Bye My First

By hon3ybush

19.8K 2.2K 366

Donghyuck benci Mark Lee. Dia punya senyum yang aneh, suka menyendiri di kamar dengan Max--pomeranian kesayan... More

I. Last Christmas
II. Get Over It
III. BFG and Matilda
IV. Graduation
VI. Mark si Singa Kecil dan Teman-temannya
VII. New Space, Still on the Same Page
VIII. Jeno dan Jaemin 2
IX. Date
X. Last Christmas (Two Years Ago)
XI. Jeno dan Jaemin: Start!
XII. Dog Days are Over (Part 1)
XIII. Dog Days are Over (Part 2)
XIV. A Letter
XV. Before Christmas
XVI. This Christmas
A Mark on History (Part 1)

V. Jeno dan Jaemin

1.3K 155 24
By hon3ybush

a/n : halo semua. terima kasih atas komen dan votenya untuk chapter-chapter lalu. chapter ini mau menyelesaikan side pair Jeno dan Jaemin. Beberapa diambil dari sudut pandang orang-orang di sekitar mereka. enjoy!

...

Kalau boleh jujur, Donghyuck itu muak melihat dinamika hubungan Jeno dan Jaemin yang begitu-begitu saja. Menurut cerita dari berbagai sumber (termasuk orang yang bersangkutan), mereka berdua sudah menjadi teman sejak usia lima tahun. Jeno yang pemalu dan menyukai kucing, dekat dengan Jaemin yang seperti bola pantul (begitu panggilannya dahulu).

Lalu, Jaemin harus pindah ke Busan setelah naik ke kelas tiga sekolah dasar.

Kata orang-orang di sekitar, bahkan kata keluarga mereka, Jeno dan Jaemin adalah soulmate.

Keduanya dipertemukan kembali saat awal tahun kelas tujuh. Jeno yang terkenal dan alergi kucing kembali dekat dengan Jaemin yang senang bersembunyi di perpustakaan sekolah.

Jeno tidak bisa menahan perasaannya yang menggebu-gebu khas anak remaja. Donghyuck ingat pertama kali pindah ke Seoul, menjadi murid SMA, dan memiliki teman sebangku bagaikan karakter fiksi. Begitu istirahat pertama dimulai, teman-teman sekelasnya menghampiri bangku Jeno. Mereka antusias mengajak makan siang bersama atau menawarkan bekal yang dibawa dari rumah.

Saat itu Jeno hanya menolak halus, dengan senyum menyilaukan. Dia pergi entah kemana, dan kembali tepat saat bel pelajaran dimulai berdering.

Terus begitu selama satu minggu. Sampai Donghyuck bertanya ke mana teman sebangkunya pergi saat jam istirahat.

"Kau mau ikut?" Jeno bersemangat menawarkan.

Donghyuck yang penasaran, tentu saja mengangguk cepat.

Lalu, Jeno membawanya ke kantin. Dia membeli dua rol kimbap dan sekotak jus. Mereka tidak makan di sana, anak laki-laki itu dengan cekatan melewati ombak murid-murid yang memenuhi kantin. Mereka berhenti di ujung tangga belakang gedung sekolah--yang mana menghadap gudang dan halaman tidak terpakai.

Di bawah tangga, seorang anak laki-laki duduk di sana. Beberapa kardus tidak terpakai menjadi alas, sepasang sepatu dengan rapi diletakan di pinggir.

"Oh?" Laki-laki itu mengamati wajah Donghyuck, terlihat tidak nyaman.

"Jaemin, ini teman sebangku yang kuceritakan," Jeno melepas sepatunya asal, ikut duduk di samping si laki-laki asing.

"Ah. Kenalkan, Na Jaemin." Dia membungkuk sekilas, Donghyuck mengikuti.

"Apa tidak mengganggu?" Padahal dia bukan orang yang memikirkan hal seperti itu. Tapi, melihat wajah lelah Jaemin membuatnya gelisah. Mungkin saja lelaki itu sedang sakit.

"Tidak apa," Jaemin yang menjawab.

"Duduk saja, Donghyuck. Sebentar lagi teman-temanku yang lain akan datang, nanti kau tidak bisa duduk."

