LELAKI TERHEBAT [Completed]

By MarentinNiagara

143K 14.3K 1.3K

Bukan karena sebuah alasan terlahir sebagai anak lelaki, namun lebih kepada bagaimana caranya bisa menghormat... More

👋 Prolog 👋
01 ✔
02 ✔
03 ✔
04 ✔
05 ✔
06 ✔
07 ✔
08 ✔
09 ✔
11 ✔
12 ✔
13 ✔
14 ✔
15 ✔
16 ✔
17 ✔
18 ✔
19 ✔
20 ✔
21 ✔
👋 Epilog 👋

10 ✔

5.7K 632 26
By MarentinNiagara

بسم الله الرحمن الرحيم

All about Zaffran family
-- happy reading --

MarentinNiagara

📝📝

Cinta bisa membuat kita bahagia, dan dengan cinta pula yang bisa membuat kita gila.

Cinta yang merupakan anugrah dari Allah karenanya terlalu suci sehingga dihadirkannyapun harus pada orang dan saat yang tepat. Tidak pernah ada yang salah dengan cinta, pun karena dia juga tidak pernah salah memilih muara. Cinta yang memiliki lini tentang banyak hal. Cinta atas kita dengan orang tua, kita dengan anak, atau kita dengan sekitar.

Sesungguhnya cinta itu tumbuh dan ada disaat rasa nyaman berada di dekatnya. Dia seolah mampu membuat kita bercerita banyak hal tentang hidup, bahkan sesuatu yang menurut kita sangat memalukan untuk membuka kembali kisah itu. Pun cinta melebihi rasa sayang. Mengapa? Manusia tercipta secara naluriah memiliki rasa sayang itu. Sayang bisa berarti simpati, empati, atau kekuatan yang mengharuskan ada untuknya. Harus ada karena memang kita merasa bahwa kita adalah dua makhluk yang Allah ciptakan untuk saling memberi dan menerima, menjaga dan melindungi, serta mencintai dan menyayangi.

Lantas mengapa cinta diartikan dengan melebihi rasa sayang? Seseorang yang mencintai sesuatupun  pasti akan menyayanginya. Cinta akan memberikan kekuatan yang besar untuk selalu menjaga. Dia untukmu dan dia untuk tuhannya, Allah. Cinta akan selalu suci, sekalipun manusia sendiri berusaha menodainya.

Zurra kembali tersenyum. Mengenang beberapa kali kisah halalnya tak pernah sekalipun terlintas bahwa di depan dia akan melalui rintangan ini di awal pernikahannya. Bukan meragukan Devi sebagai istrinya. Justru dari pihaknya yang telah menutup hati dan justru kini diketuk kembali. Diketuk bukan terketuk, kehadiran Riani sungguh membuat biduk rumah tangganya yang baru saja mengibarkan layar terkembang sedikit oleng. Perkenalan singkat dan tumbuhnya rasa cinta yang sengaja dia pupuk bersama istrinya memang menumbuhkan percik cemburu saat apa yang telah sah menjadi milik kita masih diminati oleh orang lain, dan Zurra tidak menampik itu. Meski sesungguhnya dia telah menutup rapat celah yang mungkin bisa dimasuki oleh siapapun.

Sebagai manusia biasa tentunya Zurra juga memiliki ingin, mendambakan seseorang suatu saat akan hadir sebagai teman seumur hidupnya. Seseorang yang selalu bisa membuat dada ini membuncah, jantung berdegup dengan kencang, napas tersengal, dan nadi seolah berhenti bila berada di dekatnya. Seseorang yang mampu membuat selalu nyaman berada di dekatnya. Dan saat terpuruk, lengannya akan menepuk punggung dengan lembut bahkan siap menghapus semua air mata. Zurra tahu bahwa pasangannya pasti tidak akan membiarkan dia melewati masa itu sendiri.

Hanya saja ketika Devi menyaksikan sendiri bagaimana keluarga Riani yang kini memperlakukan dia dengan begitu istimewanya. Seolah terlupa akan sumpah dokternya, Devi memilih untuk selalu menghindari. Bahkan saat Riani dengan penuh hiba meminta bantuan Zurra untuk terapi ayahnya. Devi menyarankan untuk menghubungi keluarga terdekatnya.

Padahal disaat yang sama Devipun merasakan hal yang sama. Jengah dengan pasien yang kini ditanganinya. Remaja belasan tahun yang terang-terangan mengungkapkan rasa cinta sesaatnya. Orang bilang love at first sight, bisakah demikian. Tentang rasa pasti hati lebih mengetahuinya.

