Hollow

By mockingjaybirdx

139K 17.6K 4.2K

In which Jeff and April broke up and learn to navigate their life through a series of heartbreaks and misfort... More

Prologue: Congratulations, glad you're doing great
Shouldn't you be out there breaking hearts?
I think we should stay in love
She's thunderstorms
How do I recover from you?
Nobody's winning in this tale of past and future love
The best at being the worst
If you know that I'm lonely
Untuk Apa / Untuk Apa?
All my demons run wild
All my demons have your smile
I don't want your body but I hate to think about you with somebody else
Drive safe
You were the sweetest apparition, such a pretty vision
Both of you and I we're hollow
Along with its consequences
Still a part of your home
Be my mistake
Do you feel that I can see your soul?
Liability
50 Proof
Break my heart again
Lose
I think I've seen this film before
Right where you left me
You know when it's time to go
I'm so proud I got to love you once
Credits
After Credits Scene

and I spend all night stuck on a puzzle

4.7K 625 229
By mockingjaybirdx

—Jeff

If I were to track where it started to go wrong, dua tahun yang lalu mungkin menjadi awalnya.

Gue (akhirnya) lulus kuliah, Enam Hari sudah mengeluarkan EP, tawaran manggung pelan-pelan menggunung, dan Senja sibuk dengan pekerjaan barunya.

Thing started to fall into place yet falling apart at the same time.

"Aku tuh cuma minta waktu kamu loh, Nja. Cuma waktu. It's not like I'm asking you to build a fucking temple for me or anything"

"Dan aku juga cuma minta kamu ngertiin aku. Kamu kira kamu doang yang bisa bangun karir? Kamu kira aku nggak punya keinginan sendiri yang mau aku achieve?"

"Apa yang aku lakuin selama ini kalo bukan ngertiin kamu, Nja? Kamu cancel date kita berkali-kali aku turutin. Kamu sibuk ngurusin klien kamu pas ketemu sama aku, aku biarin. Have I not done enough?"

Bunyi jepretan kamera dan cahaya flash yang tiba-tiba membutakan mata membuat gue mendongak, buyar dari lamunan gue. Di sana, berdiri Fe, pacarnya Bram, yang tengah meringis kecil dengan kamera pocket analog-nya di tangan.

"Ups... sori. Lupa dimatiin flash-nya" Fe berujar.

"Kampret gue kira tenda kita kesamber petir" jawab gue dengan mata yang sedikit berkunang-kunang.

"Hehehe iya iya sori," Gadis yang malam ini bertugas sebagai merch girl kami itu hanya terkekeh kecil sebelum melipir menjauh dari gue, lanjut mengabadikan wajah-wajah lain di tenda ini.

Riuh rendah anak-anak, crew, beserta beberapa panitia yang keluar-masuk tenda menambah hiruk pikuk suasana artist tent malam ini di Sukabumi. Dingin juga ya ternyata, padahal gue udah jaketan denim tebel gini.

"Iya, Ki? Iya ini kita udah stand-by di tenda sih, paling bentar lagi. Kita ditaro akhir-akhir sama panitia, kayaknya biar jadi encore... Hahaha..."

Gue menoleh kala suara familiar Satria lewat di sisi gue. Bapak ketua kami itu melangkah santai dengan ponsel menempel erat di telinga dan senyum yang mengembang lebar di wajah. Pasti lagi teleponan sama Ibu Negara sih kalau udah kayak gini.

Nggak banyak yang bisa membuat Satria senyum selebar ini selain polah Dodi dan Ibu Negara alias Kinar, pacarnya. And since Dodi is currently busy being an e-sport athlete he is (liat aja tuh dipojokan udah anteng anaknya pegang handphone), so I'm pretty sure it's the second option.

"...Oiya? Hahah. Terus pada gimana dong besok pentasnya? Nggak ada kamu terus itu bocah-bocah pada nggak mau naik panggung?"

Bapak ketua kami masih asyik menyambung rindu lewat sambungan telepon. Nggak bermaksud nguping, cuma emang kedengeran aja suaranya sampe gue sini. It's just something that can't be helped you know.