Karena rasa sayang Jeno yang begitu besar pada Jaemin, Donghyuck dapat berkenalan dengan teman-temannya yang berharga--termasuk Mark Lee.

Selain menghabiskan waktu di kolong tangga hanya untuk menemani Jaemin, Jeno sering kali menginap di rumahnya untuk menghabiskan malam dengan memuji lelaki yang ia sukai. Mungkin di akhir semester, dia bisa menghafal seluruh pujian dan ungkapan perasaan Jeno mengenai Jaemin.

"Donghyuck, Jaemin padahal tidak suka kucing! Tapi tadi, dia mengirim foto kucing di jalan padaku. Bagaimana ini?" Jeno meski sudah mengalami kejadian yang sama ratusan kali, tetap mengatakannya dengan nada merana.

Atau, pujian yang paling sering dia dengar: "Senyum Jaemin manis sekali."

Padahal, kalau tidak bersama teman-teman dekatnya, Jaemin jarang tersenyum.

Di akhir kelas dua SMA, semua itu hilang begitu saja. Seolah perasaan yang Jeno rawat selama empat tahun lebih mati dalam semalam. Jeno dan Jaemin tetap akrab, tetap menghabiskan waktu istirahat berdua, tetap bertukar tatapan seperti orang bodoh.

Tapi, Jeno tidak lagi menghabiskan hari minggu menginap di rumah Donghyuck untuk bercerita tentang Jaemin. Sementara teman mereka, Na Jaemin, semakin menutup diri.

"Aku bilang suka padanya," aku Jeno setelah bungkam seminggu penuh.

Donghyuck melotot tidak percaya, menatap wajah menyedihkan temannya.

"Lalu?"

"Tidak lalu-lalu. Hanya itu."

Donghyuck yang tengah sayang bukan main pada Mark, ikut panik dan ketakutan. Saat itu dia belajar kalau saling menyukai tidak cukup untuk menjadi alasan dalam menjalin hubungan.

.

.

.

Mungkin Mark masih memiliki sisa-sisa perasaan pada Donghyuck. Mungkin Mark juga masih menginginkan hubungan mereka berlanjut.

Namun, entah apapun alasan pria itu, mereka tidak bisa bersama.

Seperti Jeno dan Jaemin.

.

.

.

Seminggu setelah menjadi mahasiswa--dalam tujuh hari--, Na Jaemin berhasil mendapatkan teman kencan untuk acara angkatan mereka.

"Aku pergi dengan teman kencanku," katanya santai.

Donghyuck mengira-ngira, manakah yang lebih buruk bagi Jeno: Jaemin yang sekolah di luar negeri atau dia di sini berkencan dengan orang lain.

Jeno cepat-cepat mengucapkan selamat padanya, menepuk pundak Jaemin bangga.

Donghyuck hanya menatap tidak percaya pada temannya itu.

Kalau saja Renjun masuk ke universitas yang sama dengan mereka, dia pasti sudah mengeluarkan kata-kata tajam atau menendang kaki Jeno.

"Kalian akan ikut klub apa?" Donghyuck segera mengalihkan topik pembicaraan.

Jaemin yang dahulu anti berada di tengah orang-orang asing menjawab, "Fotografi"

Sementara Jeno menjawab menggunakan nada datarnya, "MMA"

Tidak menduga akan jawaban kedua temannya, Donghyuck yang merasa tertinggal akhirnya mendaftar klub bowling. Padahal bermain saja tidak pernah, mengerti aturan permainan pun tidak.

.

.

.

"Kita mau ke mana?" Donghyuck mengaitkan lengannya, pipi bersandar di pundak sang kekasih.

"Ada tempat bowling baru di daerah Namsan. Mau coba?"

Membuka mata, dia mencoba membaca wajah Mark. Daripada kencan di tengah keramaian, Donghyuck lebih senang berada di kamar kekasihnya yang memiliki aroma musim semi, atau duduk-duduk di taman. Membaca wajah Mark Lee tidaklah sulit. Dia senang mengekspresikan perasaannya dengan kedua alis juga bentuk bibir. Kalau sang kekasih memang ingin, dia akan mengiyakan ajakan lelaki itu. Kalau ini hanya sebuah ide asal lewat, Donghyuck lebih memilih bermalas-malasan saja berdua.

