Once In A Blue Moon [JAEYONG]✅

By gsilveryss

5.3K 789 95

FRIENDZONE Jaehyun dan Taeyong itu saling suka. Mereka sering bertukar pesan dan kadang kala memberi perhatia... More

Prolog
Di Ujung Pandang
New!!!!!
Gerhana
The Story Never Ends

Halte

1K 156 10
By gsilveryss

Langkah yang awalnya statis, makin cepat, lama-kelamaan berlari, diiringi rintik hujan menumbuk tanah, kemudian menderas. Burung gagak berkoak berisik di langit mendung, terbang menerjang derai air hujan. Semerbak tanah yang terguyur rerintik mengguar kemana-mana, terinjak kaki-kaki menghentak terburu mencari perlindungan. 

Kota ini sedang merasakan guyuran hujan tiba-tiba di musim panas yang terik.

Seorang remaja laki-laki berlarian menuju sebuah halte, melompat; melewati genangan; elok sekali. Tasnya dijadikan penutup kepala, takut-takut kehujanan dan sepulangnya sakit kepala. Umpatan halus terlontar mulus dari bibirnya.

'Bukan begini seharusnya,' pikirnya ringan.

'Harusnya aku sudah mencapai pagar rumahku tanpa hambatan seperti hujan. Bukan malah begini.'

Tubuhnya menerjang penghujung sisi halte, melompat tepat pada tempat kosong, menabrak sedikit seorang pria yang berdiri di depannya dan menggumamkan maaf. Harusnya dia tidak perlu ikut-ikutan rusuh berhimpit bersama lautan manusia yang meneduh di halte penuh sesak ini dan menunggu bus menuju tempat mereka tinggal.

'Kalau saja aku tidak meminjamkan mobil pada bocah mengesalkan satu itu, mungkin aku sudah tidur di rumah,' batinnya lagi menggerutu.

Seragamnya sudah setengah basah, lengannya memeluk dirinya sendiri, mencari kehangatan walau tidak menghasilkannya barang sedikit. Ia melirik usil orang-orang yang saling himpit.

'Ramai sekali,' pikirnya bodoh. Salah siapa kau pulang tepat saat jam pulang kerja? Dasar Jaehyun.

Bola matanya masih bergerak nakal untuk meneliti satu persatu manusia yang berjejer menghindari hujan. Sampai pandangannya berhenti pada seorang pemuda yang baru saja menginjak penghujung halte bersebrangan dengannya. Terlihat sekali tubuhnya basah
kuyup—entah karena dia tidak ingin mengorbankan tas di pelukan sebagai penutup kepala atau apa—bibir pemuda itu mengerucut, mungkin ia kesal harus berakhir kehujanan.

Diam-diam Jaehyun mengagumi. Betapa lucunya sosok di sebrangnya satu itu. Betapa imutnya, betapa manisnya, betapa cantiknya, betapa ayunya, betapa- betapa lucunya, betapa cantiknya, betapa man—bahkan Jaehyun lupa sudah memikirkan ulang kalimat yang sama.

"Mungkin aku sudah cukup beruntung," cengirnya pada diri sendiri. Jaehyun yakin dia sudah dianggap gila oleh beberapa orang di sini.

"Yah.... Bisa jadi hanya kali ini."

Miris memang, mengingat Jaehyun hanya dapat memandang seorang Lee Taeyong dari kejauhan saja. Seingatnya memang begitulah mereka berdua.

Pandangi saja. Tidak perlu dekat-dekat. Bukan siapa-siapanya

Tapi Jaehyun tidak tahu, manusia indah di sebrang sana berpikiran sama seperti dirinya atau tidak. Jadi, jelas belum pasti. Mungkin hanya Jaehyun yang sering menatapinya di kejauhan, mungkin.

"Ah, sudahlah...," Jaehyun menghela napas separuh pasrah. Bukan saatnya bagi Jaehyun untuk meratapi garis takdir cintanya yang bodoh ini.

