Take My Hand

By AryNilandari

66.2K 8.8K 2.5K

::: Graduation Series ::: Welcome Hell, begitu Kelas 12 menyapa penghuni barunya. Tidak peduli siapa kamu, pe... More

Pengumuman
Pengantar
Prelude
2. Bad Things Are Hard to Forget
3. Upstream
4. Life Is Always Full of Surprises
5. Secrets
6. Distraction
Generasi Merdeka dan Darmawangsa
7. Dance through the Storm
8. A House Is Not a Home
9. Premonition of Chaos
10. Free Running (1)
10. Free Running (2)
11. Let's Do It!
12. Hot Potato
13. Once a Very Best Friend
14. Always a Very Best Friend (1)
14. Always a Very Best Friend (2)
15. WAR and Peace
16. The Only Way Out
Halo, Ren-Keepers!

1. Welcome Hell

6.7K 742 371
By AryNilandari

Minggu ke-2 dari 35

"Sedia payung sebelum hujan."

Tetapi hujan memilih turun saat kamu tidak membawa payung.

Paginya dimulai dengan teriakan Ibu dari balkon.

"Reeeeen! Nazhan kabur! Cepat kejar!"

Ren menjatuhkan ember dan memelesat keluar. Sekejap saja, adiknya sudah tidak terlihat di sepanjang jalan depan rumah. Nazhan tidak punya kemampuan super, tetapi kecepatan larinya luar biasa untuk anak 10 tahun. Saat emosinya meledak, Nazhan bisa bergerak acak tanpa lihat kanan-kiri. Sungguh berbahaya kalau lalu lintas sudah ramai. Subuh belum lama lewat. Tidak ada istilah terlalu pagi bagi Nazhan untuk mencoba membaca sendiri lalu frustrasi dengan disleksianya.

Ren lari menyeberang jalan, masuk ke gang, lentur melompati pagar tanaman, gesit melintasi kebun dan menghindari genangan air. Ia bersyukur, hobi parkour yang ditekuninya sejak SD benar-benar berguna dalam situasi ini. Ren berhasil menyusul sebelum Nazhan memanjat pagar pemakaman.

"Zhan!" Ren menyambar lengan adiknya.

Nazhan berhenti. Napasnya terengah. Tidak menangis. "Aku penasaran dengan Garuda Gaganeswara. Tapi huruf-huruf enggak mau diam."

Ren merangkul Nazhan, agak menyesal memberinya novel baru. Sudah tahu, Nazhan akan terobsesi menyelesaikan bacaan. Sementara Ren tidak punya waktu membantu adiknya gara-gara tugas sekolah bertumpuk akhir-akhir ini. "Bagaimana kalau aku temani kamu membaca satu halaman sekarang?"

"Tapi itu bisa satu jam sendiri. A-Ren nanti telat ke sekolah."

"Enggak masalah." Ren mendorong adiknya untuk pulang.

Kaki Nazhan terpancang, bergeming. "A-Ren pulang saja dulu. Aku masih pengin di sini."

Ren mengikuti pandangan Nazhan. Deretan nisan di balik pagar, petak paling ujung sebelah kanan. Ayah dikebumikan di sana. Ren mendesah. Setahun... rasa kehilangan makin tajam mengiris. Waktu akan menyembuhkan, kata seseorang. Ikhlaskan, kata orang satu lagi. Siapa mereka yang begitu mudahnya berbicara saat takziah? Ren mendengkus. Perasaan adiknya sekarang pasti tidak lebih baik darinya. Dan itu tidak berkaitan dengan waktu atau ikhlas.

Disleksia Nazhan memburuk sejak Ayah tiada. Naik ke kelas 4 tetapi belum lancar membaca, homeschooling pun jadi solusi. Guru merangkap terapis datang tiga kali seminggu. Selebihnya, Nazhan belajar dengan Ibu. Ren dan Natya membantu sesekali. Tidak jarang, Nazhan frustrasi sendiri. Terutama saat menemukan kata-kata yang menjadi asing lagi padahal dulu bisa dibacanya bersama Ayah. Mungkin tinggal kata payung yang selamanya akan ajeg di mata Nazhan. Kata biasa yang tidak berarti apa-apa kecuali makna kamusnya, tetapi digoreskan Ayah pada bak pasir kali terakhir mereka berlajar. Nazhan melarang siapa pun menyentuhnya.

Ren menengadah, mendung di langit timur meredupkan sorot matahari. "Sepertinya bakal hujan lagi. Kita enggak bawa payung," gumamnya.

Nazhan bereaksi. Detik berikutnya, anak itu sudah memelesat untuk pulang. Tanpa menoleh lagi ke pemakaman. Ren tersenyum. Just say the magic word: Payung.