"Kalau kita pelukan seharian di kamar, lalu makan di mini market tengah malam nanti, bagaimana?" Dia meraih tautan jemari mereka, membawanya ke depan bibir.

"Maksudmu menghabiskan hari libur seperti biasa?" Mark tertawa, membiarkan sang kekasih mencium punggung tangannya.

Donghyuck hanya mengangguk, tubuh mendekat sampai ia bisa merasakan hembusan napas Mark menerpa puncak kepalanya. Dia mendesah lega, damai.

"Aku masih rindu."

Mark tertawa lagi, kali ini mengeratkan pelukan. "Miss you too."

.

.

.

Jeno menoleh, mengamati pemandangan di balik jendela kafe. Warna jingga tumpah di atas langit, lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Donghyuck mengikuti arah pandang temannya, melihat ramai pejalan kaki melewati mereka. Ada rasa khas tiap kali dia memandang kosong ke arah jalanan, yang dulu dia sering lakukan ketika tidak memiliki kegiatan apapun. Minum segelas coklat hangat, jemari bertautan manis dengan jemari sang kekasih di atas meja.

"Jadi, bagaimana?" tanyanya pelan, takut.

Menoleh, Jeno menatap temannya. Wajah pria itu terlihat lebih tenang, membuat Donghyuck sadar bahwa mereka memang sudah tumbuh menjadi dewasa.

"Tidak ada. Tidak ada yang bisa atau harus aku lakukan."

Namun, mendengar suara sengau Jeno membuat Donghyuck marah. "Bullshit. Kau bisa melakukan sesuatu! Semua orang tahu kalian saling menyukai. Optimis sedikit! Berusaha sebelum menyerah. Paling tidak, kau tidak akan menyesal nantinya."

Oh, betapa mudah ketika memberikan solusi pada orang selain diri sendiri.

"Apa Jaemin pernah membahas perasaan kalian? Pernah mengatakan sesuatu tentang kau yang bilang suka padanya saat kelas sebelas? Kalau dia tidak mengatakan apa pun, kau berhak mencoba, 'kan?"

Donghyuck sangat menyayangi Jeno. Mungkin lebih dari perasaan cintanya pada Mark. Sebab begitulah perasaan pada keluarga. Perfectly accepting the imperfections. Donghyuck belajar hal ini ketika dia cemburu buta pada sahabat Mark di Kanada.

Sekarang, Jeno tidaklah bahagia. Sejak kelas sebelas, dia lebih pendiam. Lebih banyak mengamati. Seperti Jaemin yang memiliki panggilan 'Bola Pantul' menjadi 'Hantu Perpustakaan'. Padahal menurut Renjun dan Mark, Jeno termasuk anak yang optimis dan selalu bersemangat.

"Cobalah. Demi aku?"

Jeno menurunkan pandangan, menatap Donghyuck yang menangkup kedua tangannya penuh keyakinan.

"Kalau kencan Jaemin nanti tidak berakhir ke mana-mana, aku akan mencoba."

Jawaban itu menghasilkan senyuman lebar dari Donghyuck.

.

.

.

Helaan napas yang menggema di dalam kamar membangunkan Jeno. Dia menatap langit-langit yang gelap, berpikir keras mengenai apa yang harus dikatakan.

"Tidak bisa tidur?" akhirnya dia bertanya.

"Hm," jawaban dari ranjang di sampingnya terdengar.

Penasaran, Jeno berbaring menghadap ke samping, mendapati Jaemin yang sudah sejak tadi berbaring menghadapnya.

Padahal mereka selalu tidur di ranjang yang sama saat menginap. Namun sejak Jeno mengungkapkan perasaannya, dia sendiri yang memilih untuk memberi ruang bagi Jaemin. Entah di rumahnya atau di rumah lelaki itu, dia akan menggelar kasur lantai dan tidur di sana.