Sekali lagi tentang cinta. Ya, sesungguhnya cinta ada bukan untuk menyakiti siapapun. Suatu kenyataan pahit bila kamu merasa telah mencintai orang yang salah. Mungkin saja seseorang itu tidak memiliki kriteria sebagai pendamping idaman dan orang tua atau mungkin seseorang itu telah memiliki pasangan. Saat itu, bisa jadi merasa seolah dunia runtuh menimpa kita atau kepingan hati seolah pecah menjadi puing-puing berserakan.

Kenyataan pahit memang. Tapi ingatlah selalu bahwa saat kita meletakkan cinta itu pada tempatnya berarti kita telah membangun sebuah harapan baru. Sebuah harapan untuk kita dan untuk orang lain di sekitar. Kita akan merasakan bahwa cinta itu ada untuk saling menjaga. Cinta ada karena dia tidak pernah menyakiti.

Atas semua yang terlewati pasti akan membuat tersenyum. Senyuman itu bahkan semakin indah bila di bumbui dengan penerimaan yang tulus.

"Kakak Dokter, masih bolehkah aku menginap di sini lebih lama lagi? Atau kalau perlu aku ngekos di rumah sakit ini. Biar tiap hari langsung mendapatkan vitamin dengan memandang kecantikanmu." recehan ala brondong diterimakan Devi saat dia memberikan rekomendasi kepulangan kepada Ridwan Mattulesi.

"Dasar bocah, belajar yang rajin dengan sekolah yang benar. Jangan malah tawuran, kasihan orang tuamu. Mereka berusaha bekerja membanting tulang ternyata malah mendapati anaknya seperti ini. Bagaimana bisa memajukan bangsa kalau menjadi anak saja tidak bisa membahagiakan orang tua." petuah Devi saat dia memainkan perannya sebagai kakak untuk pasien kecilnya.

"Siyaap, apapun itu kalau kakak yang minta pasti akan aku kabulkan. Tapi Kak, rasanya tidak mungkin kan dokter cantik macam Kakak ini tinggalnya di ruang pemulasaran jenazah?" ucap Ridwan yang membuat Devi seketika tergelak dalam tawa. Jadi bocah tersebut benar-benar menelpon ke nomer yang dia berikan 3 hari yang lalu.

"Kakak membohongiku kan?"

"Lagian, tidak etis pasien sepertimu meminta nomer HP wanita bersuami sepertiku." jawab Devi.

"Jadi Kakak sudah menikah? Ah, potek deh hati Abang." kata Ridwan sambil merubah wajahnya menjadi sendu yang membuat Devi semakin terpingkal dalam tawa.

"Kamu sudah sehat dan diperbolehkan pulang hari ini. Bukankah itu kabar yang menggembirakan?" tanya Devi namun langsung disambut gelengan kepala dari Ridwan.

Bagi Ridwan tidak ada yang menggembirakan dengan hidupnya. Dia tumbuh sesuai dengan arah angin berhembus. Orang tua yang terlalu sibuk dengan kegiatan dunianya membuat anak itu menemukan sisi gelap kehidupannya dengan membuat bahagia dirinya sesuai dengan inginnya hati melangkah kemana.

Menjadi anak orang kaya namun tanpa belaian kasih sayang dari keluarga. Itulah sedikit penggambaran yang bisa diberikan untuk Ridwan.

"Ridwan, sepertinya selama kamu dirawat di sini. Aku belum pernah melihat orang tuamu atau setidaknya wali pasien yang mendampingimu." mendengar pertanyaan Devi itulah yang membuat muka Ridwan berpaling. Seolah ingin menyembunyikan kekecewaan dari dalam hatinya.

"Papah memiliki beberapa tongkang di Kalimantan untuk mengangkut batubara yang akan di ekspor ataupun baru selesai ditambang. Sebagai investor besar untuk pengeboran minyak di sana juga hingga membuatnya jarang pulang ke Jawa." jawab Ridwan yang masih enggan untuk memandang Devi.

Mengerti bahwa ada luka yang tertoreh di hati Ridwan. Devi tidak lagi bertanya kepada pasiennya. Akhirnya Devipun mengerti mengapa remaja itu merecehinya. Mungkin hanya sekedar untuk mengalihkan rasa sakit di dalam hatinya. Devi cukup menggelengkan kepalanya. Setelah menandatangani rekam medis untuk mengizinkan pasiennya meninggalkan rumah sakit Devi segera berlalu dari kamar rawat Ridwan.

Namun baru saja kakinya melangkah hendak keluar ruangan suara bass Ridwan menghentikan langkahnya.

"Mamah dengan dunia sosialitanya yang dianggapnya lebih penting bahkan hanya sekedar bertanya, apakah kamu sudah mengerjakan PR? Jika mereka memiliki dunia yang lebih penting daripada anaknya, untuk apa aku berjuang membuat bangga mereka atas keberadaanku sedangkan mereka sendiri tidak pernah menganggapku ada."