Pukul 08.00, Ren baru sampai di sekolah dengan berjalan cepat. Jam pelajaran pertama sudah lewat. Paruh terakhir jam kedua masih terkejar. Gerbang sekolah sudah dikunci. Tidak masalah. Ren berlari mengitari benteng setinggi dua meter yang kokoh tanpa celah. Tepat di belakang kompleks SMA, berbatasan dengan kampung, ia berhenti di depan pagar besi yang dirantai dan digembok permanen. Hanya kucing, siswa nekat, dan traceur yang bisa melewati rintangan ini. Traceur itu Ren, praktisi parkour.

Ren mundur, mengambil ancang-ancang, lalu lari memanjat dinding. Wall run, namanya. Ia berdiri di atas benteng sekarang. Sebetulnya mudah saja melompat langsung ke tanah dengan teknik tuck and roll. Namun itu berarti bajunya akan kotor karena berguling di rumput basah. Ada pagar yang bisa jadi pegangan dan pijakan, memperpendek jarak. Ren pun meloncat turun dengan mulus. Ia langsung berlari menuju bangunan sekolah, menaiki tangga. Tiga lantai, tidak ada lift. Ia sampai di kelasnya, 12 IPA Avicenna. Tepat seperti perkiraannya, 20 menit menjelang bel pergantian pelajaran. Ren mengatur napas.

Sekarang pelajaran matematika yang diampu Pak Royan, wali kelas. Guru tua legendaris itu tidak berkeberatan diinterupsi saat mengajar. Menurutnya, wawancara sebentar dengan siswa yang terlambat dapat memberikan masukan positif juga bagi kelas. Jangan coba-coba mengarang alasan. Pak Royan ahli membaca bahasa tubuh, menangkap kebohongan semudah melihat jerawat di jidat. Bukan berarti tidak ada konsekuensi. Telat berarti PR tambahan dengan jumlah dan tingkat kesulitan setara keterlambatan. Dalam kasus Ren, mungkin sekitar 20 soal untuk dikerjakan dalam satu jam di rumah.

Pak Royan tidak memberi pilihan lain kepada siswa kecuali datang tepat waktu atau menjadi lebih terlatih menghadapi ujian nanti.

Ya, ujian. Momok itu sudah didengungkan Pak Royan sejak hari pertama kelas 12. Memang beredar wacana penghapusan ujian nasional dan perubahan sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri. Baru wacana. Jangan pedulikan. Jangan berspekulasi. Dihapus atau diubah, tugas siswa kelas 12 tetap: lulus dengan gemilang, lalu terjun dalam persaingan nasional untuk lanjut kuliah. Atau bekerja.

Ren mengintip dari jendela dan tercengang karena suasana kelas tidak sesepi kuburan sebagaimana biasanya jam Pak Royan, tetapi juga tidak sekacau jam kosong. Anak-anak menulis di bangku masing-masing, sebagian berdiskusi tenang, sesekali tertawa. Jelas, Pak Royan tidak ada. Absenkah?

Ya Allah, Gusti nu Agung, terima kasih.

Ren masuk, disambut tulisan Welcome HeLL dengan spidol merah sepenuh papan tulis. Doodle-nya khas Arvind.

"Oy, Ren! Kamu sekarang duduk di depan, tuh!" Arvind di belakang kelas berseru.

Ren baru menyadari perubahan posisi anak-anak. Tempatnya di pinggir kiri dekat jendela sudah diduduki gadis berjilbab yang tidak dikenalnya. Ada murid baru juga? Begitu banyak perubahan dalam satu jam! Satu-satunya kursi kosong tinggal di depan tengah, sebangku dengan Wening. Ren menggantung ranselnya dan duduk.

Euis di belakangnya memprotes. "Yah, atulah, kacida teuing, Ren. Aku tuh enggak perlu mengagumi punggung dan rambutmu dari dekat setiap hari sepanjang tahun. Sudah penuh jadwal bucin-ku buat 7 bias. Ketambahan kamu adalah penderitaan terbesar sepanjang zaman."

Wening membalikkan badan. "Lihat untungnya dong, Is. Ren menutupi kamu dari mata elang Pak Herdin."

"Pak Herdin?" Ren menaikkan kacamata. "Ning, Pak Royan ke mana?"

"Istrinya semalam stroke, masuk rumah sakit. Pak Royan bakal cuti lama. Pak Herdin jadi pengganti, ditransfer dari SMPGEM. Keluarkan bukumu, tulis esai 300 kata tentang Hell di kelas 12 versi kamu."

"Itu tugas dari Pak Herdin?"