Jeno sama sekali tidak mau memberatkan atau membuat tidak nyaman sahabatnya. Dia ingin menunjukkan pada Jaemin bahwa tidak ada yang harus lelaki itu takuti.

"Kenapa?"

"Jeno..., menurutmu apa aku bisa seperti saat masih kecil?"

"Maksudmu?"

"Yang selalu riang dan menyenangkan. Bukan yang menutup diri, dingin, namun tiba-tiba bersemangat tanpa sebab dan membuat orang-orang tidak nyaman."

Jeno terdiam, melihat bagaimana sepasang mata Jaemin berkaca-kaca.

"Bukan yang seperti rollercoaster."

Ingatan Jeno segera memutar kejadian tadi siang saat di sekolah. Jaemin tiba-tiba menempel padanya seharian, mengajak bolos untuk makan ramyun di taman Banpo--yang mana jauh dari daerah sekolah dan rumah mereka!--, dan berbelanja di salah satu mall bawah tanah.

Jeno sama sekali tidak mengerti, tapi tidak bisa menolak. Dia ingat bagaimana aneh pandangan Donghyuck saat mendengar ceritanya. Atau kata-kata Renjun, bahwa bila Jaemin meminta Jeno mengeluarkan jantungnya pun akan dikabulkan.

Jeno sesaat membayangkan skenario tersebut. Mempertimbangkan apa alasan Jaemin meminta hal tersebut, mungkin ya, dia akan melakukannya.

"Kita ada tes hari ini, Jen! Jangan ikut gila!" Donghyuck histeris, berusaha tidak terlalu keras karena Jaemin berada di dalam kamar mandi dan mereka berdiri di depan wastafel.

Seperti dihipnotis, Jeno menjawab enteng, "Aku peringkat satu di kelas. Bisa menyusul nanti, sendirian."

"Jeno, aku takut."

Kalimat tersebut mengenyahkan lamunan Jeno, dia menatap wajah sahabatnya yang penuh kekhawatiran. Dia bangun, berpindah dengan duduk di pinggir ranjang si pemilik rumah.

Jeno dan Jaemin. Orang bilang mereka soulmate. Beberapa bilang mereka kembar tidak sedarah.

Bagai dua sisi berbeda dari koin yang sama.

"Kenapa?" kali ini lebih lembut, kali ini ditemani oleh usapan halus di rambut.

"Aku takut seperti tadi. Lepas kendali dan merepotkan orang-orang. Merepotkanmu."

Dibalas segera oleh senyuman lebar milik Jeno. "Jaem, kau ini sahabatku sejak kecil. Kalau aku memintamu untuk melakukan semuanya seperti tadi, apa kau akan setuju?"

Jaemin menggangguk cepat, tanpa menunggu.

"Kalau begitu tidak usah khawatir. Lagipula, kurasa wajar remaja seperti kita memiliki banyak dimensi. Kau ini bukan hanya sebuah karakter buatan, bukan seseorang yang wajib memenuhi image dari sudut pandang penonton."

"Terima kasih." Jaemin mengecup telapak tangan Jeno. Tidak tahu sejauh apa dia tengah memorak-porandakan teman baiknya.

"Sama-sama."

Jeno kembali turun, berbaring di kasur lantai yang ia dan Jaemin beli bersama.

"Jen," panggilan itu mulai terdengar samar. Jeno lelah setelah seharian mengayuh sepeda sepanjang taman Hangang dan berkeliling di dalam mall.

"Hm?"

"Maaf kalau aku tidak melakukan atau mengatakan apa-apa soal waktu lalu."

"Hm."

"Jen?"

"Hm?"

"Aku hanya takut kalau nanti kita tidak bisa kembali menjadi teman baik seperti sekarang."

"Jen?"

Hening menenggelamkan mereka.

.

.

.

Bagaimana mereka bisa sedekat seperti sekarang? Baik Jeno dan Jaemin tidak pernah bisa menceritakannya. Mereka masih terlalu kecil, hanya ada ingatan samar mengenai susu coklat dan lagu taman kanak-kanak.

Cerita itu hanya bisa diceritakan dari sudut pandang kedua ibu mereka.