Selalu seperti itu, mengapa seringkali dari kesibukan orang tua untuk mengejar dunia anak adalah pihak paling besar yang menjadi korbannya? Devi merenung, posisi Ridwan mengingatkannya kembali atas percakapannya dengan Zurra malam itu. Boleh berkarier, mengejar spesialis tapi tidak dengan menelantarkan keluarga. Nafkah itu sepenuhnya tanggung jawab Zurra sebagai kepala rumah tangga namun jujur, Devipun ingin sekali mendarmakan ilmunya untuk bisa menolong orang lain yang membutuhkannya.

"Ridwan, jangan pernah menyalahkan mereka atas apa yang kini tengah kamu rasakan. Setidaknya tunjukkan pada dirimu sendiri bahwa kamu mampu dan bisa berguna. Berdiri di atas kaki sendiri itu jauh lebih membahagiakan daripada hidup dengan mendompleng nama orang tua."

Tidak ada reaksi yang berlebih dari apa yang dilihat oleh mata Devi. Ridwan masih terdiam, kemudian bergerak sedikit. Tangannya terulur ke nakas disamping bed tidurnya. Mengambil dompet dan mengeluarkan kartu untuk diserahkan kepada Devi.

Devi tidak mengambilnya tapi bibir Ridwan kemudian bersuara kembali. "Aku tidak bisa menyelesaikan administrasi dengan tangan yang masih terinfus seperti ini. Bisa menolongku untuk kali ini? Maaf kalau merepotkan."

Devi membuang nafasnya dalam-dalam. Sepertinya pasiennya ini tidak mau melibatkan keluarganya untuk menyelesaikan semua yang berkaitan dengan dirinya. Dia masih ragu untuk mengambil kartu debit dengan logo bank terpercaya tertera di ujung kanan atas kartu tersebut.

"Di dalamnya cukup untuk membayar biaya rumah sakit selama aku di rawat disini Kak. Bahkan untuk kos di sini sampai 10 tahun ke depan." Devi cukup terperangah dengan ucapan Ridwan barusan. Tidak terdengar kesombongan namun seperti curhatan luka yang ingin di keluarkan. Mungkin Ridwan tidak membutuhkan uang itu tapi sudahlah sebaiknya Devi segera berlalu dan membantu Ridwan untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit atas semua pelayanan dan fasilitas yang diperolehnya.

"190919. Itu tanggal pernikahan mereka yang menjadi pin kartu atas namaku." kata Ridwan sebelum Devi benar-benar meninggalkannya.

Sebenarnya Ridwan sangat mencintai kedua orang tuanya. Buktinya dia ingat kapan hari istimewa yang menyatukan keduanya dalam sebuah ikatan yang disaksikan Tuhannya.

Harusnya setelah visit pagi ini Devi bisa pulang karena shift kerjanya telah usai namun karena harus membantu Ridwan sementara Zurra telah datang menjemputnya. Suami tercintanya itu memang sangat luar biasa.

Tidak mengizinkan Devi membawa mobil sendiri bukan berarti Zurra tidak percaya kepada istrinya namun lebih karena sebuah bentuk perhatiannya yang ingin terlibat langsung dalam karier sang istri. Tidak ada yang memberatkan hanya sekedar untuk mengantar dan menjemput Devi ke rumah sakit.

"Mas__?"

"Masih lama?" tanya Zurra.

"Sebentar ya, aku ingin bercerita sama Mas." mengalirlah cerita Devi tentang Ridwan kepada Zurra. Hingga akhirnya Zurra meminta nomer kamar remaja yang dimaksud Devi tersebut dan ingin menjenguknya.

Jangan pernah berpikir bahwa Zurra ingin marah karena pasien kecil istrinya itu sedikit bersikap kurang ajar. Zurra hanya ingin berkenalan dan menawarkan persahabatan dengan remaja tersebut. Mungkin dengan mereka bersahabat Ridwan merasa memiliki keluarga setidaknya seorang kakak yang bisa diajaknya bicara.

"Assalamu'alaikum." sapa Zurra saat dia masuk ke kamar Ridwan dengan parcel buah di tangannya.

Sepertinya Ridwan sangat terkejut. Tiga malam dia menginap di rumah sakit tidak ada yang menjenguknya. Kecuali si bibi yang sengaja dia telpon untuk datang membawakan beberapa pakaian ganti. Tapi siang ini, ada laki-laki dewasa tersenyum kepadanya dengan buah tangan menyertainya.

Ridwan merasa tidak mengenal laki-laki tersebut. Namun dengan sangan sopannya, orang yang berdiri menjulang di hadapannya itu memperkenalkan dirinya.

"Ridwan ya? Perkenalkan nama saya Zurra. Jangan terkejut, saya tidak bermaksud jelek. Dokter Devi tadi sempat bercerita sedikit tentangmu, bolehkah kita bersahabat?" kata Zurra sambil mengulurkan tangan kanannya.