Jadi inget, dulu gue juga pernah berada di posisi Satra—rajin diteleponin tiap sebelum mulai gigs. It was kind of a ritual, you know, listening to her voice telling me that I can do better on this stage than the previous ones. Dan kalau waktu tur serta lokasi yang kami datangi cukup jauh, gue dan dia bahkan kerap menyempatkan diri untuk video call. Just me telling her I missed her and her telling me (and the rest of the band) good luck.

Dulu, cuma denger suaranya aja gue udah bisa tenang banget. Rasanya, gue siap menghadapi crowd yang kayak apapun di atas panggung nantinya.

I told you I am in love—no wait, I WAS in love with her right? Madly. Bersamanya, gue pernah berada di satu titik di mana, gue akan rela melakukan apapun asalkan gue nggak kehilangan dia. Apa pun—walaupun itu berarti, gue yang harus kehilangan sebagian diri gue sendiri.

"Aku rela bail-out dari gigs buat kamu, Nja. Remember Music Gallery? Aku rela berantem sama anak-anak demi kamu—"

"Kamu ngomong gitu seolah-olah aku yang minta kamu buat bail-out. Kamu pikir aku bisa minta buat tabrakan waktu itu? Bisa gitu aku minta, god just please hit me with a car right now so my boyfriend would come and see me—"

"That's not my point! Nja, kamu prioritas aku—always. Dan aku nyaris mati di tempat pas tau kamu tabrakan waktu itu. You are that important to me—"

"And so are you—"

"Am I?"

Semuanya adalah efek domino. Satu kesalahan memantik kesalahan lainnya, terus begitu hingga semua pondasi yang telah susah payah kita bangun selama ini runtuh dalam sekejap.

Kalian tau, bagian terburuk dari menyaksikan hancurnya sebuah hubungan adalah ketidaktahuan kita atas alasan di baliknya. At this point, I don't even know what caused me and Senja to fall apart. Mungkin ego dia, atau ego gue, atau keras kepalanya, atau keengganan gue untuk mengalah.

Or maybe, it's all of the above.

"Jeff, Converse called, mereka mau shoot sama lo minggu depan"

Gue menoleh ke arah Jamile yang tau-tau udah ada di sisi gue kini. Sejak kapan anjir? Kok nggak kedengeran suara langkahnya?

"Hah? Oh... iya" gue menjawab sekenanya.

Jamile memicing menatap gue kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah wajah gue. "Abis ngelamun jorok lu ya"

"Ngaco!" gue menyingkirkan jari bantet ber-manicure tersebut kemudian berdehem. "Nggak, gue cuma lagi... meditasi"

"Sok sokan meditasi, gue ajakin yoga kemaren baru semenit aja langsung tekor lo" Jamile berujar sebelum merunduk sibuk dengan ponselnya. "BTW ini Converse oke ya minggu depan? Kita nggak ada jadwal manggung sih soalnya hari Jumatnya."

Gue mengangguk. "Iya minggu depan"

"Oh ya, sama mereka minta footage lo pas lagi momen-momen di backstage gini nih buat video campaign-nya. Gue tadi udah minta tolong Sumino sih buat ambil gambar, nanti paling ya pas kita udah mau naik" ia berujar sebelum merunduk untuk melihat sepatu yang tengah gue kenakan saat ini.

"Whaaaaaaaaat kok lo malah pake vans sih??" Jamile memekik, panik.

Gue mengikuti arah matanya turun ke kaki gue, kemudian meringis. "Whoops..."

"Bawa converse nggak lo tapi?"

Gue berusaha mengingat-ingat apakah gue bawa sepatu serep untuk rangkaian gigs selama tiga hari ini, but nothing comes to mind. Jadi, dengan memasang ekspresi defeated dan bersalah, gue memberikan Jamile satu gelengan pelan.

