung. Mendorong pemuda itu ke depan agar mendapat pasokan oksigen lebih banyak.

Biarkan kami hidup, biarkan kami hidup, teriakan menggema, saling berebut untuk bisa mendapat tempat dalam kereta. Detik kemudian, peluru lain meletus.

Bawa anakku lebih dulu.

Kami tidak ingin mati.

Biarkan kami masuk.

Buku-buku jari Jungkook mulai memutih.

"Jungkook, kau masuk lebih―"

"Taehyung dengarkan aku baik-baik," selanya cepat, memutar tubuh Taehyung dan mencekal kedua bahu pemuda itu agar menghadap Jungkook langsung. "Kau harus tetap hidup."

Bola mata Taehyung membelalak. "Jangan bicarakan hal―"

"Kau harus hidup dengan atau tanpaku, Kim Taehyung! Dan ingat ini baik-baik, kau tidak pernah salah Taehyung, perasaanmu, perasaanku, tidak pernah ada yang salah di sini. Maaf, maaf membuatmu menangis malam itu dan aku mohon―demi Tuhan―aku mohon padamu Taehyung," tangan kanan Jungkook terangkat untuk menutup kedua mata Taehyung, sebelum kemudian ia berikan kecupan domestik di bibir ranumnya yang terasa dingin. "Aku titip seluruh hidupku di sini."

Jungkook menekan dada Taehyung lembut, yang selang sekon kemudian ia berhasil mendorong tubuhnya dengan paksa untuk menaiki dua anak tangga kereta sampai akhirnya terseret karena tekanan massa dari arah yang sama. Ia mendengar Taehyung berteriak, memanggil namanya tanpa henti (Jungkook, Jungkook, Jeon Jungkook!), semula terdengar jelas, lalu samar, bertambah kecil, berakhir hilang dalam sekejap mata. Di tengah keributan jerit para manusia dan setiap peluru yang meletus-letus itu, kereta berhasil dioperasikan. Asap hitam melambung perlahan-lahan, jeritan khas menggema, mengalahkan ribuan jeritan juga lesitan mesiu, derak roda yang berputar cepat, cepat, dan semakin cepat hingga kereta melaju lancar di sepanjang rel. Meninggalkan jejak tak pasti, meninggalkan stasiun secepat mungkin.

Dan Jeon Jungkook berdiri di sini. Ia telan segala desing tembakan bertubi-tubi bersama pekik ngilu meminta pertolongan.

Dan membiarkan nyeri mulai merambati dada hingga sekujur tubuhnya.

.

Karena esok, Jungkook mungkin akan melihat senyum lebar di wajah Taehyung yang lebih cerah dibandingkan rasi Circinus.

.

.

.

.

.

.

.

.

#

"Hebat sekali, lukisan yang dibuat Herr Taehyung itu. Dia benar-benar seniman sejati."

"Seniman, ya. Pantas saja dia kelihatan kurang waras begitu."

"Hush! Lain kali gunakan mulutmu itu dengan benar."

"Kenapa jadi aku yang disalahkan? Orang-orang desa juga kan sering bergunjing tentang Herr Taehyung. Dia lebih senang menghabiskan waktunya bersama kaleng cat dan kuas-kuasnya. Yah, memang orangnya masih bisa diajak bicara sih, tapi kalau sudah sibuk sendiri, dia lupa sekitar."

"Tetap saja, menyebutnya dia kurang waras sama sekali tidak sopan."

"Baiklah, baiklah. Dan iya, lukisan Herr Taehyung memang bagus, aku akui."

"Aku pernah berkunjung ke rumahnya, dan ada satu lukisan yang besaaar sekali,"

"Sepertinya aku belum pernah lihat."

"Herr Taehyung bilang dia tidak terlalu ingin memamerkannya ke publik, tapi aku senang punya kesempatan buat lihat yang satu itu. Benar-benar masterpiece! Sewaktu aku tanya apakah lukisan itu diberi judul, dia cuma mengangguk."

"Lalu dia memberitahumu?"

"Tidak jadi, soalnya Herr Taehyung langsung melamun lagi, terus bilang akan buat teh. Tapi aku sempat mengintip bagian belakang lukisannya, ada tulisan kecil di sana,"

"Apa katanya?"

"Circinus. 30 Desember, 10 tahun yang lalu."

.

Ada sebuah rumah di puncak bukit, terlihat kesepian walau terkadang orang-orang bisa sengaja berkunjung. Penghuninya adalah seorang seniman yang tidak terlalu banyak berinteraksi, tetapi dia mudah sekali kalau ingin mengulas senyum. Setiap dinding rumah itu penuh dengan lukisan, baik yang telah selesai, baru setengah jadi, maupun kanvas-kanvas yang sudah lama berdebu.

Kemudian, di antara puluhan bahkan ratusan lukisan yang terpajang, satu lukisan sengaja dia simpan secara tersembunyi. Lukisan yang akan dia pandangi kala malam terasa panjang, teringat akan memori lama, tergerus lini masa, bagai lembar potret sepia dimakan waktu.

Lukisannya berkisah seorang tuan muda kecil, berdiri memandangi lanskap nebula dengan rasi Circinus dalam bingkai berpelitur mahoni, dan di genggaman tangan kirinya terdapat kompas yang telah rusak.

.

[selesai]

terima kasih kepada para panitia (BananaJJKTH nutaeto hyyeye whitaee ohsehan97) yang sudah menyelenggarakan #kookvevent2019 ini <3

a/n : hai!

tradisi tiap taun, akhirnya bisa nulis ff ultah taehyung lagi :") dan sekarang saya ga mepet banget huehue. kalo di sebelum-sebelumnya saya biasa pake sudut pandang taehyung, sekarang saya coba pake sudut pandang jungkook, semoga bisa dinikmati ya heuheu. buat sekarang saya ga akan protes dulu soal petasan malam taun baru, soalnya bulan ini saya akhirnya bisa beres sidang TvT /yhaaa. dan selamat hari lahir buat ma cinnamon roll kim taehyung asddfghjkkl sumber inspirasi saya ;;;;;

terima kasih sudah menyempatkan mampir! :D

Continue Reading

You'll Also Like

17.3K 1.5K 5
"Seperti yang kuduga," tukas Jungkook, sedikit merasa bangga akan konklusi sebelumnya. "Kau itu pembawa sial, Kim Taehyung." . . . [kookv. jeon jung...
64.6K 9.1K 48
Taehyung tidak pernah mempercayai dunia di luar pemahamannya sebagai seorang manusia. Namun, semuanya berubah ketika dunianya dan dunia para Teon ata...
33.3K 3.4K 21
Tentang Jeon Jeongguk, bocah berusia delapan tahun yang harus pindah ke Los Angeles, mengikuti orangtuanya. Hidupnya yang sepi, penuh dengan penindas...
3.2K 333 9
Melanjutkan kisah Wedding Prince Season 1 18+ Boys Love Story Boleh baca Season 1 dulu kalo belum baca.