Sepersekian detik sebelum Jaehyun mengalihkan pandangannya pada sepatu putihnya yang berlumpur, matanya membola. Tolong pegangi Jaehyun, sepertinya setelah semua ini, ia tidak sadarkan diri—sebab pemuda di sebrang sana baru saja mengalihkan pandang ke arahnya—hal yang tentu saja berunsur ketidak sengajaan, dan Jaehyun senang sekali. Ia diam sembari bersyukur, mencoba menentramkan gemuruh jantungnya agar lebih tenang sedikit sembari merapal doa semoga ia berkedip dengan benar.

Senyum.

Jaehyun lupa di detik keberapa ia berhenti bernafas.

"Jaehyunnie," senyum lagi. Sebenarnya, Jaehyun tidak mendengar itu, tapi dilihat darimana pun, bibir merah muda milik insan cantik di kejauhan mengisyaratkannya. Ya Tuhan, bisa-bisa Jaehyun mati mendadak kalau ditimpa kemanisan beruntun.

Taeyong masih saja tersenyum lucu, sedangkan Jaehyun sama sekali tidak berusaha membalasnya. Peduli apa! Jaehyun masih harus berusaha menenangkan dirinya, meski ia sendiri terus bertukar pandang dengan kakak kelas manisnya. Merasa sudah cukup atas kebahagiaan yang luar biasa, Jaehyun mengakhiri tautan mata mereka dengan melontarkan senyum sekilas dan menunduk untuk menetralkan gemuruh jantungnya.

"Tidak terpikirkan olehku, dia sudi melihatku," gumamnya sendirian.

Sekalipun Jaehyun menunduk, ia tidak bisa menyembunyikan tubuh tingginya di kerumunan ini, karena Jaehyun sendiri sama sekali tidak yakin ia berhasil lari dari pandangan kakak kelasnya yang manis.

Lamunannya buyar ketika dengan tiba-tiba tubuh tegapnya terdorong sedikit—tepat ke ujung halte—terjadi karena Jaehyun tulus ikhlas melepaskan penjagaan akan tempatnya untuk berteduh ketika seorang nenek-nenek ikut menepi di bawah halte kecil ini.

Terlalu hanyut dalam pikirannya, Jaehyun lupa kalau saat ini hujan dan tiba-tiba saja bahu kiri Jaehyun sudah terguyur rerintiknya. Pasrah, Jaehyun menyandarkan punggungnya pada tiang halte—sedikit tidak terima, tapi itu salahnya sendiri karena rela didesak orang-orang di sini, walau pun dia tidak ingat kapan tergusur dari tempatnya berdiri—kelopak mata Jaehyun tertutup perlahan, ia menarik nafas dalam, mencari sisa-sisa aroma guyuran hujan yang menghantam tanah dan jalanan aspal.

Decitan ban yang dihentikan kasar berdengung kecil di telinga. Jaehyun mengernyit, membuka mata. Bukan bus jurusannya, rumah Jaehyun ke arah timur.

Intinya, banyak orang kembali bersumpekan memasuki dan mendorong satu sama lain untuk mencapai pintu bus, Jaehyun bisa lihat nenek-nenek, yang tadi menggesernya, terombang-ambing di tengah kerumunan. Begitu tidak perdulinya orang-orang di sini?

Jaehyun berdecak lalu menghampiri si nenek dan memegang pundaknya, "Mari Nek, kita dorong balik para manusia kolot ini." 

Nenek itu mengembangkan senyum kecil ke arah Jaehyun, yang dibalas senyum berlesung teramat manis darinya. Barulah Jaehyun mulai mendorong orang-orang dengan gemas dan melindungi si nenek dengan bahu lebarnya, saling sikut sana-sini, bahkan Jaehyun bisa menghirup aroma apak dari kerumunan manusia pekerja yang memilih saling mendorong kasar. Jaehyun tidak perduli tatapan kesal orang lain, karena prioritasnya sekarang adalah mengantar nenek ini sampai ke pintu masuk bus.

"Sampai. Semoga selamat sampai tujuan dan—oh, nikmati perjalananmu."

"Terimakasih, Nak." 

