|AURORA BOREALIS|Bagian 20|
••••
Sean, Alister, George dan Ganendra masih menggiring Aurora menuju markas Kingston. Tidak peduli bahwa sebentar lagi bel masuk berbunyi. Sebab titah ketua mereka tidak bisa di lawan.
"Gue berasa kayak tahanan," ketus Aurora.
"Nggak ada tahanan yang dikawal cowok ganteng," sahut Ganendra.
Aurora menghela nafas kasar, "ganteng dari mana."
Mereka akhirnya sampai di markas Kingston. Tempat itu jauh dari kata sepi, bahkan tak hanya di dalam markas tapi ada yang sedang duduk diatas motor yang terparkir di depan.
"Weh ada apa nih?" tanya seorang anggota Kingston yang sedang duduk di motornya.
"Titah Bos Rey," jawab George.
Borealis Gareth Alison.
Ketua Kingston. Berjalan dengan gagahnya mendekati markas geng yang membuat namanya besar seperti sekarang.
"Apa yang mau diomongin sampai lo bawa gue ke markas lo ini?" Aurora membuka suara ketika dia berhadapan sempurna dengan Borealis.
"Dan lo masih nanya," sahut Borealis santai, "inget ucapan lo yang janggal di kelas Edeline tadi?"
Aurora menyernyit. "Ucapan gue yang mana yang janggal?"
"Masih nggak bisa menemukan titik janggal nya?"
"Langsung to the point aja kenapa?!"
"Angkasa."
Netra coklat Aurora membulat sempurna. Seketika degub jantungnya terasa berhenti.
"Kenapa diem?" tanya Borealis, menyadari perubahan ekspresi cewek dihadapannya.
"Kenapa dengan Angkasa?" tanyanya bersikap senormal mungkin.
"Kenapa lo nggak terima waktu Siska ngejelekin anak Angkasa?"
"Karena anak Angkasa emang nggak seburuk yang dia pikirkan"
"Tau darimana lo? Bahkan gue aja beranggapan bahwa anak Angkasa memang buruk."
"Karena lo hanya tau mereka dari apa yang lo denger dari orang."
"Apa lo nggak tau, kalo anak-anak Angkasa bahkan bergaul sama gangster di kota ini"
"Terus apa kalo mereka bergaul sama gangster mereka juga bakal disebut gangster? Nggak kan!"
"Kenapa lo sewot?"
"Karena gue nggak suka orang yang suka ngejudge tanpa tau kebenarannya!"
Borealis semakin memperpendek jarak antara keduanya.
"Siapa lo sebenarnya?!" sarkas Borealis.
Diam.
"Siapa lo?!"
Diam.
"Jawab BANGSAT!"
Seketika seluruh anggota Kingston yang berada di dalam markas keluar. Menatap heran kedua manusia yang tengah bersitegang itu.
"Ada apaan sih?" bisik Tama pada Alister.
"Lo liat aja. Gue juga masih belum paham sama tingkah Bos lo itu."
"Ada-ada aja, masih pagi padahal."
"Lo tau kan. Dia nggak mandang hari, waktu dan tempat kalo mau melakukan apa yang dia mau."
Tama hanya mengangguk.
Borealis menatap Aurora dengan rahang yang mengeras. Buku-buku tangannya yang terkepal disisi badan nampak terlihat memutih. Dia menahan emosi.
"Gagu lo!" bentaknya.
Aurora hanya terdiam.
"Jawab BANGSAT!" bentaknya lagi.
Sean mendekat, "jangan gitu Rey."
"Bukan urusan lo!"
"Tap–"
Belum sempat merampungkan kalimatnya, satu pukulan mendarat di perutnya.
"Lo nggak punya mulut! Jawab! Siapa lo sebenarnya!"
Sebuah motor besar hitam biru berhenti di belakang Aurora.
"Aurora!" teriaknya.
Spontan semua menoleh. Dia Alaska. Ketua geng Alger.
"Lo kenal dia?!" tanya Borealis.
Diam.
"Jawab!"
Bugh!
Tinjuan dari Alaska mendarat di wajah Borealis.
"Lo ada masalah apa sama Aurora?!" sarkas Alaska.
"Lo ada hubungan apa sama Aurora?!" ucap Borealis tak kalah sarkas.
Tak ada jawaban.
"Bangsat lo!"