"Yep. Dan enggak, jadwal pelajaran enggak berubah. Tetap matematika sekarang. Dia bilang, ini cuma perkenalan sekalian mewujudkan tulisan di papan itu. Sudah, cepat tulis. Bentar lagi bel."

"Tiga ratus kata, kira-kira berapa halaman?" Ren melongok buku tulis Wening yang terbuka. Satu halaman sudah terisi padat dan rapi. Wening, sang pemasok catatan kualitas premium! Tidak seperti catatan Ren, lengkap tetapi tulisannya jarang-jarang, perlu lebih banyak duit untuk fotokopi.

"Kamu? Empat kayaknya," sahut Wening, tertawa. "Dasar boros!"

Ren mengeluarkan buku dan alat tulis. Hell di kelas 12 versinya, hmm.... Semua orang juga tahu, kelas 12 itu identik pertunjukan sirkus. Siswa harus bisa akrobat, jungkir balik kejar materi; bisa sulap, mengubah nilai di bawah KKM dalam sekejap; dan juggling, memegang banyak kegiatan sekaligus tanpa keteteran. Namun, bukan itu hell versi Ren. Apakah ia harus memaparkan masalah pribadi?

Tidak, terima kasih.

"Siapa yang pilih tema?" Ren mulai yakin, ini ada apa-apanya dengan Arvind.

"Siapa lagi kalau bukan Arvind tersayang? Dia dapat info duluan, Pak Herdin bakal menggantikan Pak Royan. Welcome Hell. Pelesetan yang bagus. Jangan bilang-bilang aku memujinya," jawab Wening.

Ren tidak mengerti. Pelesetan dari welcome home? Diintipnya lagi tulisan Wening. Ia menangkap kata kesalahan, hukuman, ketakutan, frustrasi, no hope, nightmare, kegelapan, Lucifer... tawanya meledak. "Kamu nulis novel?"

Wening mendorong kepala Ren menjauh. "Enggak boleh nyontek!"

Ren menggaruk hidung. Menulis bukan kekuatannya, apalagi dengan tema seaneh ini. Ia membolak-balik buku, mencari ide dari soal-soal matematika dan hubungan cinta-bencinya dengan angka-angka. Matematika tidak terlalu menyulitkannya, tetapi juga tidak pernah memberinya nilai sempurna hanya karena tanda minus yang hilang, atau koma yang salah letak, atau angka dua yang menyerupai tujuh. Jelas fatal, karena biasanya, di soal-soal pilihan berganda, jawaban-jawaban keliru itu ada. Singkatnya, tidak ada chemistry dengan matematika. Lagipula, matematika tidak pernah membalas cinta manusia. Apakah itu bisa dianggap Hell?

Saat itu, seorang lelaki muda berperawakan kecil masuk ke kelas. Langkahnya terlihat ragu, senyumnya lemah. Matanya berserobok dengan Ren. Cepat sekali lelaki itu mengalihkan pandangan. Dan tiba-tiba saja ia tersandung kakinya sendiri. Ren tersentak. Anak-anak lain berteriak kaget. Untungnya, lelaki itu tidak jatuh. Mukanya memerah. Ia berdeham dan tertawa kikuk.

"I am okay," katanya.

"Ning, diakah?" Ren berbisik.

Wening duduk tegak, merapikan ujung jilbabnya, dan memperkenalkan dengan gaya resmi. "Herdin Lutfi Lesmana, 26 tahun. Wali kelas dan guru matematika kita yang baru."

Ah, itu sebabnya Welcome, HeLL. Arvind mengambil inisial namanya.

Pak Herdin mendekati meja Ren. "Kamu baru datang, ya?"

Ren mengangguk. "Naren Arshadikara siap menerima hukuman. Satu jam biasanya cukup untuk 20 soal."

Pak Herdin terkekeh, mengibaskan tangan cepat-cepat. "Matematika kok jadi hukuman. Jangan, dong. Matematika itu bahasa cinta dan kasih sayang."

Kata-katanya disambut suitan dan tepuk tangan.

"Tapi dalam ujian, satu soal tiga menit itu riskan. Kamu harus berlatih mengerjakan lebih cepat agar ada waktu untuk memeriksa jawaban. Oh ya, kamu telat kenapa?" tanya Pak Herdin mengatasi keramaian.

Ren tertegun. Jawab apa? Membuatkan adik bak pasir satu lagi? Lalu mereka berdua keasyikan menulis kata-kata di pasir? Kenapa alasan sebenarnya malah terasa lemah dan mengada-ada?

"Sepedanya pecah ban dua hari lalu, Pak!" Celetukan Arvind mendahuluinya. "Ren pasti jalan kaki. Rumahnya jauh loh, Pak. Dua kilometer."