Saat Renjun menjadi teman sebangku Jeno di kelas lima sekolah dasar, dia banyak menghabiskan waktu di rumah anak lelaki itu. Apapun tugasnya, mereka berdua akan memilih satu sama lain untuk menjadi rekan kelompok.

Satu hari, ibu Jeno masuk ke kamar anak bungsunya ketika mereka tengah menyelesaikan tugas matematika.

"Jen, ada paket dari Jaemin."

Renjun seolah melihat peliharaan mendengar tuannya pulang. Jeno berdiri sigap, menuruni tangga dengan langkah tergesa. Karena si tuan rumah tiba-tiba saja meninggalkan tamunya untuk waktu yang cukup lama, Renjun memutuskan ikut turun ke bawah.

Jeno berada di ruang tamu,duduk di sofa sambil berbicara penuh ekspresi. Ibu Jeno berdiri di samping Renjun, menggeleng-geleng.

"Jen, ini sudah hampir setengah jam. Kalau mau, pakai aplikasi saja menelepon Jaeminnya."

Dengan kurang ajar, Jeno malah menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruh sang ibu untuk diam. Renjun melirik wanita paruh baya di sampingnya, dia hanya menghela napas berat.

"Jaemin itu teman Jeno?"

Ibu dari temannya tersenyum. "Mau minum teh?" dia menawarkan.

Setelah membuat seteko teh krisantemum dan mengeluarkan kotak kue beras, ibu Jeno mulai bercerita.

"Jaemin itu kesayangannya Jeno. Soulmate."

Oh. Renjun mungkin memang senang akan fantasi. Tapi, dia tidak percaya akan hal seperti itu. Soulmate terdengar asing.

"Jeno, yang pemalu dan hanya menghabiskan hari dengan bermain bersama kucing-kucingnya, harus keluar dari zona aman ketika dia masuk ke taman kanak-kanak. Tentu saja sifatnya menjadi sasaran empuk bagi anak-anak jahil di sana. Eomoni tidak bisa bertindak banyak, hanya memercayakan Jeno pada guru-guru mereka. Namun, hari itu Jeno tidak hanya bercerita mengenai pengalaman tidak enaknya, dia juga menangis keras. Akhirnya Eomoni datang ke sekolah. Kalau memang guru-guru di sana tidak membantu, Eomoni berniat memindahkan Jeno."

Renjun menatap Jeno yang masih berada di ruang tamu. Tidak menyangka kalau anak yang juara Taekwondo itu dulu hanya bisa pulang dan menangis. Atau mungkin karena itulah dia memutuskan untuk ikut seni bela diri.

"Seperti apa yang selalu diceritakan Jeno, entah saat snack time atau makan siang, anak-anak laki di sana menggodanya. Mungkin mereka penasaran seperti apa Jeno itu, mungkin mereka tidak mengerti bagaimana cara mendekati anak pendiam seperti Jeno. Atau tidak suka pada Jeno yang berbeda dari mereka."

Ibu Jeno, dari apa yang selalu diceritakan anak bungsunya, adalah wanita tangguh yang berjuang di usia muda bersama kedua anaknya. Keringat, darah, dan tangis. Segalanya ia lakukan demi memperjuangkan kehidupan keluarga kecil mereka.

"Guru-guru di sana hanya menegur, hanya mencoba menghentikan tanpa terlibat. Mungkin takut pada orangtua dari anak-anak yang menjahili Jeno. Sebelum Eomoni bisa masuk ke dalam ruang kelas, Jaemin melakukan apa yang harus dilakukan orang-orang dewasa di sana. Berdiri tegap di depan Jeno, tidak terlihat gentar ketika mereka mulai mendorong atau menyingkirkan tubuh mungilnya."

Renjun melihat wajah sedih Jeno, ketidakrelaan anak itu menutup telepon.

"Eomoni berterima kasih pada Jaemin dan ibunya berkali-kali. Tapi, tahunya ibu satu anak itu juga berterima kasih pada Jeno yang sudah berbaik hati mau berteman dengan Jaemin."

"Ma, lihat ini!" Seruan dari ruang tamu mengalihkan perhatian mereka.