"Hmpf..." Jamile menyilangkan tanganya, mengetuk-ngetuk lantai tenda dengan kakinya. "Bentar coba gue tanya anak-anak ada yang bawa Converse nggak. Dod! Eh, lo aja deh, Bram Bram! Lo bawa Converse nggak?"

Jamile melangkah menjauh, meninggalkan gue kembali sendiri. Kesempatan itu pun dengan sigap gue gunakan untuk membuka ponsel sejenak. Dalam daftar notifikasinya gue melihat nama Mentari masih bertengger di sana, pesannya dari 3 jam yang lalu belum sempat gue balas. Lupa, tepatnya. Gue udah melihat pesan itu dari sejak pertama kali dia masuk ke dalam ponsel gue, tapi lupa belum gue balas sampai sekarang.

[iMessage]

Mentari

Dude guess what

Kala pagi just scored its first headline gigs!!

Aaaaahhhhh eggsighted

Btw goodluck for tonight's show

Titip mochi dong WKWK

Gue tersenyum kecil membaca deretan pesan tersebut. Jemari gue bergerak untuk membuka aplikasi pesan singkat dan membalasnya. Namun, saat keypad telah muncul di layar, mata gue malah melirik ke arah simbol telepon di pojok atas dan berhenti sejenak, mempertimbangkan sesuatu.

Should I just...?

"Ah fuck it." Gue bergumam sembari menekan tombol itu dan merapatkan ponsel di telinga.

Baru deringan pertama, suara riang nan familiar di ujung sana menyambut telinga gue.

"Halo?"

"Uhh... Hai. Eh, gue ganggu nggak sih?" gue bertanya, sesuatu yang langsung gue sesali sedetik setelahnya.

Garing banget gue, anjir.

"Apaan sih," di ujung sana, sebentuk gelak renyah malah terdengar. "Gue kali yang harus nanya gitu. Lo 'kan yang lagi siap-siap manggung. 'Ssup, Jeff?"

Gue menggaruk tengkuk gue sambil meringis kecil. "Yeah yeah kita udah standby sih—but I mean, no problem. It's no problem. Gimana, katanya lo baru dapet headline gigs?"

"Aaah... that. Yes! Gue udah bilang kan ya tadi di chat?" Mentari membalas dengan semangat. "Tanggal 28 di The Pallas. Kaget banget asli tadi gue dikontak Nandra pas lagi masak dinner gitu 'kan, terus lo tau sendiri hape gue selalu gue silent. Jadi sempet nggak keangkat telponnya. Terus untungnya nggak lama dia nelepon lagi, yaudah gue angkat aja terus langsung aja dia ngasih tau kalo bakal ada gigs di The Pallas..."

"Seneng?"

"BANGET! We're headlining along with—guess what—Tulus!"

Gue mengangkat alis kala mendengar satu nama besar tersebut disebutkan. "Wait what... I mean, wow... Wow. That's one big name. Congrats!"

"I knoooow right?" Mentari berujar, masih dengan nada excited yang sama. "Whew... Whew... ini kayak, breakthrough kita nggak sih? Like when you came out as a third winner on Summer Fest..."

Kalimatnya tersebut seketika membuat gue termenung. Teringat saat malam pengumuman pemenang kompetisi band yang menaikkan pamor Enam Hari hingga kita sampai di titik ini sekarang. Malam di mana seseorang nggak lepas menggenggam tangan gue erat dari awal gue sampai di venue hingga nama Enam Hari dibacakan di atas panggung. Malam di mana gue menyaksikannya tersenyum bangga di antara barisan penonton sambil bertepuk tangan keras dan meneriaki nama band kami semangat. Malam yang gue akhiri di pelukannya lengkap dengan sebuah bisikan lembut sebelum gue benar-benar terlelap.

'...I'm proud of you. You're getting closer, Jeff. I know you are...'

"...Gila sih tadi anak-anak di grup juga udah pada kayak 'waaaa! Waaaa!' panik-panik seneng gitu... Jeff? Are you still there?"

Gue mengerjap dan menggeleng ringan. Shit, I must've zoned out again.