Terjadi perkelahian antara keduanya. Tak ada ada yang berani memisahkan keduanya.
"Cukup!" teriak Aurora.
Bahkan kedua ketua geng itu sudah dalam keadaan berantakan dengan lebam dan luka di wajah.
Aurora menarik Alaska berdiri. Borealis dibantu George berdiri juga.
"Okay fine, I will tell you the truth Borealis Gareth Alison!" sarkas Aurora.
Borealis menunggu kalimat selanjutnya dari Aurora.
Aurora melepas ikat rambutnya. Surai panjangnya tergerai begitu saja.
"Shit!" umpat Borealis.
Surai itu nampak berwarna biru gelap yang mengkilap ketika cahaya matahari menyinarinya .
Tak sampai disitu, Aurora melepas jam putih di pergelagan tangan kirinya. Dan menampakan tato di nadinya berbentuk huruf A latin yang dililit bunga mawar dan disisinya ada sayap malaikat.
"Gue Angel Alger!" tegasnya.
Tato di tangan kiri itu merupakan ciri khas anggota geng Alger. Tetapi biasanya huruf A itu dililit naga bukan mawar, hanya 1 orang yang mempunyainya, Angel Alger. Dan hanya anggota Alger yang boleh membuat tato seperti itu.
"Angel Alger." gumam Sean tidak percaya.
"Jadi dia yang nolongin gue?" gumam Ganendra.
Semua menatap hal itu tidak percaya.
'Nggak nyangka anak baru itu Angel Alger sang dewi jalanan'
'Gila! Anak baru kan dia?'
'Anak olimpiade sains itu kan?'
'Anak IPA 2?'
'Tampangnya cute banget anjir, ternyata dia yang selama ini suka membuat misteri'
'Nggak nyangka cewek semanis dia, naik motor Alger'
'Gila! Anjing!'
'Parah njir'
Aurora mendekati Borealis.
Jujur Aurora nampak sangat cantik dengan surainya yang digerai seperti itu.
"Lo udah tau jawabannya kan."
"Mau apa lo dateng ke Pangeran? Ketua lo terlalu cupu kalo mau melakukan penyerangan dari belakang."
"Bangsat lo!" umpat Alaska.
Aurora langsung mencekal tangan Alaska yang akan memukul Borealis.
"Sekarang lo udah tau kan siapa gue sebenarnya! Jadi stop untuk menganggap gue sebagai tahanan."
"Apa alesan lo dateng ke Pangeran?!"
"Apa lo membutuhkan jawaban itu?"
"Jelaslah."
"It's not your business. Dan ini nggak ada sangkut pautnya sama Alger ataupun Kingston."
"Gue butuh alasan."
"Tapi gue nggak bakal memberi lo alasan."
"Oke kalo itu mau lo! Gue pasti bakal temukan alasan itu sendiri."
"Itu jauh lebih baik."
"Sampai gue tau alasan lo masuk Pangeran karena Alger atau mau mengusik Kingston. Gue jamin hidup lo nggak bakal lama."
"Gue nggak takut."
Aurora menarik tangan Alaska. "Ayo Ka."
Keduanya pergi meninggalkan kerumunan anggota Kingston.
Aurora benar-benar tidak peduli dengan huruf A pada buku absennya nanti.
"Kenapa bisa?" tanya Alaska dibalik helm fullfacenya.
"Gue nggak suka anak Angkasa di jelekin Ka! Mereka pikir mereka siapa!"
"Ya tapi nggak dengan membuka identitas lo Ra."
"Bahkan kalo gue harus mempertaruhkan nyawa gue, gue pasti bakal lakuin itu asalkan harga diri anak Angkasa nggak diinjek-injek."
"Tapi lo jadi harus kayak gini Ra."
Aurora melingkarkan tangannya dipinggang Alaska, memeluknya. Jujur dia juga tidak mau ini terjadi, tapi harus bagaimana lagi?
"I'm sorry Aurora," ucap Alaska lirih sambil mengusap tangan mungil Aurora.
"It's my fault Alaska."
"No Dear."
Aurora menenggelamkan wajahnya di punggung Alaska. Setetes bening lolos begitu saja dari matanya. Dia tidak pernah serapuh ini.
Rasanya pundaknya sungguh berat memikul masalahnya. Bahkan dia merasa, dia adalah orang paling terbebani oleh masalah. Apa dia sanggup melewatinya?