Jeno tersenyum lebar sekali, kedua mata ikut tersenyum, sementara tangannya mengangkat tinggi-tinggi game console yang dikirim Jaemin.

.

.

.

Jeno pernah membayangkan skenario seperti ini ratusan kali di otaknya. Mungkin jutaan kali. Tiap malam, sebelum tidur, ia dipenuhi kecemasan bila satu hari harus mendukung Jaemin dalam menjalin hubungan. Di mana tidak ada dia di dalamnya.

Teman kencan Jaemin, yang juga teman sekelas pria itu, kelihatan cepat akrab dengan Renjun dan Mark. Sementara Donghyuck berusaha menghibur dengan mengaitkan lengan mereka. Dia bersandar di bahu Jeno, sambil sesekali membisikkan kata penyemangat. Atau candaan yang sebenarnya tidak lucu.

Mark dan Renjun kebetulan ada acara klub di gedung yang sama. Renjun yang datang terlebih dahulu. Dia menatap wajah Jeno ketika Jaemin memperkenalkan teman kencannya. Laki-laki itu pasti sedang menahan diri untuk tidak mengeluarkan makian juga hinaan pada Jeno.

Sementara Mark, yang sampai sekarang payah dalam membaca ruangan, melakukan hal sebaliknya. Dengan wajah polos dia menunjuk tepat di wajah Jeno, memberi kode pada Jaemin.

Donghyuck sebagai mantan hanya bisa menggeleng-geleng lelah.

"Habis ini kalian ke mana?" Mark bertanya. Mungkin dia tidak betah dengan acara klubnya.

"Aku dan Donghyuck akan menonton film baru." Secepat itu juga Donghyuck mengangkat kepala dari pundak Jeno.

"Hah? Film apa? Aku harus cepat-cepat pulang."

Lalu Lee Donghyuck menambahkan, "Kau antar Jaemin saja. Rumahnya lumayan jauh dari sini. Ya, 'kan, Jaem?"

Bagus. Tidak hanya Mark. Mantannya juga sama saja.

Jeno, yang sejak tadi menghindari untuk bertatap muka dengan Jaemin, mau tidak mau menolehkan kepala ke arah lelaki itu. Teman kencannya benar-benar terlupakan.

"Jeno tidak keberatan mengantarku?" Jaemin bertanya, senyumnya penuh harapan.

Seribu kali pun, Jeno sanggup menjawab 'iya'.

...

Tidak hanya mendukung, Jeno juga membayangkan bagaimana dia harus mendengarkan cerita Jaemin mengenai hubungannya bersama orang lain. Dia bisa hanya mengangguk-angguk saja tanpa mencerna apapun yang keluar dari mulut teman baiknya. Bisa pula nekat untuk bilang tepat di depan wajah lelaki itu betapa egois dirinya.

Jaemin tahu, sejelas siang hari, bahwa Jeno memiliki perasaan padanya.

Lalu, kenapa Jaemin bisa semudah itu bertanya, "Menurutmu, Jinwoo bagaimana?"

Reaksi awal Jeno hanya mengerutkan alis, menatap secuil pantulan wajah Jaemin pada kaca spion motor. "Bagaimana apanya?"

Jaemin tidak membalas apapun. Dia terdiam lama. Sampai mereka berhenti di lampu merah tidak jauh dari daerah rumah anak itu. Mungkin nada Jeno tadi sedikit kasar atau tinggi. Bagaimana lagi? Dia belum terbiasa akan keadaan seperti ini. Seumur hidupnya dia hanya menyukai Jaemin. Tidak pernah terbayang untuk tertarik dengan orang lain.

Jeno payah bila urusan seperti ini.

Ketika mereka sampai di depan gerbang rumah Jaemin, temannya turun perlahan. Barulah Jeno bisa melihat raut wajah lelaki itu. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Jeno masih ingin menjaga hati temannya. Merasa bersalah akan raut sedih di wajah orang yang ia sukai.

"Maaf, Jen. Aku salah bertanya begitu." Jaemin menyerahkan helm ke tangan Jeno.

Dia berbalik, menolak untuk membahas lebih lanjut perkara ini.