"Ya? Iya gue denger kok semuanya," gue menjawab cepat.

"Phew, gue kira tadi keputus sambungannya" Mentari terkekeh.

"Nggak kok nggak," gue memaksakan sebuah gelak kecil. "Anyway, I'm happy for you. Sekali lagi, congrats ya..."

Kala mengatakan hal tersebut, sudut mata gue menangkap Jamile yang sudah berdiri dengan lengan terlipat di hadapan gue. Gue menggestur padanya untuk menunggu sedikit lagi sembari gue berusaha menutup percakapan dengan Mentari.

"Uh, anyway, ini gue barusan dipanggil sama Jamile. Gue tutup dulu ya? I'll call you again later when it's all finished."

"Sure, sure! Break a leg tonight, Jeff! Salam buat anak-anak ya"

"Siap, gue sampein nanti. Thank you... Sunshine"

"You're welcome, Jeffri."

Klik. Sambungan pun diputus.

Kini, perhatian gue teralih sepenuhnya pada Jamile dengan alisnya yang telah terangkat tinggi menatap gue.

"So... sunshine?"

"Jam, come on!"

Jamile tertawa dan memukul lengan gue ringan. "Jijik banget huweeeek sok banget lo manggil-manggil anak orang pake pet name gitu. Baper aja anaknya bingung lo ntar!"

Gue menggaruk kepala gue yang nggak gatal dan hanya membalas kalimat tersebut dengan sebuah tawa datar.

"Mentari 'kan tuh tadi?" Jamile bertanya lagi.

"Ya... siapa lagi"

"Cepet juga lu ye..."

"Apanya?"

"Alah nggak usah pura-pura nggak tau"

Gue menatap anak itu dengan ekspresi campur aduk sebelum menghela nafas dan mendudukkan tubuh gue di atas salah satu kursi lipat.

"Kenapa?"

"...Beneran kecepetan nggak sih menurut lo?"

Jamile mengantongi ponselnya di saku celana, kemudian duduk di sebelah gue. "Jujur apa nggak jujur nih?"

"Jujur."

"Kecepetan."

"Etis nggak menurut lo?"

"Jujur lagi?"

"Mmm-hm"

"Can't say" ia mengangkat bahunya. "Nggak pernah ada yang bikin peraturan tertulis soal berapa lama lo harus 'berkabung' setelah putus sampai lo boleh pacaran lagi. Lagian, hati nggak bisa diatur. Not that gue setuju dengan tindakan semena-mena lo putus sama April, it's just that I understand, sometimes, the heart wants what it wants."

Gue menoleh ke arahnya. "You're trying to shade me for that again"

"Yaiyalah! Lo pikir aja gimana rasanya jadi April, enam tahun pacaran sama lo tau-tau lo putusin gitu aja. Lo gila kali ya"

"Yeah, but at least I do it properly"

"Doing it properly won't lessen the pain, sweetheart." Jamile menggeleng ringan. "Ditambah lo tau-tau udah jump into... whatever this is, sama Mentari. Gue jadi April sih nangis-nangis"

"Do you... think... she does?" gue bertanya dengan hati-hati. "Nangis gara-gara gue maksudnya..."

Ia memberikan satu tatapan tidak percaya ke arah gue sebelum berdecak ringan. "You're really out here singing about heartbreak but know no shit about it."

"Ya makanya yang nulis lagu kita semua Bram bukan gue. Gue mah tinggal nyanyi aja" gue bergumam pelan.

Jamile tersenyum simpatik, kemudian menepuk bahu gue lembut. "Look buddy, hati lo itu adalah organ paling egois sedunia. Kalo lo turutin semua maunya dia, outcome-nya cuma ada dua: you hurt people or you hurt yourself. That's why god paired it with brain, buat ngasih alesan logis tiap kali hati lo mulai irasional"

Gue tertegun mendengar kalimat tersebut. Sesuatu dalam hati gue rasanya seperti tersentil. Membicarakan soal ego memang persoalan yang cukup sensitif buat gue, karena di antara banyaknya hal yang menggerogoti pondasi hubungan gue dan Senja, ego mungkin yang paling beringas.