Ridwan masih diam, orang asing di depannya ini memang tidak menunjukkan perangai yang mencurigakan. Kata-katanya cukup halus dan sopan namun mendengar nama dokter muda yang kini sedang merawatnya disebut membuatnya ingin bertanya ada hubungan apa laki-laki di hadapannya ini dengan dr. Devi.

"Saya suami dr. Devi." Ridwan tersenyum kecut. Untuk apa suami dokter itu mengunjunginya? Apakah dia akan menghajarnya karena sikap Ridwan yang sedikit kurang ajar kepada istrinya. Sepertinya memang Ridwan harus pasang badan sebelum besok dia harus pasang telinga untuk mendengarkan ceramah dari guru BP yang akan menskorsingnya.

"Maaf, tapi aku__"

"Devi sudah menceritakan kalau kamu butuh teman, mungkin kita bersahabat. Atau kamu bisa menganggapku sebagai kakak. Datanglah sewaktu-waktu ke tokoku, jika kamu sedang senggang. Daripada ikut tawuran. Banyak hal positif yang bisa kita lakukan daripada merugikan diri sendiri seperti ini." ucap Zurra masih setia dengan senyum tulusnya yang mengembang.

Ridwan hanya terdiam, tidak ingin menanggapi lebih tapi dia menerima saat Zurra memberikan kartu namanya yang tertulis alamat toko dan juga nomor gawainya. Setelah itu tentu Zurra pamit undur diri. Berbicara banyak dengan orang yang baru di kenal itu akan membuatnya semakin bosan atau bahkan muak. Tapi berbicara saat diperlukan sungguh sangat diharapkan bisa mencairkan suasana.

Setengah jam kemudian seorang perawat memberikan kartu debit yang telah dimasukkan ke dalam amplop oleh Devi. Bukti pembayaran lunas dan segera melepas infus yang masih menancap di lengan kiri Ridwan.

"Ada titipan dari dr. Devi Mas Ridwan. Maaf saya lepas dulu ya infusnya, administrasi juga sudah diselesaikan. Ini bukti pelunasannya dan juga obat oral yang harus Mas Ridwan minum selama masa recovery di rumah. Setelah selesai berkemas nanti bisa menghubungi kami di nurse stasion supaya bisa kami antar menggunakan kursi roda ke depan."

"Terimakasih suster."

Ridwan membuka amplop yang berisi kartu debit tersebut. Didalamnya ada surat yang di tulis oleh Devi.

Teruntuk
Ridwan Mattulesi

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat dunia bangga. Bukan hanya atas pencapaian kita namun juga ketaatan kita kepada Tuhan. Mungkin ini sebuah ujian atau bahkan sebuah tantangan.

Bisa dan berani mengambil semua tantangan itu berarti kita telah mampu untuk bisa melewati satu step perjalanan dalam hidup. Jika orang terdekatmu tidak bisa mendengar. Carilah Tuhan yang selalu ada untuk mengabulkan.

Mungkin kita tahu akan hal itu namun seolah tidak ingin tahu karena apa yang terjadi dalam hidup kita tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Jangan pernah menganggap Tuhan itu tidak adil atas apa yang terjadi diantara hubunganmu dengan kedua orang tuamu. Teleponlah nomor yang telah diberikan Mas Zurra kepadamu, kami berdua siap mendengarkan atau bahkan menjadi kakakmu.

dr. Deviani

Ridwan tersenyum melipat kembali kertas itu dan memasukkan ke dalam amplop seperti sedia kala. Sedikit rasa hangat mengalir di dalam darah hingga menyentuh hatinya. Belum ada satu orangpun dari keluarganya yang memperhatikannya, bahkan hanya sekedar untuk mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya.

Dengan cepat Ridwan menyalin nomor HP yang ada di kartu nama Zurra ke dalam gawainya. Tak sabar bertemu kembali dengan laki-laki yang menawarkan persahabatan bahkan persaudaraan itu serta berjanji untuk siap mendengarkannya sebagai seorang adik.

Ridwan segera menelpon sopir keluarga untuk menjemputnya. Membantunya mengemas pakaian dan barang-barang untuk dibawanya pulang ke rumah. Rumah yang selalu bisu, rumah yang selalu dingin bahkan di musim panas sekalipun.

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Don't forget AlKahf for today
Wonderful Jum'ah mabarok

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini

Blitar, 10 Januari 2020

Continue Reading

You'll Also Like

18.5K 739 22
Menjadi istri bukan berarti ia akan menjadi yang terakhir, ada kalanya lelaki yang sudah menjadi suami menginginkan hal lebih. Itu lah yang terjadi d...
211K 23.7K 83
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
330K 30.3K 82
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.