...

Bulan Maret, semenjak perubahan iklim yang drastis, menjadi tak menentu. Kadang hujan deras, kadang kelewat panas seperti di bulan Agustus. Jaemin berharap dia tidak harus menghabiskan waktu di jalan lebih dari satu jam hanya untuk kembali ke rumah.

Hujan yang semakin deras memperburuk suasananya. Sejak kelas pertama, Jaemin sudah membayangkan hangat selimut dan kasur empuk. Padahal saat orangtuanya menyetujui pilihan melanjutkan sekolah seni, Jaemin bertekad bahwa dia akan memakai kesempatan ini dengan sungguh-sungguh. Motivasi itu hanya bertahan sampai hari kedua masuk kuliah.

Selanjutnya, setiap hari, di dalam kelas atau di area kampus mana saja, otak Jaemin terus memproyeksikan nyamannya bergelung di dalam selimut.

Dia tersadar ketika pemberitahuan terdengar dari pengeras suara. Jaemin berdiri, keluar dari sana secepat mungkin.

Tapi, tidak melanjutkan jalan ke arah rumahnya atau mencari tempat berteduh, dia malah melompat naik ke bus arah Wolgok. Menyia-nyiakan satu jam lebih yang sudah ia habiskan tadi di jalan.

Sedikit basah di area kepala dan pundak, Jaemin menangkupkan kedua tangan di depan dada. Kedua tungkai tidak bisa berhenti bergerak, gelisah.

Meski Jaemin hafal jalan menuju Wolgok, hafal berapa lama waktu yang harus dihabiskan ke sana, dia tetap merasa berbeda. Bus ini terasa lebih lama puluhan kali dari biasanya.

Jaemin ingin berseru keras-keras saat sampai di tujuan. Dia berlari lagi, mengabaikan hujan pun tatapan orang-orang di sekitar. Sekarang ini, ia merasa beruntung karena sempat aktif sebagai atlet dan rajin berolahraga.

Tangannya tidak sabar menekan bel rumah dengan jari pucat dan gemetar. Tidak lama kemudian, pemilik rumah yang sejak tadi berkelana di dalam pikirannya, membuka pintu, menimbulkan suara derit kayu. Jaemin segera melangkah ke depan, mempertemukan mereka dalam sebuah pelukan erat.

Payung dalam genggaman Jeno terjatuh, basah.

...

"Ini," Jeno menyerahkan kaus dan celana piyama pada Jaemin, "Aku buatkan teh hangat, ya?"

Jaemin mendongak, menatap Jeno yang berdiri dengan handuk di atas kepala lelaki itu.

Tadi, ketika rasa ingin bertemu mendesak, dia terus memikirkan semua kalimat yang ingin dikatakan. Sekarang, hanya bisa diam.

"Memangnya," dia berbicara setelah terdiam cukup lama, "kau bisa membuat teh?"

Lalu, kecemasan di wajah Jeno dan kecanggungan di antara keduanya enyah. Mereka bertukar tawa singkat.

"Bisa. Kau sudah menunjukkan caranya padaku ribuan kali."

"Jen," Jaemin memanggil, dengan nada akrab yang menakuti Jeno.

Dia ingat ini. Dia ingat ketika mereka menginap di rumah Jaemin. Ingat seperti terjadi tadi malam, seperti mimpi yang selalu diulang-ulang. "Ya?"

Jaemin berdiri, akhirnya mengambil pakaian ganti di tangan sang teman. Dua pasang mata masih saling bertukar tatapan.

Kalimat itu tertahan, lalu tertarik masuk ke dalam pusaran di dalam perut Jaemin.

"Kalau kita tinggal bersama di dekat kampus, bagaimana?"

Suka. Harusnya sesimpel itu.

...

a/n : jaemin si bola pantul dan jeno yg doyan main kucing 🥺

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 264K 45
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
435K 22.6K 53
Bagaimana jika kalian berada dalam posisi seorang gadis bernama Auraline yang pada saat membuka matanya, dia sudah berada dikehidupan sebuah novel mi...
1.8M 99.5K 52
"Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri...
333K 27K 38
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...