As much as we both hate to admit it.

"Jadi gue harus gimana dong, Jam? Tanya gue sedikit memelas. "Called it off with Mentari?"

"Geblek ya nggak lah!" gue malah digeplak. "Lo udahan sama Mentari malah nambahin damage. Sama April belom kelar, anak orang yang lain udah lo bikin patah hati"

"Ya abis gue bingung"

"Do you like her, though?"

Gue kembali terdiam. Induk semang satu ini emang jago banget bikin gue nggak berkutik. Kadang kesel sama kemampuannya men-skak mat gue kala gue lagi curhat, tapi sayang juga, karena di antara banyaknya relasi yang gue punya, Jamile ini termasuk yang paling dekat.

"I don't know"

"Ini pertanyaan iya atau nggak"

"Nggak tau gue—"

"You don't then"

"Well I mean... Nggak tau gue, Jam"

"Belum berarti"

"Nggak tau."

"Sekali lagi lo bilang nggak tau gue kasih piring cantik nih ya"

Gue mengusap tengkuk gue dengan kikuk. Jamile menatap gue lembut.

"Gue cuma nggak mau lo nambahin benang kusut lagi di hidup lo. Karena ya... cari pelarian tuh nggak bakal nyelesein masalah. You need to fucking own it, Jeff. Kelarin dulu semuanya, baru mulai yang baru—dan dari apa yang gue liat, lo tuh sebenernya belom kelar sama April"

Gue baru akan membuka mulut untuk membalas kalimatnya, saat road manager kami, Chris, tau-tau telah menyuarakan panggilan khasnya.

"Semuanya yok stand-by sekarang yok!"

Gue dan Jamile menoleh bersamaan ke arah sumber suara dan memberikan gestur afirmasi kepadanya. Kami berdua pun bangkit dari kursi masing-masing, meluruskan baju, bersiap untuk stand-by naik panggung.

"Look, Jeff, just think about it... okay?" Jamile berujar simpatik pada gue. "Gue temenan sama lo udah lama, and like anyone else in the room, we care about you. Jangan lupa seberapa fucked up-nya elo pas terakhir lo putus sama April. None of us wants that to happen again"

Gue meringis saat ia membawa-bawa masa-masa terkelam dalam hidup gue itu. "Iya, iya. I'm a grown up now anyway"

"But even grown-ups make mistake no?" satu senyuman tipis dari Jamile dan ia pun melangkah pergi menghampiri Chris dan anak-anak yang telah berdiri di tengah ruangan.

Gue berdiri diam di tempat gue selama beberapa detik, sibuk mencerna apa-apa saja yang barusan dikatakan Jamile. Mungkin dia ada benarnya, that I have to own what I did dan menyelesaikan semuanya terlebih dulu sebelum lanjut membuka lembaran baru.

But what if what has been done is something beyond repair? Doesn't it save more time and energy to just leave and find something new?

"Jeff! Sini buruan!"

Gue menoleh ke arah Chris yang menyerukan nama gue, menyuruh gue untuk segera bergabung dalam lingkaran. Gue menghela nafas dan menggelengkan kepala gue ringan. Dengan pasti, gue pun melangkah menghampiri mereka.

Alright, showtime first, complicated love life situation later.

"Coming!"

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 100K 15
1. Dilarang memplagiat cerita ini 2. Dilarang memposting ulang cerita ini entah itu di Wattpad maupun 'CUMA' di Twitter atau Instagram 3. Mencopy pas...
144K 6.6K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
30.5K 2.1K 88
THE FIRST LINE OF TANGERINE. In the enchanting tale of the youngest Changkham and the cherished youngest Caskey princess, Scenery Caskey, their bond...
2.3K 152 42
[ Part of a trilogy; of you | 1 ] Saya hanya tidak mengerti, bagaimana buku ini harus diselesaikan. Lalu, di sebuah ujung jalan saya tidak tahu harus...