Ren menggeleng-geleng. Dua kilometer itu tidak ada apa-apanya. Tidak perlu terlambat satu jam pula.

"Bapak juga suka bersepeda," kata Pak Herdin kepadanya, dan topik pun teralihkan begitu saja. Apalagi ketika kehebohan baru meletus di belakang. Andini menjerit-jerit karena esainya direbut Dwien yang mulai membacakan keras-keras. Bagi Andini, Hell-nya adalah dicuekin gebetan. Anak-anak ribut menggoda.

"Sudah! Sudah! Ayo, lanjutkan tulisan kalian! Siapa yang sudah selesai?" Pak Herdin mencoba mengatasi keramaian. Suaranya paling hanya menjangkau tiga deret bangku. Terbukti tingkah Dwien menular pada Gege yang membacakan esai Wisteria. Versinya tidak jauh berbeda dengan Andini, malah lebih blak-blakan menyebut inisial cowok dari kelas sebelah. Suitan dan ledekan makin kencang dari segala penjuru.

Pak Herdin mengangkat tangan menenangkan. Sia-sia. Ia pun beranjak ke belakang. Suaranya tenggelam di antara pekik jerit dan tabuhan meja.

Ren menyemburkan napas. "Yeah, right, this will be hell."

Wening seperti tidak peduli. Wajahnya sudah dibenamkan ke dalam buku.

Bagaimana mungkin SMA Generasi Merdeka menyerahkan Avicenna kepada guru seperti Pak Hell? Dalam sekejap, suasana damai dan tertib di kelas ini hancur oleh gayanya. Tidak seperti Pak Royan yang dapat mengendalikan kelas, yang mengetahui kelemahan setiap siswa dan membantu mereka mengatasinya, sudah meluluskan beberapa generasi berprestasi, menjamin mereka masuk perguruan tinggi favorit.

Mampukah Pak Hell mengimbangi itu? Minimal saja, bisakah ia membantu mereka mencapai target rata-rata 80 untuk matematika?

Ini bukan masalah sepele. Masa depan tiga kelas IPA dipertaruhkan.

Kelas mendadak hening. Ren tidak tahu apa yang dilakukan guru muda itu di belakang. Pak Hell kembali ke depan, diikuti Dwien, Gege, Wisteria, dan Andini. "Ren! Kamu juga ikut."

Ren berdiri, memandang Wening yang cuma angkat bahu.

Mereka berlima digiring Pak Hell keluar kelas. Disuruh berdiri bersisian di selasar. Apakah ini model hukumannya? Murid-murid pengacau dan pelanggar aturan disetrap dengan berdiri di luar kelas? Sungguh kontraproduktif.

Ternyata, Pak Hell menyuruh mereka lebih mendekat ke pagar, dan menunjuk kejauhan. "Apa yang kalian lihat?"

Jawaban kabel listrik, menara, hutan pinus, gunung Tangkuban Perahu, awan, terlontar dari mulut teman-teman. Ren sendiri malah memandang ke bawah, mendapati lapangan basket yang ramai. Ada dua kelas berbeda dilihat dari warna kaus mereka. Merah kelas 10. Biru kelas 12. Ia menangkap sosok familier Natya di pinggir lapangan, sedang berbicara dengan seorang cowok berkaus biru. Ren membereskan letak kacamata agar melihat lebih jelas. Oh boy! Alarm tanda bahaya menyala di kepalanya.

"Ren! Apa yang kamu lihat?" Pak Hell menepuk punggungnya keras.

"Masalah," sahutnya spontan. Dan sangat besar. Kenzie sedang mendekati Natya. Cowok player-modal-tampang itu tidak pernah mau berbicara dengan sembarang cewek. Kalau Kenzie melakukan itu, berarti otak primitifnya sedang bekerja.

Ren mendengar teman-teman menertawakan jawabannya. Pak Hell lalu berbicara tentang masa depan. Ia tidak menyimak, masih waspada mengawasi Natya. Untungnya, guru olahraga meniup peluit dan Natya kembali ke tengah lapangan. Bersamaan Pak Hell menyuruh mereka masuk lagi ke kelas.

Duduk di bangkunya, Ren tidak bisa mengalihkan pikiran dari Natya. Payung seperti apa yang harus ia sediakan untuk adiknya sebelum hujan masalah model Kenzie turun?

_______________

Note:

A-Ren dari Aa Ren, Aa panggilan untuk kakak lelaki dalam keluarga Sunda.

Atulah, kacida teuing (Sunda): Ayolah, kebangetan amat.


Continue Reading

You'll Also Like

837K 101K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
2.7M 275K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 70.3K 32
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.1M 44.2K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...