Jaehyun tersenyum sekilas dan berlari menerobos manusia-manusia yang menghalanginya untuk keluar dari kerumunan sebelum mencapai tiang halte tempatnya tadi, dan menyandarkan punggungnya, mencari kenyamanan. Matanya kembali memejam, menarik napas untuk menikmati aroma rerintik hujan yang jatuh ke permukaan berpori dan mengeluarkan aerosol. Suasananya tenang sekali, karena hanya ada beberapa orang di halte sekarang, sampai-sampai Jaehyun terbuai nyaris tenggelam ke alam mimpi.

"Bukankah di sini tenang sekali Jaehyun-ah?" Jaehyun membuka mata, terkejut bukan main ketika mendapati kursi halte di sebelah Jaehyun, di bagian paling ujung yang berada dekat dengannya—ada kakak kelasnya yang ayu terduduk tenang. Posenya lucu sekali, kedua tangannya ada di atas pangkal paha dengan jemari mengepal sebagai penyangga.

'Sial, kenapa ia belum pulang?'

Jaehyun benar-benar harus mengalihkan atensinya ke arah Taeyong, maka ia memberanikan diri menoleh sedikit kaku.

'Tolong aku tuhan, kenapa harus manusia satu ini.'

Dan kerika dirinya betul menoleh, Jaehyun disambut oleh senyuman yang—hhh—sangat cantik.

"Kau baik sekali, Jae...," ujar Taeyong dengan halus mendayu. Jaehyun tidak lagi mendengarkan pujian yang kakak kelasnya itu berikan. Kepalanya super pusing karena dipenuhi perasaan membuncah yang terlalu sulit ia kendalikan.

'Ya Tuhan, dari sekian banyak orang, kenapa harus dia?' batinnya frustasi.

"Maksudmu?" Jaehyun tidak pernah sadar akan nada suara yang ia gunakan bila Jaehyun berusaha menyembunyikan kebahagiaan dalam dadanya, sehingga tanpa sadar ia selalu menggunakan intonasi berat dan sedikit malas-malasan hanya pada Taeyong, si pujaan hatinya seorang.

Taeyong makin mengembangkan senyumannya, "Tadi kau membantu nenek-nenek menerobos masuk ke dalam bus kan? Jaehyun baik sekali tahu!" Taeyong menunjukan cengirannya, geliginya menyembul, lucu sekali. 

Melihat tindak tanduk kakak kelasnya yang mirip kucing—membuatnya ingin memiliki—Jaehyun tidak bisa menahan kedua ujung bibirnya untuk tidak melengkung membentuk kurva amat indah di mata Taeyong.

.

Bagi Taeyong, Jaehyun itu sangatlah mempesona, luar biasa tampan, ciptaan tuhan yang dirasa diluar nalar. Maka ketika Taeyong menemukan lekungan menawan itu terlukis apik di paras adik kelasnya, ia kembali menebar senyuman penuh pesona miliknya.

"Hng. Ya...," setelah satu patah kata terdengar dari mulut Jaehyun, Taeyong tidak lagi bicara, hanya keheningan dan lirihan rerintik hujan yang makin melambat.

.

Jaehyun menormalkan detak jantungnya—memejamkan mata lagi berusaha menutupi rasa bahagia dalam pikiran serta relung hatinya—dengan kembali menghirup dalam-dalam sisa harum aroma air hujan menghantam tanah untuk ketiga kalinya. Jaehyun yang tidak bisa menahan desir menyenangkan pada sekujur tubuhnya, tanpa sadar terus menyunggingkan senyum tipis. Sungguh, si manis akan menyesal tidak memperhatikan hal ini.

.

Sedangkan Taeyong hanya dapat memfokuskan pandang ke arah pepohonan rimbun di sebrang jalan yang dedaunannya diguyur segarnya tangisan langit. Taeyong jadi berpikir, mungkin akan menyenangkan sekali merasakan tetesan air hujan yang jatuh tepat di wajah—ia berniat untuk berlari basah-basahan lalu menghampiri salah satu pohon untuk dipeluknya erat—tetapi Taeyong mengurungkan kemauannya, sebab ia yakin betul akan dikatai gila jika melakukannya. Jelasnya, si manis ini keterlaluan bahagianya dan teramat menikmati hujan di musim panas pertama, lebih-lebih karena keberadaan adik kelas tampannya di sampingnya.

Sebenarnya, Taeyong tidak menyadari mengapa ia menarik diri mendekat pada sang pemuda tampan, tubuhnya seperti tergerak sendiri, sebab tau-tau saja dia sudah mendapat seuntai kalimat pendek setengah ketus—jawaban dari Jaehyun—yang menyebalkan.

Taeyong pribadi, sebenarnya oke saja berbicara dengan adik kelasnya itu, namun ia cukup menyesal sekarang karena dirinya tergerak menuju Jaehyun dan mengajaknya bicara, sebab saat ini di sekitar Taeyong, semuanya terdengar amat sangat hening!

Dalam hati Taeyong merutuk. Kesal mengapa harus hujan. Kesal mengapa bus ke arah rumahnya lama sekali datangnya, kesal kenapa orang di depan halte terus diam. Ah, Taeyong jadi ngelantur.

Menjadikan Taeyong dalam masa perang batin untuk berusaha menghancurkan keheningan mengesalkan yang telah dengan teramat jahat melingkupi mereka berdua, atau memilih benar diam saja. Sebelum akhirnya, manik indahnya mencuri pandang pada adik kelasnya yang menarik napas dalam.

'Apa Jaehyun menikmati hujan juga?'

Taeyong tidak sadar kelopak matanya sudah terlalu membuka—melotot penasaran ke arah Jaehyun yang sedang terpejam tenang.

"Apa Jaehyunnie menikmati harum hujannya?" katanya. Setelah mengucapkan itu, dalam hati, Taeyong mebodoh-bodohi diri sendiri karena terlalu penasaran. Mulutnya memang tidak bisa dijaga. Taeyong mendadak menyesal memiliki tingkah yang keterlaluan jujurnya.

.

"Tentu saja. Kau bisa mencium aroma tanah ketika hujan mengguyur. Bukan begitu?"

Jaehyun bisa melihat, kakak kelasnya yang cantik mengangguk putus-putus.

'Sepertinya dia gugup,' pikirnya pendek.

.

"E—eum," maka jawaban gugup dari Taeyong adalah hal terakhir yang mereka bicarakan di halte saat itu, sebab deru mesin bus yang datang kembali memecah keheningan bodoh diantara keduanya.

Mereka berdiri dan beranjak masuk ke dalam bus. Keduanya punya jurusan bus yang sama—memang—tapi bagi Taeyong maupun Jaehyun, mereka sama-sama tidak bisa membunuh jarak tempat duduk yang membuat mereka terpisah.

.

.

.

.

Maka dihari ini, Jaehyun tidak menyesal.

Jaehyun tidak menyesal bahan bakar mobilnya disedot habis oleh sahabat bodohnya.

Jaehyun tidak menyesal pulang kehujanan.

Jaehyun tidak menyesal menolong nenek-nenek yang mendorongnya mendekati guyuran hujan.

Bahkan Jaehyun tidak menyesal mendapati dirinya harus terduduk penuh sesak di bagian penghujung bus.

Jaehyun tidak menyesal.

Dia super ikhlas menerima itu semua.

Karena kakak kelas manis di tempat duduk yang terbatasi empat pasang kursi di depan Jaehyun.

.

.

.

.

.

Vomentnya kawan:)

Continue Reading

You'll Also Like

29.2K 3.9K 5
Judul Baru dari ff ' I need you in My Bed ' JaeYong
2.6K 569 16
cuma boncengan doang, kok bisa jadi pacar?! PLEASE IF U READ MY STORY, DON'T FORGET SUPPORT ME, SHARE/FOLLOW/VOTE/COMMENT -!!! THANK YOU SO MUCH ©202...
150K 22.7K 12
❝Public Relations is the person responsible for maintaining the image of a company❞ M/M | GENFIC | POLYSHIP | NC-17 Jung Jaehyun, seorang Public Rela...
17.9K 1.2K 24
jaemin dan jeno memiliki perbedaan yg sangat jauh jika dilihat dari posisinya, jeno seorang pangeran mahkota dan jaemin seorang pelayan kerajaan. Sa...